Langkah kaki Nasya terus berjalan, dia berjalan entah mau ke mana, dia hanya melangkah hingga dia tidak tahu lagi akan ke mana kakinya membawanya. Ada jalan buntu yang tidak bisa dia lewati, membuat beberapa warga yang melihatnya berdiri di sana hampir beberapa jam langsung mendekatinya. Bertanya apa yang terjadi padanya dan kenapa dia berada di sana. Apa ada tempat yang ingin dia datangi atau ada sesuatu yang dia cari. Tapi ketika di tanya Nasya hanya diam menatap mereka seolah kehilangan kata untuk diucapkan. Ya ini salah satu efek dari penyakitnya. Tidak melakukan terapi dan tidak berobat. Membuat Nasya semakin parah. Bukan hanya itu, Jaka tak lagi datang kepadanya bukan karena Jaka lupa tapi karena Jaka tidak punya kesempatan untuk membantunya. Anara terus berada di rumah dan Anjas tak lagi meninggalkan kantor, membuat Jaka tak berani secara terang-terangan datang ke rumah Nasya. Dia hanya berad di jalan poros menunggu jika Nasya datang tiba-tiba tapi Nasya tidak pernah datan
"Akh Mas! Terus Mas! Akh!" Gairah Anjas terus bertambah ketika Anara semakin membesarkan desahannya, erangan demi erangan membuat Anjas semakin berkeringat. Anara hanya berbaring dan meremas rambut jatuh Anjas yang terurai, hanya selimut yang menutup tubuh mereka yang tak berkain sama sekali. Semua rasa penat di kepala Anjas menghilang dan hanya ada kenikmatan yang dia rasakan, sudah lama sekali dia tidak kehilangan stres yang selalu ada di kepalanya. Setiap kali dia menyentuh Anara dan terus menikmati tubuh adik iparnya, rasanya masalah yang ada dalam kepalanya menghilang entah ke mana. "Ini ... Ini yang kamu mau! Ahk adik iparku!" "Iya Mas! Iya! Aku mau kamu! Semuanya! Argh! Aku cinta mati sana kamu Mas! Aku milik kamu! Semuanya Argh Mas Anjas!" Wajah yang mengeras itu, dan mata yang penuh nafsu, serta tubuh yang merasakan kenikmatan, tak menyadari bahwa seseorang sudah menggedor-gedor pintu rumah mereka. Tetapi teriakan dan nafsu yang terus tumbuh membuat mereka seakan tak
Sudah berhari-hari bahkan sepekan, hingga tiga pekan Jaka tidak bertemu dengan Nasya. Rumahnya bahkan selalu tertutup dan Jaka kadang hanya melihat gadis lain keluar dari rumah itu. Dia bertanya-tanya di mana Nasya. Bahkan sudah sering kali dia dihubungi oleh dokter Afia akan keberadaan Nasya tapi Jaka tidak bisa memberikan kepastian pada dokter Afia tentang kapan Nasya akan datang lagi. Karena hingga saat ini, sekarang, Jaka masih berusaha keras agar dia bisa membawa Nasya ke rumah sakit tanpa sepengatahuan siapa pun. Sekarang, mobil hitam mewah miliknya berhenti beberapa meter di hadapan rumah sederhana milik Nasya dan Anjas. Dia menyipitkan mata dan mencoba agar dia bisa mendapatkan kesempatan, tapi kesempatan itu tidak datang. Sementara di sisi yang lainnya, Anara berdiri di teras dan melihat mobil hitam yang dia perhatikan sejak tadi masih berada di sana. Sudah beberapa hari mobil itu berada di sana tapi Anara tidak ingin menggubris si pengemudi. Saat masuk ke dalam rumah, t
Adalah sesuatu yang mengejutkan bagi Anara dengan sikap Nasya baru saja. Dia bahkan memecahkan cermin dan bersikap sanga dingin. Anara tentu merasa ada yang aneh, padahal selama ini Nasya memang aneh, sejak awal dia menderita penyakit yang dideritanya sekarang, Nasya bersikap sangat berbeda. Apa yang diharapkan Anara adalah Nasya yang diam saja dan tidak perlu melakukan apa pun, karena yang diinginkan Anara hanyalah bisa mendapatkan Anjas saja. Lagi pula pemilik rumah mereka masih atas nama Anjas, sehingga Anara bisa memastikan masa depan yang baik jika bersama Anjas. Sayangnya yang dia tidak ketahui adalah Anjas yang sama sekali tidak becus mencari kerja. "Maaf Mbak, tadi aku—" Suara ketukan pintu lintu tiba-tiba berbunyi, Nasya yang mendengar itu langsung bergerak ke arah pintu dan membuka pintu itu perlahan. Mata Nasya langsung berbinar melihat siapa yang datang, "Ibu?" Suaranya cukup bersemangat dan membuat Anara bergerak dan berdiri di belakang sang kakak. "Aduh Nak, Ibu
Semua diam tentu saja, mereka tidak bisa mengerti kenapa Nasya tiba-tiba bersikap aneh. Anara sendiri tidak tahu bagaimana dia akan menjelaskan kepada orang tuanya. Lalu beberapa saat kemudian sebuah mobil berhenti di hadapan rumah, Anara langsung membuka tirai jendela dan melihat yang datang adalah mobil Anjas. Akhirnya Anjas datang, mungkin dia bisa menjelaskan semuanya, pikir Anara dan dengan cepat membuka pintu rumah, berjalan keluar. "Bu, Pak. Seharusny kan kalian ngabarin aku," kata Nasya yang kini kembali duduk di sofa. "Aku sama Anara bisa siapkan sesuatu untuk Ibu sama Bapak, kan. Oh iya, kalian bakal lama kan di sini?" Senyum itu tidak hilang, dan membuat kedua orang tuanya hanya bisa menganga tidak percaya. Mereka tidak tahu harus mengatakan apa. Pasangan sebaya ini saling memandang satu sama lain dan bertanya-tanya. "Nasya, Ibu sama Bapak kamu sudah sejak tadi Nak, berada di sini." "Oh gitu ya, aduh Anara du mana, kok nggak keliatan. Aku cari dia di kamarnya ya Bu, P
"Di mana Nasya sekarang, dia hilang tadi akan mencari Anara, ke mana dia?" Sang ibu terdengar cemas dan dia berdiri dari sofa. Anjas yang menundukkan kepala kini berkata dengan pelan, "Dia ada di kamarnya, pasti dia lupa lagi kalau kalian ada di sini." "Lalu kenapa dia ingat kalau adiknya ada di sini? Kenapa dia ingat kalau kau itu suaminya!" Anjas langsung mengangkat pandangannya pada sang ibu mertua, ucapannya sangat menyakitkan dan dia menjelaskan, "Semuanya terjadi setelah Anara susah berada di sini, ingatan Nasya terganggu setelah kedatangan Anara, jadi dia hanya ingat tentang aku dan Anara, dan sisanya dia tidak bisa mengingat banyak hal dalam waktu lama." Sang ibu mertua menggelengkan kepala menatap Anjas, dia berkacak pinggang lalu berkata pada suaminya, "Tetaplah di sini Pak, aku mau lihat Nasya dulu." Langkah kaki itu berjalan masuk ke dalam kamar putrinya yang sekarang duduk diam di depan cermin, tatapannya kosong dan seoalah dia tidak punya semangat. "Ibu ada di sini
"Kamu harus pulang ke desa, Anara. Biar ibu yang ada di sini, kamu harus pulang sama bapakmu," kata snag ibu yang duduk di samping Anara. "Nggak Bu, aku nggak mau balik ke desa." Nada suara Anara kesal, wajahnya cemberut, dan mereka berdua sekarang berada di dalam kamar Anara. "Kamu pikir kamu bisa merawat Mbak mu? Kamu itu nggak tahu apa-apa Nara, lebih baik kamu sama bapakmu rawat kebun di desa, kalau masalah ini Ibu yang harus turun tangan." Anara yang merasa keberatan mengentakkan tangan ibunya dan berdiri, "Nggak, pokoknya Anara nggak mau pulang Bu, Anara mau di sini. Lagi pula Anara punya banyak teman di sini, di desa, ah mereka kampungan!" Suaranya terdengar dari luar sana Anjas yang berada di dekat kamar Anara itu mendengarkan percakapan yang sedang terjadi. "Ibu nggak bakal tenang kalau Ibu nggak sama Nasya, dia lagi hamil, terus sakit pula, astaga, kalau ibu pulang pasti ibu hanya terus memikirkan Nasya dan kepala ibu akan meledak, tapi kalau ibu nggak pulang, siapa yan
"Pokoknya orang tua kamu nggak bisa terus ada di sini, atau kamu aja yang balik ke desa!" Anjas berbisik dengan nada kasar kepada Anara. "Tapi Mas mau gimana lagi, ibu aku maks untuk tinggal di sini. Lagi pula kan seharusnya Mas yang bicara sama mereka, kenapa harus aku?" Anara memalingkan pandangannya, saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah, pagi sekali, orang tua mereka mungkin belum bangun. "Tentu harus kamu!" Anjas mencengkeram tangan Anara dan membuat Anara menghentakkan tangan Anjas dan menatap suami kakaknya itu dengan tajam. "Apa-apaan sih Mas. Kok Mas jadi kasar gini sih. Lagian ya kalau Mas memang mau aku pulang ke desa ya nggak apa-apa, aku nggak masalah!" Anara kembali memalingkan pandangan setelah memutar bola matanya tanda bahwa dia tentu kesal dengan sikap Anjas. "Oh, jadi sekarang kamu berani ya. Oke kalau begitu, kalau kamu memang mau pulang ke desa pulang aja. Lagi pula ada ibu kamu toh yang bisa jagain Nasya." Anjas yang tampak menerima tawar
Jaka panik luar biasa stelah dia melihat Nasya saat ini berada di dalam mobil yang berbeda dengannya, sebuah mobil taksi ke sebuah tempat yang dia kenali, yaitu rumah Anjas. Rupanya Nasya masih mengingat mengenai rumah mantan suaminya, tapi memorinya selama tiga tahun berlalu tidaklah dia ingat. Sementara di sisi yang lainnya Aysan sekarang berada di dalam rumah sakit dan berada dalam perawatan yang serius, yang membuat Jak betul-betul tidak bisa memahami situasi dan bagaimana dia akan mengontrol semua ini, semua yang terjadi sekarang. Walau pun seperti itu, dia tidak bisa melakukan apa pun selain ikut di belakang mobil taksi yang Nasya tumpangi, dan kini mobil itu berhenti tepat di hadapan rumah Anjas, sore sudah tiba, dan mungkin Anjas sudah berada di rumah saat ini, karena sudah jam pulang kantor. Nasya yang keluar dari taksi langsung menggedor-gedor pintu sambil berteriak di depan pintu, "Anjas, Mas, tolong cepat buka pintunya." "Nasya." Tangan Jaka langsung mencengkeram lenga
"Astaga." Kepanikan tentu saja sekarang dirasakan oleh Nasya, melihat bocah yang terus-menerus memanggilnya Mama sekarang terjatuh dari tangga menuju lantai paling bawah dan sekarang tubuhnya membeku tidak tahu bagaimana dan apa yang harus dilakukan olehnya. Tetapi beberapa saat kemudian dia tersadar bahwa kekacauan itu terjadi karenanya, Lalu Nasya kemudian berlari menuruni tangga. "Aku mohon jangan terjadi sesuatu, kamu harus baik-baik saja, apa yang aku telah lakukan padanya." air mata kemudian mengalir dari pipinya. dia langsung membungkuk dan meraih tubuhnya yang kepalanya sekarang terbentur dan mengalir darah dari sana. bocah ini tidak sadarkan diri Nasya sama sekali tidak tahu bagaimana harus apa. Jadi yang dia lakukan adalah mungkin membaca itu dan keluar dari rumah, ke arah pos satpam. Nasya sekarang panik lalu berteriak, "Tolong, terjadi sesuatu, Tolong! Bantu aku, Pak." satpam yang sedang meminum kopi dan membaca koran di pos satpam yaitu mendengar suara Nasya langsung
"Akan ada operasi yang mungkin kau akan lakukan, jadi aku mohon janga membangkang untuk kesembuhan kau, Nasya, aku harap aku paham." Jaka yang saat ini masih memandang ke arah Nasya yang duduk di hadapannya. sebenarnya pikran Nasya masih ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jaka tetapi sepertinya berbeda dengan hati Nasya yang tentu saja masih berpikir bahwa Anjas atau mantan suaminya itu adalah pribadi yang setia dan tidak mungkin menghianati Nasya. jadi Nasya masih memilih untuk tidak mempercayai apa yang Jaka katakan. "Aku hanya ingin sekali saja bertemu dengan Anjas dan mendengar apa yang dia katakan, jika kau mengurungku seperti ini bagaimana aku bisa percaya kepadamu, aku sama sekali tidak ...." dia menundukkan kepala dan merasa bimbang dengan apa yang harus dia katakan. Sesekali dia menelan saliva dan mencoba berpikir kata apa yang harus dia keluarkan dari mulutnya. "tentu saja ... astaga apa yang harus aku katakan lagi agar bisa membuat kau percaya. sepertinya tidak
"Aku sudah katakan semuanya, berkali-kali, Nasya, tapi kenapa kau sama sekali tidak percaya?" Jaka mencondongkan tubuhnya ke arah Nasya yang menghindar dan mengernyitkan kening. "Tolong jangan terlalu dekat dengan ku," ucap Nasya, dia memalingkan pandangan dan Jaka merasa bahwa ya sebaiknya Nasya diberikan sedikit ruang. Lalu tidak lama setelah itu, Boca berusia tiga tahun yang sudah bisa dikatakan aktif dalam berbicara dan memahami pembicaraan ringan seseorang itu berjalan ke arah Jaka. "Aysan." Jaka berdiri dari duduknya dan menghampiri Aysan, "Apa kau butuh sesuatu?" "Apa Mama masih marah sama Aysan?" dia menundukkan kepala cara dia bicara masih sangat sulit untuk dipahami tapi Jaka bisa cukup memahami ucapan Aysan, Nasya juga bisa memahami ucapan itu tapi dia memalingkan pandangannya sekarang, dia tidak ingin memikirkan banyak hal selain pikirannya sendiri yang lupa semuanya. Sementara Jaka dia berlutut setengah di hadapan Aysan dan berusaha meyakinkan bocah itu. "Aysan, Nak.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," ucap Nasya yang sekarang berada dalam kondisi yang berantakan, wajahnya dan rambut gelombang yang bahkan belum disisir, matanya menandakan bahwa dia lelah dan tidak bisa berpikir jernih. Semua seolah menghilang dari memorinya. Dan hidup seolah tetap sama, dia merasa bahwa hidupnya sama seperti sebelumnya, tidak seperti apa yang dilihatnya sekarang, yaitu Jaka yang berada di hadapannya mungkin hanyalah omong kosong yang dibuat-buat oleh Jaka untuk mendekati Nasya, itulah Jaka di pikiran Nasya. "Seperti apa?" Jaka yang menyuguhkan makanan di atas meja, sekarang mereka berada di taman halaman depan rumah, Nasya tidak mau makan jika masih berada di dalam rumah karena dia menganggap bahwa jika dia terus berada di dalam rumah maka dia seolah dikurung di dalam sana. Dan dia tidak ingin seperti itu, Jaka pun tidak mau Nasya berpikir demikian. Sehingga yang dia lakukan adalah menuruti saja apa yang diinginkan oleh Nasya untuk saat ini. "Kau seperti menguru
Tok ... tok ... tok .... Suara ketukan yang datang dari luar kamar Nasya, saatnya adalah sarapan pagi, Nasya tidak membuka pintu semalam sehingga tidak ada makan malam yang membuat Jaka merasa cemas. Bagaimana tidak, Nasya menolak bertemu sementara Jaka terus membujuk dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau berusaha, Jaka masih belum bisa membujuk. Pagi harinya, Jaka masih berusaha keras, tapi sepertinya Nasya masih menolak, karena itulah Jaka pun mencoba untuk membujuk satu kali, berharap kali ini Nasya mengurungkan niat untuk bersifat keras. Ketukan demi ketukan, bujukan demi bujukan, tak ada satu pun yang berhasil. Aysan juga sudah sangat ingin bertemu dengan ibunya, yang semakin membuat Jaka merasa tidak nyaman. Makan malam gagal, sarapan pagi pun tidak digubris, hingga akhirnya makan siang tiba, Jaka bahkan tidak masuk kerja, dan dia pun bersama dengan Aysan mencoba membujuk Nasya. "Mama tidak mau makan." Aysan dengan ucapan yang masih belum fasih, "Aku tidak mau kalau Mama
Untuk saat ini, Anara terlupakan dan dia hidup dengan dirinya sendiri, tidak ada siapa pun yang dia temani bahkan Jaka tak lagi menghubunginya, sementara dia sendiri berusaha untuk hidup tenang walau masih ada rasa benci terhadap kakaknya sendiri. Dia tidak ingin kakaknya bahagia dan dia berusaha agar bisa kembali mendapatkan kedamaian dan kebahagian dari kakaknya. Dengan kata lain dia berusaha agar bisa menghancurkan hidup kakaknya sendiri. Tetapi bukan momennya menceritakan mengenai Anara yang dab masalahnya yang terus menerus merugikan tubuhnya dan hidup dalam kebebasan malam, karena saat ini Nasya sedang bergelut dengan dirinya sendiri dan pikirannya, dia mondar-mandir dan bahkan lupa apa yang selama ini terjadi pada hidupnya. Foto dan rekaman terus dia lihat tapi sama sekali tidak ada yang membuat Nasya merasa percaya. Seolah semuanya begitu dibuat-buat. Jaka sementara mencoba menenangkan Aysan yang terus menangis memanggil ibunya yang terkunci di dalam kamar, walau berada di d
"Aku pikir Bu Nasya sudah sembuh, tapi ternyata itu hanya bersifat sementara saja," kata dokter Afia yang dipanggil kembali oleh Jaka, dokter Afia sangat baik dan merawat Nasya sebelumnya, dan Jaka berharap bahwa dokter Afia kembali bisa membantu Nasya. "Aku pikir begitu juga, dokter. Sayangnya aku salah dan ternyata alzheimer tidak semudah itu untuk hilang bagi pengidapnya." Dokter Afia diam sejenak dan berpikir lalu berkata, "Aku pikir itu bukan Alzheimer. Ini penyakit yang berbeda, aku tidak tahu apa. Alzheimer adalah penyakit yang tidak akan sembuh dan Bu Nasya sempat mengingat semuanya sementara penderita Alzheimer tidak bisa. Mungkin ini adalah penyakit yang disebabkan trauma berat, bukankah penyakit Bu Nasya pertama kali ada setelah dia mengalami trauma yang terjadi padanya di sekolah, Pak Jaka?" Jaka diam karena terlalu fokus dalam mendengarkan dan dia membayangkan apa yang akan terjadi jika penyakit Nasya betul-betul kembali dan Anjas datang kepadanya maka Nasya pasti akan
Mengetahui bahwa Nasya sekarang kembali mengalami penyakit Alzheimer yang akan melupakan apa pun yang terjadi membuat Anjas merasa semakin bersemangat untuk melakukan misi yang diberikan padanya, kini dia tahu apa yang harus dia lakukan, selain itu dia juga meminta agar Aina memberikan dia sebuah pekerjaan yang pada akhirnya Aina memberikan pekerjaan untuk menjadi seorang bodyguard pribadi dari Aina. Awalnya Anjas merasa enggan dan tak mau menjadi seorang bodyguard, tapi pada akhirnya dia menerima saja apa yang diinginkan oleh Aina. Lagi pula mereka memiliki misi yang sama dan berharap bahwa mereka bisa meraih misi mereka, memisahkan Jaka dan juga Nasya, yang di mana Anjas juga memiliki perasaan dendam pada Jaka, untuk pertama kali dalam hidupnya dia tidak akan membiarkan Jaka menang, dia sebenarnya jika bersaing dengan Jaka, maka Anjas akan keluar sebagai pemenang, tapi kali ini Jaka memenangkan Nasya bahkan Aysan yang membuat Anjas semakin membara karena selama ini dia belum pernah