"Hemm, aku memindahkanmu pada bagian lain." Jawaban Bara membuat Indah tersenyum miris. "Kenapa?" tanyanya menuntut penjelasan lebih. "Kamu libur selama satu minggu, aku enggak bisa biarkan posisi sekretaris kosong." "Bukan keinginan aku buat libur, Mas, kamu yang menghukumku." Indah masih tidak terima dengan alasan Bara. Bara bungkam, tidak mengatakan sepatah kata pun untuk menyangkal atau membenarkan. Melihat itu Indah hanya mampu mendesah pelan. "Sepertinya dengan perlahan bukan posisi perkerjaan yang digantikan oleh Mawar, tapi posisiku sebagai istrimu, Mas." Sontak mata tajam Bara melebar mendengar ucapan Indah. Ia tidak pernah berpikir ke arah sana. Namun, Indah begitu mudah mengatakannya. "Apa yang kamu katakan, Indah?" tanya Bara menahan geram. "Aku hanya mengatakan kemungkinan ke depannya agar bisa bersiap dan enggak kaget seperti sekarang." "Omong kosong!" umpat Bara. "Kalau begitu sekarang aku bekerja di bagian mana? Biar aku bereskan semua barangku."
Sinta menghampiri Indah yang sedang duduk termangu di meja kerjanya. Perempuan itu masih bingung harus melakukan apa karena tidak tahu tugasnya dalam pekerjaannya kali ini. Sehingga memilih menunggu intruksi. "Indah." Panggilan dari Sinta membuat Indah tersadar dari lamunan. Perempuan itu menegakkan tubuhnya lalu mendongak--menatap Sinta dengan tatapan bertanya. "Iya, Bu?" Wanita paruh baya itu menyerahkan beberapa berkas di kepada Indah. Segera Indah menerimanya. "Karena ini pengalaman pertama kamu bekerja di bagian ini, jadi pelajari ini semua lebih dulu. Kalau ada yang tidak dimengerti bisa tanyakan kepada teman-teman kamu." "Baik, Bu." "Kalau begitu saja permisi." "Iya, Bu." Setelah kepergian Sinta, Indah mulai membuka salah satu berkas dan mulai mempelajarinya. Karena ini pengalaman pertamanya, Indah sedikit kesulitan. Namun, karena mempelajarinya dengan tekun dan serius membuatnya mulai paham apa perkerjaannya tanpa harus menanyakan kepada temab-teman barunya. Lagi pula
Indah yang tidak memiliki pilihan untuk menolak pun mengangguk mengiyakan. Meski begitu ia tetap memberikan jarak antara dirinya dan Dirga. Indah tidak ingin timbul fitnah di antara mereka, terlebih mengingat ia yang sudah menikah. Perempuan mengangguk saja lalu bangkit. Seolah mengerti dengan kekhawatiran yang dirasakan Indah, Dirga menyingkir. Memberikan jarak agar Indah bisa melewatinya. "Terima kasih, Mas." "Sama-sama, Indah." "Kenapa malah diam?" tanya Dirga ketika Indah berdiri mematung. "Mas duluan, biar aku yang berjalan dari belakang." Indah mengungkapkan rasa khawatirnya. "Padahal tidak apa-apa kalau kamu duluan, bagaimanapun kamu bosnya."Terdengar kekehan kecil dari mulut Indah. Bos? Nasibnya bahkan sedang berada di ujung tanduk. Bara bisa membuangnya kapan saja. Lantas, pantaskah ia disebut bos setelah dicampakan seperti ini?Lucu sekali! Indah merasa dunianya sedang dipermainkan. Dulu bahkan Bara yang mengejar-ngejarnya, tetapi lihatlah sekarang. Bara bahkan eng
Indah dengan refleks membelalakan mata begitu melihat Mawar yang nekad mengecup Bara di hadapan orang lain. Terlebih ketika ada dirinya. Saat di depan umum saja Mawar bisa melakukan hal itu. Lantas apa yang mereka lakukan ketika hanya tinggal berdua? Perempuan itu jadi membayangkan yang tidak-tidak. Hal itu sukses membuat Indah nyeri sendiri. Tanpa diminta lapisan bening tiba-tiba menghiasi matanya. Segera Indah menunduk untuk menyembunyikannya. Perempuan itu tidak ingin lebih lama melihat hal menyakitkan di depannya. Sementara Mawar yang mendapatkan bentakan dari Bara berubah pias. Wanita itu tidak menyangka jika Bara akan membentaknya di depan umum. Tentu saja hal itu membuat Mawar merasa malu karena harga dirinya yang terasa diinjak-injak. Terlebih ketika mendapati tatapan remeh dan bisik-bisik dari orang yang ada di dalam lift. Niatnya Mawar ingin pamer kepada Indah dan yang lain. Namun, kelakuannya malah menjadi boomerang bagi diri sendiri. Sementara Bara langsung menole
Perlahan Bara melepaskan rangkulan di pinggang Indah ketika perempuan itu mencoba melepaskan diri. Segera Indah mundur untuk memberi jarak di antara dirinya. Sementara Bara menekan tombol angka satu--di mana lobi berada. Sunyi, dalam ruangan kecil itu tidak ada yang mengangkat suara. Keduanya diam dengan Indah yang bertanya-tanya dalam benak tentang apa yang akan dilkukan Bara kali ini. Sementara Bara nampak diam memperhatikan setiap gerakan kecil yang Indah lakukan. Lift berhenti, tidak lama pintunya terbuka secara otomatis. Segera Bara menarik lengan Indah agar mau mengikutinya. Tidak menolak, Indah menurut saja karena sekarang sedang berada di depan umum. Sehingga Indah tidak ingin mempertontonkan perdebatan di hadapan banyak orang. Bara membukakan pintu mobil lalu sedikit mendorong tubuh Indah agar masuk. Setelahnya ia setengah mengitari mobil lalu masuk dari sisi yang lain. Dengan segera ia menyalakan mesin lalu menjalankan mobilnya. "Kita mau ke mana, Mas?" tanya Indah s
"Indah, jawab!" sentak Bara yang sudah tidak sabar karena Indah hanya diam saja. Mendapatkan bentakan dari Bara membuat Indah yang tadinya diam menunduk pun menegakkan kepalanya. Barusan ia sedang menetralkan perasaan juga rasa sakit yang tiba-tiba hadir di perutnya. Indah cukup khawatir dengan keadaan bayi dalam kandungannya."Apa itu penting, Mas?" "Tentu saja! Itu sangat penting untukku, Indah. Enggak ada yang boleh menggunjingmu." Indah tersenyum masam mendengar ucapan Bara. "Jangan pura-pura peduli, Mas! Aku tau kamu mengetahui gunjingan itu. Hanya saja kamu abaikan." Bara mengusap wajahnya kasar karena mendapatkan tuduhan dari Indah. Sejujurnya untuk masalah Indah yang tidak disukai karena menikah dengannya, Bara tahu. Hal itu karena dulu ia sering bersama dengan Indah.Hanya saja untuk masalah para karyawan yang berharap jika dirinya dan Indah bercerai, Bara sama sekali tidak mengetahuinya. Ini seperti memberi tanda bahwa hubungannya dengan Indah sudah berjarak cukup jauh.
Bara menerima ponsel Indah lalu mengecek apa yang sedang dilakukan oleh istrinya. Benar, tidak ada riwayat pesan atau yang lain. Istrinya hanya sedang membuka-buka situs resep makanan. Jika begini, itu artinya ia sudah menuduh Indah yang tidak-tidak bukan? Lantas Bara segera memberikan ponsel tersebut kepada pemiliknya. Pria itu berdeham pelan lalu berkata, "Kelakuanmu terlalu mencurigakan, Indah."Indah menerima ponselnya dengan perasaan dongkol. Bagaimana bisa Bara menuduhnya yang tidak-tidak. Apa katanya barusan? Ia terlalu mencurigan? Yang benar saja! "Pikiran kamu saja yang berlebihan, Mas." Tidak menjawab, Bara yang merasa terpojok memilih berpura-pura melihat ke arah arloji yang melingkar sempurna di lengannya yang berurat. "Kenapa pesanannya lama sekali? Sepertinya aku salah memilih restoran kali ini." Melihat itu, ingin rasanya Indah memukul kepala Bara. Sayangnya ia tidak seberani itu, terlebih Bara masih suaminya. Tidaklah pantas bagi seorang istri melakukan hal seper
"Sekarang makanlah lagi," ujar Bara setelah mereka kembali ke meja makan.Dengan pelan Indah menggeleng. Sekarang nafsu makannya sudah benar-benar hilang. Sontak Bara yang melihatnya pun mengerutkan keningnya."Kamu harus banyak makan agar kembali sehat." Bara mencoba membujuk. Jika begini, Bara nampak seperti suami yang sigap. Andai semua ini bukan hanya sementara, Indah sudah pasti akan menceritakan apa yang terjadi dengan tubuhnya. Hanya saja Indah sadar kalau yang sedang Bara lakukan hanya sementara. "Aku tidak bernafsu, Mas." Bara mendesah pelan. "Meski begitu, kamu tetap harus makan. Kamu bisa memilih menu yang lain, kita masih memilki banyak waktu." "Bukan kita, Mas, tapi kamu. Untuk aku sendiri jam istirahat sebentar lagi berakhir," ujar Indah meralat ucapan Bara yang salah. "Apa bedanya? Kamu istriku, Indah." "Tentu saja berbeda, kamu seorang bos dan pemilik perusahaan. Sedangkan aku hanya seorang karyawan yang baru saja dipindahkan." "Indah, bisakah kita tidak membaha