Nial berdiri di bawah shower sudah sejak tadi. Dia melamun, rencana olah raga pagi ini hanya jadi wacana, selagi sisa sabun yang ada di tubuhnya belum sepenuhnya dia guyur karena angannya melayang meninggalkan daratan.Ia meneguk salivanya dengan kasar saat meraba lehernya di mana saat ia berkaca tadi ada tanda merah yang ditinggalkan di sana. Tentu saja! Bela yang membuatnya.Memori semalam membuat naluri lelakinya kembali bangun. Bela menjadi agresif, nakal dan membentuk kedudukan yang lebih dominan dari pada dirinya."Astaga ... apa yang telah kulakukan padanya sampai dia jadi nakal begitu?"Dia mengusap wajahnya yang basah. Harus menghentikan pikiran ini sebelum hasrat yang lebih kuat kembali menggelora hebat dalam dirinya.Sementara dia menyelesaikan mandi, seseorang lainnya sedang merutuki dirinya sendiri.Itu adalah Bela yang masih ada di atas ranjang. Menyembunyikan diri di bawah selimut dengan tubuh tanpa sehelai benang sejak semalam."Aku sudah gila."Dia memukul lirih kepal
Tapi saat barisan reporter berita itu mendekat padanya dan Siska, tangan besar seseorang mencegahnya. Tangan itu tidak sendirian karena ada beberapa tangan lainnya yang mencegah mereka mengambil jarak yang lebih rapat.Bela baru tahu itu adalah bodyguard. Mereka adalah pengawal Nial yang datang dari Ones Air, Bela pernah melihat beberapa di antaranya dan mereka saat ini ada di sini.Mereka membentuk barikade pertahanan, mencegah agar tidak mendekat pada Bela, saat Nial juga ada di sana untuk menjemputnya. Ada Jerry juga yang masuk dalam pengawalan mereka."Kamu baik-baik saja?"Nial bertanya pada Bela. Merangkul pundaknya saat Siska merasa dia sedang berada dalam lokasi syuting drama Korea karena mereka benar-benar terlihat demikian.Bela yang dikejar wartawan, sudah pasti akan ditanyai soal skandal yang bergulir panas di luar sana. Dan saat hal itu terjadi, Nial datang menyelamatkannya."Iya, Mas. Aku baik-baik saja.""Nanti saja, ayo pergi dari sini!" Jerry memperingatkan. Dan tamp
Benar memang.Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Bela juga baru menyadarinya saat ini.Saat mereka duduk di hadapan meja yang sama dan menceritakan apa-apa saja yang terjadi pada hari itu. Pada masa itu.Bela kehilangan Nial-nya karena hilang ingatan. Tak lama setelahnya Siska mengalami kecelakaan dan Bela menolongnya dengan mendonorkan darahnya. Jerry yang tahu akan hal itu bertekad membawa Nial kembali mengingat Bela sebagai ucapan terima kasih.Peristiwa yang saling berkaitan satu sama lain.Dan di sini, di tempat Nial dulu mengajaknya rujuk, mereka duduk berempat. Menyadari hebatnya sebuah takdir yang telah ditulis oleh Tuhan. Takdir mereka, milik mereka.Bela memandang perubahan mimik wajah Nial yang tersenyum, menunduk penuh haru saat tahu semua orang menyayanginya."Terima kasih semuanya. Kalian membawaku kepada Bela."Nial berujar saat mengalihkan pandangannya pada Bela, meraih tangannya yang ada di atas meja. Meremasnya dengan lembut."Nggak banyak yang aku lakuka
Kesepakatan yang bahaya karena Bela akan habis dilahap oleh Nial malam ini. Tapi dia tidak bisa mengatakan tidak saat Nial telah membangkitkan semua geloranya bangun dari tidur. Bela tahu Nial adalah lelaki pebisnis. Tapi di atas ranjang, ini untuk pertama kalinya mereka membuat kesepakatan yang berbahaya.Berbahaya dalam tanda kutip karena sebenarnya yang terjadi adalah rasa nikmat akan sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme.Bela membuat Nial tersenyum menang. Sekaligus membuatnya berdiri, membuka ikat pinggangnya. Bela tidak tahu sejak kapan debaran jantungnya akan memuncak seperti ini. Nial membuatnya merasakan apa itu nafkah. Nafkah batin yang nikmat tak kepalang.Ya ....Meskipun harus begadang karena durasinya yang bukan main.***Bela menggeliat kecil saat mendengar suara alarm yang ia pasang di ponsel sejak KKN dan selalu lupa ia matikan sehingga selalu berbunyi di jam ini. Jam lima pagi.Dia meraba di bawah bantal. Mematikannya sebelum semakin beri
"Sayang? Sejak kapan kamu di sana?"Bela terkejut karena suara Nial memecah lamunannya. "Hah?"Bela mengerjapkan matanya beberapa kali. Melihat Nial yang berdiri di dekat samsak, mengatur napasnya yang naik turun tak beraturan."Sudah dari tadi. Mas Nial latihan tinju di sini?""Iya. Masuklah!"Bela mengangguk. Meraih handuk di atas meja tak jauh dari samsak berada. Menggunakanya untuk mengusap keringat Nial saat prianya itu tersenyum melihatnya. Duduk di bangku yang ada di sana."Aku mencarimu tadi.""Mas pergi saat kamu mandi." Nial menjawabnya sembari membuka sarung tinju. Membuka lilitan kain di dalamnya juga saat Bela selesai mengelap keringat di rambutnya."Kenapa? Kenapa kamu diam saja?" Nial bingung karena Bela tidak mengatakan apapun dan hanya memandangnya tanpa berkedip."Mas Nial, kamu membuatku jatuh cinta untuk yang ke dua ribu dua ratus dua puluh dua kalinya."Nial tertawa mendengar itu. Ia masih berfokus membuka lilitan di tangannya dengan napas yang memburu naik turu
"Kali ini Mas akan menemanimu sampai masuk ke dalam ruang dokter.""Kenapa? Mencegah SamuNikolass agar nggak menciumku lagi?"Bela menahan tawanya saat melihat wajah kesal Nial. Saat mereka berjalan di koridor rumah sakit dengan tangan Bela yang melingkar di lengannya sore ini."Iya, lagian kenapa sih kamu maunya cuma periksa di rumah sakit ini? Banyak dokter mata yang ada di luar sana loh!"Bela tersenyum saja."Dokter Airin itu temannya ibuk, Mas. Dan ibuk bilang aku sebaiknya datang saja padanya. Mas Nial nggak suka? Kalau begitu kita bisa cari dokter lain.""Oh? Mamah yang minta?""Iya.""Kalau begitu kita tetap periksa di sini.""Tapi tadi Mas Nial bilang ada banyak dokter mata di luar sana?""Tapi itu sebelum Mas tahu kalau mamah yang minta."Bela tersenyum semakin lebar saat mendengarnya. Ini seperti mereka jadi anak yang patuh pada ibu mereka. Dan melakukan apapun agar ibu mereka senang."Ini ruangannya?"Nial berhenti lebih dulu di depan sebuah ruangan dan Bela mengangguk men
Niko berteriak di dalam mobilnya sendiri. Memukul setir mobil dan menundukkan kepalanya. Membenturkannya dengan kesal."Kenapa itu harus Nial? Lelaki yang bahkan tangan matahari pun nggak bisa mengalahkannya? Apalagi aku?" Ia ingin menahan agar tidak menangis, tapi hatinya remuk redam.Mengingat waktu yang telah ia lewati bersama Bela membuatnya semakin terpuruk. Dia tahu dia adalah lelaki paling bodoh di dunia ini. Dia tahu dirinya pengecut.Yang selama ini sama sekali tak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada Bela, dia takut akan ditolak. Apalagi mengingat Bela hanya menganggapnya sebagai kakak tingkat yang dia kagumi.Niko tahu saat itu Bela juga menyimpan rasa yang sama untuknya. Andaikan dia saat itu mengatakan dia mencintai Bela, apakah perasaannya akan terbalas juga? Niko berpikir penuh pengandaian karena kini yang tersisa memang hanya sebatas pengandaian. Sejak saat Bela ditampar Vida di depan kampus dan dia melerai mereka hari itu, saat Bela mengatakan ia telah men
Terasa sangat lama, atau bahkan lebih cepat? Bela tidak tahu. Yang jelas, hari ini adalah hari wisudanya.Dia sudah bersiap sejak pagi dan prosesi hampir usai. Hall berskala raksasa penuh dengan jubah kebesaran mahasiswa. Bela juga dapat melihat Nial yang dalam setelan jas sedang menunggunya di luar setelah acara selesai.Bahkan Bela juga sempat mencuri pandang padanya saat dia hadir di antara ribuan tamu undangan. Lelaki paling menawan dan mencuri perhatian karena kharismanya yang tidak bisa diragukan."Mas Nial menungguku?"Bela tersenyum padanya sesampainya di depan. Sekeluarnya dari hall setelah acara ditutup."Cantiknya."Nial menyerahkan sebuket bunga dalam ukuran yang besar. Bunga peony, baby breath dan juga bunga lili, bunga casablanca warna putih yang semuanya ia sukai. Bunga itu ada di dalam buket yang sama dan diberikan oleh Nial. Bukankah itu seperti sebuah paket komplit?"Apa aku cantik?"Nial mengangguk. Sekilas menyentuh wajahnya."Ya, sangat cantik. Tadi pagi-pagi kamu
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si