Erlin melangkah maju mendekati Rey dengan hati yang berdebar. Ketika ia sudah berada di depan Rey, ia berbicara dengan suara lembut yang dipenuhi penyesalan, "Rey, aku menyesal, aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu, Rey."Tiba-tiba, emosi Erlin tak terkendali, Erlin memeluk Rey dengan erat. Isakan tangisnya memenuhi ruangan, menggambarkan rasa sakit yang begitu mendalam. Setelah beberapa saat, dengan suara yang serak karena emosi, ia berkata, "Aku mencintaimu, Rey. Sampai kapan pun aku selalu mencintaimu."Di pintu, Delisha memandang pemandangan itu dengan hati yang berdegup tak teratur. Wajahnya merona merah, dipenuhi oleh rasa marah dan kecewa yang tak terukur. Ia seakan terdorong untuk masuk dan mengakhiri momen ini. Namun, hatinya memberinya peringatan untuk tetap di tempatnya.Ketika Rey merasa bila ada seseorang di depan pintu. Tatapannya beralih cepat ke arah pintu, ternyata ia melihat keberadaan istrinya yang berada di ambang pintu."Delisha," gumam Rey lirih.Rey deng
Delisha menatap Rey dengan tatapan tulus. "Wanita mana yang tidak marah bila melihat suaminya berpelukan dengan wanita lain, Rey," ujar Delisha dengan suara yang jujur. Namun, juga penuh dengan kekesalan. Ia ingin Rey mengerti betapa pentingnya kepercayaan dan komitmen dalam sebuah hubungan.Rey merasakan kehangatan dari kata-kata Delisha. Ia meraih tangan istrinya dengan lembut. "Aku minta maaf, Sayang. Aku akan memastikan bahwa hal seperti ini tidak terjadi lagi. Aku juga tidak tahu mengapa Erlin memeluk aku dengan tiba-tiba."Delisha menghembuskan napas kasarnya, entah bagaimana ia harus bersikap. Erlin selalu saja mengganggu Rey, itu yang membuatnya tak suka.Rey dengan lembut menyelipkan sehelai anak rambut Delisha ke belakang daun telinga istrinya. "Sayang, besok kita akan pergi ke butik," ujarnya dengan suara lembut.Delisha menatap Rey dengan rasa ingin tahu. "Untuk apa, Rey?"Rey tersenyum penuh semangat. "Kita akan fitting baju, karena besok lusa acara ulang tahun perusahaan
"Morning, Sayang," sapa Delisha dengan suara lembut, tersenyum hangat ketika melihat Rey yang baru terbangun di sampingnya.Rey membalas sapaan itu dengan senyum manis. Ia meraih tangan Delisha dan menciumnya dengan penuh kasih sayang. "Morning," ujarnya dengan suara hangat, mengisi kamar dengan kehangatan cinta di antara mereka."Ayo bangun, kamu mandi dulu, aku akan buatkan sarapan untuk kamu," ujar Delisha dengan pelan, menyingkap selimut untuk mengajak Rey bangun. Namun, ketika ia hendak turun dari tempat tidurnya, Rey segera menahan tangannya."Tidak perlu, kan ada Bi Yanti. Biar dia saja yang menyiapkan sarapan," sela Rey, mencoba untuk mengurangi kerepotan Delisha.Delisha memandang Rey dengan penuh kehangatan. "Tapi aku ingin memanjakan suamiku hari ini. Biar aku yang menyiapkan sarapan untukmu."Rey tersenyum, merasa beruntung memiliki Delisha di sisinya. "Baiklah, Sayang. Aku akan menunggu sarapan spesial dari istriku tercinta." Mereka berdua tersenyum satu sama lain, merasa
"Sayang, ayolah cepat sedikit, aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Anna," ujar Delisha seraya menarik tangan Rey agar segera masuk ke dalam mobil. Ia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan sahabatnya.Matanya sudah berbinar-binar penuh antusias, raut wajahnya penuh kegembiraan karena akan dapat berbagi waktu bersama teman terdekatnya. Rey hanya bisa tertawa melihat semangat istri tercintanya, dan dengan senang hati, ia mengikuti langkah Delisha menuju mobil. "Sabarlah, Sayang. Seperti kamu tidak pernah bertemu dengan Anna saja," imbuh Rey. Mencoba memelankan langkah Delisha yang semakin mempercepat langkahnya. Rey hanya takut istrinya itu kenapa-napa, apalagi kini ia sedang mengandung benihnya. Rey juga takut bila istrinya akan masuk ke rumah sakit lagi."Meskipun aku setiap hari bertemu dengannya di kantor, tapi tetap beda saja, Rey. Kalau di kantor itu, kami sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, sedangkan kalau di luar, kami bisa membahas apa pun itu," ungkap Del
Delisha berdiri di depan cermin, matanya memandang tajam pada bayangan dirinya yang mengenakan gaun malam elegan. Gaun berwarna biru tua itu memeluk tubuhnya dengan lembut, memberikan sentuhan kemewahan pada penampilannya.Dia memeriksa setiap detailnya dengan teliti, memastikan bahwa semuanya terlihat sempurna. Delisha bisa merasakan getaran kegugupan, tapi juga rasa bahagia yang mengalir dalam dirinya. Malam ini adalah momen spesial yang akan mengubah hidupnya.Delisha memilih aksesoris yang elegan untuk melengkapi penampilannya. Dia memakai anting-anting chandelier berwarna perak dengan batu-batu kecil yang berkilauan. Gelang tangan dengan desain minimalis juga turut melengkapi penampilannya. Delisha memilih cincin berlian yang simpel, namun elegan untuk mempercantik jari-jarinya.Untuk gaya rambutnya, Delisha memilih tatanan yang semi formal, namun tetap terlihat natural. Rambutnya diatur dengan gaya loose curls yang terurai indah di sepanjang bahunya. Beberapa helai rambut dibiar
"Rey," sapa Erlin.Deg!Rey terkejut mendengar suara Erlin memanggil namanya. Jantungnya berhenti sejenak. Ia menatap Erlin dengan penuh tanda tanya di wajahnya."Untuk apa kamu ke sini?" tanyanya dengan nada tegas."Rey, apa kamu lupa, bukannya setiap orang yang memiliki undangan boleh hadir di sini?" jawab Erlin dengan senyuman manisnya.Rey mendengkus kesal. "Tapi apa kamu benar-benar harus hadir di sini?"Erlin mengangguk cepat. "Ya, Rey. Aku punya hak untuk hadir di acara ini. Aku masih bagian dari perusahaan ini, bukan?"Rey menggigit bibir bawahnya dengan kesal. "Baiklah, terserah kamu. Tapi tolong jangan ganggu acara ini."Erlin hanya tersenyum misterius. "Tentu saja, Rey. Aku hanya ingin melihat sejauh mana acaramu kali ini."Rey mengangkat alisnya, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu Erlin tidak akan mengerti pesan apa pun yang ia sampaikan.Beberapa saat kemudian, Bella datang menghampiri Rey dengan segelas es jeruk di tangannya untuk Rey, karena tadi Rey menyuruhnya u
Emran memegang mikrofon lagi, wajahnya berseri-seri. "Sebelum kita lanjutkan ke acara selanjutnya, ada satu hal yang ingin saya sampaikan kepada semua orang. Saya ingin mengumumkan bahwa Rey, malam ini tidak datang sendirian, ia datang bersama menantu saya, yaitu Delisha Gesa Isna Wijaya adalah istri sah dari putra saya, Rey. Mari kita memberikan mereka dukungan dan cinta untuk masa depan yang cerah bersama-sama." Ketika Emran mengumumkan hal ini, suasana pesta menjadi semakin riuh. Para tamu memberikan tepuk tangan dan sorakan tanda persetujuan dan dukungan mereka kepada Rey dan Delisha. Sedangkan, diantara mereka ada yang tidak percaya akan hal itu.Erlin, ia begitu terperangah ketika mendengar nama Delisha yang disebutkan oleh Emran.Erlin menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak mungkin. Rey tidak mungkin menikah dengan Delisha."Erlin membulatkan matanya, mencoba memproses informasi yang baru saja diterimanya. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Seluruh renca
Air mata Erlin jatuh membasahi pipinya. Setiap tetes menyerap riasan yang dikenakannya. Sorot matanya pun memancarkan rasa haru dan sesuatu yang sulit diungkapkan. Yang pasti, itu adalah perasaan penyesalannya."Rey, maafkan aku," gumamnya dengan suara yang lirih.Sejenak, Erlin menyeka bulir hangat yang kembali lolos dari pelupuk matanya, ia segera berbalik badan, lalu pergi dari ballroom tersebut dengan hati yang teramat kacau.Langkah Erlin terdengar lemah, hampir tak terdengar di antara riuhnya keramaian pesta. Ia mencoba menyelipkan diri keluar dari ballroom, meninggalkan kekacauan emosinya di belakang.Bella melihat kepergian Erlin dari hadapannya, ia pun segera mengikuti ke mana langkah Erlin berlalu.Bella dengan cepat mengikuti langkah Erlin yang semakin menjauh. Ia merasa perlu untuk berbicara dengan wanita itu. Wanita yang sudah menjadi penghalang bagi hubungan dirinya dan Daffa, sampai wanita itu rela tidur dengan mantan kekasihnya. Bella bersumpah, ia tidak akan membiarka
Delisha yang duduk di dekatnya mengangkat alis, ekspresinya penuh tanda tanya. "Ada apa, Sayang?"Rey memandang Delisha dengan serius. "Ada masalah yang perlu aku selesaikan sekarang juga. Aku harus pergi sebentar."Delisha melihat ke dalam mata Rey, memahami keadaan darurat yang tengah dihadapinya. "Aku akan menemanimu, Rey."Rey mengangguk, setelah menitipkan Gilang kepada Arumi dan Emran dengan cemas di hati, Rey dan Delisha segera menuju mobil mereka. Mereka berkendara dengan cepat menuju rumah sakit, hati mereka dipenuhi kekhawatiran yang begitu mendalam.Rey dan Delisha masih duduk di dalam mobil, perasaan heran dan kebingungannya tergambar jelas di wajah mereka. Delisha memutuskan untuk mengungkapkan pertanyaannya."Rey, bagaimana bisa Erlin dimasukkan ke rumah sakit jiwa?" tanya Delisha dengan perasaan herannya. Suaranya penuh dengan rasa ingin tahu dan kebingungan yang sudah merajainya.Rey mengedikkan bahunya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan da
Delisha tersenyum bahagia saat menaburkan bedak halus pada tubuh mungil Gilang. Bayi kecil itu terlihat begitu tenang, matanya berkilauan dari kebersihan setelah mandi. Udara di ruangan itu terasa hangat dan penuh kasih.Sambil memandang putranya, Delisha mulai memutar dalam benaknya rencana untuk hari ini. Ia ingin membawanya ke taman bermain di dekat Mansion Wijaya, tempat di mana mereka dapat menikmati matahari bersama-sama. Delisha juga berencana untuk mengunjungi toko mainan setelahnya, memberikan Gilang kesempatan untuk memilih mainan kesukaannya.Saat Delisha sibuk dengan Gilang, Rey menyaksikan adegan itu dengan penuh kebahagiaan. Langkahnya pelan melintasi ruangan, dan ia menghampiri Delisha dengan senyum lebar di wajahnya."Kamu selalu begitu hebat, Sayang," ucap Rey dengan lirih. "Gilang sungguh beruntung memiliki ibu sepertimu."Delisha tersenyum dan membalas, "Kita beruntung memiliki dia dalam hidup kita, Rey. Dia membawa begitu banyak kebahagiaan."Rey memeluk Delisha er
"Maafkan aku, Rey, aku belum siap bertemu dengan kamu. Aku ingin menenangkan pikiranku sejenak," gumam Delisha lirih.Delisha berbalik dari jendela dan melangkah perlahan ke arah tempat tidurnya. Ia mengambil napas dalam-dalam, melihat ke arah putranya yang sedang tertidur pulas.Delisha menatap putranya yang sedang tertidur pulas dengan penuh kasih sayang. Gilang adalah sumber kekuatan dan kebahagiaannya. Meskipun mereka sedang menghadapi masa sulit, kehadiran Gilang selalu memberi mereka alasan untuk tetap kuat.Dengan hati yang penuh harap, Delisha duduk di samping tempat tidur Gilang, mengelus lembut pipinya. "Kamu adalah keajaiban dalam hidup Mama, Nak. Bersamamu, Mama selalu merasa terlindungi."Kemudian, Delisha membiarkan dirinya terlelap di samping putranya. Meskipun pikirannya penuh dengan kekhawatiran, kelembutan napas Gilang membawanya ke dalam alam mimpi yang damai.Sementara itu, Rey menunggu dengan sabar di mobil, memberi Delisha ruang dan waktu yang ia butuhkan. Ia mem
"Papa, Rey!" teriak Arumi tiba-tiba, muncul di dekat mereka dengan wajah yang penuh kepanikan."Kenapa, Ma?" tanya Rey dengan kening terangkat, keheranan jelas terpancar dari wajahnya."Delisha, dia dan Gilang tidak ada di kamar," ujar Arumi dengan napas yang terengah-engah.Rey dan Emran saling pandang, keduanya terkesiap. "Apa?" seru mereka hampir bersamaan, kekhawatiran mencengkam hati mereka.Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju kamar Delisha. Setelah berada di kamar, mereka melihat kamar itu kosong, tempat tidur yang biasanya digunakan Delisha masih rapi. Tapi ketiadaannya bersama Gilang menimbulkan rasa cemas yang semakin mendalam.Emran mencoba menghubungi Delisha melalui telepon, tapi tak ada jawaban. Tatapan panik mengisi matanya. "Rey, kita harus mencarinya sekarang juga!"Rey mengangguk, tak ada waktu untuk memikirkan segala hal. Mereka berdua keluar dari Mansion dengan langkah cepat, berencana untuk memeriksa setiap tempat yang mungkin menjadi tujuan Delisha.Rey s
Ruangan kerja Rey dipenuhi dengan suara dari klakson kendaraan dan hiruk pikuk kota yang sibuk. Rey duduk di meja kerjanya, mata terfokus pada tumpukan dokumen dan laporan yang tersebar di sekitarnya. Ia sibuk menyelesaikan tugas-tugasnya, tak menyadari waktu yang berlalu begitu cepat.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka dengan cepat. Abbas, sekretaris setia Rey, memasuki ruangan dengan napas terengah-engah. Wajahnya tampak pucat dan khawatir."Rey," panggil Abbas dengan suara terbata-bata.Rey mengangkat pandangannya dari dokumen-dokumen di meja. "Ada apa, Abbas?"Abbas menelan ludah, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Ini penting, Rey. Aku harus memberitahumu sesuatu yang tak bisa kau percayai."Rey menatap Abbas dengan penuh kekhawatiran, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Sebuah desiran rasa cemas melintas di dalam dadanya. "Baik, apa yang terjadi? Tenanglah, Abbas. Katakan dengan tenang. Apa kejadian ini menyangkut orang yang sudah menculik Delisha?"Abbas mengambil
Malam telah berlanjut dengan langit yang menggelap, menciptakan latar belakang yang terasa bahagia. Rey dan Delisha yang sedang asyik makan malam, mengisi malam mereka dengan tawa dan cerita. Namun, tiba-tiba, mata Delisha tertuju kepada sosok seorang lelaki yang memiliki tubuh gempal. Sorot matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.Rey, yang merasa curiga melihat ekspresi istrinya yang sudah berubah, segera bertanya dengan khawatir. "Sayang ada apa?" tanyanya dengan nada cemas.Delisha menelan ludah, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. "Rey, le-lelaki itu yang dulu telah menculikku," ujar Delisha bergumam begitu lirih.Rey merasa detak jantungnya berdegup kencang mendengar pengakuan itu. Dia langsung menoleh ke arah sosok lelaki yang ditunjuk oleh istrinya. Lelaki itu memiliki tubuh yang berisi dan kepala botak. Wajahnya terlihat kusam, dan tatapannya kosong.Delisha gemetar, ingatan akan masa lalunya yang traumatis mulai kembali menghantui dirinya. Dia merasa pusing dan ti
Rey duduk di sofa sambil memperhatikan istrinya, Delisha, yang tampak kelelahan setelah seharian mengurus Gilang, putra kecil mereka yang menggemaskan. Wajah Delisha pucat, matanya sayu. Namun, tetap penuh kasih sayang saat ia memeluk Gilang yang tertidur pulas dalam gendongannya."Sayang," Rey mengelus lembut pundak Delisha, "aku merasa kasihan melihatmu. Mengurus Gilang seharian pasti melelahkan."Delisha tersenyum lemah. "Iya, tapi ini adalah tanggung jawab kita bersama, kan? Aku tidak keberatan."Rey memahami kesetiaan Delisha terhadap tanggung jawab sebagai ibu. Namun, ia juga tidak ingin melihat istrinya kelelahan terus-menerus. Ia pun mencoba untuk menemukan solusi."Mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk menyewa baby sitter untuk membantu kita, Sayang. Itu akan meringankan bebanmu sedikit," usul Rey dengan nada lirihnya.Delisha terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Aku menghargai tawaranmu, Rey, tapi aku ingin meluangkan waktu sebanyak mungkin dengan Gilang. Ini momen-momen be
Rey memandang Erlangga dengan pandangan yang tajam dan penuh tanda tanya saat mendengar penjelasan Erlangga tentang mengapa ia ingin melepaskan putrinya, Erlin, dari penjara."Bukti-bukti yang belum terungkap? Semua bukti sudah ada dan Erlin lah penyebabnya," ucap Rey dengan nada keras. "Saya ingin bertanya, mengapa Anda begitu menginginkan Erlin untuk keluar dari penjara setelah apa yang sudah dia perbuat? Bukannya dulu Anda sendiri yang mencampakkan Erlin?"Erlangga merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Rey itu. Ia merenung sejenak sebelum menjawab dengan jujur, "Rey, kamu memang benar. Dulu, aku memutuskan hubungan dengan Erlin dan meninggalkannya ke luar negeri. Aku tidak bangga dengan keputusan itu, dan aku merasa bersalah atas bagaimana aku telah memperlakukan dia. Tapi Erlin adalah anakku, dan aku tidak ingin dia menghabiskan hidupnya di dalam penjara. Aku masih menyayanginya, Rey. Aku datang ke sini untuk menebus kembali kesalahanku kepada Erlin."Rey mend
Delisha duduk dengan penuh kasih sayang di sofa, bayinya yang bernama Gilang terus menangis di pangkuannya. Rey, suaminya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja, merasa iba melihat istrinya yang sepertinya sudah sangat lelah mengurus Gilang."Sayang, apa yang terjadi? Apakah Gilang merasa tidak nyaman?" tanya Rey seraya menghampiri Delisha yang sedang duduk di sofa.Delisha mengernyitkan keningnya, mencoba mencari tahu penyebab dari tangis Gilang. "Aku tidak yakin, Rey. Aku sudah mencoba segalanya. Mungkin dia lapar atau mengantuk."Rey mencoba memberikan saran, "Mungkin dia butuh susu tambahan. Apa kamu ingin aku mengambilkan susu formula?"Delisha menggeleng cepat, lalu berkata, "Tidak, Rey. Aku ingin memberi ASI eksklusif kepada Gilang. Aku tahu itu penting untuk pertumbuhannya.""Tentu saja, Sayang. Aku mendukungmu sepenuhnya," kata Rey dengan penuh dukungan.Delisha mencoba menenangkan Gilang dengan mengayun-ayunkan tubuhnya perlahan-lahan. Dia bernyanyi pelan dan membe