"Han? Kamu ngusir ibuku?!" tanya Aji, dengan raut wajah tak percaya.Hana menahan napas. Dia terpaksa melakukan ini, karena ulah Bu Minarti sendiri. Tak ada yang mau memperlakukan mertua dengan buruk, kalau bukan mertuanya yang cari masalah.Bu Minarti emosi, tampak bahunya naik turun. "Lihat, Ji! Istrimu keterlaluan, dia ngusir ibumu! Orang yang sudah melahirkan dan membesarkanmu!"Wanita paruh baya itu mulai bermain kata, tentu untuk menghasut anaknya agar membenci istri sendiri.Aji sempat menoleh pada Bu Minarti yang tengah marah, lalu kembali menoleh pada Hana."Han, kenapa kamu seperti ini? Dia itu ibuku, ibumu juga."Hana tersenyum miring, menatap anak dan Ibu bergantian. "Ibuku? Tidak, Mas. Dia ibumu. Mertuaku. Ya, mertua yang sangat jahat pada menantunya."Mendengar itu, Bu Minarti tidak terima. Sang wanita paruh baya berjalan cepat, tanpa aba-aba melayangkan tamparan pada Hana.Suaranya begitu nyaring. Rendi yang ada di sana pun kaget. Tentu Aji terkesiap melihat aksi ibunya
Pagi sekali, Hana sudah bersiap. Setelah semalaman berpikir, sampai tak tidur akhirnya wanita itu memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Tentu saja dia harus mengalihkan semua aset milik bersama atas namanya.Dia tidak mau rugi. Anggap saja ini sebagai hukuman karena sudah membuat Hana sengsara. Bahkan, itu saja tidak cukup.Dia punya banyak bukti untuk menyeret sang pria maupun adiknya ke balik jeruji. Tetapi, bukti itu akan dikeluarkan di waktu yang tepat.Aji terbangun dalam keadaan kaget, sebab dia tak melihat sang istri di samping. Biasanya, kalau Aji tidak bangun, Hana akan menjadi alarm untuk sang pria.Namun, semua langsung berubah sejak kejadian semalam. Sang pria melihat Hana sedang ada di meja rias, sudah rapi."Loh, Han. Kamu kenapa tidak bangunkan aku?" tanya Aji, sambil duduk di pertengahan kasur.Hana sama sekali tidak menoleh, menjawab dengan ketus. "Kamu kan gak kerja, ngapain aku bangunin."Aji terperanjat mendengarnya. Kekagetan amat kentara dari wajah sang pria.
"Ji, gimana dengan Kalila? Dia bisa bertemu Ibu kapan?" tanya Bu Minarti saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah Bi Minarti."Nanti ya, Bu. Tunggu waktu yang tepat dulu."Wanita paruh baya itu berdecih. "Kenapa harus nunggu waktu yang tepat? Cuma ketemu ini, kok."Aji terdiam. Dia tahu kata cuma bertemu itu, tidak sesederhana yang dikira. Sebab, Bu Minarti pasti akan memberikan banyak pertanyaan dan akan lebih menyakitkan Kalila sebab ucapan ibunya kadang tidak disaring."Nanti lah, Bu. Kami masih dapat masalah gara-gara video syur itu."Bu Minarti berdecak keras. "Lagian, kenapa bisa jadi kaya gitu, sih? Kamu itu punya pikiran enggak? Ngapain ngelakuin itu di tempat yang ada istrimu."Aji memilih diam. Seberapa banyak dia menjelaskan, Bu Minarti kadang keras kepala. Jadi, dia akan berbicara jika sangat diperlukan.Tak lama kemudian, mereka pun sampai di rumah Bu Minarti. Pria itu langsung pergi, untuk menemui Kalila. Aji tidak berpikiran lagi mencari pekerjaan, sebab dirinya sud
Hana tersenyum kecut, tapi tetap melihat ke jalanan. "Ya, hanya ingat masa lalu saja."Rendi hanya diam. Tak berani berkomentar apa-apa. Posisinya di sini hanya sebagai pegawai, tidak lebih.Sesampainya di rumah, Hana langsung menyiapkan berkas penting, dia akan membawa semua itu untuk dibalik nama. Tanpa menunggu lagi, sang wanita kembali pergi untuk mengurus semuanya.Sementara itu, Aji dengan percaya dirinya pergi ke kantor Rido. Dia tidak merasa malu walaupun dilihati oleh semua karyawan.Sebelumnya, satpam melarang pria itu untuk masuk. Tetapi, Aji mengatakan sudah ada janji dan ingin memberikan file penting.Aji melangkah pasti ke ruangan Rido. Sang sekertaris mantan bosnya itu berusaha untuk menghalangi Aji, tetapi sang pria bisa menerobosnya.Tanpa mengetuk pintu, Aji membuka pintu. Membuat si empunya kaget. Rido saat itu sedang serius memeriksa dokumen."Kurang ajar! Siapa yang mengizinkanmu masuk ke sini?!" tanya Rido, emosi.Aji tak memedulikan pertanyaan itu. Dengan sangat
"Kenapa harus pakai syarat segala? Saya kan cuma mau naik gaji," ucap Aji, heran.Di saat seperti ini, harusnya Rido tidak usah berpikir apa-apa lagi. Itu pun jika sang pria mau aman.Rido tersenyum miring sembari berdecak. Lalu, dia menggelengkan kepala. Sayangnya, Rido tidak naif."Kamu pikir saya bodoh. Tentu tidak. Kalau mau ngancam, saya juga harus punya jaminan."Aji tidak mengatakan apa-apa dan malah mengernyit bingung. Rido melihat itu, langsung mengatakan apa syaratnya."Kamu harus membuat surat perjanjian, tidak akan membocorkan rahasia ini pada siapa pun, terutama istriku. Kalau sampai itu terjadi, kamu akan otomatis dipecat."Apakah Aji setuju? Tentu saja tidak. "Kenapa saya harus seperti itu? Itu kan kalau Bapak tidak keberatan, kalau keberatan tidak usah. Tapi, sebagai gantinya istri Bapak dan karyawan yang lain akan tahu.""Kenapa kamu bilang? Heh, aku ini pembisnis. Segala apa pun pasti dipertimbangkan dengan matang. Di sini, kita sama-sama diuntungkan. Kalau kamu memb
“Loh, kenapa kosong, Pak?” tanya Aji, keheranan.Harusnya, jika ingin melakukan perjanjian di atas kertas, ada point dan tulisannya. Tetapi ini tidak ada.“Kamu tinggal tanda tangan saja, isinya menyusul.”Rido mengatakan itu semua dengan sangat enteng. Padahal, harusnya tidak demikian. Tentu saja Aji langsung protes.“Ya, tidak bisa seperti itu dong, Pak. Saya mau isi semuanya, baju tanda tangan.”Ternyata Aji tidak bisa dibohongi. Mungkin karena pengalaman kerja, membuat Aji lebih hati-hati lagi.Rido berdecak. Pria itu pun akhirnya menuliskan point perjanjian tadi. Aji kembali membacanya, takut jika ada yang berbeda atau ditambahkan tanpa sepengetahuannya.Setelah dirasa yakin, Aji menandatangani dengan mantap. Melihat itu Rido tersenyum miring. Dalam hati dia terus berkata-kata.‘Dasar bodoh! Percaya saja. Harusnya kamu minta print dan salinannya. Kalau seperti ini, mudah bagiku menambahkan point lain di perjanjian itu. Apalagi itu tulisan tanganku.’Setelah mendatangani itu, Aji
Suara sepatu hak tinggi menggema di koridor kampus ternama yang tampak lengang. Di jam sekarang, mahasiswa pasti sedang ada kelas. Kalau pun tidak, mereka pasti akan menghabiskan waktu di kantik atau gazebo yang ada di sini, dibandingkan harus berkeliaran di sekitar koridor.Ini akan menjadi kesempatan bagus untuk Hana, waktu yang tepat untuk menemui rektor di tempat ini. Kedatangannya ke sini bukan tanpa sebab. Dia geram karena video syur yang sudah tersebar tak membuat Kalila dikeluarkan dari kampus ini.Hana ingin tahu saja, apa alasan pihak kampus masih mempertahankan Kalila di tempat ini. Tidak, Hana tidak akan pernah ikhlas jika Kalila bisa menikmati pendidikan yang baik, setelah apa yang sudah dilakukan wanita itu padanya.Kalila harus merasakan kesusahan yang teramat sangat, sama halnya dengan apa yang sudah dilakukan sang Adik padanya selama ini.Tak perlu bertanya pada siapa pun, sebab saat Kalila masuk ke tempat ini untuk pertama kalinya, Hana lah yang mengantar,Hingga tak
“A-apa, Pak? Saya di-DO?”Kalila sungguh kaget mendengar kabar yang mengejutkan ini. Sungguh, ini di luar dugaan. Padahal sebelumnya sang rektor memberinya waktu beberapa hari untuk membuktikan kalau video itu hanyalah rekayasa saja. Dia akan menggunakan Rido untuk membantunya, membersihkan nama baiknya.Namun apa ini? Kenapa semua serba mendadak dan malah membuatnya jadi seperti ini?“Tunggu, Pak? Kenapa jadi seperti ini? Bukankah Bapak sendiri yang bilang kalau saya masih punya waktu beberapa hari lagi untuk membuktikan semuanya?”Kalila tidak mau seperti ini. Kalau dia sampai di-DO, lalu untuk apa dirinya mencari uang ke sana kemari, apalagi dengan cara yang beda.Rektor itu tampak tenang menghadapi wanita di depannya ini. Berbeda jauh dengan Hana yang datang begitu tenang. Kalila malah terlihat emosional dan susah sekali mengendalikan diri.“Iya, memang seperti itu. Tapi, saya tidak bisa menunda lagi karena ada saksi yang mengatakan kalau video itu memang benar, bukan rekayasa. Ka
Hana tak bertanya atau walaupun menimpali ucapan wanita itu, tetapi lebih meneliti bagaimana wajah Kalila saat ini. Mungkin saja wanita itu sedang berbohong kepadanya. Dia benar-benar harus berhati-hati kepada Kalila. Wajahnya saja yang terlihat lugu, tapi ternyata hatinya busuk dan kelakuannya di luar batas. Bahkan dia tidak menyangka kalau Adik yang selama ini disayangi dan juga dilindungi malah menusuknya dari belakang. "Aku benar-benar serius mengatakan itu. Kalau misalkan Kakak tidak percaya, aku bisa memberikan buktinya. Aku sudah mengumpulkan banyak bukti tentang kejahatan Mas Aji kepada Kakak," ujar Kalila. Dia tidak mau sampai diserang oleh Hana atau malah sendirian menghadapi Aji. "Kamu punya bukti-buktinya? Kenapa kamu melakukan itu? Berarti benar kamu mengakui kalau kamu itu sudah jahat kepadaku?" tanya Hana sembari melipat tangan di depan dada. Dia ingin sekali melakukan ini dari dulu, menginterogasi atau bahkan memaki-maki adiknya sendiri. Tak masalah, karena memang
Melihat situasi yang mulai memanas, sang kakek pun langsung buka suara. "Maaf kalau saya memotong pembicaraan kalian. Saya ingin menjelaskan duduk permasalahannya, agar tidak ada salah paham, ya," ucap Kakek itu yang membuat mereka bertiga menoleh. Kebetulan di sana juga sudah ada Rendi. "Maaf, Kakek ini siapa, ya?" tanya Hana, dia tidak bisa mudah percaya begitu saja. Mengingat kalau Kalila itu mungkin licik dan menyewa Kakek ini untuk pura-pura menjadi saksi. Walaupun memang saat ini keadaan Kalila begitu kacau, tapi entah kenapa rasa percaya terhadap adiknya itu sudah hilang begitu saja. Harus punya bukti yang kuat, baru benar-benar bisa paham dengan situasi yang terjadi. "Saya Tono. Saya orang yang tinggal di sekitaran perkebunan itu." Pria tua itu pun menceritakan kronologis saat ia menemukan Kalila di sebuah lubang. Hana hanya terdiam. Dia melihat tidak ada kebohongan di sorot mata Kakek ini. Tampak benar-benar tulus dan juga jujur. "Seperti itu, Nak. Saya datang ke sini h
Saat ini Hana sedang berada di mobil menuju perjalanan pulan. Dia terus saja memikirkan perkataan Sabrina kepadanya. Wanita itu hampir saja tergoda untuk ikut kerjasama dengan Sabrina perihal Kalila, tetapi Hana sadar kalau yang dihadapinya adalah Rido dan orang kaya yang mungkin saja bisa melakukan segala cara dengan uang atau bisa saja dia dimanfaatkan oleh Sabrina demi kepentingan tertentu. Lalu, ujungnya Hana juga yang menjadi tersangka atau kambing hitam mereka. "Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang kaya seperti itu. Mereka terlihat baik, padahal di belakangnya busuk. Untuk masalah Kalila, biarlah aku sendiri akan berpikir sesuai dengan rencanaku sebelumnya," gumam Hana saat masih di dalam mobil.Dia benar-benar tidak mau berurusan lagi dengan Rido atau istrinya, berharap semuanya akan segera berakhir dan bisa memulai hidup baru dengan baik. Suara ponsel berdering, di sana tertera nama Rendi. Wanita itu menautkan kedua alisnya. Biasanya Rendi akan menelepon Hana jika mema
“Aku ingin mengajakmu kerja sama.”Hana masih tampak kebingungan, terlihat dari wajahnya serta alis yang saling bertautan.“Untuk?”Sabrina tersenyum, lalu menghela napas panjang. wanita itu begitu santai. Tetapi, wajahnya kali ini tampak serius.“Aku tahu, suamimu selingkuh dengan adikmu.”Lagi-lagi tubuh Hana menegang. Satu pertanyaan muncul di benak, bagaimana wanita itu bisa tahu?Seolah paham dengan mimik wajah Hana, Sabrina kembali melanjutkan ucapannya yang malah membuat Hana tidak bisa berkata-kata.“Aku mengikuti kegiatan dan gerak-gerik Kalila.”Hana menghela napas berat. Adiknya itu memang sangat memalukan. Dia malah merebut seorang suami yang sudah beristri.Namun, sekarang bukan itu point masalahnya. Kenapa Sabrina harus mengajaknya kerja sama? Dia sama sekali tidak butuh patner untuk memberikan adiknya hukuman.“Kamu bisa memakai uangmu untuk membereskan Kalila. Dia memang adikku, tapi perlakuan dan tindakannya bukan tanggung jawabku.”Sabrina takjub dengan keteguhan dan
“Kalau itu saya kurang tahu, Non. Tapi, sedari pagi Tuan memang sudah berangkat.”Kalila masih khawatir. Jadi, dia hanya bisa berharap kalau Aji tidak dulu pulang dan Hana segara kembali.Sementara itu di sebuah kafe, Hana sedang bertemu dengan wanita yang kemarin meneleponnya. Pada akhirnya, sang wanita tidak punya pilihan lain.Rasa penasaran membuatnya mengambil keputusan ini. Apalagi, mungkin ini bisa dijadikan bahan bukti penangkapan Adik dan suaminya.Namun, yang membuat Hana kaget adalah wanita itu dikenal olehnya. Dia adalah Sabrina, istri dari Rido.Wanita cantik dan elegan itu tersenyum simpul pada Hana. Entah kenapa, kesan pertama yang dilihat bukanlah takut atau risi, melainkan merasa terpukau.“Pasti kamu kenal aku, kan?” tanya Sabrina dengan ramah.Hana ikut tersenyum sembari mengangguk. “Iya, aku mengenalmu.”“Sama, aku juga kenal kamu. Termasuk hubunganmu dengan suamiku.”Kali ini Hana mengernyit bingung. “Maksudmu? Maaf, aku tidak punya hubungan apa pun dengan Rido.”
“Tas?”Rendi bergegas melihat isi tas itu, tentu saja menggunakan sarung tangan. Ini akan jadi bukti untuk diperlihatkan pada Hana. Isinya masih aman, kecuali HP. Sudah dipastikan kalau Aji menculik Kalila.Pria itu mencoba mencari apalagi yang bisa dijadikan bukti, sampai Rendi melihat ada jaket milik Aji yang tertinggal di sana. Rendi pun langsung mengambilnya. Ini akan semakin memperkuat kesalahan Aji.Setelah itu sang pria pun langsung pergi dari sana. Dia akan mencari jejak Kalila sepanjang pulang dari sini. Mungkin saja wanita itu masih ada di sekitaran sini.Sementara itu, tepat pukul 9 Kalila bisa menaiki mobil sayur. Dia diantar oleh kakek itu untuk ke kantor polisi.Selama perjalanan, Kalila terus berdoa, semoga dia tidak bertemu dengan Aji. Kalau tidak, bukan hanya dirinya yang ada dalam masalah, tapi sang Kakek juga.Kalila menutupi kepalanya dengan kain jarik yang diberikan Nenek. Ini digunakan agar Kalila aman dan tidak ada yang mengenali.Hingga satu jam kemudian, akhir
“Ini, Nak. Minumlah.”Kakek tua itu menyerahkan teh hangat pada Kalila yang sedang duduk di dipan sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu.Dengan tangan gemetar, wanita itu menerimanya dan langsung meminumnya.“Pelan-pelan, Nak. Itu masih panas.”Kalila tahu, teh itu masih agak panas. Tetapi, semalaman dia tidak makan maupun minum. Entah bagaimana kalau dirinya sampai tak tertolong, mungkin kejahatan Aji tidak akan pernah bisa terbongkar.“Kamu sudah tenang?”Tanya seorang nenek yang keluar dari arah dapur. Sepasang sepuh itu tinggal dengan cucunya. Mereka ada di ujung perkambungan, dan hanya rumah ini yang ada di sepanjang jalan setapak. Terbilang hidup sangat sederhana.Nenek itu duduk di pinggir dipan dan mengusap pundak Kalila dengan pelan.“Ya Allah, Nak. Badanmu sampai gemetar seperti ini. Dia pasti sangat ketakutan,” ucap Nenek itu pada sang Kakek.Pria sepuh mengangguk setuju. “Iya, Bu. Kalau saja kita tidak menemukannya, dia pasti sudah tertangkap lagi oleh penculik i
Kalila menangis dengan suara parau. Dia benar-benar mulai putus asa. Kalau tidak ada yang menolongnya, maka kemungkinan besar dirinya akan ketangkap oleh Aji.Dia menggelengkan kepala. Membayangkannya saja sudah membuat dirinya merasa takut.Ternyata Aji punya sisi jahat yang mengerikan. Mungkin saja, Kalila akan habis di tangan pria itu kalau tidak kabur. Tetapi, masalahnya dia tidak tahu cara keluar dari sini.Wanita itu menangis sembari berusaha berpikir, bagaimana caranya agar bisa keluar dari sini. Tak ada jalan selain terus menyerukan permintaan tolong dan berdoa pada Tuhan.“Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal. Tidak mau berurusan dengan Mas Aji lagi. Kalau aku keluar dari sini, aku akan membuka kebusukan pria itu. Aku janji.”Kalila menangis sesenggukan, sampai tiba-tiba ....“Ternyata orang!” seru seorang anak remaja dengan pakaian kaos dan celana panjang. Ada topi bambu yang menempel di kepalanya.Kalila langsung mendongak dan menghapus jejak air mata. Wanita itu merasa senan
“Siapa kamu sebenarnya?”Hana masih mencari tahu tentang identitas wanita di seberang sana. Tetapi, lagi-lagi sang wanita tak mengatakan apa pun.“Kamu akan tahu siapa aku setelah nanti kita bertemu.”Hana diam sejenak, memikirkan apa yang harus dia lakukan.“Kalau kamu mau tahu tentang adikmu dan suamimu, datanglah besok jam 8. Aku akan mengirimkan alamatnya.”Setelah itu panggilan pun terputus. Lalu, sebuah pesan masuk. Isinya alamat dari si penelepon tadi.Entah apa yang akan Hana perbuat besok. Yang pasti dia harus hati-hati dengan kemungkinan terburuk.***Suara pintu utama terbuka membuat Hana terkesiap. Sang wanita langsung mencari tahu siapa yang datang, ternyata itu adalah suaminya.Aji terlihat pucat dan juga terengah-engah. Hana mengernyit, bingung. Sebab tak biasanya Aji seperti ini.Pantas saja sedari tadi dia tak melihat keberadaan sang pria.“Kamu dari mana, Mas? Lalu, kenapa seperti habis dikejar orang?”Aji berusaha menenangkan diri. Yang sebenarnya, saat pulang tadi