"Sebenarnya aku minta papa untuk menikahkan aku dengan anak pak Handoko, tetapi ternyata ...."
"Ternyata papa salah tangkap. Papa pikir jika yang dimaksud adalah Sinta, ternyata itu kamu." Juragan Amran mendelik malu.
"Maafkan papa karena kesalahan itu, semuanya jadi runyam begini. Apalagi tidak mungkin juga Argantara langsung menceraikan Sinta setelah akad. Tapi ternyata tak disangka, eh Sinta malah kabur setelah resepsi," imbuhnya lalu mendekat pada kami.
Mungkin perbincangan aku dan Argantara terdengar hingga luar ruangan. Sehingga Juragan Amran lebih memilih masuk dan ikut menjelaskan.
"Salma, papa minta maaf. Papa yang salah dan bukan Argantara. Jangan hukum dia dengan kamu jutek seperti itu. Dia itu tulus mencintai kamu. Jadi, papa mohon terima dia jadi suamimu."
Aku langsung menyela. Rasanya tetap saja aku tak terima. Di sini dia yang bersalah, tetapi kenapa aku yang dihukum dengan menjadikan aku madu.
"Kenapa harus memintaku menjadi madu dalam pernikahan kakak tiriku. Aku juga punya hati, Tuan," ujarku menahan sesak di dada. Seharusnya dia tidak melakukan ini demi menebus kesalahannya pada sang anak.
"Papa tahu kamu sangat kecewa, Salma. Papa mengaku salah," jawabnya dengan raut wajah penuh penyesalan.
"Salma. Aku atas nama keluarga meminta maaf sebesar-besarnya atas kejadian ini. Aku berjanji akan menceraikan Sinta secepatnya. Toh dia sudah kabur setelah acara resepsi. Dan aku yakin jika dia tidak akan kembali lagi, maka setelahnya aku akan menceraikan dia," ujarnya tulus meminta maaf.
"Kamu pikir pernikahan ini main-main?" tanyaku meradang.
"Apakah orang kaya memang berlaku seperti itu pada orang miskin seperti kami?" Sambungku yang sudah sejak tadi tersulut emosi akhirnya keluar juga tanduknya.
Tentu aku sangat marah. Mereka mempermainkan pernikahan. Sekarang mungkin dia bilang mencintaiku, tetapi bisa saja dia juga menceraikan aku dengan alasan entah apa itu. Dan mungkin nanti nasibku sama seperti Mbak Sinta akan diceraikan hanya dengan masalah sepele.
"Bukan begitu maksudnya, Salma. Aku hanya ingin menjadikan kamu istri satu-satunya," terang Argantara mendekat padaku.
Aku yang kini posisinya sudah berdiri. Argantara pun ikut berdiri di hadapanku dan papanya. Tangannya juga berusaha menyentuhku, tetapi aku dengan gesit menghindar.
"Papa keluar ya, kalian selesaikan masalah berdua. Dan satu lagi Salma, papa sangat menyesal dan meminta maaf atas apa yang terjadi. Semua murni dari kesalahan papa yang tidak tanya lebih dulu pada Argantara, papa terlalu grusa-grusu dalam bertindak. Sekali lagi, papa minta maaf." Kedua tangan Juragan Amran memohon.
Aku masih terdiam. Rasanya sangat sakit setelah tahu semuanya. Bukannya aku senang, malah kecewa dan sakit hati walaupun tahu jika suamiku saat ini benar-benar mencintaiku.
Meskipun sudah dijelaskan oleh juragan Amran dengan sangat jelas, jika itu murni kesalahannya. Aku tetap saja marah pada Argantara. Jika dia sudah tahu akan menikahiku, kenapa dia tidak datang sendiri dengan melamarku pada ayah. Malah menyuruh orang tuanya hingga akhirnya malah kejadian seperti ini.
"Salma, maafkan aku. Mungkin aku salah," ucapnya sama-sama lembut seperti papa dan mamanya. Memang benar, jika buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sikap Argantara sama persis dengan kedua orang tuanya.
"Kamu memang salah," ketusku.
"Maka dari itu aku minta maaf," ucapnya lagi tapi masih dengan ekspresi yang sama.
"Kamu pikir aku senang dijadikan madu? Tidak sama sekali," sahutku melengos seraya mencebikkan bibir.
"Aku tahu tidak ada wanita yang mau dimadu, termasuk kamu, Sayang." Tangannya meraih daguku. Menghadapkan wajahku padanya.
"Maka dari itu aku akan menceraikan Sinta dan setelahnya aku akan menikahimu secara resmi."
Mendengarnya mengatakan itu, seharusnya aku bahagia. Karena doaku akhirnya dikabulkan oleh Allah. Yaitu menjadikan aku istri satu-satunya.
Akan tetapi, pada kenyataannya tidak demikian. Justru aku malah semakin hancur.
"Kenapa kamu tak datang saat acara akad? Jika kamu datang, pasti semua tidak akan terlambat," ucapku melotot, menatap tajam wajahnya yang tampan, "dan kenapa juga kamu tidak melamarku sendiri dan malah menyuruh orang tua kamu? Bahkan dengan alasan sebagai penebus hutang. Jika kamu mencintaiku, seharusnya kamu minta aku dengan baik-baik! Bukan seperti ini!"
Argantara menarik napas sejenak. Kemudian dia pun menjawab.
"Aku sedang kuliah di luar kota dan baru selesai wisuda dua hari yang lalu. Aku harus mengurus kepulangan terlebih dahulu," jelasnya tetap tidak marah walaupun aku sudah sangat marah.
"Hm, terus?"
"Aku pikir papa tahu jika anak pak Handoko itu kamu, ternyata papa tidak tahu. Makanya aku percaya sepenuhnya dengan papa. Dan saat akad, ternyata pesawat yang akan aku tumpangi mengalami keterlambatan take off karena cuaca buruk, bahkan hampir 3 jam. Akhirnya aku gagal pulang di saat akad hingga acara resepsi."
"Terus?" Aku masih memintanya untuk menjelaskan.
"Akhirnya Arka yang menggantikan aku saat acara resepsi. Dan ketika aku akan take off, Arka mengabarkan jika ternyata istriku kabur. Aku pun membuat status kehilangan. Namun, di situ ada yang komen dan bilang jika yang aku posting itu Sinta, bukan Salma. Awalnya aku masih ragu, apakah aku salah menikahi wanita. Usut punya usut, ternyata aku memang salah. Akhirnya papa meminta maaf lalu memintaku menikah lagi.'
"Dan kamu mau melakukannya? Tidak peduli jika wanita yang kau jadikan madu ini sakit hati, hancur dan kecewa!"
"Semua karena cinta," jawabnya enteng.
"Apa cinta itu harus kejam?"
Dia malah memelukku, bahkan saat aku berusaha menghindar. Ia bergerak lebih cepat. Dan kini aku malah menangis dalam dada bidangnya.
Tangannya mengusap-usap lembut rambutku. Kenapa dia harus tulus seperti ini? Kenapa? Aku menjerit dalam hati.
"Kita arungi bahtera rumah tangga bersama," ujarnya di sela-sela tangisku.
"Salma, apa kamu tidak penasaran kenapa aku ingin menikahimu?" tanyanya seraya melepaskan pelukan lalu menyeka air mataku.
Aku menggeleng dan berkata tidak.
"Baiklah, mungkin malam ini kamu masih marah denganku, tetapi suatu hari nanti kamu akan menanyakan itu dan aku siap menjawabnya. Aku yakin kamu akan kaget setelah mendengarnya," ujarnya mencubit hidungku lagi.
"Hm," jawabku yang sudah lelah karena marah dan menangis barusan.
Mungkin banyak hal yang aku tak tahu darinya. Hanya saja saat ini aku tidak peduli. Tubuhku sangat lelah. Sudah pulang di pagi buta, sesampainya di rumah malah banyak disuguhi masalah. Pikiran penat membuat tubuh terasa letih.
Tanpa pamit, aku tidur terlebih dahulu. Tak peduli dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Mataku sudah seperti terkena lem dan sulit dibuka ketika sudah bertemu dengan bantal.
Pagi harinya, aku terbangun. Ketika mata sudah mengerjap. Aku langsung melihat bajuku masih ada atau sudah lepas. Ternyata aman. Aku pun tersenyum senang.
Baru saja aku berkata aman, sekejap kemudian sepertinya tidak aman. Aku langsung kembali memejamkan mata dan berpura-pura tidur. Namun sayang, sepertinya aktingku tak lulus pagi ini.
Terdengar derap kakinya mendekat ke arah ranjang. Seketika aku menjerit dalam hati. Aku belum siap untuk melakukanya.
Tangannya menyentuh tengkukku yang terbuka karena rambut tersibak. Kemudian sebuah kecupan mendarat di pipiku. Perlahan namun pasti, tangannya mulai menjalar ke tempat lain. Astaga, apa dia akan melakukannya sekarang?
Lagi dan lagi dia hampir membuatku mati mendadak karena jantung yang terpompa sangat cepat."Morning kiss," ucapnya setelah menciumku tanpa ijin dan pergi begitu saja tanpa kata maaf.Dalam hati aku menggerutu. Tidak bisakah dia bangunkan aku hanya sekedar meminta ijin saja. Astaga, tingkahnya membuatku jengkel saja. Apa dia pikir aku ini adalah miliknya yang bisa diapakan semaunya?Aku menatap punggung tegap tanpa atasan itu. Gegas aku kembali menutup mata saat ia menoleh padaku. "Maafkan aku," lirihnya lalu berbalik lagi dan segera berganti pakaian.Setelahnya ganti baju, ia baru membangunkan aku dan mengajak untuk melaksanakan shalat subuh. Aku pun berpura-pura mengucek mata. Agar terlihat seperti orang baru bangun tidur."Nggak usah mandi, kan semalam kita nggak ngapa-ngapain," ujarnya kala aku menyambar handuk bekas miliknya. Tentu aku tidak tahu di mana handuk yang lain, karena aku juga baru pertama kali ada di sini."Siapa tahu kamu cari kesempatan saat aku tidur," tandasku da
Namun, tiba-tiba saja datang seorang gadis kecil tetangga rumah dengan tergesa-gesa. "Bu Hesti!" teriaknya dengan napas tersengal."Kenapa?" tanya ibu acuh."Suami ibu," jawabnya masih berusaha mengatur napas."Iya suami saya kenapa?" Ibu terlihat kesal."Atur napas dulu baru bicara," ucap Argantara dan bocah itu patuh. Ia mengatur napas dan setelah teratur kembali berbicara."Bu, pak Handoko, Bu." Wajahnya terlihat panik."Ada apa dengan ayah?" tanyaku mendekat padanya."Pak Handoko kecelakaan, Mbak," jawabnya."Di mana?""Depan pasar, Mbak. Dia sekarang dibawa ke rumah sakit dekat pasar," jawabnya lagi.Tanpa berpikir panjang, aku langsung pergi menuju rumah sakit. Namun, Argantara malah mencekal tanganku."Ayah kecelakaan dan aku harus ke rumah sakit!" Aku membentaknya."Kita ke rumah sakit sama-sama," jawabnya kemudian menarik tanganku masuk mobil.Seketika aku merasa bersalah. Padahal dia berniat baik, tetapi aku selalu menganggapnya buruk. Berkali-kali aku beristighfar dalam ha
Ketika aku terus menatap ibu dengan penuh tanya. Tiba-tiba ibu majikan menepuk bahuku pelan."Astaghfirullah, yang sabar ya, Nak. Padahal ibu ke sini sebenarnya ... ah sudahlah, mungkin takdir Tuhan berkata lain," ucapnya.Kenapa mereka kalau berbicara setengah-setengah sih, aku kan jadi makin pusing."Sebe-nar ...." Belum sempat aku melanjutkan pertanyaan, ibu majikan malah berpamitan."Kalau begitu saya pamit ya, Sal. Ini ada sedikit dari ibu, semoga bermanfaat ya." Ibu majikanku memberikan amplop. Kemudian setelah mereka pergi, amplop itu langsung diminta oleh ibu."Kamu nggak usah pegang uang. Biar ibu saja!"Akhirnya aku memberikan amplop itu pada ibu, tetapi dengan satu syarat. "Apa yang ibu maksud dengan perebut laki orang? Bukankah ibu yang pelakor!" Aku menyodorkan amplop tetapi juga digenggam erat. Tentu ibu tidak akan menarik paksa karena takut uangnya sobek."Dulu ayah kamu adalah pacar ibu, tetapi gara-gara perjodohan. Kami harus berpisah dan ayah menikah dengan ibumu,"
Apa jangan-jangan dia hanya menghilangkan keringat setelah bermain dengan Mbak Sinta?"Mas!" teriak Aldo memanggil Argantara dan pria itu menoleh."Ayo ke sana," ajak Aldo tetapi aku menolak.Untuk apa aku ke sana. Yang ada aku akan semakin sakit hati. Bisa saja dia kelelahan terus memilih tiduran di sana untuk menghilangkan penat dan keringat."Nggak ah, aku masuk aja," tolakku ketus, lalu bangkit dan bersiap masuk rumah.Namun, ketika kaki mulai melangkah."Mau kemana?" Argantara sudah berjalan ke arah teras. "Masuk," jawabku sinis."Tunggu!""Apa lagi?" tanyaku ketus."Jangan lupa pakai selimut kalau tidur," ujarnya dan aku mengangguk. Dalam hati bertanya, kenapa dia bisa paham kalau aku tidur jarang pakai selimut.Kemudian dia berbalik badan lagi dan akan kembali ke gazebo. Ada rasa ingin tahu mengapa dia tidak masuk ke kamar. Tetapi aku tak berani berucap.Ketika aku membuka pintu. Mbak Sinta sudah ada di depan pintu dengan rambut acak-acakan dan baju tak beraturan. Apalagi kanc
"Kamu si manis?" Argantara mengangguk dan kembali mengeratkan pelukan."Jadi kamu menikahiku karena ....""Karena janjiku pada si imut. Aku tidak butuh pacaran, tetapi langsung menikah. Tak perlu mawar, tetapi mahar. Tak perlu menembak asal terucap akad."Astaga, kata-kata itu adalah pesan yang dia kirim sekitar dua bulan lalu. Aku ingat betul malam itu. Ketika aku baru saja memposting cerita tentang wanita yang dinikahi tanpa pacaran dan hanya kenal di sosial media. Dia lah yang komen paling pertama, di situ komunikasi kami berlanjut hingga ke aplikasi ungu hingga sekarang.Ya Tuhan, ternyata doaku kau ijabah. Pria yang aku agungkan dalam doa akhirnya benar-benar menjadi suamiku. Walaupun pernikahan kami hanya siri, tetapi tetap saja doaku dikabulkan oleh-Mu. Mungkin juga Tuhan ingin menguji kesabaranku. "Bukankah sudah aku katakan jika aku mencintaimu dan bukan Sinta. Tapi kau malah memintaku mengajaknya ke sini dan setelahnya kau malah marah dengan membuat cerita seperti itu. Men
Suara pintu diketuk membuat Argantara berdecak kesal. Ia segera bangkit dan membuka pintu."Siapa sih?" gerutunya sambil berjalan mendekati pintu."Ada apa?" tanyanya ketus setelah membuka pintu.Aku langsung berpura-pura tidur saat Mbak Sinta menengok ke arahku. Pasti dia mencari Argantara karena nggak ada di kamarnya. Atau mungkin dia sudah tahu kalau Argantara tidur di kamar ini."Kamu jahat, huhuhu," ujarnya diiringi tangis tersedu-sedu.Mulai lagi melakoni drama di pagi hari. Padahal juga baru bangun, eh sudah nangis bombai. Menyebalkan!"Hei, ngapain masuk? Keluar!" teriak Argantara saat Mbak Sinta berjalan ke arahku."Gara-gara kamu malam pertamaku gagal. Awas saja kamu Salma, jangan pura-pura tidur kamu!" Mbak Sinta menyeret selimut yang aku gunakan untuk menutupi tubuh."Lepasin!" Tangannya berusaha berontak ketika Argantara menyeretnya keluar dari kamar ini."Ada apa sih ribut-ribut?" tanya mama mertua.Aku langsung menyambar kerudung dan segera ikut keluar kamar."Ini dia,
Pagi setelah selesai sarapan. Aku diajak Argantara pergi entah kemana."Kita mau kemana?""Yang penting keluar dari rumah. Aku sedang malas berada di rumah," jawabnya lalu menuntunku masuk mobil."Malas karena ada Mbak Sinta?" tanyaku setelah kami berada di dalam mobil."Itu kamu tahu," jawabnya segera melajukan mobil meninggalkan halaman rumah.Selama beberapa menit di dalam mobil. Kami hanya terdiam. Kami sibuk dengan pemikiran masing-masing.Sampai pada akhirnya Arga menepikan mobilnya di sebuah mall. Aku tak tahu mengapa Arga mengajakku ke tempat belanjaan seperti ini."Mau ngapain?" tanyaku saat Arga membukakan pintu untukku."Kamu mau belanja nggak?" tawarnya dan aku menggeleng."Yakin nggak mau?" tanyanya lagi.Aku mengangguk. Tetapi Arga malah menarik paksa agar mau diajak masuk ke mall."Aku ingin kasih kamu hadiah," bisiknya setelah beberapa saat meninggalkan aku sendiri menikmati es krim."Hadiah apa?""Surprise dong," jawabnya lalu mengajakku keliling mall setelah es krim
"Eh, Salma, sudah selesai ambil barangnya?" tanyanya mengulas senyum untuk menyembunyikan kegugupannya."Sudah, Mbak," jawabku."Oh, kalau gitu Mbak pulang dulu," pamitnya kemudian pergi meninggalkan minimarket."Eh Mbak, Mbak, belanjaannya tertinggal," ucap kasir karena Mbak Sinta meninggalkan belanjaannya.Mungkin karena terlalu gugup jadi lupa. Sebenarnya apa yang dia masukkan ke dalam tas tadi?Aku terus menatap kepergiannya. Bahkan saat melewati mobil Arga pun Mbak Sinta sama sekali tidak menoleh dan langkahnya semakin dipercepat hingga kini ia sudah naik ke sebuah mobil taksi. Namun, Mbak Sinta duduk di jok depan, bukan di belakang. Menurutku ini terasa aneh. "Bukankah itu tadi Sinta?" tanya Arga yang kini sudah berdiri di hadapanku yang masih menatap kepergian mobil yang dinaiki oleh Mbak Sinta."Iya, itu Mbak Sinta," jawabku dengan pandangan masih belum beralih dari arah jalan."Beli apa dia? Kok tadi balik lagi?" tanyanya yang mungkin merasa penasaran dengan apa yang dilakuk