"Menikahlah dengan kakak iparmu!" Perintah Ayah padaku.
Seketika aku terkejut. Bukankah aku diminta pulang untuk menyaksikan pernikahan kakakku. Tetapi kenapa aku malah diminta menikah dengan suaminya dan menjadi madu dari kakak iparku.
***
Hari ini, aku yang sudah lama merantau di kota diharuskan pulang oleh keluargaku. Aku pun menyanggupinya karena aku memang sudah merindukan halaman tempat tinggal yang telah lama tak kupijak.
Pagi buta setelah aku selesai beberes rumah. Aku berpamitan pada majikan. Sebenarnya ada rasa tak tega jika harus meninggalkan Andara, anak berumur 7 tahun yang sudah aku asuh sejak berumur 5 tahun.
Tangisnya pecah, begitu juga denganku. Pelukan erat yang kuberikan pada gadis kecil itu tak boleh dilepaskan. Namun, di jauh sana, pamanku sudah menunggu di terminal. Lelaki itu memberi kode agar aku segera melangkah ke bus yang sudah dipanaskan mesinnya sejak aku dan majikanku tiba di terminal.
"Andara, Mbak balik dulu ya. Nanti jika Mbak sudah selesai acaranya pasti kembali kok," ujarku seraya mengusap rambut lembutnya.
"Janji ya, Mbak," balasnya melepaskan pelukan karena ada sedikit tarikan dari sang mama.
"Iya, Sayang, Mbak janji," balasku penuh semangat untuk kembali bekerja pada orang baik itu.
Gadis kecil itu akhirnya mau melepaskan pelukan. Meski dengan berat hati ia lakukan. Begitu juga denganku. Air mata ini menetes tanpa pamit membasahi pipi. Sesekali aku menyekanya agar Andara segera berhenti menangis.
Akhirnya aku benar-benar berpisah dengan anak asuhku itu. Kemudian kaki ini melangkah memasuki bus yang akan melaju beberapa menit lagi. Sedangkan paman sudah duduk di kursi yang ia pesan, sekaligus kursiku.
Selama perjalan pulang, kami ngobrol biasa. Paman bercerita jika dia diminta menjemput karena ayah sedang sibuk mengurusi acara pernikahan.
"Memangnya Mbak Sinta mau menikah dengan kekasihnya?" tanyaku karena aku sendiri tak tahu siapa calon suami kakak tiriku itu.
"Sepertinya bukan, dia menikah karena untuk menebus hutang ibumu pada juragan Amran. Katanya hutangnya sampai ratusan juta dan ayahmu tak sanggup membayar. Makanya kakakmu dijadikan tebusan," jelasnya.
Seketika hati merasa iba pada kakak tiriku itu. Malang sekali nasibnya. Itu semua karena kesalahan ibunya. Memang sih ibu tiriku sukanya foya-foya dan menghabiskan uang ayah, sampai-sampai semua warisan peninggalan kakek dan nenek habis.
Sebab itulah, aku juga harus merantau demi membantu keuangan keluarga. Namun ternyata, ibu tiriku tetap saja masih berhutang sampai mengorbankan anaknya sendiri.
Selama perjalan pulang, paman banyak bercerita tentang keluargaku yang semakin kesusahan akibat ulah ibu tiriku. Katanya, ayah juga sering sakit-sakitan karena sudah semakin tua dan kebutuhan kian banyak, sedangkan tenaganya untuk bekerja sudah tidak seperti dulu lagi.
"Memangnya Mbak Sinta tak bekerja?" tanyaku yang tak percaya jika ayah sampai ikut ngutang juga demi memenuhi kebutuhan hidup.
"Tidak, Sinta setiap hari dia kerjaannya hanya main sama teman-temannya," sahut paman.
Padahal, hampir setiap bulan aku mentransfer uang pada mereka. Bahkan, terkadang uang khusus jajan pemberian majikan juga aku kirimkan. Tetapi, kenapa tetap saja kurang. Seboros apa mereka?
Tak terasa bus telah berhenti di terminal. Kemudian aku dan paman turun, lalu mencari angkot agar bisa sampai di rumah.
Setengah jam berlalu, aku dan paman sudah sampai di jalan masuk kampungku. Di pojok kampung terpasang janur kuning melengkung yang menandakan jika ada pernikahan.
Gegas aku membayar ongkos angkot. Paman membantuku membawa beberapa tas yang isinya adalah oleh-oleh dari majikanku. Mereka memberikanku uang tambahan dan beberapa kantong makanan untuk dibawa pulang. Berharap jika setelah acara pernikahan aku akan segera kembali ke rumah mereka.
Di depan rumah sudah terpasang tenda hajatan. Ketika aku menginjakkan kaki di halaman rumah. Ayah langsung menyambutku dengan penuh kebahagiaan. Senyumnya terus terukir kala menatapku.
Ada yang aneh menurutku. Biasanya tamu akan keluar masuk silih berganti. Tetapi kenapa ini tidak?
Di samping panggung resepsi, pria berkisar umur 45 tahun itu merentangkan tangan. Menyambut kedatanganku dengan pelukan. Tentu aku membalasnya dengan hangat. Segera aku berlari untuk mendekatinya agar bisa segera melepaskan rasa rindu yang menggebu.
"Akhirnya anak ayah pulang juga," ujarnya penuh kebahagiaan.
"Iya, Yah," jawabku melepaskan pelukan dan mencium punggung tangannya sebagai tanda rasa hormat.
"Ayo masuk dan segera istirahat, acara akad akan dilakukan sekitar 2 jam lagi dan acara resepsi nanti pukul 2 siang," ucap ayah mengajakku masuk rumah.
Pantas saja sudah tak banyak tamu berseliweran seperti sebelum acara pernikahan. Awalnya aku tampak kaget. Aku pikir jika tenda ini baru saja dipasang, ternyata malah acara pernikahan hari ini. Ya, sudahlah, itu artinya aku akan segera kembali bekerja lagi jika pernikahan telah selesai.
"Oh iya, kalau sudah istirahat, segera ke rumah bude Murni ya. Kakak kamu sedang dirias di sana," ucap ayah lalu dia meninggalkan aku sendiri agar beristirahat sejenak.
Tubuh yang lelah mampu membuatku terhanyut dalam tidur lelap. Sampai-sampai aku bangun sudah mendengar keributan di ruang tamu. Ketika mata benar-benar sudah terbuka lebar. Aku menatap pada jam dinding.
Seketika aku terkejut, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Sama sekali aku tak melihat akad dan resepsi. Gegas aku bangkit dari ranjang dan melihat apa yang terjadi di ruang tamu.
Ibu tiriku sedang menangis meraung-raung, bahkan dia juga menjejakkan kakinya di atas lantai. Ayah sudah berusaha menenangkan, tetapi tak ada gunanya.
Aku yang semakin penasaran pun akhirnya mendekat dan bertanya. Sebab, ibu seperti orang gila saat ini.
"Ini ada apa?" tanyaku dan malah mendapat bentakan dari ibu.
"Ini semua gara-gara kamu. Seandainya kamu ada di rumah, pasti Sinta tak jadi menikah dengan anak juragan Amran!"
Loh, loh, kenapa jadi aku yang disalahkan. Bukankah dia yang berhutang? Kenapa malah menyalahkan aku, dasar Mak Lampir!
"Jangan menyalahkan Salma dong, Bu. Jelas-jelas anak kamu yang kabur setelah acara resepsi," jawab ayah membelaku.
Apa? Mbak Sinta kabur setelah acara resepsi? Ini bagaimana ceritanya? Kenapa dia bisa kabur? Aneh-aneh saja. Seandainya berniat kabur, kenapa tidak dari kemarin-kemarin sebelum acara akad.
"Pokoknya ibu tidak mau tahu, Pak. Salma harus menjadi pengganti malam pertama bagi anak juragan Amran. Ibu tidak mau masuk penjara karena hutang, Pak, tidak mau," rengek ibu pada ayah.
Apa? Aku akan dijadikan pengganti malam pertama kakak tiriku. Tidak. Aku tidak mau. Itu sama saja aku berbuat zina.
"Tidak, Bu, aku tidak mau." Aku menolak mentah-mentah.
Kemudian ayah malah ikut mengiba. Memohon agar aku mau menggantikan kakak tiriku malam nanti.
"Ayah tega?" tanyaku mulai berurai air mata.
Pria itu ikut menangis. Mungkin ini adalah keputusan yang sulit baginya.
"Menikahlah dengan kakak iparmu!" Perintah ayah kala aku terus menolak permintaannya dengan alasan takut jadi dosa jika menjadi pengganti di malam pertama.
Namun, pada kenyataannya aku malah diminta untuk menjadi madu dari kakak tiriku.
Bagaimana ini? Kenapa malah aku yang bernasib malang? Sebenarnya apa alasan Mbak Sinta kabur?
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, kala ayah tiba-tiba pingsan tepat di depanku. Rasa tak tega menjadi alasan utama untuk menerima permintaan menjadi pengganti malam pertama sekaligus madu dalam pernikahan kakak tiriku."Baik kalau begitu, saya akan menikahkan Salma menjadi madu dari Sinta," ucap ayah setelah sadar.Acara akad dilakukan secara virtual, tak dihadiri oleh sang pengantin pria. Mungkin dia kelelahan setelah acara resepsi tadi. Aku pun memaklumi. Kini, aku telah sah menjadi madu dari kakak tiriku sendiri. Seketika itu juga, datang pria utusan dari juragan Amran. Yang tak lain adalah teman SMA aku dulu. Dia bekerja di rumah juragan Amran."Cie pengantin baru," goda Aldo padaku.Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya dengan kaos kaki yang saat ini aku lepas. Biar dia pingsan sekalian di dalam mobil Alphard ini. "Bisa diem nggak!" ketusku."Ehem, malam pertama nih ye. Enak tuh," godanya lagi dan aku pun meradang. Akhirnya aku layangkan pukulan tepat mengenai belakang kepalanya.
Argantara kini telah berada tepat di belakangku, bahkan ia sempat mendengar jika aku mengatakan bodoh. Padahal umpatan itu bukan aku tujukan padanya. Namun, sepertinya lelaki itu akan salah sangka terhadapku. Seketika aku menundukkan kepala. Rasa takut menguasai diriku. Apalagi aku mulai terbayang malam pertama yang akan kami lalui. Terlihat begitu mencekam, di mana aku belum pernah berpacaran sama sekali. Tetapi, malam ini aku harus tidur satu ranjang dengan pria asing."Arga, setelah mandi, ajak istrimu makan malam." Suara ibu mertua terdengar dari arah tangga."Iya, Ma," jawab Argantara menoleh ke sudut tangga."Kamu mau minggir atau tetap di depan pintu?" tanyanya lembut.Padahal jantungku sudah seperti mau copot saja. Aku pikir dia akan marah setelah mendengar kata bodoh tadi. Tetapi ternyata, dugaanku salah besar. Lelaki itu hanya berkata demikian. Namun, tetap saja aku tak kagum dengan sikapnya."Aku akan minggir," jawabku lalu bergeser sedikit untuk memberinya jalan masuk ke
"Sebenarnya aku minta papa untuk menikahkan aku dengan anak pak Handoko, tetapi ternyata ....""Ternyata papa salah tangkap. Papa pikir jika yang dimaksud adalah Sinta, ternyata itu kamu." Juragan Amran mendelik malu."Maafkan papa karena kesalahan itu, semuanya jadi runyam begini. Apalagi tidak mungkin juga Argantara langsung menceraikan Sinta setelah akad. Tapi ternyata tak disangka, eh Sinta malah kabur setelah resepsi," imbuhnya lalu mendekat pada kami.Mungkin perbincangan aku dan Argantara terdengar hingga luar ruangan. Sehingga Juragan Amran lebih memilih masuk dan ikut menjelaskan."Salma, papa minta maaf. Papa yang salah dan bukan Argantara. Jangan hukum dia dengan kamu jutek seperti itu. Dia itu tulus mencintai kamu. Jadi, papa mohon terima dia jadi suamimu."Aku langsung menyela. Rasanya tetap saja aku tak terima. Di sini dia yang bersalah, tetapi kenapa aku yang dihukum dengan menjadikan aku madu."Kenapa harus memintaku menjadi madu dalam pernikahan kakak tiriku. Aku juga
Lagi dan lagi dia hampir membuatku mati mendadak karena jantung yang terpompa sangat cepat."Morning kiss," ucapnya setelah menciumku tanpa ijin dan pergi begitu saja tanpa kata maaf.Dalam hati aku menggerutu. Tidak bisakah dia bangunkan aku hanya sekedar meminta ijin saja. Astaga, tingkahnya membuatku jengkel saja. Apa dia pikir aku ini adalah miliknya yang bisa diapakan semaunya?Aku menatap punggung tegap tanpa atasan itu. Gegas aku kembali menutup mata saat ia menoleh padaku. "Maafkan aku," lirihnya lalu berbalik lagi dan segera berganti pakaian.Setelahnya ganti baju, ia baru membangunkan aku dan mengajak untuk melaksanakan shalat subuh. Aku pun berpura-pura mengucek mata. Agar terlihat seperti orang baru bangun tidur."Nggak usah mandi, kan semalam kita nggak ngapa-ngapain," ujarnya kala aku menyambar handuk bekas miliknya. Tentu aku tidak tahu di mana handuk yang lain, karena aku juga baru pertama kali ada di sini."Siapa tahu kamu cari kesempatan saat aku tidur," tandasku da
Namun, tiba-tiba saja datang seorang gadis kecil tetangga rumah dengan tergesa-gesa. "Bu Hesti!" teriaknya dengan napas tersengal."Kenapa?" tanya ibu acuh."Suami ibu," jawabnya masih berusaha mengatur napas."Iya suami saya kenapa?" Ibu terlihat kesal."Atur napas dulu baru bicara," ucap Argantara dan bocah itu patuh. Ia mengatur napas dan setelah teratur kembali berbicara."Bu, pak Handoko, Bu." Wajahnya terlihat panik."Ada apa dengan ayah?" tanyaku mendekat padanya."Pak Handoko kecelakaan, Mbak," jawabnya."Di mana?""Depan pasar, Mbak. Dia sekarang dibawa ke rumah sakit dekat pasar," jawabnya lagi.Tanpa berpikir panjang, aku langsung pergi menuju rumah sakit. Namun, Argantara malah mencekal tanganku."Ayah kecelakaan dan aku harus ke rumah sakit!" Aku membentaknya."Kita ke rumah sakit sama-sama," jawabnya kemudian menarik tanganku masuk mobil.Seketika aku merasa bersalah. Padahal dia berniat baik, tetapi aku selalu menganggapnya buruk. Berkali-kali aku beristighfar dalam ha
Ketika aku terus menatap ibu dengan penuh tanya. Tiba-tiba ibu majikan menepuk bahuku pelan."Astaghfirullah, yang sabar ya, Nak. Padahal ibu ke sini sebenarnya ... ah sudahlah, mungkin takdir Tuhan berkata lain," ucapnya.Kenapa mereka kalau berbicara setengah-setengah sih, aku kan jadi makin pusing."Sebe-nar ...." Belum sempat aku melanjutkan pertanyaan, ibu majikan malah berpamitan."Kalau begitu saya pamit ya, Sal. Ini ada sedikit dari ibu, semoga bermanfaat ya." Ibu majikanku memberikan amplop. Kemudian setelah mereka pergi, amplop itu langsung diminta oleh ibu."Kamu nggak usah pegang uang. Biar ibu saja!"Akhirnya aku memberikan amplop itu pada ibu, tetapi dengan satu syarat. "Apa yang ibu maksud dengan perebut laki orang? Bukankah ibu yang pelakor!" Aku menyodorkan amplop tetapi juga digenggam erat. Tentu ibu tidak akan menarik paksa karena takut uangnya sobek."Dulu ayah kamu adalah pacar ibu, tetapi gara-gara perjodohan. Kami harus berpisah dan ayah menikah dengan ibumu,"
Apa jangan-jangan dia hanya menghilangkan keringat setelah bermain dengan Mbak Sinta?"Mas!" teriak Aldo memanggil Argantara dan pria itu menoleh."Ayo ke sana," ajak Aldo tetapi aku menolak.Untuk apa aku ke sana. Yang ada aku akan semakin sakit hati. Bisa saja dia kelelahan terus memilih tiduran di sana untuk menghilangkan penat dan keringat."Nggak ah, aku masuk aja," tolakku ketus, lalu bangkit dan bersiap masuk rumah.Namun, ketika kaki mulai melangkah."Mau kemana?" Argantara sudah berjalan ke arah teras. "Masuk," jawabku sinis."Tunggu!""Apa lagi?" tanyaku ketus."Jangan lupa pakai selimut kalau tidur," ujarnya dan aku mengangguk. Dalam hati bertanya, kenapa dia bisa paham kalau aku tidur jarang pakai selimut.Kemudian dia berbalik badan lagi dan akan kembali ke gazebo. Ada rasa ingin tahu mengapa dia tidak masuk ke kamar. Tetapi aku tak berani berucap.Ketika aku membuka pintu. Mbak Sinta sudah ada di depan pintu dengan rambut acak-acakan dan baju tak beraturan. Apalagi kanc
"Kamu si manis?" Argantara mengangguk dan kembali mengeratkan pelukan."Jadi kamu menikahiku karena ....""Karena janjiku pada si imut. Aku tidak butuh pacaran, tetapi langsung menikah. Tak perlu mawar, tetapi mahar. Tak perlu menembak asal terucap akad."Astaga, kata-kata itu adalah pesan yang dia kirim sekitar dua bulan lalu. Aku ingat betul malam itu. Ketika aku baru saja memposting cerita tentang wanita yang dinikahi tanpa pacaran dan hanya kenal di sosial media. Dia lah yang komen paling pertama, di situ komunikasi kami berlanjut hingga ke aplikasi ungu hingga sekarang.Ya Tuhan, ternyata doaku kau ijabah. Pria yang aku agungkan dalam doa akhirnya benar-benar menjadi suamiku. Walaupun pernikahan kami hanya siri, tetapi tetap saja doaku dikabulkan oleh-Mu. Mungkin juga Tuhan ingin menguji kesabaranku. "Bukankah sudah aku katakan jika aku mencintaimu dan bukan Sinta. Tapi kau malah memintaku mengajaknya ke sini dan setelahnya kau malah marah dengan membuat cerita seperti itu. Men
"Sayang, aku pergi sebentar ya," pamitnya tergesa-gesa."Temui pacar?""Ha?" Arga melongo."Temui wanita lain?" Aku menegaskan."Maksudnya apa sih?" Entah dia berpura-pura polos atau memang bingung dengan arah bicaraku."Menemui wanita lain," jawabku tegas."Wanita lain? Wanita siapa?""Pacar kamu lah," sahutku kian jengkel. Diajak bicara malah tidak jelas. Menyebalkan bukan."Ya Allah, jadi kamu curiga sama aku? Kamu pikir aku selingkuh gitu? Hm." Arga yang tadinya sudah bersiap pergi jadi balik lagi."Iya," ketusku."Ya ampun, Sayang. Aku tidak mungkin selingkuh. Ya Allah. Ini tadi itu ibu Hesti nyuri. Terus dia digrebek warga. Eh ada yang nelpon aku, katanya dia minta ganti rugi walaupun ibu Hesti sudah masuk penjara, dia tetap minta ganti rugi atas uang yang hilang sebelum Bu Hesti tertangkap," jawab Arga panjang lebar.Aku hanya diam. Antara yakin dan tidak dengan apa yang Arga sampaikan."Ya udah, nanti kalau aku sudah sampai sana aku video call biar kamu percaya," ujarnya lal
"Rashad dan Rashid juga bagus, aku suka," balas Arga mengulas senyum."Aku tidak akan memaksa kok, Mas," ujarku."Aku suka dengan nama itu, semoga menjadi pemimpin yang tegas dan selalu menegakkan kebenaran," ucap Arga yang ternyata ikut setuju dengan usulanku."Alhamdulillah," balasku.Kesepakatan diambil jika anak kami adalah Rashad dan Rashid. ***Dua hari sudah aku beristirahat dan dokter sudah memperbolehkan aku menemui kedua buah hati. Ini adalah kali pertama aku bertemu mereka. Hati ini begitu bahagia hingga aku tak bisa berucap apa-apa. Melihat mereka menggeliat membuat air mata jatuh begitu saja tanpa pamit. Ada rasa bahagia yang luar biasa.Perjuangan yang tak sia-sia hingga aku mengalami koma. Terbayar sudah semua rasa sakit yang aku rasakan waktu itu, di mana hanya wanita yang tahu nikmatnya melahirkan. Menahan rasa sakit berjam-jam. Mengorbankan nyawanya sendiri untuk berjihad di jalan Allah.Hari ini adalah kali pertama aku memberikan asi kepada mereka. Rasanya sungguh
Sayup-sayup aku mendengar suara Arga menyebut nama anak kita. Perlahan aku mengerjapkan mata. Meski terasa begitu sulit, aku terus berusaha hingga tampak seseorang sedang menangis berada di hadapanku.Wanita yang baru beberapa bulan bersamaku itu berdiri mengarah padaku. Dengan wajah yang terlihat begitu sembab.Suara yang tak asing bagi telingaku juga terdengar. Pelukan dilayangkan begitu saja padaku. Ia menangis sesenggukan dengan wajah menempel di dadaku, dialah suamiku.Argantara Pramudya, orang yang menemaniku berjuang melahirkan buah hati kami. Pria itu menangis seraya mengucap syukur yang tiada henti."Terima kasih Ya Allah, Engkau telah kembalikan Salma pada kami."Entah sudah berapa kali ia berucap. Aku yang masih dalam keadaan setengah sadar pun hanya mengaminkan doa itu dalam hati saja.Kemudian Arga mengangkat kepalanya, lalu mencium lembut keningku. Air matanya pun terus menetes.Apa yang baru saja terjadi denganku? Yang aku ingat adalah aku diminta dokter untuk melahirka
POV ArgaEntah sudah seperti apa wajahku saat ini. Entah pucat atau mungkin tak beraura sama sekali. Hati gelisah dan tak tahu harus melakukan apa kecuali berdoa. Meminta yang terbaik untuk Salma.Terdengar suara pintu terbuka dan aku segera berdiri. Berjalan cepat menemui dokter yang saat ini sedang menatap ke arahku."Bagaimana istri saya, Dok?""Maaf, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ....""Tapi apa, Dok?""Ibu Salma belum sadarkan diri, Pak. Ibu Salma mengalami koma," ujarnya dan seketika aku lemas tak berdaya."Koma,"lirihku menjerit dalam hati.Ibu mendekat dan memelukku dari samping. "Mungkin Salma butuh beristirahat sejenak, Nak," ujarnya memberiku semangat."Bu." Aku berbalik dan memeluknya erat."Doakan saja istrimu. Semoga dia akan segera sadar. Ingat, Nak, kamu masih ada dua jagoan kecil yang kini menunggu dikunjungi. Sekarang, temui mereka dan setelahnya kamu temui Salma. Ibu akan temani," ucap ibu melepaskan pelukan lalu mengusap wajahku lembut.Senyum
POV ArgaDua bulan kemudian ...."Dokter tolong!"Teriakku kala Salma merasakan sakit perut yang luar biasa. Kata Salma, dia merasakan seperti ingin buang air besar. Pagi tadi saat aku baru saja selesai dari kamar mandi. Aku merasakan ada yang aneh pada istriku. Dia seperti menahan sakit, tetapi saat ditanya, tidak apa-apa. Hanya sakit pinggang saja.Tentu aku sebagai suami merasa khawatir dengan keadaannya. Apalagi dia saat ini hamil besar dan sudah masuk masa-masa persalinan meski masih kurang sekitar 6 minggu. Namun, kata dokter, aku harus lebih mawas terhadap istriku. Sebab, sewaktu-waktu bisa saja melahirkan tanpa menunggu HPL."Kamu tidak apa-apa?" tanyaku setelah kami selesai makan. Wajahnya terlihat lebih pucat dari tadi pagi.Salma menjawab dengan menggelengkan kepala. Apa dia tidak ingin aku khawatir, sehingga memilih diam dan menggeleng serta menyembunyikan rasa sakitnya?Sesekali Salma mengusap perutnya. Mengambil napas perlahan lalu mengeluarkan perlahan."Wajahmu pucat
Namun, ketika aku membuka gerbang, bukan Arga yang ada di dalam mobil itu, tetapi Najas.Sejak kapan dia tahu alamat rumah ini? Dan mau apa dia ke sini?Lelaki itu turun dari mobil lalu mendekat padaku. Dengan cepat aku kembali menutup gerbang, tetapi Najas lebih cekatan."Tunggu, Sal!""Lepasin!" Aku berusaha berontak ketika tangan Najas kembali menyentuh tanganku."Aku hanya ingin ngobrol sama kamu sebentar saja.""Maaf, seorang istri akan berdosa jika menerima tamu seorang laki-laki. Jadi tolong, pergi!"Namun, ucapanku tidak digubris sama sekali oleh Najas. "Aku mencintaimu, Sal. Bercerai lah dengan Arga dan menikahlah denganku.'Aku menggeleng. "Jangan berbuat gil4, Najas. Aku dan Arga tidak akan bercerai. Tidak akan pernah bercerai kecuali maut yang memisahkan!" tandasku.Najas memang keras kepala, bahkan dia juga menutup pintu gerbang. Aku mulai khawatir. Bagaimana jika Najas berbuat nekad."Pulanglah, Najas, aku mohon," ibaku padanya.Tubuhku mulai gemetar saat Najas kian men
Hampir lima belas menit aku ada di dalam toilet bersama Arga yang kini menunggu di depan toilet. Sengaja aku mengajaknya masuk agar mereka tidak saling bertemu."Sayang, sudah belum?" tanya Arga."Iya, sebentar," jawabku.Aku harus menghubungi dokter Ariana terlebih dahulu. Menanyakan padanya apakah Najas memang diajak ke sini atau memang pria itu sengaja datang setelah tahu aku akan cek di sini."Halo, assalamualaikum," jawab dokter Ariana dari seberang telepon."Waalaikumsallam, Dok," balasku sedikit ragu. Tetapi aku harus yakin."Ada apa, Bu Salma?" tanyanya ramah."Apakah? Em ... maaf sebelumnya, apakah Najas masih ada di situ?"Dokter Ariana sedikit tertawa mendengar pertanyaanku yang sedikit berbisik."Dia sudah pulang, lelaki itu hanya meminta tanda tangan dariku. Prakteknya sudah selesai," jawabnya dan aku bisa bernapas lega.Saking bahagianya, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih dan langsung mengakhiri panggilan secara sepihak. Aku sadar ketika aku sudah keluar dan menga
"Arga!""Astaga, ganggu aja. Mau apa sih dia ke sini!" Arga berdecak kesal, begitu juga denganku. Kami bangkit bersama dan menghadap ke arah ibu tiriku yang sedang berjalan menuju teras."Hei. Kenapa semua harta juragan Amran kamu jual semua? Ha!""Memangnya apa urusan Anda dengan harta papa? Itu uang papa dan aku adalah anaknya," sahut Arga."Tapi Sinta juga berhak atas harta itu," engah ibu."Sinta juga sudah meninggal. Jadi, hanya aku yang berhak," balas Arga yang memang benar seperti itu kenyataannya. Hanya ibu saja yang gila akan harta, makanya dia mengusik."Dasar menantu jahat! Nggak mikirin mertua.""Anda hanya mantan mertua, jadi jangan harap aku akan memberikan warisan papa itu pada Anda. Sepeser pun tidak akan!"Ibu meradang mendengar penuturan dari Arga. Dia tidak terima kalau harta papa mertua dijual semua."Jahat kamu Arga!" Ibu menunjuk-nunjuk ke arah Arga."Cukup, Bu!" bentak Arga ketika ibu mulai tak terkendali."Jika sampai tangan ini menyentuh aku dan Salma. Maka a
"Iya, bukankah besok adalah hari ulang tahunmu?" Ah, aku sampai lupa jika besok usiaku genap 22 tahun. Ternyata suamiku itu benar-benar perhatian denganku. Ya Tuhan, kurang bersyukur bagaimana coba, setelah bertahun-tahun hidup dengan penuh air mata dan penyiksaan dari ibu tiri. Kini aku merasakan hidup dengan penuh kasih sayang dari orang yang begitu tulus mencintaiku.Ternyata dibalik setiap cobaan, akan ada hikmah yang datang. Sepertiku saat ini. Tak pernah terbayangkan jika akan menikah dengan seorang reader di fb.Soal cerita, selama hamil aku tak pernah lagi menulis. Mungkin bawaan anak kali ya, rasanya malas mau ngetik dan lebih suka scroll medsos dan main ular. Ah, snake adalah permainan yang paling aku suka sejak jaman hp jadul hingga muncul android."Maaf ya, rencananya aku akan buat pesta kecil-kecilan sekaligus syukuran atas kehamilanmu, tetapi karena ada musibah. Semua itu aku batalkan.""Tidak apa-apa, aku sudah tidak mual saja itu sudah hadiah paling terindah dari Tuha