Argantara kini telah berada tepat di belakangku, bahkan ia sempat mendengar jika aku mengatakan bodoh. Padahal umpatan itu bukan aku tujukan padanya. Namun, sepertinya lelaki itu akan salah sangka terhadapku.
Seketika aku menundukkan kepala. Rasa takut menguasai diriku. Apalagi aku mulai terbayang malam pertama yang akan kami lalui. Terlihat begitu mencekam, di mana aku belum pernah berpacaran sama sekali. Tetapi, malam ini aku harus tidur satu ranjang dengan pria asing.
"Arga, setelah mandi, ajak istrimu makan malam." Suara ibu mertua terdengar dari arah tangga.
"Iya, Ma," jawab Argantara menoleh ke sudut tangga.
"Kamu mau minggir atau tetap di depan pintu?" tanyanya lembut.
Padahal jantungku sudah seperti mau copot saja. Aku pikir dia akan marah setelah mendengar kata bodoh tadi. Tetapi ternyata, dugaanku salah besar. Lelaki itu hanya berkata demikian. Namun, tetap saja aku tak kagum dengan sikapnya.
"Aku akan minggir," jawabku lalu bergeser sedikit untuk memberinya jalan masuk ke dalam kamar.
Tak ada perbincangan sama sekali. Sebab, suamiku itu langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Dalam hitungan menit, Argantara telah keluar hanya dengan mengenakan handuk saja. Apakah dia pikir jika aku ini hanya manekin saja.
"Tidak punya rasa malu sama sekali," gumamku dan sepertinya dia mendengarnya. kini matanya mengarah padaku yang duduk di tepi ranjang dengan memegang ponsel.
"Aku suamimu, jadi untuk apa aku malu," sahutnya tanpa rasa bersalah sama sekali.
Aku tak menjawab dan malah menyibukkan diri dengan memainkan ponsel. Sebenarnya aku ingin menghindar dari pemandangan yang ada di hadapanku. Perut seperti roti sobek membuat pikiranku berkelana. Apalagi rambut yang ada di bawah pusarnya, otakku menjadi oleng.
Astagfirullah. Aku beristighfar dalam hati. Kemudian dengan cepat menepis pikiran kotor yang mengisi otakku.
Tanpa sadar, tangan kekarnya telah menarik tanganku. Salah satu tangannya mengambil ponsel dari tanganku dan meletakkan di atas nakas.
"Ah, ternyata kau hanya main ular, aku pikir tadi sibuk ngapain. Gabut ya?" tanyanya seraya menarik tanganku agar aku segera bangkit.
Ih, apa pedulinya dia padaku. Sok baik dan sok akrab. Benar-benar tidak merasa bersalah sedikit pun padaku. Padahal dia telah membuat hidupku hancur dengan menjadikanku madu.
Akan tetapi, aku sendiri tidak berani menolak kala tangannya terus menggandeng tanganku hingga ke meja makan. Juragan Amran pun terlihat begitu ramah, tak seperti apa yang dikatakan oleh ibu setiap kali dia meminta uang untuk membayar cicilan hutangnya, meski pada akhirnya tetap saja tidak lunas dan malah semakin bertambah banyak.
"Ah, anak papa sudah beristri sekarang," ujarnya mengulas senyum padaku.
Aku pun membalas senyumannya. Tidak enak jika aku terlihat ketus dan sinis. Walaupun sebenarnya hati mendongkol karena semua yang terjadi.
"Salma, apa kamu tidak mau melayani suamimu?" ibu Sofia melirik padaku.
"Tidak usah, Ma, biar aku ambil sendiri saja," jawab Argantara lalu berdiri dan mengambil makanannya sendiri, bahkan dia malah mengambilkan nasi dan lauk untukku .
Sebenarnya apa sih maunya? apa dia ingin menebus kesalahannya karena telah menjadikan aku madu atau bagaimana? Kenapa sikapnya begitu baik padaku? Semakin ke sini malah semakin aneh dan mengundang tanya.
Aku yang masih diam dan tidak menyentuh makanan sama sekali. Argantara berinisiatif menyuapiku. Dengan cepat aku menolak, lalu menyuapkan sediri makanan ke dalam mulut.
Selesai makan, aku berniat membereskan semua yang ada di meja. Namun, Juragan Amra melarang dan memintaku untuk beristirahat saja di kamar.
"Tidak perlu, biar dibereskan sama Mbok Iyem. Arga, ajak istrimu ke kamar saja. Bukankah ini malam pertama kalian? Sebaiknya kamu gunakan dengan baik," ucap juragan Amran disambut tawa kecil oleh ibu mertuaku.
Mereka bisa tertawa puas, sedangkan aku. bernapas saja kesusahan, seperti terhimpit batu besar di atas dada.
Lagi. Tangan Argantara menggandeng tanganku. Sikapnya memang romantis, tetapi aku tetap tidak terkagum-kagum sama sekali.
"Malam ini aku sangat kelelahan, kita lakukan ibadahnya besok malam saja," ucapnya ketika kami berdua sudah ada di dalam kamar.
Akhirnya aku bisa bernapas lega. Malam menakutkan itu akhirnya enyah juga. Namun, tidak. Apakah aku harus tidur satu ranjang dengannya?
Argantara tidur terlebih dahulu. Saat sadar jika aku hanya berdiri dan tidak segera merebahkan tubuh. Dia pun bangun, lalu menuntunku menuju ranjang.
Aku mulai kesal. Tadi dia bilang jika dirinya lelah. Apa jangan-jangan kakak tiriku itu kabur dengannya? buktinya saja dia baru saja kembali. Atau dia memang sengaja membuat merekayasa supaya memiliki istri dua?
"Ayo, kenapa malah bengong sih?" ajaknya menatap wajahku lekat.
"Katanya kamu lelah, makanya aku tidak enak jika tidur di sampingmu. Soalnya aku kalau tidur seperti gangsing, muter-muter," jawabku yang tentunya berbohong .
"Nggak apa-apa, ayo tidur," ajaknya lagi, tetapi aku masih tetap bergeming.
"Atau jangan-jangan kamu kecewa karena aku tidak mengajakmu malam pertama, malam ini?' duganya membuatku mendelik malu. Sebab, itu yang ada di dalam otakku saat ini.
"Tidak," sangkalku.
"Matamu tak bisa berbohong. Kamu pasti bertanya kan kenapa aku lelah?" Dia mengajakku duduk di tepi ranjang .
Aku pun menurutinya. Siapa tahu ini menjadi jawaban atas semua pertanyaanku.
"Aku tahu dari sikapmu yang tak seperti biasanya itu. Aku yang salah dari awal," akunya dan aku sendiri semakin bingung.
Seperti biasanya? Apakah dia tahu segalanya tentangku, atau bahkan mengetahui keseharianku?
Kupikir dengan mendengarkan penjelasan darinya. Aku akan semakin lega, ternyata malah semakin pusing.
"Pernikahan ini sebenarnya atas kemauanku. Akan tetapi ...."
"Tetapi apa?" tanyaku yang tak sabar mengetahui seluk beluk terjadinya pernikahan ruwet ini.
Bukannya menjawab, Argantara malah meraih tanganku. Kemudian membelai wajahku. Aku malah geli dengan sikapnya ini. Dengan cepat aku melepaskan tautan tangan dan mengusap wajah yang baru saja dia sentuh.
"Aku tahu jika kamu marah padaku karena aku jadikan madu. Tapi jujur, aku minta maaf. Sedikit pun tak ada niat untuk aku melakukannya. Semua terjadi di luar kendaliku. Aku yang dasarnya hanya berpesan pada papa, tak tahu jika akhirnya akan berakhir seperti ini," cecarnya membuatku kian kesal. Penjelasannya terlalu berbelit-belit dan tidak pada intinya.
"Kalau menjelaskan itu jangan panjang kali lebar apalagi kali tinggi. Banyak nanti ketemunya," keluhku yang tak sabaran ingin mendengar inti sarinya.
"Kalau itu nanti ketemunya volume dong, bukan aku dan kamu menjadi satu," jawabnya membuatku semakin dongkol.
Berkali-kali aku menarik napas panjang lalu mengeluarkan perlahan. Hingga Argantara malah menertawakan tingkahku.
"Kamu pikir ini lucu?" aku mendengus kesal.
Sepertinya kesabaranku sedang diuji di depan suamiku saat ini.
"Kamu yang lucu." Dia mencubit hidungku yang mbangirini.
Sadar jika aku bertambah marah. Argantara pun mulai berbicara kembali.
"Sebenarnya aku ...."
"Sebenarnya aku minta papa untuk menikahkan aku dengan anak pak Handoko, tetapi ternyata ....""Ternyata papa salah tangkap. Papa pikir jika yang dimaksud adalah Sinta, ternyata itu kamu." Juragan Amran mendelik malu."Maafkan papa karena kesalahan itu, semuanya jadi runyam begini. Apalagi tidak mungkin juga Argantara langsung menceraikan Sinta setelah akad. Tapi ternyata tak disangka, eh Sinta malah kabur setelah resepsi," imbuhnya lalu mendekat pada kami.Mungkin perbincangan aku dan Argantara terdengar hingga luar ruangan. Sehingga Juragan Amran lebih memilih masuk dan ikut menjelaskan."Salma, papa minta maaf. Papa yang salah dan bukan Argantara. Jangan hukum dia dengan kamu jutek seperti itu. Dia itu tulus mencintai kamu. Jadi, papa mohon terima dia jadi suamimu."Aku langsung menyela. Rasanya tetap saja aku tak terima. Di sini dia yang bersalah, tetapi kenapa aku yang dihukum dengan menjadikan aku madu."Kenapa harus memintaku menjadi madu dalam pernikahan kakak tiriku. Aku juga
Lagi dan lagi dia hampir membuatku mati mendadak karena jantung yang terpompa sangat cepat."Morning kiss," ucapnya setelah menciumku tanpa ijin dan pergi begitu saja tanpa kata maaf.Dalam hati aku menggerutu. Tidak bisakah dia bangunkan aku hanya sekedar meminta ijin saja. Astaga, tingkahnya membuatku jengkel saja. Apa dia pikir aku ini adalah miliknya yang bisa diapakan semaunya?Aku menatap punggung tegap tanpa atasan itu. Gegas aku kembali menutup mata saat ia menoleh padaku. "Maafkan aku," lirihnya lalu berbalik lagi dan segera berganti pakaian.Setelahnya ganti baju, ia baru membangunkan aku dan mengajak untuk melaksanakan shalat subuh. Aku pun berpura-pura mengucek mata. Agar terlihat seperti orang baru bangun tidur."Nggak usah mandi, kan semalam kita nggak ngapa-ngapain," ujarnya kala aku menyambar handuk bekas miliknya. Tentu aku tidak tahu di mana handuk yang lain, karena aku juga baru pertama kali ada di sini."Siapa tahu kamu cari kesempatan saat aku tidur," tandasku da
Namun, tiba-tiba saja datang seorang gadis kecil tetangga rumah dengan tergesa-gesa. "Bu Hesti!" teriaknya dengan napas tersengal."Kenapa?" tanya ibu acuh."Suami ibu," jawabnya masih berusaha mengatur napas."Iya suami saya kenapa?" Ibu terlihat kesal."Atur napas dulu baru bicara," ucap Argantara dan bocah itu patuh. Ia mengatur napas dan setelah teratur kembali berbicara."Bu, pak Handoko, Bu." Wajahnya terlihat panik."Ada apa dengan ayah?" tanyaku mendekat padanya."Pak Handoko kecelakaan, Mbak," jawabnya."Di mana?""Depan pasar, Mbak. Dia sekarang dibawa ke rumah sakit dekat pasar," jawabnya lagi.Tanpa berpikir panjang, aku langsung pergi menuju rumah sakit. Namun, Argantara malah mencekal tanganku."Ayah kecelakaan dan aku harus ke rumah sakit!" Aku membentaknya."Kita ke rumah sakit sama-sama," jawabnya kemudian menarik tanganku masuk mobil.Seketika aku merasa bersalah. Padahal dia berniat baik, tetapi aku selalu menganggapnya buruk. Berkali-kali aku beristighfar dalam ha
Ketika aku terus menatap ibu dengan penuh tanya. Tiba-tiba ibu majikan menepuk bahuku pelan."Astaghfirullah, yang sabar ya, Nak. Padahal ibu ke sini sebenarnya ... ah sudahlah, mungkin takdir Tuhan berkata lain," ucapnya.Kenapa mereka kalau berbicara setengah-setengah sih, aku kan jadi makin pusing."Sebe-nar ...." Belum sempat aku melanjutkan pertanyaan, ibu majikan malah berpamitan."Kalau begitu saya pamit ya, Sal. Ini ada sedikit dari ibu, semoga bermanfaat ya." Ibu majikanku memberikan amplop. Kemudian setelah mereka pergi, amplop itu langsung diminta oleh ibu."Kamu nggak usah pegang uang. Biar ibu saja!"Akhirnya aku memberikan amplop itu pada ibu, tetapi dengan satu syarat. "Apa yang ibu maksud dengan perebut laki orang? Bukankah ibu yang pelakor!" Aku menyodorkan amplop tetapi juga digenggam erat. Tentu ibu tidak akan menarik paksa karena takut uangnya sobek."Dulu ayah kamu adalah pacar ibu, tetapi gara-gara perjodohan. Kami harus berpisah dan ayah menikah dengan ibumu,"
Apa jangan-jangan dia hanya menghilangkan keringat setelah bermain dengan Mbak Sinta?"Mas!" teriak Aldo memanggil Argantara dan pria itu menoleh."Ayo ke sana," ajak Aldo tetapi aku menolak.Untuk apa aku ke sana. Yang ada aku akan semakin sakit hati. Bisa saja dia kelelahan terus memilih tiduran di sana untuk menghilangkan penat dan keringat."Nggak ah, aku masuk aja," tolakku ketus, lalu bangkit dan bersiap masuk rumah.Namun, ketika kaki mulai melangkah."Mau kemana?" Argantara sudah berjalan ke arah teras. "Masuk," jawabku sinis."Tunggu!""Apa lagi?" tanyaku ketus."Jangan lupa pakai selimut kalau tidur," ujarnya dan aku mengangguk. Dalam hati bertanya, kenapa dia bisa paham kalau aku tidur jarang pakai selimut.Kemudian dia berbalik badan lagi dan akan kembali ke gazebo. Ada rasa ingin tahu mengapa dia tidak masuk ke kamar. Tetapi aku tak berani berucap.Ketika aku membuka pintu. Mbak Sinta sudah ada di depan pintu dengan rambut acak-acakan dan baju tak beraturan. Apalagi kanc
"Kamu si manis?" Argantara mengangguk dan kembali mengeratkan pelukan."Jadi kamu menikahiku karena ....""Karena janjiku pada si imut. Aku tidak butuh pacaran, tetapi langsung menikah. Tak perlu mawar, tetapi mahar. Tak perlu menembak asal terucap akad."Astaga, kata-kata itu adalah pesan yang dia kirim sekitar dua bulan lalu. Aku ingat betul malam itu. Ketika aku baru saja memposting cerita tentang wanita yang dinikahi tanpa pacaran dan hanya kenal di sosial media. Dia lah yang komen paling pertama, di situ komunikasi kami berlanjut hingga ke aplikasi ungu hingga sekarang.Ya Tuhan, ternyata doaku kau ijabah. Pria yang aku agungkan dalam doa akhirnya benar-benar menjadi suamiku. Walaupun pernikahan kami hanya siri, tetapi tetap saja doaku dikabulkan oleh-Mu. Mungkin juga Tuhan ingin menguji kesabaranku. "Bukankah sudah aku katakan jika aku mencintaimu dan bukan Sinta. Tapi kau malah memintaku mengajaknya ke sini dan setelahnya kau malah marah dengan membuat cerita seperti itu. Men
Suara pintu diketuk membuat Argantara berdecak kesal. Ia segera bangkit dan membuka pintu."Siapa sih?" gerutunya sambil berjalan mendekati pintu."Ada apa?" tanyanya ketus setelah membuka pintu.Aku langsung berpura-pura tidur saat Mbak Sinta menengok ke arahku. Pasti dia mencari Argantara karena nggak ada di kamarnya. Atau mungkin dia sudah tahu kalau Argantara tidur di kamar ini."Kamu jahat, huhuhu," ujarnya diiringi tangis tersedu-sedu.Mulai lagi melakoni drama di pagi hari. Padahal juga baru bangun, eh sudah nangis bombai. Menyebalkan!"Hei, ngapain masuk? Keluar!" teriak Argantara saat Mbak Sinta berjalan ke arahku."Gara-gara kamu malam pertamaku gagal. Awas saja kamu Salma, jangan pura-pura tidur kamu!" Mbak Sinta menyeret selimut yang aku gunakan untuk menutupi tubuh."Lepasin!" Tangannya berusaha berontak ketika Argantara menyeretnya keluar dari kamar ini."Ada apa sih ribut-ribut?" tanya mama mertua.Aku langsung menyambar kerudung dan segera ikut keluar kamar."Ini dia,
Pagi setelah selesai sarapan. Aku diajak Argantara pergi entah kemana."Kita mau kemana?""Yang penting keluar dari rumah. Aku sedang malas berada di rumah," jawabnya lalu menuntunku masuk mobil."Malas karena ada Mbak Sinta?" tanyaku setelah kami berada di dalam mobil."Itu kamu tahu," jawabnya segera melajukan mobil meninggalkan halaman rumah.Selama beberapa menit di dalam mobil. Kami hanya terdiam. Kami sibuk dengan pemikiran masing-masing.Sampai pada akhirnya Arga menepikan mobilnya di sebuah mall. Aku tak tahu mengapa Arga mengajakku ke tempat belanjaan seperti ini."Mau ngapain?" tanyaku saat Arga membukakan pintu untukku."Kamu mau belanja nggak?" tawarnya dan aku menggeleng."Yakin nggak mau?" tanyanya lagi.Aku mengangguk. Tetapi Arga malah menarik paksa agar mau diajak masuk ke mall."Aku ingin kasih kamu hadiah," bisiknya setelah beberapa saat meninggalkan aku sendiri menikmati es krim."Hadiah apa?""Surprise dong," jawabnya lalu mengajakku keliling mall setelah es krim