Bara yang terjebak macet mengumpat kesal. "Sial! Aku kehilangan jejak kamu, Indah." Segera ia mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang. Namun, gerakan jarinya yang buru-buru malah membuka pesan dari nomor yang tidak ia kenal. Niatnya ingin diabaikan dan kembali menghubungi anak buahnya, tetapi sebuah pesan gambar membuatnya tertarik. Pria itu melihat gambar yang dikirimkan dari nomor yang tidak dikenal. Betapa kagetnya ia ketika gambar tersebut terbuka yang menampakkan sosok istrinya tengah berbincang dengan seorang pria. Tidak terlalu jelas siapa pria itu karena pengambiln foto dari belakang. Sehingga yang terlihat jelas hanya Indah. Sontak Bara merasakan tubuhnya memanas diiringi dengan nafasnya yang tersenggal-senggal. Masih teringat jelas ketika Indah pulang malam enam hari yang lalu. Mungkinkah saat itu Indah sedang ketemuan dengan pria tersebut? Membayangkannya saja sudah membuat Bara ingin membunuh seseorang. "Argh! Indah, kenapa jadi begini?" Bara menjambak
Cukup lama mereka saling diam dengan Indah yang mengkhawatirkan Bara. Tiba-tiba pria itu menoleh lalu menatap Indah dengan jijik. "Indah, aku tidak menyangka kamu setega ini padaku." Kedua alis Indah saling bertautan dengan samar mendengar ucapan Bara barusan. "Maksud, Mas?" "Kamu jangan pura-pura polos, Indah!" sentak Bara tidak terkendali. Tautan itu semakin jelas, hingga menimbulkan garis-garis halus di sekitar kening Indah. "Maskud, Mas, apa? Aku minta maaf karena sudah keluar dari rumah diam-diam, Mas." Indah yang berpikir jika Bara marah kapadanya gara-gara ia yang pergi diam-diam pun memilih meminta maaf. Ia sadar jika yang dilakukannya salah. Hanya saja ia memiliki alasan kenapa melakukannya. "Ck! Bagaimana bisa aku memaafkan istri yang diam-diam bertemu dengan pria lain, Indah?" Perempuan itu tersentak mendengar tuduhan dari Bara. "Tadi aku--' "Apa kamu sedang balas dendam karena aku kembali kepada Mawar, Indah?" Belum sempat Indah menjelaskan, Bara sudah le
Bara menatap Indah yang terlihat nampak pucat dengan tatapan yang tidak dapat Indah artikan. Indah merasa lelah malam ini, sehingga tidak ingin lagi berdebat dengan Bara. Untuk masalah kesalahpahaman yang terjadi, Indah sudah menjelaskan. Seberapa keras Indah berusaha, jika Bara tidak percaya padanya. Maka semuanya hanya akan sia-sia saja. "Aku sudah menjelaskan semuanya, kamu mau percaya atau tidak itu urusan kamu. Tapi aku harap kamu mau mempercayaiku meski itu sulit." "Apa maksudmu, Indah?" "Aku lelah, Mas, aku mau istirahat." Setelah mengatakan itu Indah langsung berbalik. Ia percaya jika Bara masih memiliki hati nurani, pria itu akan sedikit saja mempercayainya. Namun, jika Bara tetap menuduhnya yang tidak-tidak, mungkin memang tidak ada kesempatan untuknya meluluhkan hati Bara. Indah ingin berjuang, tetapi Bara selalu mendorongnya. Awalnya ia berharap dengan kehadiran calon buah hati mereka, maka Bara akan luluh. Namun, belum sempat mengatakannya Bara sudah lebih menud
Meski kesal, tetapi Indah tetap menyiapkan sarapan untuk Bara. Hanya roti panggang dan selesai kacang karena stok makanan di lemari pendingin sudah habis. Indah belum sempat belanja karena dalam masa kurungan. Roti panggang Indah simpan di atas meja bar. Setelahnya ia duduk di depannya dan mulai menikmati sarapan tanpa mengajak Bara. Perutnya sudah sangat lapar dan tidak sabar untuk segera diisi. Melihat Indah yang tak acuh dan makan roti sendiri membuat Bara yang masih berdiri sambil memegang gelas pun disimpan secara kasar. Sehingga apa yang ia lakukan menimbulkan suara. Bara ingin menarik perhatian Indah. Namun, Indah hanya menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan makannya. Sontak Bara mendesah gusar. Ia mengusap wajahnya yang belum dicuci dengan kasar. "Indah, apa kamu enggak akan mengajakku untuk sarapan bersama?" Pada akhirnya Bara yang tidak tahan pun bertanya. Indah menoleh sebentar lalu berkata, "Aku pikir Mas enggak akan mau makan buatanku seperti sebelum-sebelum
"Hemm, aku memindahkanmu pada bagian lain." Jawaban Bara membuat Indah tersenyum miris. "Kenapa?" tanyanya menuntut penjelasan lebih. "Kamu libur selama satu minggu, aku enggak bisa biarkan posisi sekretaris kosong." "Bukan keinginan aku buat libur, Mas, kamu yang menghukumku." Indah masih tidak terima dengan alasan Bara. Bara bungkam, tidak mengatakan sepatah kata pun untuk menyangkal atau membenarkan. Melihat itu Indah hanya mampu mendesah pelan. "Sepertinya dengan perlahan bukan posisi perkerjaan yang digantikan oleh Mawar, tapi posisiku sebagai istrimu, Mas." Sontak mata tajam Bara melebar mendengar ucapan Indah. Ia tidak pernah berpikir ke arah sana. Namun, Indah begitu mudah mengatakannya. "Apa yang kamu katakan, Indah?" tanya Bara menahan geram. "Aku hanya mengatakan kemungkinan ke depannya agar bisa bersiap dan enggak kaget seperti sekarang." "Omong kosong!" umpat Bara. "Kalau begitu sekarang aku bekerja di bagian mana? Biar aku bereskan semua barangku."
Sinta menghampiri Indah yang sedang duduk termangu di meja kerjanya. Perempuan itu masih bingung harus melakukan apa karena tidak tahu tugasnya dalam pekerjaannya kali ini. Sehingga memilih menunggu intruksi. "Indah." Panggilan dari Sinta membuat Indah tersadar dari lamunan. Perempuan itu menegakkan tubuhnya lalu mendongak--menatap Sinta dengan tatapan bertanya. "Iya, Bu?" Wanita paruh baya itu menyerahkan beberapa berkas di kepada Indah. Segera Indah menerimanya. "Karena ini pengalaman pertama kamu bekerja di bagian ini, jadi pelajari ini semua lebih dulu. Kalau ada yang tidak dimengerti bisa tanyakan kepada teman-teman kamu." "Baik, Bu." "Kalau begitu saja permisi." "Iya, Bu." Setelah kepergian Sinta, Indah mulai membuka salah satu berkas dan mulai mempelajarinya. Karena ini pengalaman pertamanya, Indah sedikit kesulitan. Namun, karena mempelajarinya dengan tekun dan serius membuatnya mulai paham apa perkerjaannya tanpa harus menanyakan kepada temab-teman barunya. Lagi pula
Indah yang tidak memiliki pilihan untuk menolak pun mengangguk mengiyakan. Meski begitu ia tetap memberikan jarak antara dirinya dan Dirga. Indah tidak ingin timbul fitnah di antara mereka, terlebih mengingat ia yang sudah menikah. Perempuan mengangguk saja lalu bangkit. Seolah mengerti dengan kekhawatiran yang dirasakan Indah, Dirga menyingkir. Memberikan jarak agar Indah bisa melewatinya. "Terima kasih, Mas." "Sama-sama, Indah." "Kenapa malah diam?" tanya Dirga ketika Indah berdiri mematung. "Mas duluan, biar aku yang berjalan dari belakang." Indah mengungkapkan rasa khawatirnya. "Padahal tidak apa-apa kalau kamu duluan, bagaimanapun kamu bosnya."Terdengar kekehan kecil dari mulut Indah. Bos? Nasibnya bahkan sedang berada di ujung tanduk. Bara bisa membuangnya kapan saja. Lantas, pantaskah ia disebut bos setelah dicampakan seperti ini?Lucu sekali! Indah merasa dunianya sedang dipermainkan. Dulu bahkan Bara yang mengejar-ngejarnya, tetapi lihatlah sekarang. Bara bahkan eng
Indah dengan refleks membelalakan mata begitu melihat Mawar yang nekad mengecup Bara di hadapan orang lain. Terlebih ketika ada dirinya. Saat di depan umum saja Mawar bisa melakukan hal itu. Lantas apa yang mereka lakukan ketika hanya tinggal berdua? Perempuan itu jadi membayangkan yang tidak-tidak. Hal itu sukses membuat Indah nyeri sendiri. Tanpa diminta lapisan bening tiba-tiba menghiasi matanya. Segera Indah menunduk untuk menyembunyikannya. Perempuan itu tidak ingin lebih lama melihat hal menyakitkan di depannya. Sementara Mawar yang mendapatkan bentakan dari Bara berubah pias. Wanita itu tidak menyangka jika Bara akan membentaknya di depan umum. Tentu saja hal itu membuat Mawar merasa malu karena harga dirinya yang terasa diinjak-injak. Terlebih ketika mendapati tatapan remeh dan bisik-bisik dari orang yang ada di dalam lift. Niatnya Mawar ingin pamer kepada Indah dan yang lain. Namun, kelakuannya malah menjadi boomerang bagi diri sendiri. Sementara Bara langsung menole