"Di mana Nasya sekarang, dia hilang tadi akan mencari Anara, ke mana dia?" Sang ibu terdengar cemas dan dia berdiri dari sofa. Anjas yang menundukkan kepala kini berkata dengan pelan, "Dia ada di kamarnya, pasti dia lupa lagi kalau kalian ada di sini." "Lalu kenapa dia ingat kalau adiknya ada di sini? Kenapa dia ingat kalau kau itu suaminya!" Anjas langsung mengangkat pandangannya pada sang ibu mertua, ucapannya sangat menyakitkan dan dia menjelaskan, "Semuanya terjadi setelah Anara susah berada di sini, ingatan Nasya terganggu setelah kedatangan Anara, jadi dia hanya ingat tentang aku dan Anara, dan sisanya dia tidak bisa mengingat banyak hal dalam waktu lama." Sang ibu mertua menggelengkan kepala menatap Anjas, dia berkacak pinggang lalu berkata pada suaminya, "Tetaplah di sini Pak, aku mau lihat Nasya dulu." Langkah kaki itu berjalan masuk ke dalam kamar putrinya yang sekarang duduk diam di depan cermin, tatapannya kosong dan seoalah dia tidak punya semangat. "Ibu ada di sini
"Kamu harus pulang ke desa, Anara. Biar ibu yang ada di sini, kamu harus pulang sama bapakmu," kata snag ibu yang duduk di samping Anara. "Nggak Bu, aku nggak mau balik ke desa." Nada suara Anara kesal, wajahnya cemberut, dan mereka berdua sekarang berada di dalam kamar Anara. "Kamu pikir kamu bisa merawat Mbak mu? Kamu itu nggak tahu apa-apa Nara, lebih baik kamu sama bapakmu rawat kebun di desa, kalau masalah ini Ibu yang harus turun tangan." Anara yang merasa keberatan mengentakkan tangan ibunya dan berdiri, "Nggak, pokoknya Anara nggak mau pulang Bu, Anara mau di sini. Lagi pula Anara punya banyak teman di sini, di desa, ah mereka kampungan!" Suaranya terdengar dari luar sana Anjas yang berada di dekat kamar Anara itu mendengarkan percakapan yang sedang terjadi. "Ibu nggak bakal tenang kalau Ibu nggak sama Nasya, dia lagi hamil, terus sakit pula, astaga, kalau ibu pulang pasti ibu hanya terus memikirkan Nasya dan kepala ibu akan meledak, tapi kalau ibu nggak pulang, siapa yan
"Pokoknya orang tua kamu nggak bisa terus ada di sini, atau kamu aja yang balik ke desa!" Anjas berbisik dengan nada kasar kepada Anara. "Tapi Mas mau gimana lagi, ibu aku maks untuk tinggal di sini. Lagi pula kan seharusnya Mas yang bicara sama mereka, kenapa harus aku?" Anara memalingkan pandangannya, saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah, pagi sekali, orang tua mereka mungkin belum bangun. "Tentu harus kamu!" Anjas mencengkeram tangan Anara dan membuat Anara menghentakkan tangan Anjas dan menatap suami kakaknya itu dengan tajam. "Apa-apaan sih Mas. Kok Mas jadi kasar gini sih. Lagian ya kalau Mas memang mau aku pulang ke desa ya nggak apa-apa, aku nggak masalah!" Anara kembali memalingkan pandangan setelah memutar bola matanya tanda bahwa dia tentu kesal dengan sikap Anjas. "Oh, jadi sekarang kamu berani ya. Oke kalau begitu, kalau kamu memang mau pulang ke desa pulang aja. Lagi pula ada ibu kamu toh yang bisa jagain Nasya." Anjas yang tampak menerima tawar
Flasback .... Ketika Anjas berjalan dari dapur ke kamarnya, dia melihat pintu kamar Anara sedikit terbuka dan ketika itu pula dia berhenti tepat di sana dan menyadari bahwa Amara sedang tertidur tanpa selimut dengan kaki telanjang dan baju tidur yang tipis. Bukan sekali Anjas melakukan hal demikian, sering kali dan yang bisa dia lakukan hanyalah hal seperti itu, dan dengan sadar memiliki harapan liar terhadap adik iparnya sendiri, entah apa yang dipikirkan Anjas ketika melihat tubuh indah Anara. Maka ketika Anjas masuk ke dalam kamarnya dan melihat sang istri berada adi atas ranjang dengan posisi yang sama seperti dia melihat Anara, maka pada saat itu pula dia lupa menutup pintu dan membiarkan pintu kamar itu terbuka cukup lebar. "Mas, aku lagi nggak pengen." Nasya yang menghindar dari suaminya setalah Anjas menjatuhkan pelukan dan beberapa ciuman liar pada Nasya. "Kok nggak pengen sih sayang?" Anjas dengan mata yang penuh harap. "Besok aku mau masuk ngajar Mas, aku nggak boleh
"Mas Anjas, Mas kan tahu ya kalau aku sakit Alzheimer dan aku rasa aku lagi hamil sekarang Mas, kok nggak nemuin obat ya buat aku?" Nasya mencari-cari di lemari, mungkin sesuatu yang bisa membuatnya mempertahankan ingatannya lebih lama. "Oh soal itu, aku belum bicara soal dokter." Anjas yang baru saja masuk ke dalam kamar, di keningnya terlihat keringat dingin. "Aku mau mandi dulu ya sayang, aku mau berangkat ke kantor." Anjas yang sekarang masuk ke dalam kamar mandi pribadi mereka. Nasya hanya menggelengkan kepala, "Mas kalau aku punya obat tolong taruh aja di atas nakas ya. Terus tulis keterangannya." "Hmm." Kerang air kini menyala tanda bahwa Anjas sedang mandi di dalam sana. Pagi-pagi sekali dan Anjas bahkan tidak bisa menghilangkan stresnya saat ini. Sangat mirip karena dia sendiri sulit untuk tenang di rumahnya sendiri. Dia membiarkan setiap butir air yang keluar dari shower jatuh di atas tubuhnya dan mengingat apa yang tadi pagi dia lakukan dengan Anara, dan dengan sadar d
Sarapan sudah berada di atas meja, Nasya yang merasakan tubuhnya sedikit pegal tetapi masih terasa segar karena dia baru saja mandi dan sekarang berada di dapur, tapi mata Nasya tak menemukan Anara. Karena yang sekarang menyajikan sarapan adalah ibunya, membuat Nasya cukup heran kenapa ada sang ibu di dalam dapur. Dia tidak mampu mengingat akan kedatangan sang ibu. Tentu Nasya sadar bahwa dia menderita penyakit lupa ingatan tapi ini sangat menyiksanya, dia merasa takut dan tidak bisa berpikir lebih berat lagi karena dia akan jatuh pingsan seperti sebelumnya jika dia memaksa untuk mengingat apa yang terjadi padanya. Keseimbangan tubuhnya hampir saja menghilang ketika dia terus menerus memaksakan diri, dan membuat kedua orang tuanya merasa cemas. "Kamu baik-baik saja toh, Nak?" tanya sang ibu, tapi Nasya tidak menjawab, ayahnya yang diam membisu dengan tatapan yang kosong itu menarik kursi dan mempersilakan putrinya untuk duduk. "Sejak kapan kalian datang?" Kedua orang tuanya sali
"Aduh bagaimana ini, Nak Anjas, bagaimana semuanya bisa terjadi, kenapa Anara tiba-tiba berpikiran mau bunuh diri." Suara wanita setengah baya ini, mulai meneteskan air mata dan mondar-mandir di hadapan pintu ruang rawat. "Entahlah Bu, Anjas juga nggak tahu." Anjas merasa bahwa Anara melakukan semua ini hanya untuk menarik perhatian atau hanya akal bulus saja, tapi saat ini bukan hal itu yang harus dipikirkan Anjas. "Nasya, bagaimana dengan Nasya? Seseorang harus pulang dan jagain Nasya." Tatapan wanita ini kini berada pada sang suami. "Pak, bapak sebaiknya pulang dan jagain Nasya biar Ibu aja yang di sini. Nak Anjas juga harus pergi kerja." Tatapan Anjas mengarah kepada ayah mertuanya yang sedang bicara dengan istrinya menggunakan bahasa isyarat, yang tidak begitu dipahami oleh Anjas. "Baiklah Bu, biar aku antar Bapak ke rumah, terus aku ke perusahaan." "Iya Nak, Iya, biar ibu di sini." Maka Anjas dan ayah mertuanya itu pun berjalan pergi dari sana, dan saat mereka berjalan men
"Kenapa kamu tiba-tiba tutup pintunya, kenapa harus dikunci?" kata Anjas yang sekarang masuk ke dalam rumah bersama sang ayah mertua. "Aku juga nggak ingat kenapa aku kunci rumahnya, kok Mas bareng bapak, sih. Pak bapak nggak sama ibu?" Sang ayah menggelengkan kepala dan berbicara dengan bahasa isyarat yang berkata, 'Adik kamu di rumah sakit, ibu mu harus jagain dia.'Setelah mengetahui hal itu, Nasya langsung cemas tapi Anjas tidak menggubris dan hanya mengambil tas lalu pergi dari sana menuju kantor. Dia pasti akan kena marah lagi, dia sudah berkali-kali terlambat. Sebenarnya sebelum ini dia jarang kena marah oleh Jaka, dan lebih sering ditegur oleh kepala divisi, tapi entah mengapa akhir-akhir ini Jaka sering kali memarahinya. Anjas berusaha untuk tidak berpikir sesuatu yang aneh, dia hanya ingin bekerja dengan tenang dan hidup dengan tenang pula. Tapi keputusannya untuk berselingkuh dari Nasya ditambah dengan penyakit Nasya yang tiba-tiba diderita olehnya tentu cukup merepotk