Semua diam tentu saja, mereka tidak bisa mengerti kenapa Nasya tiba-tiba bersikap aneh. Anara sendiri tidak tahu bagaimana dia akan menjelaskan kepada orang tuanya. Lalu beberapa saat kemudian sebuah mobil berhenti di hadapan rumah, Anara langsung membuka tirai jendela dan melihat yang datang adalah mobil Anjas. Akhirnya Anjas datang, mungkin dia bisa menjelaskan semuanya, pikir Anara dan dengan cepat membuka pintu rumah, berjalan keluar. "Bu, Pak. Seharusny kan kalian ngabarin aku," kata Nasya yang kini kembali duduk di sofa. "Aku sama Anara bisa siapkan sesuatu untuk Ibu sama Bapak, kan. Oh iya, kalian bakal lama kan di sini?" Senyum itu tidak hilang, dan membuat kedua orang tuanya hanya bisa menganga tidak percaya. Mereka tidak tahu harus mengatakan apa. Pasangan sebaya ini saling memandang satu sama lain dan bertanya-tanya. "Nasya, Ibu sama Bapak kamu sudah sejak tadi Nak, berada di sini." "Oh gitu ya, aduh Anara du mana, kok nggak keliatan. Aku cari dia di kamarnya ya Bu, P
"Di mana Nasya sekarang, dia hilang tadi akan mencari Anara, ke mana dia?" Sang ibu terdengar cemas dan dia berdiri dari sofa. Anjas yang menundukkan kepala kini berkata dengan pelan, "Dia ada di kamarnya, pasti dia lupa lagi kalau kalian ada di sini." "Lalu kenapa dia ingat kalau adiknya ada di sini? Kenapa dia ingat kalau kau itu suaminya!" Anjas langsung mengangkat pandangannya pada sang ibu mertua, ucapannya sangat menyakitkan dan dia menjelaskan, "Semuanya terjadi setelah Anara susah berada di sini, ingatan Nasya terganggu setelah kedatangan Anara, jadi dia hanya ingat tentang aku dan Anara, dan sisanya dia tidak bisa mengingat banyak hal dalam waktu lama." Sang ibu mertua menggelengkan kepala menatap Anjas, dia berkacak pinggang lalu berkata pada suaminya, "Tetaplah di sini Pak, aku mau lihat Nasya dulu." Langkah kaki itu berjalan masuk ke dalam kamar putrinya yang sekarang duduk diam di depan cermin, tatapannya kosong dan seoalah dia tidak punya semangat. "Ibu ada di sini
"Kamu harus pulang ke desa, Anara. Biar ibu yang ada di sini, kamu harus pulang sama bapakmu," kata snag ibu yang duduk di samping Anara. "Nggak Bu, aku nggak mau balik ke desa." Nada suara Anara kesal, wajahnya cemberut, dan mereka berdua sekarang berada di dalam kamar Anara. "Kamu pikir kamu bisa merawat Mbak mu? Kamu itu nggak tahu apa-apa Nara, lebih baik kamu sama bapakmu rawat kebun di desa, kalau masalah ini Ibu yang harus turun tangan." Anara yang merasa keberatan mengentakkan tangan ibunya dan berdiri, "Nggak, pokoknya Anara nggak mau pulang Bu, Anara mau di sini. Lagi pula Anara punya banyak teman di sini, di desa, ah mereka kampungan!" Suaranya terdengar dari luar sana Anjas yang berada di dekat kamar Anara itu mendengarkan percakapan yang sedang terjadi. "Ibu nggak bakal tenang kalau Ibu nggak sama Nasya, dia lagi hamil, terus sakit pula, astaga, kalau ibu pulang pasti ibu hanya terus memikirkan Nasya dan kepala ibu akan meledak, tapi kalau ibu nggak pulang, siapa yan
"Pokoknya orang tua kamu nggak bisa terus ada di sini, atau kamu aja yang balik ke desa!" Anjas berbisik dengan nada kasar kepada Anara. "Tapi Mas mau gimana lagi, ibu aku maks untuk tinggal di sini. Lagi pula kan seharusnya Mas yang bicara sama mereka, kenapa harus aku?" Anara memalingkan pandangannya, saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah, pagi sekali, orang tua mereka mungkin belum bangun. "Tentu harus kamu!" Anjas mencengkeram tangan Anara dan membuat Anara menghentakkan tangan Anjas dan menatap suami kakaknya itu dengan tajam. "Apa-apaan sih Mas. Kok Mas jadi kasar gini sih. Lagian ya kalau Mas memang mau aku pulang ke desa ya nggak apa-apa, aku nggak masalah!" Anara kembali memalingkan pandangan setelah memutar bola matanya tanda bahwa dia tentu kesal dengan sikap Anjas. "Oh, jadi sekarang kamu berani ya. Oke kalau begitu, kalau kamu memang mau pulang ke desa pulang aja. Lagi pula ada ibu kamu toh yang bisa jagain Nasya." Anjas yang tampak menerima tawar
Flasback .... Ketika Anjas berjalan dari dapur ke kamarnya, dia melihat pintu kamar Anara sedikit terbuka dan ketika itu pula dia berhenti tepat di sana dan menyadari bahwa Amara sedang tertidur tanpa selimut dengan kaki telanjang dan baju tidur yang tipis. Bukan sekali Anjas melakukan hal demikian, sering kali dan yang bisa dia lakukan hanyalah hal seperti itu, dan dengan sadar memiliki harapan liar terhadap adik iparnya sendiri, entah apa yang dipikirkan Anjas ketika melihat tubuh indah Anara. Maka ketika Anjas masuk ke dalam kamarnya dan melihat sang istri berada adi atas ranjang dengan posisi yang sama seperti dia melihat Anara, maka pada saat itu pula dia lupa menutup pintu dan membiarkan pintu kamar itu terbuka cukup lebar. "Mas, aku lagi nggak pengen." Nasya yang menghindar dari suaminya setalah Anjas menjatuhkan pelukan dan beberapa ciuman liar pada Nasya. "Kok nggak pengen sih sayang?" Anjas dengan mata yang penuh harap. "Besok aku mau masuk ngajar Mas, aku nggak boleh
"Mas Anjas, Mas kan tahu ya kalau aku sakit Alzheimer dan aku rasa aku lagi hamil sekarang Mas, kok nggak nemuin obat ya buat aku?" Nasya mencari-cari di lemari, mungkin sesuatu yang bisa membuatnya mempertahankan ingatannya lebih lama. "Oh soal itu, aku belum bicara soal dokter." Anjas yang baru saja masuk ke dalam kamar, di keningnya terlihat keringat dingin. "Aku mau mandi dulu ya sayang, aku mau berangkat ke kantor." Anjas yang sekarang masuk ke dalam kamar mandi pribadi mereka. Nasya hanya menggelengkan kepala, "Mas kalau aku punya obat tolong taruh aja di atas nakas ya. Terus tulis keterangannya." "Hmm." Kerang air kini menyala tanda bahwa Anjas sedang mandi di dalam sana. Pagi-pagi sekali dan Anjas bahkan tidak bisa menghilangkan stresnya saat ini. Sangat mirip karena dia sendiri sulit untuk tenang di rumahnya sendiri. Dia membiarkan setiap butir air yang keluar dari shower jatuh di atas tubuhnya dan mengingat apa yang tadi pagi dia lakukan dengan Anara, dan dengan sadar d
Sarapan sudah berada di atas meja, Nasya yang merasakan tubuhnya sedikit pegal tetapi masih terasa segar karena dia baru saja mandi dan sekarang berada di dapur, tapi mata Nasya tak menemukan Anara. Karena yang sekarang menyajikan sarapan adalah ibunya, membuat Nasya cukup heran kenapa ada sang ibu di dalam dapur. Dia tidak mampu mengingat akan kedatangan sang ibu. Tentu Nasya sadar bahwa dia menderita penyakit lupa ingatan tapi ini sangat menyiksanya, dia merasa takut dan tidak bisa berpikir lebih berat lagi karena dia akan jatuh pingsan seperti sebelumnya jika dia memaksa untuk mengingat apa yang terjadi padanya. Keseimbangan tubuhnya hampir saja menghilang ketika dia terus menerus memaksakan diri, dan membuat kedua orang tuanya merasa cemas. "Kamu baik-baik saja toh, Nak?" tanya sang ibu, tapi Nasya tidak menjawab, ayahnya yang diam membisu dengan tatapan yang kosong itu menarik kursi dan mempersilakan putrinya untuk duduk. "Sejak kapan kalian datang?" Kedua orang tuanya sali
"Aduh bagaimana ini, Nak Anjas, bagaimana semuanya bisa terjadi, kenapa Anara tiba-tiba berpikiran mau bunuh diri." Suara wanita setengah baya ini, mulai meneteskan air mata dan mondar-mandir di hadapan pintu ruang rawat. "Entahlah Bu, Anjas juga nggak tahu." Anjas merasa bahwa Anara melakukan semua ini hanya untuk menarik perhatian atau hanya akal bulus saja, tapi saat ini bukan hal itu yang harus dipikirkan Anjas. "Nasya, bagaimana dengan Nasya? Seseorang harus pulang dan jagain Nasya." Tatapan wanita ini kini berada pada sang suami. "Pak, bapak sebaiknya pulang dan jagain Nasya biar Ibu aja yang di sini. Nak Anjas juga harus pergi kerja." Tatapan Anjas mengarah kepada ayah mertuanya yang sedang bicara dengan istrinya menggunakan bahasa isyarat, yang tidak begitu dipahami oleh Anjas. "Baiklah Bu, biar aku antar Bapak ke rumah, terus aku ke perusahaan." "Iya Nak, Iya, biar ibu di sini." Maka Anjas dan ayah mertuanya itu pun berjalan pergi dari sana, dan saat mereka berjalan men
"Akan ada operasi yang mungkin kau akan lakukan, jadi aku mohon janga membangkang untuk kesembuhan kau, Nasya, aku harap aku paham." Jaka yang saat ini masih memandang ke arah Nasya yang duduk di hadapannya. sebenarnya pikran Nasya masih ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jaka tetapi sepertinya berbeda dengan hati Nasya yang tentu saja masih berpikir bahwa Anjas atau mantan suaminya itu adalah pribadi yang setia dan tidak mungkin menghianati Nasya. jadi Nasya masih memilih untuk tidak mempercayai apa yang Jaka katakan. "Aku hanya ingin sekali saja bertemu dengan Anjas dan mendengar apa yang dia katakan, jika kau mengurungku seperti ini bagaimana aku bisa percaya kepadamu, aku sama sekali tidak ...." dia menundukkan kepala dan merasa bimbang dengan apa yang harus dia katakan. Sesekali dia menelan saliva dan mencoba berpikir kata apa yang harus dia keluarkan dari mulutnya. "tentu saja ... astaga apa yang harus aku katakan lagi agar bisa membuat kau percaya. sepertinya tidak
"Aku sudah katakan semuanya, berkali-kali, Nasya, tapi kenapa kau sama sekali tidak percaya?" Jaka mencondongkan tubuhnya ke arah Nasya yang menghindar dan mengernyitkan kening. "Tolong jangan terlalu dekat dengan ku," ucap Nasya, dia memalingkan pandangan dan Jaka merasa bahwa ya sebaiknya Nasya diberikan sedikit ruang. Lalu tidak lama setelah itu, Boca berusia tiga tahun yang sudah bisa dikatakan aktif dalam berbicara dan memahami pembicaraan ringan seseorang itu berjalan ke arah Jaka. "Aysan." Jaka berdiri dari duduknya dan menghampiri Aysan, "Apa kau butuh sesuatu?" "Apa Mama masih marah sama Aysan?" dia menundukkan kepala cara dia bicara masih sangat sulit untuk dipahami tapi Jaka bisa cukup memahami ucapan Aysan, Nasya juga bisa memahami ucapan itu tapi dia memalingkan pandangannya sekarang, dia tidak ingin memikirkan banyak hal selain pikirannya sendiri yang lupa semuanya. Sementara Jaka dia berlutut setengah di hadapan Aysan dan berusaha meyakinkan bocah itu. "Aysan, Nak.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," ucap Nasya yang sekarang berada dalam kondisi yang berantakan, wajahnya dan rambut gelombang yang bahkan belum disisir, matanya menandakan bahwa dia lelah dan tidak bisa berpikir jernih. Semua seolah menghilang dari memorinya. Dan hidup seolah tetap sama, dia merasa bahwa hidupnya sama seperti sebelumnya, tidak seperti apa yang dilihatnya sekarang, yaitu Jaka yang berada di hadapannya mungkin hanyalah omong kosong yang dibuat-buat oleh Jaka untuk mendekati Nasya, itulah Jaka di pikiran Nasya. "Seperti apa?" Jaka yang menyuguhkan makanan di atas meja, sekarang mereka berada di taman halaman depan rumah, Nasya tidak mau makan jika masih berada di dalam rumah karena dia menganggap bahwa jika dia terus berada di dalam rumah maka dia seolah dikurung di dalam sana. Dan dia tidak ingin seperti itu, Jaka pun tidak mau Nasya berpikir demikian. Sehingga yang dia lakukan adalah menuruti saja apa yang diinginkan oleh Nasya untuk saat ini. "Kau seperti menguru
Tok ... tok ... tok .... Suara ketukan yang datang dari luar kamar Nasya, saatnya adalah sarapan pagi, Nasya tidak membuka pintu semalam sehingga tidak ada makan malam yang membuat Jaka merasa cemas. Bagaimana tidak, Nasya menolak bertemu sementara Jaka terus membujuk dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau berusaha, Jaka masih belum bisa membujuk. Pagi harinya, Jaka masih berusaha keras, tapi sepertinya Nasya masih menolak, karena itulah Jaka pun mencoba untuk membujuk satu kali, berharap kali ini Nasya mengurungkan niat untuk bersifat keras. Ketukan demi ketukan, bujukan demi bujukan, tak ada satu pun yang berhasil. Aysan juga sudah sangat ingin bertemu dengan ibunya, yang semakin membuat Jaka merasa tidak nyaman. Makan malam gagal, sarapan pagi pun tidak digubris, hingga akhirnya makan siang tiba, Jaka bahkan tidak masuk kerja, dan dia pun bersama dengan Aysan mencoba membujuk Nasya. "Mama tidak mau makan." Aysan dengan ucapan yang masih belum fasih, "Aku tidak mau kalau Mama
Untuk saat ini, Anara terlupakan dan dia hidup dengan dirinya sendiri, tidak ada siapa pun yang dia temani bahkan Jaka tak lagi menghubunginya, sementara dia sendiri berusaha untuk hidup tenang walau masih ada rasa benci terhadap kakaknya sendiri. Dia tidak ingin kakaknya bahagia dan dia berusaha agar bisa kembali mendapatkan kedamaian dan kebahagian dari kakaknya. Dengan kata lain dia berusaha agar bisa menghancurkan hidup kakaknya sendiri. Tetapi bukan momennya menceritakan mengenai Anara yang dab masalahnya yang terus menerus merugikan tubuhnya dan hidup dalam kebebasan malam, karena saat ini Nasya sedang bergelut dengan dirinya sendiri dan pikirannya, dia mondar-mandir dan bahkan lupa apa yang selama ini terjadi pada hidupnya. Foto dan rekaman terus dia lihat tapi sama sekali tidak ada yang membuat Nasya merasa percaya. Seolah semuanya begitu dibuat-buat. Jaka sementara mencoba menenangkan Aysan yang terus menangis memanggil ibunya yang terkunci di dalam kamar, walau berada di d
"Aku pikir Bu Nasya sudah sembuh, tapi ternyata itu hanya bersifat sementara saja," kata dokter Afia yang dipanggil kembali oleh Jaka, dokter Afia sangat baik dan merawat Nasya sebelumnya, dan Jaka berharap bahwa dokter Afia kembali bisa membantu Nasya. "Aku pikir begitu juga, dokter. Sayangnya aku salah dan ternyata alzheimer tidak semudah itu untuk hilang bagi pengidapnya." Dokter Afia diam sejenak dan berpikir lalu berkata, "Aku pikir itu bukan Alzheimer. Ini penyakit yang berbeda, aku tidak tahu apa. Alzheimer adalah penyakit yang tidak akan sembuh dan Bu Nasya sempat mengingat semuanya sementara penderita Alzheimer tidak bisa. Mungkin ini adalah penyakit yang disebabkan trauma berat, bukankah penyakit Bu Nasya pertama kali ada setelah dia mengalami trauma yang terjadi padanya di sekolah, Pak Jaka?" Jaka diam karena terlalu fokus dalam mendengarkan dan dia membayangkan apa yang akan terjadi jika penyakit Nasya betul-betul kembali dan Anjas datang kepadanya maka Nasya pasti akan
Mengetahui bahwa Nasya sekarang kembali mengalami penyakit Alzheimer yang akan melupakan apa pun yang terjadi membuat Anjas merasa semakin bersemangat untuk melakukan misi yang diberikan padanya, kini dia tahu apa yang harus dia lakukan, selain itu dia juga meminta agar Aina memberikan dia sebuah pekerjaan yang pada akhirnya Aina memberikan pekerjaan untuk menjadi seorang bodyguard pribadi dari Aina. Awalnya Anjas merasa enggan dan tak mau menjadi seorang bodyguard, tapi pada akhirnya dia menerima saja apa yang diinginkan oleh Aina. Lagi pula mereka memiliki misi yang sama dan berharap bahwa mereka bisa meraih misi mereka, memisahkan Jaka dan juga Nasya, yang di mana Anjas juga memiliki perasaan dendam pada Jaka, untuk pertama kali dalam hidupnya dia tidak akan membiarkan Jaka menang, dia sebenarnya jika bersaing dengan Jaka, maka Anjas akan keluar sebagai pemenang, tapi kali ini Jaka memenangkan Nasya bahkan Aysan yang membuat Anjas semakin membara karena selama ini dia belum pernah
"Jadi selama ini dia menulisnya?" gumaman itu muncul dari mulut Anjas yang menemukan lembaran kertas dan buku yang pernah disembunyikan oleh Nasya, dia menemukan beberapa foto dan juga rekaman dan dia menyadari bahwa selama ini Nasya telah membencinya, ya Nasya begitu membenci Anjas selama ini. "Menyebalkan, kenapa aku harus melakukan hal bejat itu, bahkan sekarang aku tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir." Dia menelan saliva dan mencoba berbaring dengan tenang, apalagi sekarang dia punya masalah dengan bos besar yang menjadi atasan di tempat dia bekerja, sekarang dia terancam dipecat, sehingga tak akan ada lagi pekerjaan untuk Anjas, betul naas hidup Anjas setelah bercerai dengan Nasya, padahal selama ini hidupnya baik-baik saja bersama dengan Nasya, aman dan dia merasa dendam kepada Jaka. Tetapi Anjas terlalu lemah untuk menjadi pendendam, lagi pula dia masih bisa memanfaatkan Aina yang juga ingin memisahkan Jaka dengan Nasya, bahkan dalam hidup Anjas, Anara sudah tidak ada
Jaka yang saat ini melangkah cepat dan jantung yang berdetak dengan kencang, Dia segera mengangkat tubuh Nasya, tubuh yang saat ini begitu lemah dan dia dengan cemas menggendong tubuh Nasya segera ke tempat tidur. Di sudut kamar, Aysan, balita kecil, dia sangat membutuhkan ibunya, dan terus merengek, suaranya memecah keheningan.. Tangisan itu membuat suasana semakin mencekam, sementara Jaka mencoba menenangkan Nasya dan memeluk Aysan di saat bersamaan. Aina, yang masih berdiri di ambang pintu kamar, hanya memperhatikan tanpa menunjukkan rasa peduli pada keadaan Nasya. Tatapan yang begitu dingin, dan bibirnya tersenyum sinis. Dia menyilangkan tangan di dada, tampak tak sabar. “Jaka, sampai kapan kamu akan bertahan dengan wanita ini? Lihat dirimu, kamu terlihat lelah dan kehabisan tenaga. Ha ya mungkin penyakit itu kambuh." Tatapan Jaka mengernyit, apa maksudnya, apa Aina tahh semuanya, maksud Jaka, apa Aina tahu mengenai penyakit Nasya dan berusaha mengolok-olok Lika Nasya, dan saa