"Pokoknya orang tua kamu nggak bisa terus ada di sini, atau kamu aja yang balik ke desa!" Anjas berbisik dengan nada kasar kepada Anara. "Tapi Mas mau gimana lagi, ibu aku maks untuk tinggal di sini. Lagi pula kan seharusnya Mas yang bicara sama mereka, kenapa harus aku?" Anara memalingkan pandangannya, saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah, pagi sekali, orang tua mereka mungkin belum bangun. "Tentu harus kamu!" Anjas mencengkeram tangan Anara dan membuat Anara menghentakkan tangan Anjas dan menatap suami kakaknya itu dengan tajam. "Apa-apaan sih Mas. Kok Mas jadi kasar gini sih. Lagian ya kalau Mas memang mau aku pulang ke desa ya nggak apa-apa, aku nggak masalah!" Anara kembali memalingkan pandangan setelah memutar bola matanya tanda bahwa dia tentu kesal dengan sikap Anjas. "Oh, jadi sekarang kamu berani ya. Oke kalau begitu, kalau kamu memang mau pulang ke desa pulang aja. Lagi pula ada ibu kamu toh yang bisa jagain Nasya." Anjas yang tampak menerima tawar
Flasback .... Ketika Anjas berjalan dari dapur ke kamarnya, dia melihat pintu kamar Anara sedikit terbuka dan ketika itu pula dia berhenti tepat di sana dan menyadari bahwa Amara sedang tertidur tanpa selimut dengan kaki telanjang dan baju tidur yang tipis. Bukan sekali Anjas melakukan hal demikian, sering kali dan yang bisa dia lakukan hanyalah hal seperti itu, dan dengan sadar memiliki harapan liar terhadap adik iparnya sendiri, entah apa yang dipikirkan Anjas ketika melihat tubuh indah Anara. Maka ketika Anjas masuk ke dalam kamarnya dan melihat sang istri berada adi atas ranjang dengan posisi yang sama seperti dia melihat Anara, maka pada saat itu pula dia lupa menutup pintu dan membiarkan pintu kamar itu terbuka cukup lebar. "Mas, aku lagi nggak pengen." Nasya yang menghindar dari suaminya setalah Anjas menjatuhkan pelukan dan beberapa ciuman liar pada Nasya. "Kok nggak pengen sih sayang?" Anjas dengan mata yang penuh harap. "Besok aku mau masuk ngajar Mas, aku nggak boleh
"Mas Anjas, Mas kan tahu ya kalau aku sakit Alzheimer dan aku rasa aku lagi hamil sekarang Mas, kok nggak nemuin obat ya buat aku?" Nasya mencari-cari di lemari, mungkin sesuatu yang bisa membuatnya mempertahankan ingatannya lebih lama. "Oh soal itu, aku belum bicara soal dokter." Anjas yang baru saja masuk ke dalam kamar, di keningnya terlihat keringat dingin. "Aku mau mandi dulu ya sayang, aku mau berangkat ke kantor." Anjas yang sekarang masuk ke dalam kamar mandi pribadi mereka. Nasya hanya menggelengkan kepala, "Mas kalau aku punya obat tolong taruh aja di atas nakas ya. Terus tulis keterangannya." "Hmm." Kerang air kini menyala tanda bahwa Anjas sedang mandi di dalam sana. Pagi-pagi sekali dan Anjas bahkan tidak bisa menghilangkan stresnya saat ini. Sangat mirip karena dia sendiri sulit untuk tenang di rumahnya sendiri. Dia membiarkan setiap butir air yang keluar dari shower jatuh di atas tubuhnya dan mengingat apa yang tadi pagi dia lakukan dengan Anara, dan dengan sadar d
Sarapan sudah berada di atas meja, Nasya yang merasakan tubuhnya sedikit pegal tetapi masih terasa segar karena dia baru saja mandi dan sekarang berada di dapur, tapi mata Nasya tak menemukan Anara. Karena yang sekarang menyajikan sarapan adalah ibunya, membuat Nasya cukup heran kenapa ada sang ibu di dalam dapur. Dia tidak mampu mengingat akan kedatangan sang ibu. Tentu Nasya sadar bahwa dia menderita penyakit lupa ingatan tapi ini sangat menyiksanya, dia merasa takut dan tidak bisa berpikir lebih berat lagi karena dia akan jatuh pingsan seperti sebelumnya jika dia memaksa untuk mengingat apa yang terjadi padanya. Keseimbangan tubuhnya hampir saja menghilang ketika dia terus menerus memaksakan diri, dan membuat kedua orang tuanya merasa cemas. "Kamu baik-baik saja toh, Nak?" tanya sang ibu, tapi Nasya tidak menjawab, ayahnya yang diam membisu dengan tatapan yang kosong itu menarik kursi dan mempersilakan putrinya untuk duduk. "Sejak kapan kalian datang?" Kedua orang tuanya sali
"Aduh bagaimana ini, Nak Anjas, bagaimana semuanya bisa terjadi, kenapa Anara tiba-tiba berpikiran mau bunuh diri." Suara wanita setengah baya ini, mulai meneteskan air mata dan mondar-mandir di hadapan pintu ruang rawat. "Entahlah Bu, Anjas juga nggak tahu." Anjas merasa bahwa Anara melakukan semua ini hanya untuk menarik perhatian atau hanya akal bulus saja, tapi saat ini bukan hal itu yang harus dipikirkan Anjas. "Nasya, bagaimana dengan Nasya? Seseorang harus pulang dan jagain Nasya." Tatapan wanita ini kini berada pada sang suami. "Pak, bapak sebaiknya pulang dan jagain Nasya biar Ibu aja yang di sini. Nak Anjas juga harus pergi kerja." Tatapan Anjas mengarah kepada ayah mertuanya yang sedang bicara dengan istrinya menggunakan bahasa isyarat, yang tidak begitu dipahami oleh Anjas. "Baiklah Bu, biar aku antar Bapak ke rumah, terus aku ke perusahaan." "Iya Nak, Iya, biar ibu di sini." Maka Anjas dan ayah mertuanya itu pun berjalan pergi dari sana, dan saat mereka berjalan men
"Kenapa kamu tiba-tiba tutup pintunya, kenapa harus dikunci?" kata Anjas yang sekarang masuk ke dalam rumah bersama sang ayah mertua. "Aku juga nggak ingat kenapa aku kunci rumahnya, kok Mas bareng bapak, sih. Pak bapak nggak sama ibu?" Sang ayah menggelengkan kepala dan berbicara dengan bahasa isyarat yang berkata, 'Adik kamu di rumah sakit, ibu mu harus jagain dia.'Setelah mengetahui hal itu, Nasya langsung cemas tapi Anjas tidak menggubris dan hanya mengambil tas lalu pergi dari sana menuju kantor. Dia pasti akan kena marah lagi, dia sudah berkali-kali terlambat. Sebenarnya sebelum ini dia jarang kena marah oleh Jaka, dan lebih sering ditegur oleh kepala divisi, tapi entah mengapa akhir-akhir ini Jaka sering kali memarahinya. Anjas berusaha untuk tidak berpikir sesuatu yang aneh, dia hanya ingin bekerja dengan tenang dan hidup dengan tenang pula. Tapi keputusannya untuk berselingkuh dari Nasya ditambah dengan penyakit Nasya yang tiba-tiba diderita olehnya tentu cukup merepotk
"Memangnya ada apa sih Nak, sampai kamu harus mencoba untuk bunuh diri?" Saat ini sang ibu sudah berada di dalam kamar rawat Anara. Gadis dengan wajah imut yang menggemaskan ini hanya tampak cemberut, dia sudah bangun beberapa saat lalu. "Aku stres Bu, aku nggak mau balik ke desa, aku benci di sana." Nada suara Anara ketus dan membuat sang ibu seoalah merasa bersalah. "Aduh apa cuman gara-gara itu ya?" Sang ibu duduk dan merenung dengan wajah yang lemah, tentu dia merasa heran kenapa putrinya sampai benci untuk kembali ke desa. "Cuman? Bu, orang-orang yang ada di desa itu jahat-jahat, omongan mereka nggak bisa aku toleransi, apalagi kalau tahu aku nggak masuk kuliah, pasti mereka bakal terus bergunjing!" Suara Anara mulai membesar. "Tetapi bagaimana dengan Bapakmu, Nak, kalau kamu nggak balik siapa yang akan jagain bapakmu." "Ya Ibu lah!" Suara itu semakin membesar, "Mana mungkin aku mau jagain bapak, toh dia udah dewasa, usah mau kakek-kakek juga, kenapa harus dijagain! Lagian
"Aku ... Merasa bahwa aku ingat semuanya Mas," ucap Nasya dan menatap ke arah Anjas, "Aku bisa mengingat sesuatu yang terus-menerus terjadi, ibu dan bapak ada di sini, tapi untuk kejadian-kejadian lain, aku ... Aku masih sulit mengingat semuanya." Anjas yang masih mengunyah makanan memutar bola matanya mengarah pada Anara yang terlihat pucat dan kemudian mengarah ke ayah mertuanya. "Wah bagus lah kalau begitu, ada perkembangan, Nasya." Sang ibu tersenyum dan Nasya ikut tersenyum ke arahnya. "Hmm, aku juga senang, Nasya. Aku senang kamu bisa memperlihatkan perkembangan sekarang sayang." Anjas mengelus punggung tangan istrinya dan tersenyum kepadanya. Tapi Pak Arif yang telah melihat semuanya, menyaksikan kejahatan Anjas terlihat sama sekali tidak tersenyum. Mata Pak Arif memandang ke arah Anara yang juga membalas tatapan ayahnya dengan tatapan yang tajam seolah dia memberikan ancaman pada ayahnya sendiri. "Tapi aku tidak senang, karena ibu dan bapak akan segera pergi dari sini." N