Air mata Erlin jatuh membasahi pipinya. Setiap tetes menyerap riasan yang dikenakannya. Sorot matanya pun memancarkan rasa haru dan sesuatu yang sulit diungkapkan. Yang pasti, itu adalah perasaan penyesalannya."Rey, maafkan aku," gumamnya dengan suara yang lirih.Sejenak, Erlin menyeka bulir hangat yang kembali lolos dari pelupuk matanya, ia segera berbalik badan, lalu pergi dari ballroom tersebut dengan hati yang teramat kacau.Langkah Erlin terdengar lemah, hampir tak terdengar di antara riuhnya keramaian pesta. Ia mencoba menyelipkan diri keluar dari ballroom, meninggalkan kekacauan emosinya di belakang.Bella melihat kepergian Erlin dari hadapannya, ia pun segera mengikuti ke mana langkah Erlin berlalu.Bella dengan cepat mengikuti langkah Erlin yang semakin menjauh. Ia merasa perlu untuk berbicara dengan wanita itu. Wanita yang sudah menjadi penghalang bagi hubungan dirinya dan Daffa, sampai wanita itu rela tidur dengan mantan kekasihnya. Bella bersumpah, ia tidak akan membiarka
Rey menggandeng tangan Delisha dengan perlahan dan membawanya turun dari atas podium. Mereka berdua berjalan di tengah-tengah kerumunan tamu yang sedang menikmati pesta. Sesekali, tamu-tamu tersebut memberikan ucapan selamat kepada pasangan baru ini.Delisha merasa sedikit canggung. Namun, ia begitu bahagia. Rey selalu ada di sisinya, memberikan dukungan dan kekuatan. Mereka menuju ke suatu sudut yang agak sepi untuk bisa berbicara dengan lebih tenang."Rey, terima kasih untuk semuanya," ucap Delisha dengan tulus.Rey tersenyum manis. "Kamu tahu bahwa aku akan melakukan apa pun untukmu, Sayang."Mereka saling memandang dengan mata penuh cinta. Beberapa saat kemudian, Anna dan Bu Ranti menuju Rey dan Delisha berada, dengan wajah penuh rasa sesal yang terpancar dari raut wajah Bu Ranti. Bu Ranti dengan gugupnya mencoba untuk meminta maaf atas perlakuan buruknya selama ini terhadap Delisha."Tuan Rey, Delisha. Mmm … maksud saya, Bu Delisha. Saya sungguh minta maaf atas semua perlakuan b
Di Mansion Wijaya, Jonathan yang baru saja sampai begitu khawatir dengan keadaan putrinya, Bella, ia kira Bella sudah pulang ke Mansion Wijaya terlebih dulu. Namun, ternyata anaknya belum juga pulang sampai sekarang."Ma, di mana Bella? Kenapa dia tidak ada di Mansion juga?" tanya Jonathan dengan raut wajah yang sudah khawatir.Juwita menggelengkan kepalanya. "Mama, juga tidak tahu, Pa. Mama kira juga dia sudah pulang," jawabnya juga yang sudah khawatir.Jonathan memutuskan untuk menghubungi Bella. Ia mengambil ponselnya dan mencari nomor Bella dalam daftar kontak.Beberapa kali panggilan tak diangkat membuatnya semakin cemas. Jonathan mencoba untuk tetap tenang. Namun, kekhawatiran terus menggerogoti pikirannya.Tiba-tiba, suara pintu Mansion terbuka, dan Bella memasuki Mansion tersebut. Wajahnya pucat, dan terlihat sedikit tergopoh-gopoh. Sejenak, ia menghentikan langkahnya terlebih dulu, dan menyandarkan tubuhnya di pintu yang masih terbuka."Bella, dari mana saja kamu?" tanya Jona
"Bagaimana, Sayang? Sudah mendingan?""Rey, aku sudah membaik, tapi aku begitu bosan bila tidak melakukan kegiatan apa-apa," ujar Delisha."Tapi dokter melarangmu untuk melakukan kegiatan apa pun, Sayang."Delisha memandang Rey dengan ekspresi antara kesal dan frustrasi. "Aku tahu, Rey, tapi aku merasa seperti terperangkap di dalam Mansion ini. Aku ingin melakukan sesuatu."Rey mengusap lembut tangan Delisha. "Kamu harus sabar, Sayang. Kesehatanmu lebih penting daripada kegiatan apa pun. Kita akan menunggu hingga dokter memberikan lampu hijau."Delisha mengangguk dengan setuju, meskipun masih terlihat agak sulit menerima larangan tersebut. "Aku tahu, Rey. Terima kasih atas perhatiannya."Rey tersenyum manis. "Tidak perlu berterima kasih, Sayang. Yang penting, kamu harus sembuh sepenuhnya."Beberapa saat kemudian suara ponsel Rey terdengar cukup nyaring, ia langsung mengambil ponselnya dengan segera, Rey melihat ada nama Abbas yang memenuhi layar ponselnya, ia pun langsung mengangkat p
Rey akhirnya selesai dengan tugas-tugasnya. Ia segera meninggalkan kantor dan kembali ke rumahnya dengan cepat, ingin memastikan Delisha baik-baik saja. Saat mobilnya memasuki halaman rumah mereka, ia merasa lega melihat rumah minimalisnya yang kokoh berdiri dengan megah.Rey segera memasuki rumah dan berlari ke arah kamar Delisha. Saat ia membuka pintu, senyum lega terukir di wajahnya melihat Delisha sedang membaca buku di sofa."Sayang, aku sudah kembali," sapa Rey dengan penuh kebahagiaan. Delisha mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum manis."Rey, kamu cepat sekali. Bagaimana kerjamu hari ini?" tanya Delisha.Rey menghampiri sofa dan duduk di samping Delisha. "Hari ini cukup sibuk, tapi sekarang aku bisa lebih tenang karena melihatmu baik-baik saja."Delisha membalas senyuman Rey dengan manis. "Aku merindukanmu, Sayang."Rey memegang tangan Delisha dengan penuh kelembutan. "Aku juga, Sayang. Aku akan selalu ada untukmu."Mereka saling bertatapan, penuh cinta dan rasa syukur a
Wangi sedap dari masakan Bi Yanti mulai terhambur di seluruh ruangan, mengisi ruang dengan aroma yang menggoda. Delisha bisa merasakannya sejak ia membuka pintu kamar. Aroma itu mengelilingi ruang dengan kehangatan yang mengundang selera.Setiap langkah Delisha semakin mendekat ke dapur, semakin kuat pula aroma masakan itu. Bau rempah-rempah dan daging yang sedang dimasak bersama-sama menyatu, menciptakan aroma khas masakan rumah yang begitu menggugah selera.Ketika Delisha memasuki dapur, Bi Yanti tampak sibuk di sekitar kompor. Ia dengan hati-hati memasak hidangan yang akan memanjakan lidah majikannya. "Selamat pagi, Bi Yanti," sapa Delisha sambil tersenyum lebar.Bi Yanti tersenyum ramah. "Selamat pagi, Nyonya. Sebentar lagi sarapannya sudah siap."Delisha mengangguk. "Ya, Bi. Saya udah gak sabar ingin segera makan. Wangi dari masakan Bibi sungguh menggugah selera."Bi Yanti tertawa kecil. "Terima kasih, Nyonya. Nyonya duduklah. Sarapan akan segera siap."Delisha pun mengambil tem
"Siapa?" gumam Delisha bermonolog.Delisha segera turun dari tempat tidur, untuk melihat siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Atau mungkin Anna? Tapi mana mungkin, pagi ini Anna pasti sedang kerja. Setelah beberapa bulan lamanya, akhirnya Delisha memutuskan untuk tidak bekerja lagi, selain dari tuntutan suami dan juga ibu mertuanya yang takut terjadi apa-apa kepadanya dan juga janinnya. Lalu pada akhirnya, Delisha pun mendengarkan mereka.Setelah berada di depan pintu, Delisha memutar handle pintu, betapa terkejutnya ia ketika melihat Erlin yang ada di depannya kini."Erlin."Mata Delisha membulat seketika ketika ia melihat wajah Erlin di balik pintu. Tubuhnya tiba-tiba menegang, dan detak jantungnya berdebar kencang. Erlin, mantan tunangan Rey, seorang wanita yang selalu membawa beban luka lama yang bangkit kembali dalam ingatannya."Erlin, mau ngapain kamu ke sini?" desis Delisha, suaranya penuh dengan kebingungan dan begitu sangat terkejut.Erlin memandang Delisha dengan tatapan ta
"Erlin!" teriak Rey dengan suara tegas. "Apa yang kau lakukan di sini?"Erlin menoleh ke arah Rey dengan ekspresi yang tidak kalah marah. "Rey, kau akan membayar atas semua ini! Kalian semua akan menyesal!"Namun, sebelum Erlin bisa melanjutkan kata-katanya, Abbas dengan sigap mendekatinya dan mencoba untuk menahan Erlin. "Erlin, kau harus tenang! Ini bukan cara untuk menyelesaikan masalah."Erlin akhirnya melepaskan diri dari cengkraman Abbas dan dengan marah melangkah ke belakang. Dia menatap Delisha dengan tatapan penuh kebencian. "Kalian tidak akan pernah bahagia! Aku akan memastikan itu!"Tanpa kata lagi, Erlin berbalik badan dengan cepat meninggalkan ruangan. Namun, ketika Erlin akan meninggalkan ruangan. Ia merasakan detak jantungnya berdegup kencang begitu melihat barisan polisi yang menghadangnya. Matanya memandang ke sekeliling, mencari peluang untuk melarikan diri. Namun, ia tahu bahwa peluangnya sangat tipis. Dia telah melakukan terlalu banyak hal yang salah, dan kini akh
Delisha yang duduk di dekatnya mengangkat alis, ekspresinya penuh tanda tanya. "Ada apa, Sayang?"Rey memandang Delisha dengan serius. "Ada masalah yang perlu aku selesaikan sekarang juga. Aku harus pergi sebentar."Delisha melihat ke dalam mata Rey, memahami keadaan darurat yang tengah dihadapinya. "Aku akan menemanimu, Rey."Rey mengangguk, setelah menitipkan Gilang kepada Arumi dan Emran dengan cemas di hati, Rey dan Delisha segera menuju mobil mereka. Mereka berkendara dengan cepat menuju rumah sakit, hati mereka dipenuhi kekhawatiran yang begitu mendalam.Rey dan Delisha masih duduk di dalam mobil, perasaan heran dan kebingungannya tergambar jelas di wajah mereka. Delisha memutuskan untuk mengungkapkan pertanyaannya."Rey, bagaimana bisa Erlin dimasukkan ke rumah sakit jiwa?" tanya Delisha dengan perasaan herannya. Suaranya penuh dengan rasa ingin tahu dan kebingungan yang sudah merajainya.Rey mengedikkan bahunya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan da
Delisha tersenyum bahagia saat menaburkan bedak halus pada tubuh mungil Gilang. Bayi kecil itu terlihat begitu tenang, matanya berkilauan dari kebersihan setelah mandi. Udara di ruangan itu terasa hangat dan penuh kasih.Sambil memandang putranya, Delisha mulai memutar dalam benaknya rencana untuk hari ini. Ia ingin membawanya ke taman bermain di dekat Mansion Wijaya, tempat di mana mereka dapat menikmati matahari bersama-sama. Delisha juga berencana untuk mengunjungi toko mainan setelahnya, memberikan Gilang kesempatan untuk memilih mainan kesukaannya.Saat Delisha sibuk dengan Gilang, Rey menyaksikan adegan itu dengan penuh kebahagiaan. Langkahnya pelan melintasi ruangan, dan ia menghampiri Delisha dengan senyum lebar di wajahnya."Kamu selalu begitu hebat, Sayang," ucap Rey dengan lirih. "Gilang sungguh beruntung memiliki ibu sepertimu."Delisha tersenyum dan membalas, "Kita beruntung memiliki dia dalam hidup kita, Rey. Dia membawa begitu banyak kebahagiaan."Rey memeluk Delisha er
"Maafkan aku, Rey, aku belum siap bertemu dengan kamu. Aku ingin menenangkan pikiranku sejenak," gumam Delisha lirih.Delisha berbalik dari jendela dan melangkah perlahan ke arah tempat tidurnya. Ia mengambil napas dalam-dalam, melihat ke arah putranya yang sedang tertidur pulas.Delisha menatap putranya yang sedang tertidur pulas dengan penuh kasih sayang. Gilang adalah sumber kekuatan dan kebahagiaannya. Meskipun mereka sedang menghadapi masa sulit, kehadiran Gilang selalu memberi mereka alasan untuk tetap kuat.Dengan hati yang penuh harap, Delisha duduk di samping tempat tidur Gilang, mengelus lembut pipinya. "Kamu adalah keajaiban dalam hidup Mama, Nak. Bersamamu, Mama selalu merasa terlindungi."Kemudian, Delisha membiarkan dirinya terlelap di samping putranya. Meskipun pikirannya penuh dengan kekhawatiran, kelembutan napas Gilang membawanya ke dalam alam mimpi yang damai.Sementara itu, Rey menunggu dengan sabar di mobil, memberi Delisha ruang dan waktu yang ia butuhkan. Ia mem
"Papa, Rey!" teriak Arumi tiba-tiba, muncul di dekat mereka dengan wajah yang penuh kepanikan."Kenapa, Ma?" tanya Rey dengan kening terangkat, keheranan jelas terpancar dari wajahnya."Delisha, dia dan Gilang tidak ada di kamar," ujar Arumi dengan napas yang terengah-engah.Rey dan Emran saling pandang, keduanya terkesiap. "Apa?" seru mereka hampir bersamaan, kekhawatiran mencengkam hati mereka.Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju kamar Delisha. Setelah berada di kamar, mereka melihat kamar itu kosong, tempat tidur yang biasanya digunakan Delisha masih rapi. Tapi ketiadaannya bersama Gilang menimbulkan rasa cemas yang semakin mendalam.Emran mencoba menghubungi Delisha melalui telepon, tapi tak ada jawaban. Tatapan panik mengisi matanya. "Rey, kita harus mencarinya sekarang juga!"Rey mengangguk, tak ada waktu untuk memikirkan segala hal. Mereka berdua keluar dari Mansion dengan langkah cepat, berencana untuk memeriksa setiap tempat yang mungkin menjadi tujuan Delisha.Rey s
Ruangan kerja Rey dipenuhi dengan suara dari klakson kendaraan dan hiruk pikuk kota yang sibuk. Rey duduk di meja kerjanya, mata terfokus pada tumpukan dokumen dan laporan yang tersebar di sekitarnya. Ia sibuk menyelesaikan tugas-tugasnya, tak menyadari waktu yang berlalu begitu cepat.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka dengan cepat. Abbas, sekretaris setia Rey, memasuki ruangan dengan napas terengah-engah. Wajahnya tampak pucat dan khawatir."Rey," panggil Abbas dengan suara terbata-bata.Rey mengangkat pandangannya dari dokumen-dokumen di meja. "Ada apa, Abbas?"Abbas menelan ludah, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Ini penting, Rey. Aku harus memberitahumu sesuatu yang tak bisa kau percayai."Rey menatap Abbas dengan penuh kekhawatiran, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Sebuah desiran rasa cemas melintas di dalam dadanya. "Baik, apa yang terjadi? Tenanglah, Abbas. Katakan dengan tenang. Apa kejadian ini menyangkut orang yang sudah menculik Delisha?"Abbas mengambil
Malam telah berlanjut dengan langit yang menggelap, menciptakan latar belakang yang terasa bahagia. Rey dan Delisha yang sedang asyik makan malam, mengisi malam mereka dengan tawa dan cerita. Namun, tiba-tiba, mata Delisha tertuju kepada sosok seorang lelaki yang memiliki tubuh gempal. Sorot matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.Rey, yang merasa curiga melihat ekspresi istrinya yang sudah berubah, segera bertanya dengan khawatir. "Sayang ada apa?" tanyanya dengan nada cemas.Delisha menelan ludah, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. "Rey, le-lelaki itu yang dulu telah menculikku," ujar Delisha bergumam begitu lirih.Rey merasa detak jantungnya berdegup kencang mendengar pengakuan itu. Dia langsung menoleh ke arah sosok lelaki yang ditunjuk oleh istrinya. Lelaki itu memiliki tubuh yang berisi dan kepala botak. Wajahnya terlihat kusam, dan tatapannya kosong.Delisha gemetar, ingatan akan masa lalunya yang traumatis mulai kembali menghantui dirinya. Dia merasa pusing dan ti
Rey duduk di sofa sambil memperhatikan istrinya, Delisha, yang tampak kelelahan setelah seharian mengurus Gilang, putra kecil mereka yang menggemaskan. Wajah Delisha pucat, matanya sayu. Namun, tetap penuh kasih sayang saat ia memeluk Gilang yang tertidur pulas dalam gendongannya."Sayang," Rey mengelus lembut pundak Delisha, "aku merasa kasihan melihatmu. Mengurus Gilang seharian pasti melelahkan."Delisha tersenyum lemah. "Iya, tapi ini adalah tanggung jawab kita bersama, kan? Aku tidak keberatan."Rey memahami kesetiaan Delisha terhadap tanggung jawab sebagai ibu. Namun, ia juga tidak ingin melihat istrinya kelelahan terus-menerus. Ia pun mencoba untuk menemukan solusi."Mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk menyewa baby sitter untuk membantu kita, Sayang. Itu akan meringankan bebanmu sedikit," usul Rey dengan nada lirihnya.Delisha terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Aku menghargai tawaranmu, Rey, tapi aku ingin meluangkan waktu sebanyak mungkin dengan Gilang. Ini momen-momen be
Rey memandang Erlangga dengan pandangan yang tajam dan penuh tanda tanya saat mendengar penjelasan Erlangga tentang mengapa ia ingin melepaskan putrinya, Erlin, dari penjara."Bukti-bukti yang belum terungkap? Semua bukti sudah ada dan Erlin lah penyebabnya," ucap Rey dengan nada keras. "Saya ingin bertanya, mengapa Anda begitu menginginkan Erlin untuk keluar dari penjara setelah apa yang sudah dia perbuat? Bukannya dulu Anda sendiri yang mencampakkan Erlin?"Erlangga merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Rey itu. Ia merenung sejenak sebelum menjawab dengan jujur, "Rey, kamu memang benar. Dulu, aku memutuskan hubungan dengan Erlin dan meninggalkannya ke luar negeri. Aku tidak bangga dengan keputusan itu, dan aku merasa bersalah atas bagaimana aku telah memperlakukan dia. Tapi Erlin adalah anakku, dan aku tidak ingin dia menghabiskan hidupnya di dalam penjara. Aku masih menyayanginya, Rey. Aku datang ke sini untuk menebus kembali kesalahanku kepada Erlin."Rey mend
Delisha duduk dengan penuh kasih sayang di sofa, bayinya yang bernama Gilang terus menangis di pangkuannya. Rey, suaminya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja, merasa iba melihat istrinya yang sepertinya sudah sangat lelah mengurus Gilang."Sayang, apa yang terjadi? Apakah Gilang merasa tidak nyaman?" tanya Rey seraya menghampiri Delisha yang sedang duduk di sofa.Delisha mengernyitkan keningnya, mencoba mencari tahu penyebab dari tangis Gilang. "Aku tidak yakin, Rey. Aku sudah mencoba segalanya. Mungkin dia lapar atau mengantuk."Rey mencoba memberikan saran, "Mungkin dia butuh susu tambahan. Apa kamu ingin aku mengambilkan susu formula?"Delisha menggeleng cepat, lalu berkata, "Tidak, Rey. Aku ingin memberi ASI eksklusif kepada Gilang. Aku tahu itu penting untuk pertumbuhannya.""Tentu saja, Sayang. Aku mendukungmu sepenuhnya," kata Rey dengan penuh dukungan.Delisha mencoba menenangkan Gilang dengan mengayun-ayunkan tubuhnya perlahan-lahan. Dia bernyanyi pelan dan membe