Diary Nasya: Aku menyadari apa yang aku lihat, aku tahu kau pasti suatu hari nanti akan membaca pesan ku ini, Jaka. Setiap kali aku lupa pasti akan aku catat, karena buku ini selalu ada di atas nakas. Aku tidak bisa mengingat kenapa aku terus meraih buku ini, tapi kau tahu betul bahwa aku menyukai buku catatan terutama yang bersampul coklat. Kau betul-betul tahu tentangku Jaka. Tetapi mungkin tulisan ku ini akan sangat sulit untuk dibaca. Tapi semua yang aku dengar, aku lihat dan saksikan dengan mata kepala ku sendiri, akan aku tulis di sini. Aku harap kau sanggup Jaka, atau siapa pun kau yang membaca tulisanku. Malam itu, aku merasakan tubuhku yang penat, sakit, dan kepalaku merasa pusing. Tanganku meraba-raba kasur dan tak menemukan Anjas. Aku pikir dia mungkin di dalam kamar mandi, atau mungkin di dapur, atau bahkan keluar aku tidak tahu. Tapi aku merasa penasaran, aku berjalan keluar ke ruang utama, ruang keluarga dan tamu, bahkan ke teras rumah tapi aku masih tidak menemuk
Bahkan Jaka tidak sanggup untuk melanjutkan halaman berikutnya, dia kali ini hanya menunggu satu pekan lagi untuk bertemu dengan Nasya, berharap bahwa kali ini ada perkembangan yang lebih mengenai kondisinya. Selain itu Jaka juga mulai memata-matai Anjas, dan dia berharap bahwa nanti Anjas akan mengakui kesalahannya lalu meninggalkan Nasya. Jaka tahu bahwa Anjas tidak meninggalkan Nasya karena Nasya sedang hamil begitu pula dengan Nasya yang tidak mungkin berpisah dengan Anjas karena dia sedang mengandung anak dari Anjas. Jaka yang sekarang mengendarai mobil mewahnya berada di hadapan gedung besar perusahaan miliknya. Dia tidak akan menoleransi sekali lagi jika Anjas masih mau mengambil cuti. Dan sekali lagi dia memanggil Anjas datang ke ruangan pribadinya, ada kemarahan luar biasa yang sekarang berada di dalam hati Anjas. Sangat berapi-api, rasanya dia ingin menghancurkan Anjas tepat saat itu juga. Jam sembilan pagi Anjas sudah berada di sana, di masuk setelah mengetuk pintu dan
Diary Nasya memperlihatkan tulisan-tulisan Nasya yang berisikan tentang apa pun yang dilupakan olehnya selama ini. Tatapan Nasya mengarah pada Anjas membaca buku itu. Sementara Anjas sendiri tidak menemukan apa pun yang membuatnya marah tapi dia menemukan sesuatu yang membuatnya merasa penasaran. Di buku catatan itu terdapat bekas sobekan, dan di mana kertas-kertas itu? Kenapa Nasya merobeknya atau ada sesuatu yang tidak Nasya inginkan dibaca oleh orang lain. "Kenapa Mas, kok kelihatannya nggak senang?" Nasya yang sekarang bersandar di kepala tempat tidur. Anjas menoleh ke arahnya dan menelan saliva lalu berkata, "Kok ada yang sobek, kamu sobek ya kertasnya?" Anjas memperlihatkan buku itu dan membuat Nasya meraihnya sambil memandangi bekas-bekas sobekan. "Hmm nggak tahu Mas, aku nggak tahu." Sambil melempar buku itu ke hadapan Anjas. Tangan Anjas mengepal, tapi dia tidak bisa melakukan apa pun, dia tidak bisa marah karena semuanya hanya akan sia-sia saja baginya untuk memarahi N
"Mbak Nasya." Suara itu terdengar, seiring berbunyinya pintu yang terbuka. Nasya saat ini duduk di teras rumah dan merasakan angin di siang hari. "Aku bawa minuman dingin untuk Mbak." Nasya menoleh kepadanya, kepada Anara yang memakai pakaian yang lebih tertutup dan sopan. Dia duduk di samping Nasya dan memberikan minuman dingin itu pada sang kakak. "Terima kasih." Nasya tersenyum menatap Anara yang berwajah manis padanya. "Aku nggak tahu kalau nggak ada kamu, Dek." "Nggak tahu apa, Mbak?" "Kamu udah mau direpotkan sama aku, sama Mas Anjas," kata Nasya dengan tenang. Rasanya juga sangat menyakitkan baginya jika terus merepotkan, Nasya. "Repot? Nggak kok Mbak, aku sama sekali nggak repot, aku malah senang, kalau aku bisa bantuin Mbak sama Mas Anjas." Aksi Nasya terangkat, perutnya sudah mulai membesar tetapi ingatannya masih sangat buruk. Walaupun Nasya sudah menyadari bahwa dia sedang sakit dan mengandung, dia masih sulit mengingat apa yang terjadi. Bahkan ingatannya akhir-akhi
Langkah kaki Nasya terus berjalan, dia berjalan entah mau ke mana, dia hanya melangkah hingga dia tidak tahu lagi akan ke mana kakinya membawanya. Ada jalan buntu yang tidak bisa dia lewati, membuat beberapa warga yang melihatnya berdiri di sana hampir beberapa jam langsung mendekatinya. Bertanya apa yang terjadi padanya dan kenapa dia berada di sana. Apa ada tempat yang ingin dia datangi atau ada sesuatu yang dia cari. Tapi ketika di tanya Nasya hanya diam menatap mereka seolah kehilangan kata untuk diucapkan. Ya ini salah satu efek dari penyakitnya. Tidak melakukan terapi dan tidak berobat. Membuat Nasya semakin parah. Bukan hanya itu, Jaka tak lagi datang kepadanya bukan karena Jaka lupa tapi karena Jaka tidak punya kesempatan untuk membantunya. Anara terus berada di rumah dan Anjas tak lagi meninggalkan kantor, membuat Jaka tak berani secara terang-terangan datang ke rumah Nasya. Dia hanya berad di jalan poros menunggu jika Nasya datang tiba-tiba tapi Nasya tidak pernah datan
"Akh Mas! Terus Mas! Akh!" Gairah Anjas terus bertambah ketika Anara semakin membesarkan desahannya, erangan demi erangan membuat Anjas semakin berkeringat. Anara hanya berbaring dan meremas rambut jatuh Anjas yang terurai, hanya selimut yang menutup tubuh mereka yang tak berkain sama sekali. Semua rasa penat di kepala Anjas menghilang dan hanya ada kenikmatan yang dia rasakan, sudah lama sekali dia tidak kehilangan stres yang selalu ada di kepalanya. Setiap kali dia menyentuh Anara dan terus menikmati tubuh adik iparnya, rasanya masalah yang ada dalam kepalanya menghilang entah ke mana. "Ini ... Ini yang kamu mau! Ahk adik iparku!" "Iya Mas! Iya! Aku mau kamu! Semuanya! Argh! Aku cinta mati sana kamu Mas! Aku milik kamu! Semuanya Argh Mas Anjas!" Wajah yang mengeras itu, dan mata yang penuh nafsu, serta tubuh yang merasakan kenikmatan, tak menyadari bahwa seseorang sudah menggedor-gedor pintu rumah mereka. Tetapi teriakan dan nafsu yang terus tumbuh membuat mereka seakan tak
Sudah berhari-hari bahkan sepekan, hingga tiga pekan Jaka tidak bertemu dengan Nasya. Rumahnya bahkan selalu tertutup dan Jaka kadang hanya melihat gadis lain keluar dari rumah itu. Dia bertanya-tanya di mana Nasya. Bahkan sudah sering kali dia dihubungi oleh dokter Afia akan keberadaan Nasya tapi Jaka tidak bisa memberikan kepastian pada dokter Afia tentang kapan Nasya akan datang lagi. Karena hingga saat ini, sekarang, Jaka masih berusaha keras agar dia bisa membawa Nasya ke rumah sakit tanpa sepengatahuan siapa pun. Sekarang, mobil hitam mewah miliknya berhenti beberapa meter di hadapan rumah sederhana milik Nasya dan Anjas. Dia menyipitkan mata dan mencoba agar dia bisa mendapatkan kesempatan, tapi kesempatan itu tidak datang. Sementara di sisi yang lainnya, Anara berdiri di teras dan melihat mobil hitam yang dia perhatikan sejak tadi masih berada di sana. Sudah beberapa hari mobil itu berada di sana tapi Anara tidak ingin menggubris si pengemudi. Saat masuk ke dalam rumah, t
Adalah sesuatu yang mengejutkan bagi Anara dengan sikap Nasya baru saja. Dia bahkan memecahkan cermin dan bersikap sanga dingin. Anara tentu merasa ada yang aneh, padahal selama ini Nasya memang aneh, sejak awal dia menderita penyakit yang dideritanya sekarang, Nasya bersikap sangat berbeda. Apa yang diharapkan Anara adalah Nasya yang diam saja dan tidak perlu melakukan apa pun, karena yang diinginkan Anara hanyalah bisa mendapatkan Anjas saja. Lagi pula pemilik rumah mereka masih atas nama Anjas, sehingga Anara bisa memastikan masa depan yang baik jika bersama Anjas. Sayangnya yang dia tidak ketahui adalah Anjas yang sama sekali tidak becus mencari kerja. "Maaf Mbak, tadi aku—" Suara ketukan pintu lintu tiba-tiba berbunyi, Nasya yang mendengar itu langsung bergerak ke arah pintu dan membuka pintu itu perlahan. Mata Nasya langsung berbinar melihat siapa yang datang, "Ibu?" Suaranya cukup bersemangat dan membuat Anara bergerak dan berdiri di belakang sang kakak. "Aduh Nak, Ibu
"Akan ada operasi yang mungkin kau akan lakukan, jadi aku mohon janga membangkang untuk kesembuhan kau, Nasya, aku harap aku paham." Jaka yang saat ini masih memandang ke arah Nasya yang duduk di hadapannya. sebenarnya pikran Nasya masih ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jaka tetapi sepertinya berbeda dengan hati Nasya yang tentu saja masih berpikir bahwa Anjas atau mantan suaminya itu adalah pribadi yang setia dan tidak mungkin menghianati Nasya. jadi Nasya masih memilih untuk tidak mempercayai apa yang Jaka katakan. "Aku hanya ingin sekali saja bertemu dengan Anjas dan mendengar apa yang dia katakan, jika kau mengurungku seperti ini bagaimana aku bisa percaya kepadamu, aku sama sekali tidak ...." dia menundukkan kepala dan merasa bimbang dengan apa yang harus dia katakan. Sesekali dia menelan saliva dan mencoba berpikir kata apa yang harus dia keluarkan dari mulutnya. "tentu saja ... astaga apa yang harus aku katakan lagi agar bisa membuat kau percaya. sepertinya tidak
"Aku sudah katakan semuanya, berkali-kali, Nasya, tapi kenapa kau sama sekali tidak percaya?" Jaka mencondongkan tubuhnya ke arah Nasya yang menghindar dan mengernyitkan kening. "Tolong jangan terlalu dekat dengan ku," ucap Nasya, dia memalingkan pandangan dan Jaka merasa bahwa ya sebaiknya Nasya diberikan sedikit ruang. Lalu tidak lama setelah itu, Boca berusia tiga tahun yang sudah bisa dikatakan aktif dalam berbicara dan memahami pembicaraan ringan seseorang itu berjalan ke arah Jaka. "Aysan." Jaka berdiri dari duduknya dan menghampiri Aysan, "Apa kau butuh sesuatu?" "Apa Mama masih marah sama Aysan?" dia menundukkan kepala cara dia bicara masih sangat sulit untuk dipahami tapi Jaka bisa cukup memahami ucapan Aysan, Nasya juga bisa memahami ucapan itu tapi dia memalingkan pandangannya sekarang, dia tidak ingin memikirkan banyak hal selain pikirannya sendiri yang lupa semuanya. Sementara Jaka dia berlutut setengah di hadapan Aysan dan berusaha meyakinkan bocah itu. "Aysan, Nak.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," ucap Nasya yang sekarang berada dalam kondisi yang berantakan, wajahnya dan rambut gelombang yang bahkan belum disisir, matanya menandakan bahwa dia lelah dan tidak bisa berpikir jernih. Semua seolah menghilang dari memorinya. Dan hidup seolah tetap sama, dia merasa bahwa hidupnya sama seperti sebelumnya, tidak seperti apa yang dilihatnya sekarang, yaitu Jaka yang berada di hadapannya mungkin hanyalah omong kosong yang dibuat-buat oleh Jaka untuk mendekati Nasya, itulah Jaka di pikiran Nasya. "Seperti apa?" Jaka yang menyuguhkan makanan di atas meja, sekarang mereka berada di taman halaman depan rumah, Nasya tidak mau makan jika masih berada di dalam rumah karena dia menganggap bahwa jika dia terus berada di dalam rumah maka dia seolah dikurung di dalam sana. Dan dia tidak ingin seperti itu, Jaka pun tidak mau Nasya berpikir demikian. Sehingga yang dia lakukan adalah menuruti saja apa yang diinginkan oleh Nasya untuk saat ini. "Kau seperti menguru
Tok ... tok ... tok .... Suara ketukan yang datang dari luar kamar Nasya, saatnya adalah sarapan pagi, Nasya tidak membuka pintu semalam sehingga tidak ada makan malam yang membuat Jaka merasa cemas. Bagaimana tidak, Nasya menolak bertemu sementara Jaka terus membujuk dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau berusaha, Jaka masih belum bisa membujuk. Pagi harinya, Jaka masih berusaha keras, tapi sepertinya Nasya masih menolak, karena itulah Jaka pun mencoba untuk membujuk satu kali, berharap kali ini Nasya mengurungkan niat untuk bersifat keras. Ketukan demi ketukan, bujukan demi bujukan, tak ada satu pun yang berhasil. Aysan juga sudah sangat ingin bertemu dengan ibunya, yang semakin membuat Jaka merasa tidak nyaman. Makan malam gagal, sarapan pagi pun tidak digubris, hingga akhirnya makan siang tiba, Jaka bahkan tidak masuk kerja, dan dia pun bersama dengan Aysan mencoba membujuk Nasya. "Mama tidak mau makan." Aysan dengan ucapan yang masih belum fasih, "Aku tidak mau kalau Mama
Untuk saat ini, Anara terlupakan dan dia hidup dengan dirinya sendiri, tidak ada siapa pun yang dia temani bahkan Jaka tak lagi menghubunginya, sementara dia sendiri berusaha untuk hidup tenang walau masih ada rasa benci terhadap kakaknya sendiri. Dia tidak ingin kakaknya bahagia dan dia berusaha agar bisa kembali mendapatkan kedamaian dan kebahagian dari kakaknya. Dengan kata lain dia berusaha agar bisa menghancurkan hidup kakaknya sendiri. Tetapi bukan momennya menceritakan mengenai Anara yang dab masalahnya yang terus menerus merugikan tubuhnya dan hidup dalam kebebasan malam, karena saat ini Nasya sedang bergelut dengan dirinya sendiri dan pikirannya, dia mondar-mandir dan bahkan lupa apa yang selama ini terjadi pada hidupnya. Foto dan rekaman terus dia lihat tapi sama sekali tidak ada yang membuat Nasya merasa percaya. Seolah semuanya begitu dibuat-buat. Jaka sementara mencoba menenangkan Aysan yang terus menangis memanggil ibunya yang terkunci di dalam kamar, walau berada di d
"Aku pikir Bu Nasya sudah sembuh, tapi ternyata itu hanya bersifat sementara saja," kata dokter Afia yang dipanggil kembali oleh Jaka, dokter Afia sangat baik dan merawat Nasya sebelumnya, dan Jaka berharap bahwa dokter Afia kembali bisa membantu Nasya. "Aku pikir begitu juga, dokter. Sayangnya aku salah dan ternyata alzheimer tidak semudah itu untuk hilang bagi pengidapnya." Dokter Afia diam sejenak dan berpikir lalu berkata, "Aku pikir itu bukan Alzheimer. Ini penyakit yang berbeda, aku tidak tahu apa. Alzheimer adalah penyakit yang tidak akan sembuh dan Bu Nasya sempat mengingat semuanya sementara penderita Alzheimer tidak bisa. Mungkin ini adalah penyakit yang disebabkan trauma berat, bukankah penyakit Bu Nasya pertama kali ada setelah dia mengalami trauma yang terjadi padanya di sekolah, Pak Jaka?" Jaka diam karena terlalu fokus dalam mendengarkan dan dia membayangkan apa yang akan terjadi jika penyakit Nasya betul-betul kembali dan Anjas datang kepadanya maka Nasya pasti akan
Mengetahui bahwa Nasya sekarang kembali mengalami penyakit Alzheimer yang akan melupakan apa pun yang terjadi membuat Anjas merasa semakin bersemangat untuk melakukan misi yang diberikan padanya, kini dia tahu apa yang harus dia lakukan, selain itu dia juga meminta agar Aina memberikan dia sebuah pekerjaan yang pada akhirnya Aina memberikan pekerjaan untuk menjadi seorang bodyguard pribadi dari Aina. Awalnya Anjas merasa enggan dan tak mau menjadi seorang bodyguard, tapi pada akhirnya dia menerima saja apa yang diinginkan oleh Aina. Lagi pula mereka memiliki misi yang sama dan berharap bahwa mereka bisa meraih misi mereka, memisahkan Jaka dan juga Nasya, yang di mana Anjas juga memiliki perasaan dendam pada Jaka, untuk pertama kali dalam hidupnya dia tidak akan membiarkan Jaka menang, dia sebenarnya jika bersaing dengan Jaka, maka Anjas akan keluar sebagai pemenang, tapi kali ini Jaka memenangkan Nasya bahkan Aysan yang membuat Anjas semakin membara karena selama ini dia belum pernah
"Jadi selama ini dia menulisnya?" gumaman itu muncul dari mulut Anjas yang menemukan lembaran kertas dan buku yang pernah disembunyikan oleh Nasya, dia menemukan beberapa foto dan juga rekaman dan dia menyadari bahwa selama ini Nasya telah membencinya, ya Nasya begitu membenci Anjas selama ini. "Menyebalkan, kenapa aku harus melakukan hal bejat itu, bahkan sekarang aku tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir." Dia menelan saliva dan mencoba berbaring dengan tenang, apalagi sekarang dia punya masalah dengan bos besar yang menjadi atasan di tempat dia bekerja, sekarang dia terancam dipecat, sehingga tak akan ada lagi pekerjaan untuk Anjas, betul naas hidup Anjas setelah bercerai dengan Nasya, padahal selama ini hidupnya baik-baik saja bersama dengan Nasya, aman dan dia merasa dendam kepada Jaka. Tetapi Anjas terlalu lemah untuk menjadi pendendam, lagi pula dia masih bisa memanfaatkan Aina yang juga ingin memisahkan Jaka dengan Nasya, bahkan dalam hidup Anjas, Anara sudah tidak ada
Jaka yang saat ini melangkah cepat dan jantung yang berdetak dengan kencang, Dia segera mengangkat tubuh Nasya, tubuh yang saat ini begitu lemah dan dia dengan cemas menggendong tubuh Nasya segera ke tempat tidur. Di sudut kamar, Aysan, balita kecil, dia sangat membutuhkan ibunya, dan terus merengek, suaranya memecah keheningan.. Tangisan itu membuat suasana semakin mencekam, sementara Jaka mencoba menenangkan Nasya dan memeluk Aysan di saat bersamaan. Aina, yang masih berdiri di ambang pintu kamar, hanya memperhatikan tanpa menunjukkan rasa peduli pada keadaan Nasya. Tatapan yang begitu dingin, dan bibirnya tersenyum sinis. Dia menyilangkan tangan di dada, tampak tak sabar. “Jaka, sampai kapan kamu akan bertahan dengan wanita ini? Lihat dirimu, kamu terlihat lelah dan kehabisan tenaga. Ha ya mungkin penyakit itu kambuh." Tatapan Jaka mengernyit, apa maksudnya, apa Aina tahh semuanya, maksud Jaka, apa Aina tahu mengenai penyakit Nasya dan berusaha mengolok-olok Lika Nasya, dan saa