Benar memang.Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Bela juga baru menyadarinya saat ini.Saat mereka duduk di hadapan meja yang sama dan menceritakan apa-apa saja yang terjadi pada hari itu. Pada masa itu.Bela kehilangan Nial-nya karena hilang ingatan. Tak lama setelahnya Siska mengalami kecelakaan dan Bela menolongnya dengan mendonorkan darahnya. Jerry yang tahu akan hal itu bertekad membawa Nial kembali mengingat Bela sebagai ucapan terima kasih.Peristiwa yang saling berkaitan satu sama lain.Dan di sini, di tempat Nial dulu mengajaknya rujuk, mereka duduk berempat. Menyadari hebatnya sebuah takdir yang telah ditulis oleh Tuhan. Takdir mereka, milik mereka.Bela memandang perubahan mimik wajah Nial yang tersenyum, menunduk penuh haru saat tahu semua orang menyayanginya."Terima kasih semuanya. Kalian membawaku kepada Bela."Nial berujar saat mengalihkan pandangannya pada Bela, meraih tangannya yang ada di atas meja. Meremasnya dengan lembut."Nggak banyak yang aku lakuka
Kesepakatan yang bahaya karena Bela akan habis dilahap oleh Nial malam ini. Tapi dia tidak bisa mengatakan tidak saat Nial telah membangkitkan semua geloranya bangun dari tidur. Bela tahu Nial adalah lelaki pebisnis. Tapi di atas ranjang, ini untuk pertama kalinya mereka membuat kesepakatan yang berbahaya.Berbahaya dalam tanda kutip karena sebenarnya yang terjadi adalah rasa nikmat akan sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme.Bela membuat Nial tersenyum menang. Sekaligus membuatnya berdiri, membuka ikat pinggangnya. Bela tidak tahu sejak kapan debaran jantungnya akan memuncak seperti ini. Nial membuatnya merasakan apa itu nafkah. Nafkah batin yang nikmat tak kepalang.Ya ....Meskipun harus begadang karena durasinya yang bukan main.***Bela menggeliat kecil saat mendengar suara alarm yang ia pasang di ponsel sejak KKN dan selalu lupa ia matikan sehingga selalu berbunyi di jam ini. Jam lima pagi.Dia meraba di bawah bantal. Mematikannya sebelum semakin beri
"Sayang? Sejak kapan kamu di sana?"Bela terkejut karena suara Nial memecah lamunannya. "Hah?"Bela mengerjapkan matanya beberapa kali. Melihat Nial yang berdiri di dekat samsak, mengatur napasnya yang naik turun tak beraturan."Sudah dari tadi. Mas Nial latihan tinju di sini?""Iya. Masuklah!"Bela mengangguk. Meraih handuk di atas meja tak jauh dari samsak berada. Menggunakanya untuk mengusap keringat Nial saat prianya itu tersenyum melihatnya. Duduk di bangku yang ada di sana."Aku mencarimu tadi.""Mas pergi saat kamu mandi." Nial menjawabnya sembari membuka sarung tinju. Membuka lilitan kain di dalamnya juga saat Bela selesai mengelap keringat di rambutnya."Kenapa? Kenapa kamu diam saja?" Nial bingung karena Bela tidak mengatakan apapun dan hanya memandangnya tanpa berkedip."Mas Nial, kamu membuatku jatuh cinta untuk yang ke dua ribu dua ratus dua puluh dua kalinya."Nial tertawa mendengar itu. Ia masih berfokus membuka lilitan di tangannya dengan napas yang memburu naik turu
"Kali ini Mas akan menemanimu sampai masuk ke dalam ruang dokter.""Kenapa? Mencegah SamuNikolass agar nggak menciumku lagi?"Bela menahan tawanya saat melihat wajah kesal Nial. Saat mereka berjalan di koridor rumah sakit dengan tangan Bela yang melingkar di lengannya sore ini."Iya, lagian kenapa sih kamu maunya cuma periksa di rumah sakit ini? Banyak dokter mata yang ada di luar sana loh!"Bela tersenyum saja."Dokter Airin itu temannya ibuk, Mas. Dan ibuk bilang aku sebaiknya datang saja padanya. Mas Nial nggak suka? Kalau begitu kita bisa cari dokter lain.""Oh? Mamah yang minta?""Iya.""Kalau begitu kita tetap periksa di sini.""Tapi tadi Mas Nial bilang ada banyak dokter mata di luar sana?""Tapi itu sebelum Mas tahu kalau mamah yang minta."Bela tersenyum semakin lebar saat mendengarnya. Ini seperti mereka jadi anak yang patuh pada ibu mereka. Dan melakukan apapun agar ibu mereka senang."Ini ruangannya?"Nial berhenti lebih dulu di depan sebuah ruangan dan Bela mengangguk men
Niko berteriak di dalam mobilnya sendiri. Memukul setir mobil dan menundukkan kepalanya. Membenturkannya dengan kesal."Kenapa itu harus Nial? Lelaki yang bahkan tangan matahari pun nggak bisa mengalahkannya? Apalagi aku?" Ia ingin menahan agar tidak menangis, tapi hatinya remuk redam.Mengingat waktu yang telah ia lewati bersama Bela membuatnya semakin terpuruk. Dia tahu dia adalah lelaki paling bodoh di dunia ini. Dia tahu dirinya pengecut.Yang selama ini sama sekali tak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada Bela, dia takut akan ditolak. Apalagi mengingat Bela hanya menganggapnya sebagai kakak tingkat yang dia kagumi.Niko tahu saat itu Bela juga menyimpan rasa yang sama untuknya. Andaikan dia saat itu mengatakan dia mencintai Bela, apakah perasaannya akan terbalas juga? Niko berpikir penuh pengandaian karena kini yang tersisa memang hanya sebatas pengandaian. Sejak saat Bela ditampar Vida di depan kampus dan dia melerai mereka hari itu, saat Bela mengatakan ia telah men
Terasa sangat lama, atau bahkan lebih cepat? Bela tidak tahu. Yang jelas, hari ini adalah hari wisudanya.Dia sudah bersiap sejak pagi dan prosesi hampir usai. Hall berskala raksasa penuh dengan jubah kebesaran mahasiswa. Bela juga dapat melihat Nial yang dalam setelan jas sedang menunggunya di luar setelah acara selesai.Bahkan Bela juga sempat mencuri pandang padanya saat dia hadir di antara ribuan tamu undangan. Lelaki paling menawan dan mencuri perhatian karena kharismanya yang tidak bisa diragukan."Mas Nial menungguku?"Bela tersenyum padanya sesampainya di depan. Sekeluarnya dari hall setelah acara ditutup."Cantiknya."Nial menyerahkan sebuket bunga dalam ukuran yang besar. Bunga peony, baby breath dan juga bunga lili, bunga casablanca warna putih yang semuanya ia sukai. Bunga itu ada di dalam buket yang sama dan diberikan oleh Nial. Bukankah itu seperti sebuah paket komplit?"Apa aku cantik?"Nial mengangguk. Sekilas menyentuh wajahnya."Ya, sangat cantik. Tadi pagi-pagi kamu
Berapa hari sebelumnya ….…."Huft!"Bela sedang ada di dalam kamar mandi. Saat ia masuk tadi jam menunjukkan angka tiga sore. Nial belum pulang dari kantor. Selagi Bela sedang melakukan sesuatu di dalam sana."Ini sudah telat dua puluh hari. Hasilnya apa ya?"Dia masih belum membuka matanya setelah mengambil test pack dan dia gunakan. Dia gugup. Sangat gugup. "Jadi apa belum ya?"Dia menghela napasnya sekali lagi. Baru setelah sewindu berlalu ia perlahan membuka mata dan mengangkat test pack yang ada di tangan kanannya."Demi apa? Ini garis dua? Sungguh?"Bela kegirangan. Tidak bisa menghilangkan senyumya. Ia lalu keluar dari kamarnya. Bermaksud menghubungi dan mengabarkan ini pada Nial.Tapi hal itu urung ia lakukan. Ia berpikir akan menjadikannya kejutan besok di hari ia wisuda. Jadi dia mengambil ponselnya dan menelpon Sasti."Ya, Nak?""Ibuk, Bela boleh minta tolong?""Iya, tentu saja. Apa, Nak?""Ibuk bisa bawakan hadiah untuk Mas Nial besok di acara wisudanya Bela?""Hadiah
***"Kamu buat apa ini? Kenapa harum sekali baunya?"Nial datang dari belakang Bela. Memeluk pinggangnya dan meletakkan dagunya di atas pundak Bela."Mas? Ini aku buat sup asparagus dan jagung manis.""Hm ... apa masakan istri selalu seperti ini? Kamu tahu, Bel?""Apa?""Mas semakin jatuh cinta denganmu."Nial memeluknya semakin erat. Membuat Bela tersenyum tapi juga geli. Entah kenapa akhir-akhir ini dia sangat mudah geli jika disentuh oleh Nial."Mas, jangan! Geli ih!""Mas jadi ragu.""Ragu apa?"Bela yang tadinya mengaduk sup kini memutar tubuhnya dan berbalik memandang Nial. Bereaksi atas ucapan 'Mas jadi ragu' yang baru saja dia katakan."Ragu sebenarnya yang harum itu supnya atau kamu?"Bela terlambat menghindari Nial Karena bibir prianya itu telah mengecup lehernya."Ehem!"Suara seseorang berdehem dari arah wastafel. Membuat Nial dan juga Bela segera menoleh padanya.Itu adalah Kim yang mencuci peralatan yang baru saja dipakai oleh Bela. Nial hanya menahan tawa melihat wajah