Noura sama sekali tidak puas dengan jawaban yang ibunya berikan. Tapi, jujur saja ia bersyukur karena rahasia antara dirinya dengan Dean masih bisa tersimpan dengan rapi. Sehingga hal tersebut memudahkan Noura untuk tetap menjalankan kontrak kerja sama dengan suasana hati yang tenang. Tak ada ketakutan selain kekhawatiran akan perasaan Hary yang kini sudah berubah. Adiknya itu sekarang mulai membenci sang suami. "Kamu gak usah mikirin Hary. Emosinya masih labil. Ia masih belum bisa membedakan mana informasi yang benar atau salah.""Tapi, tuduhan sebagai pembunuh, apakah sebuah informasi yang salah? Padahal dengan jelas Ibu mendengar sendiri Dean berkata begitu bukan?""Gak," sahut sang Ibu menggeleng. "Ibu gak denger Dean bilang gitu. Ibu cuma denger suara ribut waktu Ibu tidur. Kalimat apa yang keduanya bicarakan, Ibu sama sekali gak dengar."Ah, pantas saja. Noura pikir ibunya terima saja tuduhan Dean padanya itu. Tapi, tahunya sang ibu tidak mendengar langsung apa yang Dean kataka
"Loh, ke mana teman kamu itu?"Ibu Noura muncul dengan nampan di tangannya. Ada dua buah cangkir yang mengeluarkan asap panas dari dalamnya. Dua cangkir teh hangat di suasana pagi yang masih sejuk. "Sudah pulang." Noura menjawab cuek. "Kok cepet banget. Baru juga ditinggal sebentar." Ibu Noura menjawab seraya meletakkan nampan di atas meja. "Mana aku tahu. Mungkin dia buru-buru mau berangkat kerja. Lagian, tadi juga 'kan bilangnya cuma sebentar." Noura sudah akan beranjak bangun ketika sang ibu berkata cepat. "Ini minumannya gimana?" tanya wanita itu sembari menunjuk dua cangkir yang masih utuh isinya. Noura melihat sejenak. Lalu, "Ibu minum aja.""Kebanyakan, Noura," sahut ibu Noura, lalu mengangkat satu cangkir ke arah putrinya itu. "Nih, kamu bawa satu."Dengan terpaksa Noura mengambil cangkir yang ibunya berikan. Lalu, ia pun pamit masuk ke kamarnya. Ibunya hanya menggeleng seolah tahu apa yang sudah terjadi antara sang putri dengan tamu yang datang di waktu yang masih pa
Noura izin kepada ibunya untuk pergi menemui Kenz. Kawannya itu langsung menjawab mau ketika diajak makan siang bersamanya. "Kamu gak bilang Dean dulu, Noura?" Sang ibu bertanya. "Gak usah, Bu. Dia juga pergi gak bilang-bilang." Noura menjawab cuek. "Kamu ini bagaimana sih, Noura. Mau sampai kapan kalian egois seperti itu.""Dean yang ngeduluin, Bu.""Kalau Dean begitu, kenapa kamu balas? Seharusnya tugas istri itu membuat kemarahan suami reda. Bukan malah memperparah suasana."'Duh, Ibu. Kita aja nikah pura-pura. Dean bahkan enggan menganggapku sebagai istrinya. Jadi, buat apa aku bersusah payah merayunya supaya gak marah. Usaha yang gak penting banget,' batin Noura berkata. "Ya, Bu. Nanti Noura coba hubungi Dean." Pada akhirnya Noura harus berbohong. Noura sudah kepalang mengatakan bahwa pernikahannya dengan Dean baik-baik saja. Jika ia bersikeras dengan pendiriannya, bukan tidak mungkin sang ibu akan curiga.**Di dalam sebuah kafe, tempat langganan Noura dan Kenz nongkrong sa
"Apa yang membuatmu tiba-tiba datang ke kafe tadi? Tahu dari mana juga kamu kalau aku ada di sana?" Noura sudah berada di dalam mobil Dean setelah suaminya itu memaksa pulang. "Aku sama sekali tidak tahu kalau kamu ada di sana.""Benarkah?" Noura menatap tak percaya. "Lantas, bagaimana bisa seorang Dean Waverly masuk ke sebuah kafe yang sangat sederhana seperti D'Cony. Itu terlihat tak masuk akal.""Mau masuk akal atau tidak, aku sama sekali tak peduli.""Aku pun tak peduli. Tapi, kamu menghancurkan rencanaku.""Rencana? Rencana yang mana maksudmu? Apakah rencana pergi liburan berdua saja dengan lelaki idamanmu itu adalah sebuah rencana yang sudah kamu impikan sejak lama?" Dean bertanya sinis. Noura sontak menatap Dean. "Apa maksudmu kalau rencanaku pergi itu adalah sebuah impian?"Dean hanya mengangkat bahunya. "Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab. Lagipula kamu tak akan pergi juga.""Kalau kamu tak peduli, lalu kenapa kamu tidak kasih aku izin?"Dean membalas tatapan Noura. E
Nora hanya bisa pasrah ketika akhirnya Dean kembali menyiksanya. "Kenapa kamu masih mau melakukan ini padaku?" tanya Noura lemah setelah untuk ke sekian kalinya Dean melecehkannya.Noura tak banyak bergerak. Luka paska keguguran yang membuatnya harus mendapatkan perawatan setelah menjalani prosedur kuret, sama sekali tak Dean pedulikan. Lelaki itu terlihat kembali mengenakan kemeja kerjanya seperti semula. Jawaban-jawaban keras dan kesal yang Noura lemparkan kepadanya, telah membuat seorang Dean tersinggung hingga keinginan untuk kembali menyiksa istrinya itu mendadak hadir. "Kalau bukan karena keinginanku yang ingin merenggut seluruh kebahagiaanmu, aku pun tidak suka melakukan ini."'Kamu bohong, Dean. Gak mungkin kalau kamu gak suka,' batin Noura merasa percaya diri. Dean sudah selesai dengan penampilannya —yang meski tak serapi di awal, tapi lebih baik dibanding Noura yang terlihat berantakan dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Lelaki itu kemudian memandang sang ist
Dean turun setelah memberikan perintah pada pelayannya untuk mengecek kondisi Noura. Lelaki itu hendak menemui seorang wanita yang belakangan mulai intens mendekatinya. Renee, gadis itu terlihat santai ketika memandangi beberapa poto yang berjajar rapi di atas meja buffet yang ada di ruang keluarga. Saat terdengar suara langkah kaki mendekat, ia merasa yakin jika itu adalah sosok sang tuan rumah. "Aku sama sekali enggak nyangka kalau kamu masih menyimpan bahkan memajang poto Rachel," ucap Renee tersenyum masih melihat satu buah poto di depannya. Di sana terlihat sosok kembarannya yang terlihat bahagia di momen pertunangannya dengan Dean, yang tidak sempat Renee hadiri. "Bukan sesuatu yang salah bukan?" sahut Dean yang memilih duduk di sofa tunggu seraya menyalakan televisi di depannya.Aksinya hanya iseng semata. Sebab pada dasarnya Dean tidak terlalu senang akan kedatangan Renee di kediamannya. "Tidak. Justru aku merasa senang. Ternyata sosok Rachel tak pernah tergantikan di hat
Dean sudah mengompres kening Noura dengan air hangat yang Renee bawa. Ia kemudian mencoba membangunkan istrinya itu agar mau meminum obat. Sedikit kesulitan dan baru bisa bangun setelah beberapa detik kemudian. "Dean, ada apa?" Noura bertanya lemah. Selain itu tatapannya terlihat sayu dengan wajah memerah sebab kondisi demam yang dialami."Kau demam. Minum obat dulu." Dean masih dengan sikapnya yang datar, tak berubah sama sekali. Hal yang memicu kesenangan bagi seorang Renee yang saat ini berdiri di samping Dean. Perlahan Noura melihat sekitar. Hawa panas juga rasa pusing yang kepalanya rasakan, membuat semua pergerakan perempuan itu terlihat menyedihkan. "Bangun perlahan. Minum obat dulu." Dean kembali berkata sebab Noura yang belum merespon. Noura mencoba bangun sembari Dean mengganjal bantal agar bisa menopang kepala istrinya itu. Sedangkan handuk yang dipakai untuk kompres masih menempel di kening. "Minum obat apa?" tanya Noura matanya tampak terpejam. "Obat penurun panas,
Jane terlihat memindai sosok Renee yang saat ini berjalan menghampirinya. "Kamu siapa?" tanya Jane setelah perempuan itu berdiri di depannya. Renee kemudian mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Sedikit ragu, Jane membalas uluran tangan perempuan itu. "Saya Renee. Saudara Rachel.""Ah! Rachel!" Seketika Jane berseru. Ekspresi-nya seketika berubah. "Dari tadi aku mikir, wajahmu mirip siapa? Seperti aku pernah melihat. Rupanya saudara Rachel. Pantas saja, muka kalian mirip.""Kami memang saudara kembar.""Oh yah? Benarkah?" Respon Jane terlihat takjub. Renee mengangguk. "Tapi, kenapa aku tidak pernah lihat kamu sebelumnya? Bahkan, saat pertunangan Dean dan Rachel waktu itu kamu tidak terlihat.""Saya tinggal di luar negeri. Waktu Rachel bertunangan dengan Dean, aku memang tidak datang karena ada pekerjaan penting yang tak bisa ditinggal," ujar Renee sembari melirik ke arah Dean. "Oh, begitu.""Apakah kamu masih mau berbicara dengannya?" Tiba-tiba Dean mengingatkan akan maksud d