Bahkan Jaka tidak sanggup untuk melanjutkan halaman berikutnya, dia kali ini hanya menunggu satu pekan lagi untuk bertemu dengan Nasya, berharap bahwa kali ini ada perkembangan yang lebih mengenai kondisinya. Selain itu Jaka juga mulai memata-matai Anjas, dan dia berharap bahwa nanti Anjas akan mengakui kesalahannya lalu meninggalkan Nasya. Jaka tahu bahwa Anjas tidak meninggalkan Nasya karena Nasya sedang hamil begitu pula dengan Nasya yang tidak mungkin berpisah dengan Anjas karena dia sedang mengandung anak dari Anjas. Jaka yang sekarang mengendarai mobil mewahnya berada di hadapan gedung besar perusahaan miliknya. Dia tidak akan menoleransi sekali lagi jika Anjas masih mau mengambil cuti. Dan sekali lagi dia memanggil Anjas datang ke ruangan pribadinya, ada kemarahan luar biasa yang sekarang berada di dalam hati Anjas. Sangat berapi-api, rasanya dia ingin menghancurkan Anjas tepat saat itu juga. Jam sembilan pagi Anjas sudah berada di sana, di masuk setelah mengetuk pintu dan
Diary Nasya memperlihatkan tulisan-tulisan Nasya yang berisikan tentang apa pun yang dilupakan olehnya selama ini. Tatapan Nasya mengarah pada Anjas membaca buku itu. Sementara Anjas sendiri tidak menemukan apa pun yang membuatnya marah tapi dia menemukan sesuatu yang membuatnya merasa penasaran. Di buku catatan itu terdapat bekas sobekan, dan di mana kertas-kertas itu? Kenapa Nasya merobeknya atau ada sesuatu yang tidak Nasya inginkan dibaca oleh orang lain. "Kenapa Mas, kok kelihatannya nggak senang?" Nasya yang sekarang bersandar di kepala tempat tidur. Anjas menoleh ke arahnya dan menelan saliva lalu berkata, "Kok ada yang sobek, kamu sobek ya kertasnya?" Anjas memperlihatkan buku itu dan membuat Nasya meraihnya sambil memandangi bekas-bekas sobekan. "Hmm nggak tahu Mas, aku nggak tahu." Sambil melempar buku itu ke hadapan Anjas. Tangan Anjas mengepal, tapi dia tidak bisa melakukan apa pun, dia tidak bisa marah karena semuanya hanya akan sia-sia saja baginya untuk memarahi N
"Mbak Nasya." Suara itu terdengar, seiring berbunyinya pintu yang terbuka. Nasya saat ini duduk di teras rumah dan merasakan angin di siang hari. "Aku bawa minuman dingin untuk Mbak." Nasya menoleh kepadanya, kepada Anara yang memakai pakaian yang lebih tertutup dan sopan. Dia duduk di samping Nasya dan memberikan minuman dingin itu pada sang kakak. "Terima kasih." Nasya tersenyum menatap Anara yang berwajah manis padanya. "Aku nggak tahu kalau nggak ada kamu, Dek." "Nggak tahu apa, Mbak?" "Kamu udah mau direpotkan sama aku, sama Mas Anjas," kata Nasya dengan tenang. Rasanya juga sangat menyakitkan baginya jika terus merepotkan, Nasya. "Repot? Nggak kok Mbak, aku sama sekali nggak repot, aku malah senang, kalau aku bisa bantuin Mbak sama Mas Anjas." Aksi Nasya terangkat, perutnya sudah mulai membesar tetapi ingatannya masih sangat buruk. Walaupun Nasya sudah menyadari bahwa dia sedang sakit dan mengandung, dia masih sulit mengingat apa yang terjadi. Bahkan ingatannya akhir-akhi
Langkah kaki Nasya terus berjalan, dia berjalan entah mau ke mana, dia hanya melangkah hingga dia tidak tahu lagi akan ke mana kakinya membawanya. Ada jalan buntu yang tidak bisa dia lewati, membuat beberapa warga yang melihatnya berdiri di sana hampir beberapa jam langsung mendekatinya. Bertanya apa yang terjadi padanya dan kenapa dia berada di sana. Apa ada tempat yang ingin dia datangi atau ada sesuatu yang dia cari. Tapi ketika di tanya Nasya hanya diam menatap mereka seolah kehilangan kata untuk diucapkan. Ya ini salah satu efek dari penyakitnya. Tidak melakukan terapi dan tidak berobat. Membuat Nasya semakin parah. Bukan hanya itu, Jaka tak lagi datang kepadanya bukan karena Jaka lupa tapi karena Jaka tidak punya kesempatan untuk membantunya. Anara terus berada di rumah dan Anjas tak lagi meninggalkan kantor, membuat Jaka tak berani secara terang-terangan datang ke rumah Nasya. Dia hanya berad di jalan poros menunggu jika Nasya datang tiba-tiba tapi Nasya tidak pernah datan
"Akh Mas! Terus Mas! Akh!" Gairah Anjas terus bertambah ketika Anara semakin membesarkan desahannya, erangan demi erangan membuat Anjas semakin berkeringat. Anara hanya berbaring dan meremas rambut jatuh Anjas yang terurai, hanya selimut yang menutup tubuh mereka yang tak berkain sama sekali. Semua rasa penat di kepala Anjas menghilang dan hanya ada kenikmatan yang dia rasakan, sudah lama sekali dia tidak kehilangan stres yang selalu ada di kepalanya. Setiap kali dia menyentuh Anara dan terus menikmati tubuh adik iparnya, rasanya masalah yang ada dalam kepalanya menghilang entah ke mana. "Ini ... Ini yang kamu mau! Ahk adik iparku!" "Iya Mas! Iya! Aku mau kamu! Semuanya! Argh! Aku cinta mati sana kamu Mas! Aku milik kamu! Semuanya Argh Mas Anjas!" Wajah yang mengeras itu, dan mata yang penuh nafsu, serta tubuh yang merasakan kenikmatan, tak menyadari bahwa seseorang sudah menggedor-gedor pintu rumah mereka. Tetapi teriakan dan nafsu yang terus tumbuh membuat mereka seakan tak
Sudah berhari-hari bahkan sepekan, hingga tiga pekan Jaka tidak bertemu dengan Nasya. Rumahnya bahkan selalu tertutup dan Jaka kadang hanya melihat gadis lain keluar dari rumah itu. Dia bertanya-tanya di mana Nasya. Bahkan sudah sering kali dia dihubungi oleh dokter Afia akan keberadaan Nasya tapi Jaka tidak bisa memberikan kepastian pada dokter Afia tentang kapan Nasya akan datang lagi. Karena hingga saat ini, sekarang, Jaka masih berusaha keras agar dia bisa membawa Nasya ke rumah sakit tanpa sepengatahuan siapa pun. Sekarang, mobil hitam mewah miliknya berhenti beberapa meter di hadapan rumah sederhana milik Nasya dan Anjas. Dia menyipitkan mata dan mencoba agar dia bisa mendapatkan kesempatan, tapi kesempatan itu tidak datang. Sementara di sisi yang lainnya, Anara berdiri di teras dan melihat mobil hitam yang dia perhatikan sejak tadi masih berada di sana. Sudah beberapa hari mobil itu berada di sana tapi Anara tidak ingin menggubris si pengemudi. Saat masuk ke dalam rumah, t
Adalah sesuatu yang mengejutkan bagi Anara dengan sikap Nasya baru saja. Dia bahkan memecahkan cermin dan bersikap sanga dingin. Anara tentu merasa ada yang aneh, padahal selama ini Nasya memang aneh, sejak awal dia menderita penyakit yang dideritanya sekarang, Nasya bersikap sangat berbeda. Apa yang diharapkan Anara adalah Nasya yang diam saja dan tidak perlu melakukan apa pun, karena yang diinginkan Anara hanyalah bisa mendapatkan Anjas saja. Lagi pula pemilik rumah mereka masih atas nama Anjas, sehingga Anara bisa memastikan masa depan yang baik jika bersama Anjas. Sayangnya yang dia tidak ketahui adalah Anjas yang sama sekali tidak becus mencari kerja. "Maaf Mbak, tadi aku—" Suara ketukan pintu lintu tiba-tiba berbunyi, Nasya yang mendengar itu langsung bergerak ke arah pintu dan membuka pintu itu perlahan. Mata Nasya langsung berbinar melihat siapa yang datang, "Ibu?" Suaranya cukup bersemangat dan membuat Anara bergerak dan berdiri di belakang sang kakak. "Aduh Nak, Ibu
Semua diam tentu saja, mereka tidak bisa mengerti kenapa Nasya tiba-tiba bersikap aneh. Anara sendiri tidak tahu bagaimana dia akan menjelaskan kepada orang tuanya. Lalu beberapa saat kemudian sebuah mobil berhenti di hadapan rumah, Anara langsung membuka tirai jendela dan melihat yang datang adalah mobil Anjas. Akhirnya Anjas datang, mungkin dia bisa menjelaskan semuanya, pikir Anara dan dengan cepat membuka pintu rumah, berjalan keluar. "Bu, Pak. Seharusny kan kalian ngabarin aku," kata Nasya yang kini kembali duduk di sofa. "Aku sama Anara bisa siapkan sesuatu untuk Ibu sama Bapak, kan. Oh iya, kalian bakal lama kan di sini?" Senyum itu tidak hilang, dan membuat kedua orang tuanya hanya bisa menganga tidak percaya. Mereka tidak tahu harus mengatakan apa. Pasangan sebaya ini saling memandang satu sama lain dan bertanya-tanya. "Nasya, Ibu sama Bapak kamu sudah sejak tadi Nak, berada di sini." "Oh gitu ya, aduh Anara du mana, kok nggak keliatan. Aku cari dia di kamarnya ya Bu, P
Keputusan yang sangat berat, membuat Nasya melupakan semuanya lalu menulis kenangan baru? Itulah yang disampaikan oleh Anjas kepada Aina yang saat ini masih mengejar Jaka, ya berkat dukungan ibu Jaka. "Itu bisa menjadi peluang mu, Anjas, kau bisa kembali menarik perhatian Nasya jika itu terjadi, sementara Jaka, dia sulit merayu seorang wanita, Nasya akan sulit jatuh cinta padanya." "Nasya membenciku." Anjas yang sekarang memainkan secangkir kopi yang berada di hadapannya, dia menoleh ke samping dan berkata lagi, "Jaka bahkan berhasil membuatku ragu tentang anakku sendiri, dia berkata seharusnya aku mengecek kondisi fisik ku, secara tidak langsung dia mendidih aku mandul." Anjas mengepalkan tangan. "Jadi, Jaka berpikir bahwa Aysan adalah anaknya?" "Entahlah. Aku tidak tahu, hanya saja dengan hal itu, aku meragukan diriku sendiri." Dia lalu meraih gelas berisikan kopi hangat lalu meneguknya dalam sekali tegukan. "Tapi." Iya menekan gelas itu ke meja dan hampir meremukkan dengan tang
"Kau, astaga kau pikir kau siapa!" Jaka menghentakkan tubuh Anjas ke lantai dan kepalanya terbentur tepat ke dinding. "Kau sudah menghancurkannya, sejak awal, kau merebutnya dariku dan berharap agar bisa merebut Nasya lagi? Kau membuatnya menderita dan kau pikir kau akan mendapatkan kesempatan lagi hanya karena dia melupakan banyak hal tentang ku, he?" Jaka memberikan pelajaran pada Anjas walaupun dokter berusaha menenangkan Jaka tapi tetap saja kemarahan Jaka luar biasa, walau demikian Anjas juga Tidka ingin tinggal diam, dia lalu berdiri dan melawan Jaka dengan perkataan. "Walau pun kau berusaha keras untuk mengambil Nasya dariku, aku pastikan bahwa dia tidak akan mau dengan mu! Sia mencintai ku selamanya, dan aku adalah ayah dari putranya, aku adalah ayah Aysan."Jaka alu tertawa terbahak-bahak, dia maju selangkah, matanya seolah akan segera keluar dari kelopak matanya dengan urat wajah yang begitu terlihat jelas. "Aku pikir kau tahu soal ini, Anjas." Jaka tertawa, dia menggelen
"Apa yang harus aku lakukan Dok? Dia bahkan tidak bisa mengingat anaknya sendiri." Jaka tampak frustasi, luar biasa, dia meremas rambut tebalnya dan mengepalkan tangan satunya. Dokter yang duduk di belakang meja hanya bisa menghela nafas melihat betapa frustasinya Jaka. "Satu-satunya jalan adalah melakukan operasi, beda, ini bukan hanya mengenai psikologis Bu Nasya, tapi juga terjadi benturan di kepalanya, bukan hanya trauma tetapi juga masalah di dalam otaknya, kami sudah menemukan titik masalahnya, apa yang terjadi pada Bu Nasya sepenuhnya adalah trauma dan luka dalam." "Jadi ... Apa hal itu bisa membantunya, dokter?" Sang dokter tampak ragu tapi pada akhirnya dia menganggukkan kepala, dan berkata kepada Jaka, "Ya, kami akan melakukan yang terbaik untuk Bu Nasya dan Anda, Anda tak perlu cemas, serahkan semuanya kepada medis, Pak Jaka." Jaka merasa bahwa dia diberikan sebuah pencerahan yang dapat membuatnya merasa lega sempurna. Dia lu berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan
Jaka panik luar biasa stelah dia melihat Nasya saat ini berada di dalam mobil yang berbeda dengannya, sebuah mobil taksi ke sebuah tempat yang dia kenali, yaitu rumah Anjas. Rupanya Nasya masih mengingat mengenai rumah mantan suaminya, tapi memorinya selama tiga tahun berlalu tidaklah dia ingat. Sementara di sisi yang lainnya Aysan sekarang berada di dalam rumah sakit dan berada dalam perawatan yang serius, yang membuat Jak betul-betul tidak bisa memahami situasi dan bagaimana dia akan mengontrol semua ini, semua yang terjadi sekarang. Walau pun seperti itu, dia tidak bisa melakukan apa pun selain ikut di belakang mobil taksi yang Nasya tumpangi, dan kini mobil itu berhenti tepat di hadapan rumah Anjas, sore sudah tiba, dan mungkin Anjas sudah berada di rumah saat ini, karena sudah jam pulang kantor. Nasya yang keluar dari taksi langsung menggedor-gedor pintu sambil berteriak di depan pintu, "Anjas, Mas, tolong cepat buka pintunya." "Nasya." Tangan Jaka langsung mencengkeram lenga
"Astaga." Kepanikan tentu saja sekarang dirasakan oleh Nasya, melihat bocah yang terus-menerus memanggilnya Mama sekarang terjatuh dari tangga menuju lantai paling bawah dan sekarang tubuhnya membeku tidak tahu bagaimana dan apa yang harus dilakukan olehnya. Tetapi beberapa saat kemudian dia tersadar bahwa kekacauan itu terjadi karenanya, Lalu Nasya kemudian berlari menuruni tangga. "Aku mohon jangan terjadi sesuatu, kamu harus baik-baik saja, apa yang aku telah lakukan padanya." air mata kemudian mengalir dari pipinya. dia langsung membungkuk dan meraih tubuhnya yang kepalanya sekarang terbentur dan mengalir darah dari sana. bocah ini tidak sadarkan diri Nasya sama sekali tidak tahu bagaimana harus apa. Jadi yang dia lakukan adalah mungkin membaca itu dan keluar dari rumah, ke arah pos satpam. Nasya sekarang panik lalu berteriak, "Tolong, terjadi sesuatu, Tolong! Bantu aku, Pak." satpam yang sedang meminum kopi dan membaca koran di pos satpam yaitu mendengar suara Nasya langsung
"Akan ada operasi yang mungkin kau akan lakukan, jadi aku mohon janga membangkang untuk kesembuhan kau, Nasya, aku harap aku paham." Jaka yang saat ini masih memandang ke arah Nasya yang duduk di hadapannya. sebenarnya pikran Nasya masih ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jaka tetapi sepertinya berbeda dengan hati Nasya yang tentu saja masih berpikir bahwa Anjas atau mantan suaminya itu adalah pribadi yang setia dan tidak mungkin menghianati Nasya. jadi Nasya masih memilih untuk tidak mempercayai apa yang Jaka katakan. "Aku hanya ingin sekali saja bertemu dengan Anjas dan mendengar apa yang dia katakan, jika kau mengurungku seperti ini bagaimana aku bisa percaya kepadamu, aku sama sekali tidak ...." dia menundukkan kepala dan merasa bimbang dengan apa yang harus dia katakan. Sesekali dia menelan saliva dan mencoba berpikir kata apa yang harus dia keluarkan dari mulutnya. "tentu saja ... astaga apa yang harus aku katakan lagi agar bisa membuat kau percaya. sepertinya tidak
"Aku sudah katakan semuanya, berkali-kali, Nasya, tapi kenapa kau sama sekali tidak percaya?" Jaka mencondongkan tubuhnya ke arah Nasya yang menghindar dan mengernyitkan kening. "Tolong jangan terlalu dekat dengan ku," ucap Nasya, dia memalingkan pandangan dan Jaka merasa bahwa ya sebaiknya Nasya diberikan sedikit ruang. Lalu tidak lama setelah itu, Boca berusia tiga tahun yang sudah bisa dikatakan aktif dalam berbicara dan memahami pembicaraan ringan seseorang itu berjalan ke arah Jaka. "Aysan." Jaka berdiri dari duduknya dan menghampiri Aysan, "Apa kau butuh sesuatu?" "Apa Mama masih marah sama Aysan?" dia menundukkan kepala cara dia bicara masih sangat sulit untuk dipahami tapi Jaka bisa cukup memahami ucapan Aysan, Nasya juga bisa memahami ucapan itu tapi dia memalingkan pandangannya sekarang, dia tidak ingin memikirkan banyak hal selain pikirannya sendiri yang lupa semuanya. Sementara Jaka dia berlutut setengah di hadapan Aysan dan berusaha meyakinkan bocah itu. "Aysan, Nak.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," ucap Nasya yang sekarang berada dalam kondisi yang berantakan, wajahnya dan rambut gelombang yang bahkan belum disisir, matanya menandakan bahwa dia lelah dan tidak bisa berpikir jernih. Semua seolah menghilang dari memorinya. Dan hidup seolah tetap sama, dia merasa bahwa hidupnya sama seperti sebelumnya, tidak seperti apa yang dilihatnya sekarang, yaitu Jaka yang berada di hadapannya mungkin hanyalah omong kosong yang dibuat-buat oleh Jaka untuk mendekati Nasya, itulah Jaka di pikiran Nasya. "Seperti apa?" Jaka yang menyuguhkan makanan di atas meja, sekarang mereka berada di taman halaman depan rumah, Nasya tidak mau makan jika masih berada di dalam rumah karena dia menganggap bahwa jika dia terus berada di dalam rumah maka dia seolah dikurung di dalam sana. Dan dia tidak ingin seperti itu, Jaka pun tidak mau Nasya berpikir demikian. Sehingga yang dia lakukan adalah menuruti saja apa yang diinginkan oleh Nasya untuk saat ini. "Kau seperti menguru
Tok ... tok ... tok .... Suara ketukan yang datang dari luar kamar Nasya, saatnya adalah sarapan pagi, Nasya tidak membuka pintu semalam sehingga tidak ada makan malam yang membuat Jaka merasa cemas. Bagaimana tidak, Nasya menolak bertemu sementara Jaka terus membujuk dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau berusaha, Jaka masih belum bisa membujuk. Pagi harinya, Jaka masih berusaha keras, tapi sepertinya Nasya masih menolak, karena itulah Jaka pun mencoba untuk membujuk satu kali, berharap kali ini Nasya mengurungkan niat untuk bersifat keras. Ketukan demi ketukan, bujukan demi bujukan, tak ada satu pun yang berhasil. Aysan juga sudah sangat ingin bertemu dengan ibunya, yang semakin membuat Jaka merasa tidak nyaman. Makan malam gagal, sarapan pagi pun tidak digubris, hingga akhirnya makan siang tiba, Jaka bahkan tidak masuk kerja, dan dia pun bersama dengan Aysan mencoba membujuk Nasya. "Mama tidak mau makan." Aysan dengan ucapan yang masih belum fasih, "Aku tidak mau kalau Mama