Di Mansion Wijaya, Jonathan yang baru saja sampai begitu khawatir dengan keadaan putrinya, Bella, ia kira Bella sudah pulang ke Mansion Wijaya terlebih dulu. Namun, ternyata anaknya belum juga pulang sampai sekarang."Ma, di mana Bella? Kenapa dia tidak ada di Mansion juga?" tanya Jonathan dengan raut wajah yang sudah khawatir.Juwita menggelengkan kepalanya. "Mama, juga tidak tahu, Pa. Mama kira juga dia sudah pulang," jawabnya juga yang sudah khawatir.Jonathan memutuskan untuk menghubungi Bella. Ia mengambil ponselnya dan mencari nomor Bella dalam daftar kontak.Beberapa kali panggilan tak diangkat membuatnya semakin cemas. Jonathan mencoba untuk tetap tenang. Namun, kekhawatiran terus menggerogoti pikirannya.Tiba-tiba, suara pintu Mansion terbuka, dan Bella memasuki Mansion tersebut. Wajahnya pucat, dan terlihat sedikit tergopoh-gopoh. Sejenak, ia menghentikan langkahnya terlebih dulu, dan menyandarkan tubuhnya di pintu yang masih terbuka."Bella, dari mana saja kamu?" tanya Jona
"Bagaimana, Sayang? Sudah mendingan?""Rey, aku sudah membaik, tapi aku begitu bosan bila tidak melakukan kegiatan apa-apa," ujar Delisha."Tapi dokter melarangmu untuk melakukan kegiatan apa pun, Sayang."Delisha memandang Rey dengan ekspresi antara kesal dan frustrasi. "Aku tahu, Rey, tapi aku merasa seperti terperangkap di dalam Mansion ini. Aku ingin melakukan sesuatu."Rey mengusap lembut tangan Delisha. "Kamu harus sabar, Sayang. Kesehatanmu lebih penting daripada kegiatan apa pun. Kita akan menunggu hingga dokter memberikan lampu hijau."Delisha mengangguk dengan setuju, meskipun masih terlihat agak sulit menerima larangan tersebut. "Aku tahu, Rey. Terima kasih atas perhatiannya."Rey tersenyum manis. "Tidak perlu berterima kasih, Sayang. Yang penting, kamu harus sembuh sepenuhnya."Beberapa saat kemudian suara ponsel Rey terdengar cukup nyaring, ia langsung mengambil ponselnya dengan segera, Rey melihat ada nama Abbas yang memenuhi layar ponselnya, ia pun langsung mengangkat p
Rey akhirnya selesai dengan tugas-tugasnya. Ia segera meninggalkan kantor dan kembali ke rumahnya dengan cepat, ingin memastikan Delisha baik-baik saja. Saat mobilnya memasuki halaman rumah mereka, ia merasa lega melihat rumah minimalisnya yang kokoh berdiri dengan megah.Rey segera memasuki rumah dan berlari ke arah kamar Delisha. Saat ia membuka pintu, senyum lega terukir di wajahnya melihat Delisha sedang membaca buku di sofa."Sayang, aku sudah kembali," sapa Rey dengan penuh kebahagiaan. Delisha mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum manis."Rey, kamu cepat sekali. Bagaimana kerjamu hari ini?" tanya Delisha.Rey menghampiri sofa dan duduk di samping Delisha. "Hari ini cukup sibuk, tapi sekarang aku bisa lebih tenang karena melihatmu baik-baik saja."Delisha membalas senyuman Rey dengan manis. "Aku merindukanmu, Sayang."Rey memegang tangan Delisha dengan penuh kelembutan. "Aku juga, Sayang. Aku akan selalu ada untukmu."Mereka saling bertatapan, penuh cinta dan rasa syukur a
Wangi sedap dari masakan Bi Yanti mulai terhambur di seluruh ruangan, mengisi ruang dengan aroma yang menggoda. Delisha bisa merasakannya sejak ia membuka pintu kamar. Aroma itu mengelilingi ruang dengan kehangatan yang mengundang selera.Setiap langkah Delisha semakin mendekat ke dapur, semakin kuat pula aroma masakan itu. Bau rempah-rempah dan daging yang sedang dimasak bersama-sama menyatu, menciptakan aroma khas masakan rumah yang begitu menggugah selera.Ketika Delisha memasuki dapur, Bi Yanti tampak sibuk di sekitar kompor. Ia dengan hati-hati memasak hidangan yang akan memanjakan lidah majikannya. "Selamat pagi, Bi Yanti," sapa Delisha sambil tersenyum lebar.Bi Yanti tersenyum ramah. "Selamat pagi, Nyonya. Sebentar lagi sarapannya sudah siap."Delisha mengangguk. "Ya, Bi. Saya udah gak sabar ingin segera makan. Wangi dari masakan Bibi sungguh menggugah selera."Bi Yanti tertawa kecil. "Terima kasih, Nyonya. Nyonya duduklah. Sarapan akan segera siap."Delisha pun mengambil tem
"Siapa?" gumam Delisha bermonolog.Delisha segera turun dari tempat tidur, untuk melihat siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Atau mungkin Anna? Tapi mana mungkin, pagi ini Anna pasti sedang kerja. Setelah beberapa bulan lamanya, akhirnya Delisha memutuskan untuk tidak bekerja lagi, selain dari tuntutan suami dan juga ibu mertuanya yang takut terjadi apa-apa kepadanya dan juga janinnya. Lalu pada akhirnya, Delisha pun mendengarkan mereka.Setelah berada di depan pintu, Delisha memutar handle pintu, betapa terkejutnya ia ketika melihat Erlin yang ada di depannya kini."Erlin."Mata Delisha membulat seketika ketika ia melihat wajah Erlin di balik pintu. Tubuhnya tiba-tiba menegang, dan detak jantungnya berdebar kencang. Erlin, mantan tunangan Rey, seorang wanita yang selalu membawa beban luka lama yang bangkit kembali dalam ingatannya."Erlin, mau ngapain kamu ke sini?" desis Delisha, suaranya penuh dengan kebingungan dan begitu sangat terkejut.Erlin memandang Delisha dengan tatapan ta
"Erlin!" teriak Rey dengan suara tegas. "Apa yang kau lakukan di sini?"Erlin menoleh ke arah Rey dengan ekspresi yang tidak kalah marah. "Rey, kau akan membayar atas semua ini! Kalian semua akan menyesal!"Namun, sebelum Erlin bisa melanjutkan kata-katanya, Abbas dengan sigap mendekatinya dan mencoba untuk menahan Erlin. "Erlin, kau harus tenang! Ini bukan cara untuk menyelesaikan masalah."Erlin akhirnya melepaskan diri dari cengkraman Abbas dan dengan marah melangkah ke belakang. Dia menatap Delisha dengan tatapan penuh kebencian. "Kalian tidak akan pernah bahagia! Aku akan memastikan itu!"Tanpa kata lagi, Erlin berbalik badan dengan cepat meninggalkan ruangan. Namun, ketika Erlin akan meninggalkan ruangan. Ia merasakan detak jantungnya berdegup kencang begitu melihat barisan polisi yang menghadangnya. Matanya memandang ke sekeliling, mencari peluang untuk melarikan diri. Namun, ia tahu bahwa peluangnya sangat tipis. Dia telah melakukan terlalu banyak hal yang salah, dan kini akh
Rey menggigit bibirnya, tatapannya terpaku pada dokter. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanyanya yang sudah khawatirDokter menatap Rey dengan serius. "Kami telah mengevaluasi keadaan Delisha, dan saya harus memberitahu bahwa dalam situasi ini, kami merekomendasikan untuk melakukan operasi caesar segera. Hal ini untuk memastikan keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi."Arumi menatap Rey dengan mata penuh ketakutan, mencari kepastian dari anaknya. Rey meraih tangan Arumi dengan erat, mencoba menerima semua keputusan dokter."Saya akan melakukan apa pun yang diperlukan, Dokter, asalkan mereka berdua baik-baik saja," ujar Rey dengan tegas.Dokter mengangguk mengerti. "Kami akan segera mempersiapkan segalanya untuk operasi. Silakan bersiap-siap, dan jangan ragu untuk bertanya jika ada hal yang ingin Anda tanyakan.""Baik, Dokter, terima kasih," ujar Arumi.Setelah dokter pergi, Arumi mencoba menguatkan putranya."Rey, Mama tahu ini adalah ujian berat bagi kalian berdua. Tapi Mama yak
"Pa, bagaimana keadaan Delisha?" tanya Bella yang penasaran, setelah mendengar bila Delisha masuk ke rumah sakit, ia dan kekasihnya, Daffa, segera menuju ke rumah sakit untuk melihat keadaan Delisha.Bella ternyata sudah menerima Daffa kembali, wanita dengan rambut yang dikuncir satu itu pun akhirnya memberi kesempatan bagi Daffa untuk menjalin kasih kembali."Alhamdulillah, operasi berjalan dengan lancar. Baik Delisha maupun bayinya dalam keadaan baik-baik saja. Mereka membutuhkan istirahat dan pemulihan," ujar Jonathan."Kami boleh masuk, Pa?" Bella meminta izin untuk masuk ke dalam ruangan Delisha.Jonathan mengangguk. "Tentu boleh, Sayang."Bella dan Daffa pun masuk ke dalam ruangan Delisha. Mereka melihat Delisha yang terbaring tenang di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya pucat, tetapi terlihat damai. Rey duduk di sisi tempat tidurnya, memegang tangan Delisha dengan lembut. Mereka berdua terlihat lelah, tetapi senyuman kebahagiaan terukir di wajah mereka.Bella dan Daffa menghamp