Nial menekan enter di keyboardnya, yang secara otomatis mengirim pesan pada Jerry melalui email. Lalu meraih ponsel dari sisi kanannya.Pesan pada Jerry,'Sudah aku kirim melalui email. Istirahatlah! Selamat malam.'Balasan dengan cepat datang.'Iya, selamat malam, Pak Nial.'Nial memutar kursi kerjanya dan melihat ke ranjang. "Dia nggak ada di dalam kamar?"Nial bingung karena sedari tadi kediaman yang terjadi di sekitarnya karena ia menganggap Bela sudah terlelap. Tapi nyatanya dia tidak ada di sana. Bahkan selimutnya rapi."Di mana dia?"Nial melangkah keluar dari kamar, mencium bau gurih makanan yang pasti sedang ada di dalam oven."Hm ... harumnya ... dia membuatkanku makanan?"Nial setengah berlari saat menuruni tangga dan sampai di dapur. Mendengar suara oven yang 'bipbipbip' memberi peringatan dan Nial dengan sigap mematikannya. Meraih sarung tangan tebal dan mengeluarkan makanan yang dioven Bela dari dalam sana.Nial tersenyum saat melihat Bela yang tidur dengan meletakkan k
Nial berdiri di bawah shower sudah sejak tadi. Dia melamun, rencana olah raga pagi ini hanya jadi wacana, selagi sisa sabun yang ada di tubuhnya belum sepenuhnya dia guyur karena angannya melayang meninggalkan daratan.Ia meneguk salivanya dengan kasar saat meraba lehernya di mana saat ia berkaca tadi ada tanda merah yang ditinggalkan di sana. Tentu saja! Bela yang membuatnya.Memori semalam membuat naluri lelakinya kembali bangun. Bela menjadi agresif, nakal dan membentuk kedudukan yang lebih dominan dari pada dirinya."Astaga ... apa yang telah kulakukan padanya sampai dia jadi nakal begitu?"Dia mengusap wajahnya yang basah. Harus menghentikan pikiran ini sebelum hasrat yang lebih kuat kembali menggelora hebat dalam dirinya.Sementara dia menyelesaikan mandi, seseorang lainnya sedang merutuki dirinya sendiri.Itu adalah Bela yang masih ada di atas ranjang. Menyembunyikan diri di bawah selimut dengan tubuh tanpa sehelai benang sejak semalam."Aku sudah gila."Dia memukul lirih kepal
Tapi saat barisan reporter berita itu mendekat padanya dan Siska, tangan besar seseorang mencegahnya. Tangan itu tidak sendirian karena ada beberapa tangan lainnya yang mencegah mereka mengambil jarak yang lebih rapat.Bela baru tahu itu adalah bodyguard. Mereka adalah pengawal Nial yang datang dari Ones Air, Bela pernah melihat beberapa di antaranya dan mereka saat ini ada di sini.Mereka membentuk barikade pertahanan, mencegah agar tidak mendekat pada Bela, saat Nial juga ada di sana untuk menjemputnya. Ada Jerry juga yang masuk dalam pengawalan mereka."Kamu baik-baik saja?"Nial bertanya pada Bela. Merangkul pundaknya saat Siska merasa dia sedang berada dalam lokasi syuting drama Korea karena mereka benar-benar terlihat demikian.Bela yang dikejar wartawan, sudah pasti akan ditanyai soal skandal yang bergulir panas di luar sana. Dan saat hal itu terjadi, Nial datang menyelamatkannya."Iya, Mas. Aku baik-baik saja.""Nanti saja, ayo pergi dari sini!" Jerry memperingatkan. Dan tamp
Benar memang.Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Bela juga baru menyadarinya saat ini.Saat mereka duduk di hadapan meja yang sama dan menceritakan apa-apa saja yang terjadi pada hari itu. Pada masa itu.Bela kehilangan Nial-nya karena hilang ingatan. Tak lama setelahnya Siska mengalami kecelakaan dan Bela menolongnya dengan mendonorkan darahnya. Jerry yang tahu akan hal itu bertekad membawa Nial kembali mengingat Bela sebagai ucapan terima kasih.Peristiwa yang saling berkaitan satu sama lain.Dan di sini, di tempat Nial dulu mengajaknya rujuk, mereka duduk berempat. Menyadari hebatnya sebuah takdir yang telah ditulis oleh Tuhan. Takdir mereka, milik mereka.Bela memandang perubahan mimik wajah Nial yang tersenyum, menunduk penuh haru saat tahu semua orang menyayanginya."Terima kasih semuanya. Kalian membawaku kepada Bela."Nial berujar saat mengalihkan pandangannya pada Bela, meraih tangannya yang ada di atas meja. Meremasnya dengan lembut."Nggak banyak yang aku lakuka
Kesepakatan yang bahaya karena Bela akan habis dilahap oleh Nial malam ini. Tapi dia tidak bisa mengatakan tidak saat Nial telah membangkitkan semua geloranya bangun dari tidur. Bela tahu Nial adalah lelaki pebisnis. Tapi di atas ranjang, ini untuk pertama kalinya mereka membuat kesepakatan yang berbahaya.Berbahaya dalam tanda kutip karena sebenarnya yang terjadi adalah rasa nikmat akan sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme.Bela membuat Nial tersenyum menang. Sekaligus membuatnya berdiri, membuka ikat pinggangnya. Bela tidak tahu sejak kapan debaran jantungnya akan memuncak seperti ini. Nial membuatnya merasakan apa itu nafkah. Nafkah batin yang nikmat tak kepalang.Ya ....Meskipun harus begadang karena durasinya yang bukan main.***Bela menggeliat kecil saat mendengar suara alarm yang ia pasang di ponsel sejak KKN dan selalu lupa ia matikan sehingga selalu berbunyi di jam ini. Jam lima pagi.Dia meraba di bawah bantal. Mematikannya sebelum semakin beri
"Sayang? Sejak kapan kamu di sana?"Bela terkejut karena suara Nial memecah lamunannya. "Hah?"Bela mengerjapkan matanya beberapa kali. Melihat Nial yang berdiri di dekat samsak, mengatur napasnya yang naik turun tak beraturan."Sudah dari tadi. Mas Nial latihan tinju di sini?""Iya. Masuklah!"Bela mengangguk. Meraih handuk di atas meja tak jauh dari samsak berada. Menggunakanya untuk mengusap keringat Nial saat prianya itu tersenyum melihatnya. Duduk di bangku yang ada di sana."Aku mencarimu tadi.""Mas pergi saat kamu mandi." Nial menjawabnya sembari membuka sarung tinju. Membuka lilitan kain di dalamnya juga saat Bela selesai mengelap keringat di rambutnya."Kenapa? Kenapa kamu diam saja?" Nial bingung karena Bela tidak mengatakan apapun dan hanya memandangnya tanpa berkedip."Mas Nial, kamu membuatku jatuh cinta untuk yang ke dua ribu dua ratus dua puluh dua kalinya."Nial tertawa mendengar itu. Ia masih berfokus membuka lilitan di tangannya dengan napas yang memburu naik turu
"Kali ini Mas akan menemanimu sampai masuk ke dalam ruang dokter.""Kenapa? Mencegah SamuNikolass agar nggak menciumku lagi?"Bela menahan tawanya saat melihat wajah kesal Nial. Saat mereka berjalan di koridor rumah sakit dengan tangan Bela yang melingkar di lengannya sore ini."Iya, lagian kenapa sih kamu maunya cuma periksa di rumah sakit ini? Banyak dokter mata yang ada di luar sana loh!"Bela tersenyum saja."Dokter Airin itu temannya ibuk, Mas. Dan ibuk bilang aku sebaiknya datang saja padanya. Mas Nial nggak suka? Kalau begitu kita bisa cari dokter lain.""Oh? Mamah yang minta?""Iya.""Kalau begitu kita tetap periksa di sini.""Tapi tadi Mas Nial bilang ada banyak dokter mata di luar sana?""Tapi itu sebelum Mas tahu kalau mamah yang minta."Bela tersenyum semakin lebar saat mendengarnya. Ini seperti mereka jadi anak yang patuh pada ibu mereka. Dan melakukan apapun agar ibu mereka senang."Ini ruangannya?"Nial berhenti lebih dulu di depan sebuah ruangan dan Bela mengangguk men
Niko berteriak di dalam mobilnya sendiri. Memukul setir mobil dan menundukkan kepalanya. Membenturkannya dengan kesal."Kenapa itu harus Nial? Lelaki yang bahkan tangan matahari pun nggak bisa mengalahkannya? Apalagi aku?" Ia ingin menahan agar tidak menangis, tapi hatinya remuk redam.Mengingat waktu yang telah ia lewati bersama Bela membuatnya semakin terpuruk. Dia tahu dia adalah lelaki paling bodoh di dunia ini. Dia tahu dirinya pengecut.Yang selama ini sama sekali tak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada Bela, dia takut akan ditolak. Apalagi mengingat Bela hanya menganggapnya sebagai kakak tingkat yang dia kagumi.Niko tahu saat itu Bela juga menyimpan rasa yang sama untuknya. Andaikan dia saat itu mengatakan dia mencintai Bela, apakah perasaannya akan terbalas juga? Niko berpikir penuh pengandaian karena kini yang tersisa memang hanya sebatas pengandaian. Sejak saat Bela ditampar Vida di depan kampus dan dia melerai mereka hari itu, saat Bela mengatakan ia telah men