"Mbak Nasya." Suara itu terdengar, seiring berbunyinya pintu yang terbuka. Nasya saat ini duduk di teras rumah dan merasakan angin di siang hari. "Aku bawa minuman dingin untuk Mbak." Nasya menoleh kepadanya, kepada Anara yang memakai pakaian yang lebih tertutup dan sopan. Dia duduk di samping Nasya dan memberikan minuman dingin itu pada sang kakak. "Terima kasih." Nasya tersenyum menatap Anara yang berwajah manis padanya. "Aku nggak tahu kalau nggak ada kamu, Dek." "Nggak tahu apa, Mbak?" "Kamu udah mau direpotkan sama aku, sama Mas Anjas," kata Nasya dengan tenang. Rasanya juga sangat menyakitkan baginya jika terus merepotkan, Nasya. "Repot? Nggak kok Mbak, aku sama sekali nggak repot, aku malah senang, kalau aku bisa bantuin Mbak sama Mas Anjas." Aksi Nasya terangkat, perutnya sudah mulai membesar tetapi ingatannya masih sangat buruk. Walaupun Nasya sudah menyadari bahwa dia sedang sakit dan mengandung, dia masih sulit mengingat apa yang terjadi. Bahkan ingatannya akhir-akhi
Langkah kaki Nasya terus berjalan, dia berjalan entah mau ke mana, dia hanya melangkah hingga dia tidak tahu lagi akan ke mana kakinya membawanya. Ada jalan buntu yang tidak bisa dia lewati, membuat beberapa warga yang melihatnya berdiri di sana hampir beberapa jam langsung mendekatinya. Bertanya apa yang terjadi padanya dan kenapa dia berada di sana. Apa ada tempat yang ingin dia datangi atau ada sesuatu yang dia cari. Tapi ketika di tanya Nasya hanya diam menatap mereka seolah kehilangan kata untuk diucapkan. Ya ini salah satu efek dari penyakitnya. Tidak melakukan terapi dan tidak berobat. Membuat Nasya semakin parah. Bukan hanya itu, Jaka tak lagi datang kepadanya bukan karena Jaka lupa tapi karena Jaka tidak punya kesempatan untuk membantunya. Anara terus berada di rumah dan Anjas tak lagi meninggalkan kantor, membuat Jaka tak berani secara terang-terangan datang ke rumah Nasya. Dia hanya berad di jalan poros menunggu jika Nasya datang tiba-tiba tapi Nasya tidak pernah datan
"Akh Mas! Terus Mas! Akh!" Gairah Anjas terus bertambah ketika Anara semakin membesarkan desahannya, erangan demi erangan membuat Anjas semakin berkeringat. Anara hanya berbaring dan meremas rambut jatuh Anjas yang terurai, hanya selimut yang menutup tubuh mereka yang tak berkain sama sekali. Semua rasa penat di kepala Anjas menghilang dan hanya ada kenikmatan yang dia rasakan, sudah lama sekali dia tidak kehilangan stres yang selalu ada di kepalanya. Setiap kali dia menyentuh Anara dan terus menikmati tubuh adik iparnya, rasanya masalah yang ada dalam kepalanya menghilang entah ke mana. "Ini ... Ini yang kamu mau! Ahk adik iparku!" "Iya Mas! Iya! Aku mau kamu! Semuanya! Argh! Aku cinta mati sana kamu Mas! Aku milik kamu! Semuanya Argh Mas Anjas!" Wajah yang mengeras itu, dan mata yang penuh nafsu, serta tubuh yang merasakan kenikmatan, tak menyadari bahwa seseorang sudah menggedor-gedor pintu rumah mereka. Tetapi teriakan dan nafsu yang terus tumbuh membuat mereka seakan tak
Sudah berhari-hari bahkan sepekan, hingga tiga pekan Jaka tidak bertemu dengan Nasya. Rumahnya bahkan selalu tertutup dan Jaka kadang hanya melihat gadis lain keluar dari rumah itu. Dia bertanya-tanya di mana Nasya. Bahkan sudah sering kali dia dihubungi oleh dokter Afia akan keberadaan Nasya tapi Jaka tidak bisa memberikan kepastian pada dokter Afia tentang kapan Nasya akan datang lagi. Karena hingga saat ini, sekarang, Jaka masih berusaha keras agar dia bisa membawa Nasya ke rumah sakit tanpa sepengatahuan siapa pun. Sekarang, mobil hitam mewah miliknya berhenti beberapa meter di hadapan rumah sederhana milik Nasya dan Anjas. Dia menyipitkan mata dan mencoba agar dia bisa mendapatkan kesempatan, tapi kesempatan itu tidak datang. Sementara di sisi yang lainnya, Anara berdiri di teras dan melihat mobil hitam yang dia perhatikan sejak tadi masih berada di sana. Sudah beberapa hari mobil itu berada di sana tapi Anara tidak ingin menggubris si pengemudi. Saat masuk ke dalam rumah, t
Adalah sesuatu yang mengejutkan bagi Anara dengan sikap Nasya baru saja. Dia bahkan memecahkan cermin dan bersikap sanga dingin. Anara tentu merasa ada yang aneh, padahal selama ini Nasya memang aneh, sejak awal dia menderita penyakit yang dideritanya sekarang, Nasya bersikap sangat berbeda. Apa yang diharapkan Anara adalah Nasya yang diam saja dan tidak perlu melakukan apa pun, karena yang diinginkan Anara hanyalah bisa mendapatkan Anjas saja. Lagi pula pemilik rumah mereka masih atas nama Anjas, sehingga Anara bisa memastikan masa depan yang baik jika bersama Anjas. Sayangnya yang dia tidak ketahui adalah Anjas yang sama sekali tidak becus mencari kerja. "Maaf Mbak, tadi aku—" Suara ketukan pintu lintu tiba-tiba berbunyi, Nasya yang mendengar itu langsung bergerak ke arah pintu dan membuka pintu itu perlahan. Mata Nasya langsung berbinar melihat siapa yang datang, "Ibu?" Suaranya cukup bersemangat dan membuat Anara bergerak dan berdiri di belakang sang kakak. "Aduh Nak, Ibu
Semua diam tentu saja, mereka tidak bisa mengerti kenapa Nasya tiba-tiba bersikap aneh. Anara sendiri tidak tahu bagaimana dia akan menjelaskan kepada orang tuanya. Lalu beberapa saat kemudian sebuah mobil berhenti di hadapan rumah, Anara langsung membuka tirai jendela dan melihat yang datang adalah mobil Anjas. Akhirnya Anjas datang, mungkin dia bisa menjelaskan semuanya, pikir Anara dan dengan cepat membuka pintu rumah, berjalan keluar. "Bu, Pak. Seharusny kan kalian ngabarin aku," kata Nasya yang kini kembali duduk di sofa. "Aku sama Anara bisa siapkan sesuatu untuk Ibu sama Bapak, kan. Oh iya, kalian bakal lama kan di sini?" Senyum itu tidak hilang, dan membuat kedua orang tuanya hanya bisa menganga tidak percaya. Mereka tidak tahu harus mengatakan apa. Pasangan sebaya ini saling memandang satu sama lain dan bertanya-tanya. "Nasya, Ibu sama Bapak kamu sudah sejak tadi Nak, berada di sini." "Oh gitu ya, aduh Anara du mana, kok nggak keliatan. Aku cari dia di kamarnya ya Bu, P
"Di mana Nasya sekarang, dia hilang tadi akan mencari Anara, ke mana dia?" Sang ibu terdengar cemas dan dia berdiri dari sofa. Anjas yang menundukkan kepala kini berkata dengan pelan, "Dia ada di kamarnya, pasti dia lupa lagi kalau kalian ada di sini." "Lalu kenapa dia ingat kalau adiknya ada di sini? Kenapa dia ingat kalau kau itu suaminya!" Anjas langsung mengangkat pandangannya pada sang ibu mertua, ucapannya sangat menyakitkan dan dia menjelaskan, "Semuanya terjadi setelah Anara susah berada di sini, ingatan Nasya terganggu setelah kedatangan Anara, jadi dia hanya ingat tentang aku dan Anara, dan sisanya dia tidak bisa mengingat banyak hal dalam waktu lama." Sang ibu mertua menggelengkan kepala menatap Anjas, dia berkacak pinggang lalu berkata pada suaminya, "Tetaplah di sini Pak, aku mau lihat Nasya dulu." Langkah kaki itu berjalan masuk ke dalam kamar putrinya yang sekarang duduk diam di depan cermin, tatapannya kosong dan seoalah dia tidak punya semangat. "Ibu ada di sini
"Kamu harus pulang ke desa, Anara. Biar ibu yang ada di sini, kamu harus pulang sama bapakmu," kata snag ibu yang duduk di samping Anara. "Nggak Bu, aku nggak mau balik ke desa." Nada suara Anara kesal, wajahnya cemberut, dan mereka berdua sekarang berada di dalam kamar Anara. "Kamu pikir kamu bisa merawat Mbak mu? Kamu itu nggak tahu apa-apa Nara, lebih baik kamu sama bapakmu rawat kebun di desa, kalau masalah ini Ibu yang harus turun tangan." Anara yang merasa keberatan mengentakkan tangan ibunya dan berdiri, "Nggak, pokoknya Anara nggak mau pulang Bu, Anara mau di sini. Lagi pula Anara punya banyak teman di sini, di desa, ah mereka kampungan!" Suaranya terdengar dari luar sana Anjas yang berada di dekat kamar Anara itu mendengarkan percakapan yang sedang terjadi. "Ibu nggak bakal tenang kalau Ibu nggak sama Nasya, dia lagi hamil, terus sakit pula, astaga, kalau ibu pulang pasti ibu hanya terus memikirkan Nasya dan kepala ibu akan meledak, tapi kalau ibu nggak pulang, siapa yan