"Indah, jawab!" sentak Bara yang sudah tidak sabar karena Indah hanya diam saja. Mendapatkan bentakan dari Bara membuat Indah yang tadinya diam menunduk pun menegakkan kepalanya. Barusan ia sedang menetralkan perasaan juga rasa sakit yang tiba-tiba hadir di perutnya. Indah cukup khawatir dengan keadaan bayi dalam kandungannya."Apa itu penting, Mas?" "Tentu saja! Itu sangat penting untukku, Indah. Enggak ada yang boleh menggunjingmu." Indah tersenyum masam mendengar ucapan Bara. "Jangan pura-pura peduli, Mas! Aku tau kamu mengetahui gunjingan itu. Hanya saja kamu abaikan." Bara mengusap wajahnya kasar karena mendapatkan tuduhan dari Indah. Sejujurnya untuk masalah Indah yang tidak disukai karena menikah dengannya, Bara tahu. Hal itu karena dulu ia sering bersama dengan Indah.Hanya saja untuk masalah para karyawan yang berharap jika dirinya dan Indah bercerai, Bara sama sekali tidak mengetahuinya. Ini seperti memberi tanda bahwa hubungannya dengan Indah sudah berjarak cukup jauh.
Bara menerima ponsel Indah lalu mengecek apa yang sedang dilakukan oleh istrinya. Benar, tidak ada riwayat pesan atau yang lain. Istrinya hanya sedang membuka-buka situs resep makanan. Jika begini, itu artinya ia sudah menuduh Indah yang tidak-tidak bukan? Lantas Bara segera memberikan ponsel tersebut kepada pemiliknya. Pria itu berdeham pelan lalu berkata, "Kelakuanmu terlalu mencurigakan, Indah."Indah menerima ponselnya dengan perasaan dongkol. Bagaimana bisa Bara menuduhnya yang tidak-tidak. Apa katanya barusan? Ia terlalu mencurigan? Yang benar saja! "Pikiran kamu saja yang berlebihan, Mas." Tidak menjawab, Bara yang merasa terpojok memilih berpura-pura melihat ke arah arloji yang melingkar sempurna di lengannya yang berurat. "Kenapa pesanannya lama sekali? Sepertinya aku salah memilih restoran kali ini." Melihat itu, ingin rasanya Indah memukul kepala Bara. Sayangnya ia tidak seberani itu, terlebih Bara masih suaminya. Tidaklah pantas bagi seorang istri melakukan hal seper
"Sekarang makanlah lagi," ujar Bara setelah mereka kembali ke meja makan.Dengan pelan Indah menggeleng. Sekarang nafsu makannya sudah benar-benar hilang. Sontak Bara yang melihatnya pun mengerutkan keningnya."Kamu harus banyak makan agar kembali sehat." Bara mencoba membujuk. Jika begini, Bara nampak seperti suami yang sigap. Andai semua ini bukan hanya sementara, Indah sudah pasti akan menceritakan apa yang terjadi dengan tubuhnya. Hanya saja Indah sadar kalau yang sedang Bara lakukan hanya sementara. "Aku tidak bernafsu, Mas." Bara mendesah pelan. "Meski begitu, kamu tetap harus makan. Kamu bisa memilih menu yang lain, kita masih memilki banyak waktu." "Bukan kita, Mas, tapi kamu. Untuk aku sendiri jam istirahat sebentar lagi berakhir," ujar Indah meralat ucapan Bara yang salah. "Apa bedanya? Kamu istriku, Indah." "Tentu saja berbeda, kamu seorang bos dan pemilik perusahaan. Sedangkan aku hanya seorang karyawan yang baru saja dipindahkan." "Indah, bisakah kita tidak membaha
Setelah makan siang Bara mengajak Indah untuk kembali ke kantor. Selama dalam perjalanan, Indah terlihat banyak diam. Ia masih berusaha mencoba untuk meredakan rasa mual yang sejak tadi mendera. Bibir Indah terkatup rapat, begitu juga dengan matanya. Buliran keringat mulai menetes membasahi kening Indah. Bayangan tentang dirinya yang dikurung membuat Indah memilih menahan diri untuk tidak memuntahkan semua isi dalam perutnya. Sementara Bara yang sesekali menoleh ke arah Indah mengerutkan kening ketika melihat tidur Indah yang nampak gelisah. Ia memperlambat laju mobilnya untuk mengambil tisu. Pria itu mengusap kening Indah menggunakan tisu dengan pelan. Tentu Indah merasakannya, tetapi perempuan itu memilih abai karena merasa tidak sanggup untuk membuka mata. "Indah," panggil Bara dengan nada rendah. "Hemm." Indah menyahut dengan gumaman pelan. Sedikit lega karena ternyata Indah masih merespon dirinya. "Indah, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu nampak pucat?" Indah m
Bara dengan sigap menahan tubuh Indah yang hampir sama ambruk. Pria itu memeluk Indah erat lalu membopongnya sambil berjalan cepat menuju lobi. Beberapa karyawan yang sedang berada di lobi pun cukup kaget begitu melihat pemandangan barusan. Mereka langsung menyingkir memberikan jalan agar Bara segera tiba di lift. Pria itu nampak panik dan khawatir. Sesekali ia menunduk--melihat ke arah Indah yang sedang dalam gendongannya dengan cemas. "Kenapa tubuhmu jadi lemah seperti ini?" gumamnya lirih. Tidak akan ada yang mendengar karena kebetulan yang berada di dalam lift hanya ada dirinya dan Indah. Tentu Indah yang tidak sadarkan diri tidak akan mendengar apa yang dikatakan Bara barusan. "Bertahan, Indah, aku yakin kamu kuat."Entah Bara meminta Indah bertahan dalam hal apa. Tidak ada yang mengetahui pastinya seperti apa. Bisa saja bertahan agar tetap sehat, atau bertahan dengan rumah tangganya. Atau mungkin .... Ting! Dentingan pintu menyadarkan Bara jika mereka sudah tiba di temp
"Indah kamu dari mana saja?" tanya Sinta begitu Indah masuk ke ruangannya.Sontak pertanyaan itu membuat semua yang berada di ruangan pun mendongak untuk melihat. Mereka kembali menggunjing, tetapi Indah hiraukan. Perempuan itu tersenyum tipis."Mohon maaf, Bu, tadi saya ada keperluan." "Kamu tahu kalau kamu telat masuk, Indah? Jam istirahat sudah berakhir sejak tadi dan kamu baru masuk?" Kali ini bukan Sinta yang bertanya, melainkan Rima--teman satu profesinya. "Iya, Mbak," sahut Indah tidak ingin terjadi perdebatan. "Kalau begitu kenapa masih dilakukan? Seharusnya kamu mendapatkan hukuman, Indah." Melihat situasi yang kurang kondusif, Sinta pun dengan cepat melerai dari pada semakin menjadi. "Sudah-sudah, Indah kamu duduk di meja kerja kamu. Kembali pelajari apa yang tadi saya berikan." "Baik, Bu." Indah pun segera ke meja kerjanya. Perempuan itu duduk lalu mulai berkutat dengan perkerjaannya. Hanya saja karena ia menjadi junior di sana, Indah mendapatkan sedikit diskiriman
Seperti apa yang diperintahkan Bara sebelumnya, begitu bubaran jam kerja dan tidak ada karyawan yang tersisa bagian teknisi menambah lebih banyak CCTV yang tidak terlihat oleh kasat mata. Entah apa tujuan Bara sampai-sampai harus memasang banyak kamera tersembunyi di setiap sudut ruangan. Namun yang pasti, sebagai pegawai mereka hanya mampu menuruti perintah atasannya. "Apa semuanya sudah selesai?" tanya Bara kepada kepala teknisi. Pria itu langsung turun tangan dan ingin memastikan jika semua berjalan dengan lancar. Kepala teknisi itu mengangguk mantap. "Sudah, Pak." "Baik kalau begitu, kalian boleh pergi dan pastikan tidak ada orang yang mengetahuinya." Bara mewanti-wanti agar tidak ada yang mengetahui apa yang sudah dilakukan untuk menunjang rencananya berjalan dengan lancar. "Baik, Pak, kami pastikan itu tidak akan terjadi." Bara mengangguk paham. "Terima kasih," ucapnya. "Sama-sama, Pak. Kalau begitu kami permisi." "Hemm." Setelah kepergian para teknisi, Bara meli
Mawar mengerutkan kening begitu mendengar Bara yang meminta izin untuk bertanya. Wanita itu menatap manik tajam pria yang kini menatapnya dengan lembut. Tentu siapa yang tidak luluh dengan hal itu. Tangannya bergerak menyentuh lembut rahang tegas Bara. “Mau nanya apa? Kenapa sampai minta izin segala?” tanyanya dengan suara yang sengaja dibuat semanja mungkin. Bara memejamkan matanya sebentar lalu tangannya bergerak menyingkirkan lengan Mawar dari rahagnya dengan pelan. Ia menegakkan tubuhnya, kemudian menatap Mawar dengan serius. “Seingatku dulu aku sering membelikanmu set perhiasan, apa aku benar?” Wajah Mawar nampak semangat begitu mendengar pertanyaan Bara. Dengan segera wanita itu mengangguk–membenarkan. “Tentu saja, dulu kamu sering membelikanku perhiasan.” “Ah, jadi ingatanku tidak salah tentang itu.” Bara bergumam pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Mawar. “Sepertinya ingatanmu semakin membaik, Honey.” “Dan ini semua berkat kamu,” balas Bara sambil menatap Mawar den