Kaki ini melangkah ke dalam kamar Mbak Sinta. Segera aku membuka tas dan melihat isi di dalam kantong kresek hitam. Seketika aku terkejut setelah membuka dan melihat isinya."Iya, Bu, nanti bakalan aku transfer." Suara Mbak Sinta terdengar. Derap langkah kakinya menaiki tangga terdengar hingga ke kamar karena keadaan rumah yang sepi. Gegas aku mengembalikan kantong itu ke dalam tas dan segera keluar kamar sebelum Mbak Sinta marah."Untuk apa dia beli barang itu?" gumamku seraya menutup pintu kamarku sendiri.Langkah kaki Mbak Sinta kian dekat, begitu pun dengan suaranya. Dan dalam hitungan detik pintu kamarku juga terbuka."Sal, ibu butuh uang. Kamu punya atau tidak?" tanyanya ramah. Jika soal uang pasti dia sangat lemah lembut dan baik. Dasar muka dua."Tidak, Mbak. Kan aku sudah nggak kerja. Jadi aku nggak ada uang," sahutku cepat.Bukankah dia punya uang, kenapa malah meminta padaku. Padahal yang minta juga ibunya sendiri, kenapa malah minta sama aku coba. Toh Arga juga memberikan
"Jika Salma di sini tidak bahagia! Biar saya yang bahagiakan dia!" ucapnya lantang terdengar hingga menggema di ruangan ini.Seiring dengan suara menggelegar dan mengagetkan hampir semua orang. Arga pun bangkit. Tangannya mengepal dan satu pukulan melayang tepat di pipi kanan Najas, adik dari majikanku.Merasa tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh Arga. Najas pun membalas pukulan Arga dan pukulan itu tepat mengenai sudut bibirnya.Arga menjilat sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Ada rasa tak tega, tetapi Arga juga kembali melayangkan pukulan pada Najas. Membalas pukulan Najas berkali-kali.Melihat saling pukul memukul yang tiada henti. Aku berusaha untuk melerai mereka, tetapi gagal, karena mama melarangku. Dia takut jika malah aku yang menjadi terluka."Sudah cukup!" bentakku karena tak tahan dengan kelakuan dua pria di hadapanku saat ini. Akan tetapi, ucapanku hanya bagai angin lalu untuk mereka. Sama sekali mereka tidak menggubris bentakanku barusan dan terus saj
Hingga sore hari, Arga masih mendiamkan aku. Sengaja aku menyapanya saat lewat di depan kamar."Mas," panggilku tetapi dia hanya menoleh saja.Menyebalkan sekali. Panggilanku hanya dianggap angin lalu olehnya. "Emang enak dianggurin."Astaga si lambe turah ikut nimbrung. Mana dia sudah dandan cantik lagi. Apa jangan-jangan dia mau pergi bareng Arga. Ya Tuhan, kenapa aku jadi merasa iri begini."Diem kamu, Mbak, berisik!" sentakku padanya.Melihatku membentak Mbak Sinta, Arga tersenyum. Aku jadi meleyot melihat senyumannya itu."Habis ini aku akan diem, soalnya mau jalan bareng suami," balas Mbak Sinta menggandeng tangan Arga."Apa?" Aku kaget mendengarnya."Aku mau anterin Arga pergi ke luar kota selama satu minggu," sahut Mbak Sinta."Kok nggak ajak aku," jawabku melas."Kan hari ini sampai seminggu ke depan jatahnya Sinta. Jadi aku nggak ajak kamu, kalau minggu ini jatah kamu ya aku akan ajak kamu," balas Arga."Tuh dengerin kata Arga. Minggu ini jatahnya sama aku, baru minggu depa
Ada dua orang sudah menunggu Mbak Sinta di lobi. Gegas aku melangkah mendekat agar lebih jelas. Namun, tetap saja aku tidak bisa mengejar karena mereka langsung naik taksi."Sal, ibu Sofia nyariin," ucap Aldo menepuk punggungku pelan."Eh apa?" Aku seketika kaget karena Aldo yang datang secara tiba-tiba."Ibu Sofia nyariin, emangnya liatin apa sih sampai kaget gitu?" tanyanya dan tentu aku tidak menjawab. Cukup aku saja yang tahu, baru setelah aku mendapat jawaban. Di situ aku akan memberitahu semua orang."Nggak liatin apa-apa. Itu tadi cuma lihat ada orang kecelakaan lukanya parah," jawabku lalu berbalik badan untuk menemui mama mertua."Masih hidup apa udah mati?" tanya Aldi ngawur."Jaga mulutmu, Do. Jangan asal bicara," balasku kesal.Seharusnya yang dia tanya itu bagaimana keadaannya, bukan malah tanya hidup atau mati. Dasar nggak berakhlak."Aku kan tanya, orangnya hidup apa mati," sahut Aldo merasa tidak bersalah sama sekali."Hidup, Do. Oh ya, kamu tungguin antri di apotek ya
Segera aku pergi saat Mbak Sinta menyadari keberadaanku. Kemudian aku berlalu ke dapur untuk membuatkan bubur untuk mama mertua. Hati ini terus saja gelisah selama memasak di dapur, bahkan pelayan yang biasa masak saja sampai menawarkan untuk membantu, tetapi aku menolak."Nggak usah Mbak, aku saja," balasku yang tak tahu kenapa air mata tak mau berhenti menetes setelah mendengar ucapan Mbak Sinta tadi.Kenapa aku selalu cemburu terhadap hubungan mereka. Seharusnya aku bisa mengontrol diri. Bukan malah mellow begini.Gegas aku mengusap air mata. Kemudian pergi ke kamar mama mertua untuk memberinya makan setelah bubur siap disajikan.Setibanya di dalam kamar mama mertua. Ternyata dia sedang melakukan video call. Mama tersenyum melihat kehadiranku, bahkan dia memintaku untuk segera duduk di sampingnya. Entah ada apa?"Sini, duduk di samping mama," pintanya dan aku pun patuh."Sayang." Suara dari sambungan telepon membuat hatiku semakin bergemuruh.Apa maksudnya coba? Setelah dia menelpo
Hati ini berkecamuk saat melihat Mbak Sinta terkapar di bawah tangga. Apa sebenarnya dia sakit dan tidak mau memberitahu kami semua?Kini Aldo sedang membantu mengangkat tubuh Mbak Sinta. Kemudian menidurkan di atas sofa depan televisi. Wajah Mbak Sinta terlihat pucat sekali.Kamu sakit apa, Mbak? Kenapa tidak bilang sama aku dan ibu. Kenapa harus disimpan sendiri?"Tolong ambilkan minyak kayu putih, Win!" perintah Aldo pada pelayan rumah yang usianya seusiaku.Wanita itu tidak menjawab dan langsung pergi untuk mengambil minyak. Dia kembali dengan cepat. Aldo langsung memberi pertolongan pertama pada Mbak Sinta."Tadi dia kenapa, Do?" tanyaku setelah Aldo mengoleskan minyak di bawah hidung Mbak Sinta."Nggak tahu, Sal. Saat aku masuk Mbak Sinta sudah pingsan," jelasnya."Kita bawa dia ke rumah sakit aja, Do," perintahku dan Aldo mengangguk.Namun, saat Aldo akan mengangkat kembali tubuh Mbah Sinta. Di situ Mbak Sinta mulai mengerjapkan mata. Dia mulai sadar."Eh mau ngapain kamu?" tan
"Ngapain di sini?" Mbak Sinta menyadari keberadaanku."A-aku hanya lewat saja," balasku terbata."Nguping ya!" Tanganku dicengkeram kuat oleh Mbak Sinta."Nggak, Mbak. Jadi tolong lepasin!" Aku berusaha melepaskan tangan."Kamu dengar apa tadi? Ha!""Aku hanya dengar Mbak Sinta kangen. Pasti kangen sama Arga 'kan?" "Iya betul. Lain kali jangan nguping. Nanti kupingmu bintitan," ucap Mbak Sinta seraya melepaskan cengkraman tangannya.Kemudian Mbak Sinta masuk ke dalam kamar. Aku terus memperhatikan Mbak Sinta berjalan hingga masuk kamar. Dengan cepat Mbak Sinta menutup pintu kala tahu aku masih terus memandangnya.Ya Allah, apa tadi aku tidak salah dengar? Suara itu sama persis. Tetapi mana mungkin jika Mbak Sinta ....Pikiranku jadi kacau. Membayangkan yang tidak-tidak. Sejak kapan mereka berhubungan? Lalu benda di dalam tas Mbak Sinta itu ... apa dia hamil? Dan anaknya yang dia kandung ....Ah tidak, tidak. Pasti aku tadi salah dengar. Bisa saja itu bukan dia.Terus alasan Mbak Sin
Waktu berjalan begitu cepat, salat isya' telah aku lakukan bersama dengan Arga beberapa menit yang lalu. Kini debaran jantung mulai tak beraturan. "Arga, makan dulu, Nak," panggil mama seperti biasanya.Jika dia sehat, pasti siapa pun dipanggil untuk makan. Tak terkecuali aku dan Mbak Sinta. Setiap makan selalu dipanggil."Ayo turun," ajar Arga menarik tanganku."Grogi ya?" godanya sesaat setelah memegang tanganku yang basah karena keringat dingin."Ng-nggak, kok cuma rasanya agak dingin aja," jawabku."Ya udah sini aku peluk." Arga merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. Deru napasnya membuat debaran jantung semakin tidak beraturan."Gimana? Sudah nggak dingin, 'kan?" Arga semakin mengeratkan pelukan.Dekat seperti ini bukannya tenang malah semakin gelisah. Seandainya saja aku masih haid, pasti aku akan aman malam ini. Namun, jika aku aman malam ini, malam berikutnya sama saja tidak aman."Makan yuk," ajak Arga seraya melepaskan pelukan.Tangannya menggandeng tanganku keluar kamar
"Sayang, aku pergi sebentar ya," pamitnya tergesa-gesa."Temui pacar?""Ha?" Arga melongo."Temui wanita lain?" Aku menegaskan."Maksudnya apa sih?" Entah dia berpura-pura polos atau memang bingung dengan arah bicaraku."Menemui wanita lain," jawabku tegas."Wanita lain? Wanita siapa?""Pacar kamu lah," sahutku kian jengkel. Diajak bicara malah tidak jelas. Menyebalkan bukan."Ya Allah, jadi kamu curiga sama aku? Kamu pikir aku selingkuh gitu? Hm." Arga yang tadinya sudah bersiap pergi jadi balik lagi."Iya," ketusku."Ya ampun, Sayang. Aku tidak mungkin selingkuh. Ya Allah. Ini tadi itu ibu Hesti nyuri. Terus dia digrebek warga. Eh ada yang nelpon aku, katanya dia minta ganti rugi walaupun ibu Hesti sudah masuk penjara, dia tetap minta ganti rugi atas uang yang hilang sebelum Bu Hesti tertangkap," jawab Arga panjang lebar.Aku hanya diam. Antara yakin dan tidak dengan apa yang Arga sampaikan."Ya udah, nanti kalau aku sudah sampai sana aku video call biar kamu percaya," ujarnya lal
"Rashad dan Rashid juga bagus, aku suka," balas Arga mengulas senyum."Aku tidak akan memaksa kok, Mas," ujarku."Aku suka dengan nama itu, semoga menjadi pemimpin yang tegas dan selalu menegakkan kebenaran," ucap Arga yang ternyata ikut setuju dengan usulanku."Alhamdulillah," balasku.Kesepakatan diambil jika anak kami adalah Rashad dan Rashid. ***Dua hari sudah aku beristirahat dan dokter sudah memperbolehkan aku menemui kedua buah hati. Ini adalah kali pertama aku bertemu mereka. Hati ini begitu bahagia hingga aku tak bisa berucap apa-apa. Melihat mereka menggeliat membuat air mata jatuh begitu saja tanpa pamit. Ada rasa bahagia yang luar biasa.Perjuangan yang tak sia-sia hingga aku mengalami koma. Terbayar sudah semua rasa sakit yang aku rasakan waktu itu, di mana hanya wanita yang tahu nikmatnya melahirkan. Menahan rasa sakit berjam-jam. Mengorbankan nyawanya sendiri untuk berjihad di jalan Allah.Hari ini adalah kali pertama aku memberikan asi kepada mereka. Rasanya sungguh
Sayup-sayup aku mendengar suara Arga menyebut nama anak kita. Perlahan aku mengerjapkan mata. Meski terasa begitu sulit, aku terus berusaha hingga tampak seseorang sedang menangis berada di hadapanku.Wanita yang baru beberapa bulan bersamaku itu berdiri mengarah padaku. Dengan wajah yang terlihat begitu sembab.Suara yang tak asing bagi telingaku juga terdengar. Pelukan dilayangkan begitu saja padaku. Ia menangis sesenggukan dengan wajah menempel di dadaku, dialah suamiku.Argantara Pramudya, orang yang menemaniku berjuang melahirkan buah hati kami. Pria itu menangis seraya mengucap syukur yang tiada henti."Terima kasih Ya Allah, Engkau telah kembalikan Salma pada kami."Entah sudah berapa kali ia berucap. Aku yang masih dalam keadaan setengah sadar pun hanya mengaminkan doa itu dalam hati saja.Kemudian Arga mengangkat kepalanya, lalu mencium lembut keningku. Air matanya pun terus menetes.Apa yang baru saja terjadi denganku? Yang aku ingat adalah aku diminta dokter untuk melahirka
POV ArgaEntah sudah seperti apa wajahku saat ini. Entah pucat atau mungkin tak beraura sama sekali. Hati gelisah dan tak tahu harus melakukan apa kecuali berdoa. Meminta yang terbaik untuk Salma.Terdengar suara pintu terbuka dan aku segera berdiri. Berjalan cepat menemui dokter yang saat ini sedang menatap ke arahku."Bagaimana istri saya, Dok?""Maaf, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ....""Tapi apa, Dok?""Ibu Salma belum sadarkan diri, Pak. Ibu Salma mengalami koma," ujarnya dan seketika aku lemas tak berdaya."Koma,"lirihku menjerit dalam hati.Ibu mendekat dan memelukku dari samping. "Mungkin Salma butuh beristirahat sejenak, Nak," ujarnya memberiku semangat."Bu." Aku berbalik dan memeluknya erat."Doakan saja istrimu. Semoga dia akan segera sadar. Ingat, Nak, kamu masih ada dua jagoan kecil yang kini menunggu dikunjungi. Sekarang, temui mereka dan setelahnya kamu temui Salma. Ibu akan temani," ucap ibu melepaskan pelukan lalu mengusap wajahku lembut.Senyum
POV ArgaDua bulan kemudian ...."Dokter tolong!"Teriakku kala Salma merasakan sakit perut yang luar biasa. Kata Salma, dia merasakan seperti ingin buang air besar. Pagi tadi saat aku baru saja selesai dari kamar mandi. Aku merasakan ada yang aneh pada istriku. Dia seperti menahan sakit, tetapi saat ditanya, tidak apa-apa. Hanya sakit pinggang saja.Tentu aku sebagai suami merasa khawatir dengan keadaannya. Apalagi dia saat ini hamil besar dan sudah masuk masa-masa persalinan meski masih kurang sekitar 6 minggu. Namun, kata dokter, aku harus lebih mawas terhadap istriku. Sebab, sewaktu-waktu bisa saja melahirkan tanpa menunggu HPL."Kamu tidak apa-apa?" tanyaku setelah kami selesai makan. Wajahnya terlihat lebih pucat dari tadi pagi.Salma menjawab dengan menggelengkan kepala. Apa dia tidak ingin aku khawatir, sehingga memilih diam dan menggeleng serta menyembunyikan rasa sakitnya?Sesekali Salma mengusap perutnya. Mengambil napas perlahan lalu mengeluarkan perlahan."Wajahmu pucat
Namun, ketika aku membuka gerbang, bukan Arga yang ada di dalam mobil itu, tetapi Najas.Sejak kapan dia tahu alamat rumah ini? Dan mau apa dia ke sini?Lelaki itu turun dari mobil lalu mendekat padaku. Dengan cepat aku kembali menutup gerbang, tetapi Najas lebih cekatan."Tunggu, Sal!""Lepasin!" Aku berusaha berontak ketika tangan Najas kembali menyentuh tanganku."Aku hanya ingin ngobrol sama kamu sebentar saja.""Maaf, seorang istri akan berdosa jika menerima tamu seorang laki-laki. Jadi tolong, pergi!"Namun, ucapanku tidak digubris sama sekali oleh Najas. "Aku mencintaimu, Sal. Bercerai lah dengan Arga dan menikahlah denganku.'Aku menggeleng. "Jangan berbuat gil4, Najas. Aku dan Arga tidak akan bercerai. Tidak akan pernah bercerai kecuali maut yang memisahkan!" tandasku.Najas memang keras kepala, bahkan dia juga menutup pintu gerbang. Aku mulai khawatir. Bagaimana jika Najas berbuat nekad."Pulanglah, Najas, aku mohon," ibaku padanya.Tubuhku mulai gemetar saat Najas kian men
Hampir lima belas menit aku ada di dalam toilet bersama Arga yang kini menunggu di depan toilet. Sengaja aku mengajaknya masuk agar mereka tidak saling bertemu."Sayang, sudah belum?" tanya Arga."Iya, sebentar," jawabku.Aku harus menghubungi dokter Ariana terlebih dahulu. Menanyakan padanya apakah Najas memang diajak ke sini atau memang pria itu sengaja datang setelah tahu aku akan cek di sini."Halo, assalamualaikum," jawab dokter Ariana dari seberang telepon."Waalaikumsallam, Dok," balasku sedikit ragu. Tetapi aku harus yakin."Ada apa, Bu Salma?" tanyanya ramah."Apakah? Em ... maaf sebelumnya, apakah Najas masih ada di situ?"Dokter Ariana sedikit tertawa mendengar pertanyaanku yang sedikit berbisik."Dia sudah pulang, lelaki itu hanya meminta tanda tangan dariku. Prakteknya sudah selesai," jawabnya dan aku bisa bernapas lega.Saking bahagianya, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih dan langsung mengakhiri panggilan secara sepihak. Aku sadar ketika aku sudah keluar dan menga
"Arga!""Astaga, ganggu aja. Mau apa sih dia ke sini!" Arga berdecak kesal, begitu juga denganku. Kami bangkit bersama dan menghadap ke arah ibu tiriku yang sedang berjalan menuju teras."Hei. Kenapa semua harta juragan Amran kamu jual semua? Ha!""Memangnya apa urusan Anda dengan harta papa? Itu uang papa dan aku adalah anaknya," sahut Arga."Tapi Sinta juga berhak atas harta itu," engah ibu."Sinta juga sudah meninggal. Jadi, hanya aku yang berhak," balas Arga yang memang benar seperti itu kenyataannya. Hanya ibu saja yang gila akan harta, makanya dia mengusik."Dasar menantu jahat! Nggak mikirin mertua.""Anda hanya mantan mertua, jadi jangan harap aku akan memberikan warisan papa itu pada Anda. Sepeser pun tidak akan!"Ibu meradang mendengar penuturan dari Arga. Dia tidak terima kalau harta papa mertua dijual semua."Jahat kamu Arga!" Ibu menunjuk-nunjuk ke arah Arga."Cukup, Bu!" bentak Arga ketika ibu mulai tak terkendali."Jika sampai tangan ini menyentuh aku dan Salma. Maka a
"Iya, bukankah besok adalah hari ulang tahunmu?" Ah, aku sampai lupa jika besok usiaku genap 22 tahun. Ternyata suamiku itu benar-benar perhatian denganku. Ya Tuhan, kurang bersyukur bagaimana coba, setelah bertahun-tahun hidup dengan penuh air mata dan penyiksaan dari ibu tiri. Kini aku merasakan hidup dengan penuh kasih sayang dari orang yang begitu tulus mencintaiku.Ternyata dibalik setiap cobaan, akan ada hikmah yang datang. Sepertiku saat ini. Tak pernah terbayangkan jika akan menikah dengan seorang reader di fb.Soal cerita, selama hamil aku tak pernah lagi menulis. Mungkin bawaan anak kali ya, rasanya malas mau ngetik dan lebih suka scroll medsos dan main ular. Ah, snake adalah permainan yang paling aku suka sejak jaman hp jadul hingga muncul android."Maaf ya, rencananya aku akan buat pesta kecil-kecilan sekaligus syukuran atas kehamilanmu, tetapi karena ada musibah. Semua itu aku batalkan.""Tidak apa-apa, aku sudah tidak mual saja itu sudah hadiah paling terindah dari Tuha