Langkahku sontak terhenti, kala melihat pemandangan pagi itu di dapur. Pasalnya, aku sudah berusaha pergi sepagi mungkin dari rumah ini. Siapa sangka, aku akan melihat pemandangan ini? Belum cukupkah air mataku semalam, yang hanya bisa melihat kebahagiaan mereka di resepsi lewat jendela kamar.
Seperti apa yang kubilang dari awal? Mereka memang tak akan mencariku. Bahkan semalam mereka kelihatan sangat bahagia sekali. Seakan dunia hanya milik mereka berdua.
Ah, ya. Seharusnya memang itulah yang terjadi. Seharusnya memang kisah ini hanya milik mereka berdua. Karena aku memang hanya pemeran figuran saja di sini.
Namun, Seakan belum cukup kenyataan menamparku semalam akan posisiku sebenarnya. Kini aku harus kembali menerima rasa sakit itu, kala melihat Kak Sean sedang mencumbu Kak Audy dengan sangat panas di sana. Rasanya seperti diremas ribuan tangan tak kasat mata. Sakit sekali!
Kak Audy terlihat duduk di meja bar, dengan kemeja putih kebesaran di tubuhnya, yang kuyakin pasti milik Kak Sean. Sementara Kak Sean sendiri ada di hadapannya, menumpukan satu tangannya di belakang tubuh Kak Audy, sedang tangan yang satunya lagi menekan tengkuk Kak Audy untuk memperdalam ciuman mereka.
Bibir mereka saling bertautan dan saling mencecap dengan panas. Membuat aku ingin sekali berbalik kembali ke dalam kamar saking tidak sanggupnya melihat semua itu. Mereka benar-benar melupakan keberadaanku di Rumah itu.
Ah, lupakan saja. Aku tak ingin menangisi diriku lagi. Sudah kubilang kan, aku harus tau diri di sini. Karena aku memang hanya orang ketiga di antara mereka.
Sebenarnya, aku bukannya tak suka atau benci melihat pemandangan itu. Aku juga bukan gak mau melihat kebahagiaan mereka. Kalau boleh jujur, justru aku malah sangat bahagia melihat kebahagiaan mereka. Setidaknya dalam situasi ini, ada yang bisa berbahagia di antara kami bertiga.
Tak usah pikirkan, bagaimana perasaanku di sini? Karena aku memang tak punya hak apapun, sekalipun untuk cemburu sekalipun. Ingat. Aku cuma pemeran figuran saja di sini. Mereka yang punya kisah.
“Eh, Astaga! Rara!” seru Kak Audy, orang yang pertama menyadari kehadiranku. “Sorry, sorry, kami gak bermaksud—”
“It’s oke, Kak. I’m Fine,” selaku cepat. Mencoba bersikap sesantai mungkin, demi membuat kami tidak canggung.
Sekalipun hatiku saat ini bergemuruh hebat dan mataku sangat panas. Aku tetap memaksakan senyum selebar mungkin, saat menghampiri mereka. Kak Audy menyambutku dengan senyum tak kalah lebar. Sementara Kak Sean? Jangan tanya bagaimana dinginnya dia padaku?
Pria itu bahkan langsung memalingkan wajah dengan kesal. Kala Kak Audy memanggil namaku. Seakan memang kehadiranku hanyalah sebuah benalu di hidup mereka. Ah, aku memang benalu.
“Maaf kalo aku ganggu kalian. Aku gak tau kalau kalian ... udah bangun,” kataku tak enak hati, sambil mencuri lirik ke arah Kak Sean yang masih tak mau menatapku sedikit pun. Sebenci itukah dia padaku?
“Ih, apaan sih kamu, Ra. Kita kan udah jadi keluarga sekarang. Kamu udah jadi adikku sejak kemarin. Jadi gak usah gak enak gitu,” jawab Kak Audy dengan riang.
Terlihat sekali kalau dia memang benar-benar bahagia dengan pernikahan ini. Dia bahkan sampai memelukku erat sekali pagi ini.
“Oh, ya. Aku dengar kamu semalam gak enak badan ya, kata Mama? Sorry, ya, Belum sempat nengokin. Abis tamu banyak banget semalam. Btw ... Kamu sakit apa? Kok, gak kasih tau aku sama Sean?” tanya Kak Audy lagi. Membuatku menautkan alis dengan bingung
Sakit? Aku gak pernah bilang gitu? Ah, apa itu alasan yang Mama buat biar mereka tak menanyakanku?
“Ah, iya. Semalam aku memang kurang enak badan. Biasa lah, Kak. Jetlag,” bohongku memaksa senyum tulusku. Sepertinya, mulai sekarang aku akan sering berbohong di depan mereka.
“Oh, gitu. Terus sekarang, gimana keadaan kamu? Sudah sehat, kan? Aku bener-bener minta maaf ya, kalau semalam aku gak bisa nengok kamu. Soalnya tamunya gak ada hentinya. Aku aja sampe migrain kemaren karena kebanyakan berdiri. Untung ada Sean yang mau mijitin semalem. Ya ... walaupun pijitannya jadi plus-plus. Eh!”
Kak Audi berceloteh dengan riang sepanjang cerita. lalu menutup mulutnya di akhir kalimat. Karena menyadari sudah keceplosan.
Entah itu beneran keceplosan atau sengaja. Tapi dari rona wajahnya, sepertinya tak benar-benar menyesal atas ucapannya. Wajahnya merona merah, khas sekali seperti orang yang sedang jatuh cinta.
“Eh, maaf ya, Ra. Aku gak maksud apa-apa, kok. Aku beneran cuma—”
“Gak papa, Kak. Aku ngerti, kok,” selaku cepat. Dengan senyum yang sekuat tenaga masih coba ku pertahankan.
“Beneran?” goda Kak Audi.
“Iya.”
“Ah, kamu memang adikku yang paling baik, Rara!” Kak Audy memelukku sekali lagi dengan riang.
“Kamu tenang aja. Nanti malam Sean bakal jadi milik kamu seutuhnya, kok. Karena sudah seharusnya kita bergantian memilikinya. Dan Aku janji, aku gak bakal ganggu kalian,” lanjut Kak Audi, seraya melepaskan pelukannya. Membuat aku langsung membeku seketika di tempatku.
Aku bukannya gak ngerti akan maksud Kak Audy barusan. Tapi ... jika melihat bagaimana sikap acuh Kak Sean. Aku tau pasti kalau dia sebenarnya gak setuju ide itu. Terlebih, aku belum siap dia makin dibenci lebih lanjut oleh pria itu.
“Wah, sayang banget kalau gitu. Kayaknya malam ini Kak Sean masih harus tetap jadi milik Kakak, Deh,” balasku seriang mungkin.
“Loh, kenapa?” tanya Kak Audi bingung.
Entah sadar atau tidak. Aku melihat Kak Sean menoleh cepat ke arahku, dengan tatapan sama bingungnya dengan istri pertamanya.
“Aku baru aja di telpon Selly. Katanya cabang yang ada di Bandung sedang ada masalah. Jadi ... mungkin aku akan—”
“Selly tidak menelpon saya?” sela Kak Sean dengan cepat.
Akhirnya, setelah beberapa hari ini dia seakan bungkam terhadapku. Tepatnya sejak di Rumah sakit saat kematian Papi. Hari ini Kak Sean mau membuka mulutnya dan melihat aku.
Thanks, God! Aku pun tak dapat menahan senyumku sambil menjawabnya.
“Mungkin Selly tau kalau Kakak sedang tak bisa diganggu,” jawabku singkat. Bahkan hanya segini saja, hatiku sudah sangat bahagia.
“Loh, gak bisa kaya gitulah! Sean kan Wakil Dirut di sana. Sean berhak tau apa yang terjadi sama perusahaan. Sayang, pokoknya kamu nanti harus tegur Selly. Apa-apaan itu sikapnya. Kaya gak hargai kamu aja!” protes Kak Audy menggebu-gebu.
Aku hanya terdiam mendengarnya. Bukannya aku bohong soal pernyataanku tadi. Tapi, aku cuma gak mau memperparah keadaan dengan jawabanku nanti.
“Selly gak salah. Kenapa harus ditegur?”
Entah sejak kapan, Mama Sulis sudah berada di sampingku.
“Loh, tapi kan, Mah—”
“Selly memberi tahu orang yang tepat. Langsung ke Dirutnya, bahkan pemilik sah perusahaan. Jadi, salahnya di mana?” sela Mama cepat. Membungkam Kak Audy dengan telak.
“Oh, iya. Aku lupa kalo kamu udah menggantikan paman Theo,” lirih Kak Audy kemudian.
Sudah kubilang kan, ini tak akan bagus jika dilanjutkan. Aku melirik Kak Sean sebentar. Karena Ingin tau bagaimana reaksinya mendengar ucapan Mamanya?
Benar saja. Kak Sean terlihat mengalihkan pandangan lagi, dengan rahang mengeras kesal. Lalu tak lama setelahnya, pria itu pun beranjak pergi tanpa kata. Aku salah lagi, ya?
Kak Audy: [Ra, hari ini aku sama Sean mau on the way ke Paris buat honeymoon. Nanti kalo kerjaan kamu udah beres. Nyusul, ya!] Aku hanya bisa menghela napas panjang. Kala membaca chat yang di kirimkan Kak Audy siang tadi padaku, tetapi baru bisa kubaca malam hari. Memilih mengabaikan pesan itu, aku pun melemparkan ponselku ke pojok tempat tidur, dan merebahkan tubuhku yang terasa penat sekali. Bukannya aku tak ingin membalas chat itu. Hanya saja ... aku cuma bingung harus balas apa? Pasalnya, Aku baru saja tiba di Hotel, setelah seharian berjibaku dengan masalah kantor cabang yang ternyata cukup rumit. Kepalaku sudah penat, dan tubuhku juga sudah sangat lelah karena belum istirahat sedikitpun dari pagi. Jadi, tolong biarkan aku tidur dulu. Boleh, kan? Lagi pula, aku harus balas apa, coba? Oke? Aku gak mau janji. Lihat nanti? Aku tak ingin mereka mengharap. Atau ... ‘gak bisa’, kesannya kasar sekali. Iya kan? Maka dari itu, dari pada pusing lebih baik aku diam saja. Toh, aku
*Happy Reading*Kak SeanIyaHanya itu balasan yang kudapat, dari chat panjang lebarku waktu itu.Setelah itu, aku pun benar-benar pergi ke Ausy. Untuk melanjutkan pendidikanku, lalu sejak itu hilang kontak dengannya.Terhitung sudah hampir satu tahun sejak aku kembali ke sini. Monash universty. Tempatku menimba ilmu sekarang. Kami tak pernah bertukar kabar sama sekali.Kami benar-benar hilang kontak.Namun hanya dengan saja, sementara dengan Mama Sulis, aku masih sering bertukar kabar. Juga Kak Audy, yang kadang masih ingat memberi kabar tentang suami kami, dan kehidupan bahagianya di sana.Ya! Dia masih dengan baik hatinya, memberi dan membagi kabar itu padaku. Termasuk kabar kehamilannya beberapa bulan lalu, yang sayangnya harus di kuret karena janinnya tidak berkembang.Kasihan sekali. Padahal, katanya Kak Sean sudah sang
*Happy reading*"Kalau begitu kenapa kamu gak berani hanya memilih Audy saja, dan meninggalkan perusahaan Rara?"Degh!Tunggu!Itu maksudnya apa?Hening pun kembali menyapa. Membuat aku kembali menunggu dengan harap cemas, akan jawaban Kak sean setelah ini.Namun, sampai waktu berlalu pun, Kak Sean ternyata tak memberikan jawaban juga. Hingga Mama Sulis pun kembali mendesaknya."Jawab Mama, Sean!""Karena Sean gak mau membuat Audy menderita sebagai istri Sean, Ma! Jadi Sean gak boleh kehilangan pekerjaan saat itu. Sean harus bertanggung jawab akan hidup dan kebahagiaan Audy saat itu."Lalu, bagaimana dengan aku?!Ingin sekali aku berteriak seperti itu. Namun, rasanya suaraku tercekat dalam tenggorokan, dan tak bisa keluar tanpa membuatku sesak.Tuhan, ternyata pernikahan ini benar-benar ti
*Happy reading*"Tolong ambilkan minum, saya haus!" ujar Kak Sean saat sudah masuk, sebelum menghempaskan diri di sofa yang ada di Apartemen-ku, lalu memijat keningnya beberapa kali.Sepertinya, dia memang lelah sekali. Karenanya, ku iya kan saja permintaannya. Tanpa banyak komentar.Aku segera berjalan menuju dapur, dan mengambilkan apa yang dia mau. Letak dapur memang tidak jauh dari ruang tamu, di mana Kak Sean tengah duduk. Hingga membuat aku tak butuh waktu lama untuk kembali menghampirinya lagi."Ini, Kak." Aku menyodorkan air dalam gelas bening.Kak Sean terlihat melirik sekilas. Ia lalu mengambil gelas itu."Makasih." Pria itupun lalu menenggak minumannya dengan rakus.Melihat Kak Sean yang tiba-tiba datang begini. Jelas membuatku heran bercampur penasaran juga.Untuk apa Kak Sean kemari? Ada masalah apa?Entahlah, aku tak merasa senang sedikitpun, mendapati kehadirannya di sini. Karena aku tahu
*Happy reading*"Kenapa melihat saya seperti itu? Mau ngerengek? Atau mau ngadu lagi sama Mama? Ngadu aja, saya udah gak perduli. Karena apapun yang kamu lalukan, tidak akan pernah membuat saya simpatik sama kamu. Camkan itu!"Butuh beberapa detik, untukku bisa menguasai diri dan rasa sakit akan ucapan Kak Sean tersebut.Namun setelahnya, aku pun mencoba tersenyum, dan mengangguk mengerti pada pernyataan itu."Ya, Kak. Rara tau. Dan Rara juga gak akan berharap lebih pada kakak, ataupun pernikahan ini. Karena Rara sadar posisi Rara di mana." Aku pun mencoba menjawab sebijak yang aku bisa."Bagus kalau kamu memang sadar diri," ucap Kak Sean setelahnya."Kalau begitu, sekarang tunjukan kamarnya. Karena saya lelah ingin segera istirahat!"Aku kembali mengangguk. Sebelum berdiri dari dudukku, dan menunjukan satu-satunya kamar yang ada di Apartemen ini.Begini, sebenarnya ini bukan Aprtemen mewah seperti dalam bayangan kalain. Ini ha
*Happy reading*"RARA?!"Degh!"Iya, Kak!"Aku pun segera menyahut, saat mendengar teriakan Kak Sean dari dalam kamar. Juga segera menghampirinya.Demi Tuhan, ini masih pagi. Kenapa suara Kak Sean sudah menggelegar seperti itu? Apa lagi sekarang yang mengganggunya?"Kenap--Astagfirullah!"Namun saat aku sampai kamar dan hendak menegurnya, aku pun langsung dikejutkan dengan tampilannya, yang masih bertelanjang dada. Bahkan hanya memakai handuk saja untuk menutupi daerah intimnya.Astaga!Dia apa-apaan, sih?"Ck, gak usah sok suci kamu!"Tak kusangka, Kak Sean malah berdecak kesal setelahnya."Cuma liat begini saja sok-sok nyebut istighfar. Saya yakin kamu pasti sudah sering liat, kan? Secara kamu itu tinggal di Luar Negri, jauh dari orang tua, lagi. Pasti kehidupan kamu itu bebas selama ini, iya kan? Jadi, liat cowo bertelanjang dada seperti ini. Bukan hal tabu kan, buat kamu?" tuduhnya kemudian
*Happy reading*Aku pun memilihkan. Kaos berkerah tinggi warna putih, dengan jas warna abu-abu tua untuk Kak Sean. Dipadukan celana bahan hitam, dan sepatu pantopel hitam juga.Awalnya, Kak Sean tidak mau memakai baju pilihanku, karena katanya, "Saya mau ke kantor Rara. Bukan mau nongkrong. Pilihan baju kamu itu gak ada resmi-resminya. Saya udah biasa pake dasi tiap ke kantor. Jangan coba ubah gaya saya."Aku tahu itu, dilihat dari semua baju beserta puluhan dasi berbagai motif, yang di bawanya pun, Aku tahu kok, Kak Sean memang terbiasa berpakaian formal tiap ke Kantor.Cuma masalahnya di sini adalah ... Kak Sean gak bisa memasang dasi sendiri, pun aku. Karena, dia biasa di urusi Kak Audy dan Mama Sulis. Sementara aku lama hidup jauh dari papi dan belum pernah punya pacar orang kantoran. Jadi, ya ... aku belum belajar hal itu sama sekali.Akan tetapi, mungkin se
*Happy reading*"Baiklah, Rara pulang sekarang."Walaupun begitu, toh pada akhirnya, aku kembali mengalah, dan menuruti titah Kak Sean. Karena sekali lagi, aku katakan. Aku malas ribut dengannya.Sabar, Ra! Dia cuma seminggu di sini. Jangan cari gara-gara dengannya, kalau tidak mau imagemu makin buruk di matanya.Itulah sugesti yang selalu ku tekankan dalam hati. Jika aku mulai kesal dengan segala tingkah laku Kak Sean.Lagipula dia benar, kok. Surgaku kini memang ada di kakinya. Karenannya, semenyebalkan apapun dia, aku tetap tak boleh membuatnya marah. Takutnya dia mengutukku dengan mulut sadisnya, yang berakhir malah jadi doa untuk hidupku.Jangan sampai!"Hay, guys! Aku balik duluan, ya?"Setelah menutup telpon Kak Sean, aku pun berpamitan pada teman-temanku, yang langsung membuat mereka menyuarakan keberatannya.Namun, mau bagaimana pun, rengekan keberatan mereka tak akan mampu membuat aku tetap be
Pov Kenneth” “Bang?”“ “Hm ....”“ “Itu siapa?”“ Kairo mengangkat wajahnya dengan kesal, sebelum mengikuti arah pandangku.” “Maba,” jawabnya singkat. Membuat aku kesal sekali.” Abang kembarku ini memang pelit sekali berkata-kata. Seakan setiap kata dia ucapkan itu harus membayar.” “Ck, Dari baju yang dia pakai pun, gue juga bisa nebak kalau di masih Maba.” Aku berdecak cukup keras, menyuarakan kekesalanku pada pria yang lahir tiga menit lebih awal dariku.” “Kalau begitu, kenapa masih tanya?” gumamnya kemudian, membuat kekesalanku makin menjadi-jadi.”
“Loh, Kak Sean? Udah pulang? Kok, gak ngabarin? Gimana kabar Kakak sama Kak Audy? Baikkan?”“ Aku cukup terkejut melihat keberadaan Kak Sean di Ruang tamu kediamanku, saat baru saja menidurkan Kean yang lumayan rewel hari ini.” Kak Sean tidak menjawabku. Hanya tersenyum tipis, sebelum menyerahkan sebuah amplop padaku.” “Aku baru datang. Sengaja langsung ke sini untuk memberikan itu padamu,” ucapnya sendu, tidak seperti biasanya.” Entah kenapa, aku melihat kesedihan yang teramat sangat dalam matanya.” “Ini apa?” tanyaku kemudian, sambil menerima amplop yang sepertinya berisi surat di dalamnya.” “Baca aja, itu dari Audy.”“ Eh?”
*Happy Reading*” “Saya terima nikah dan kawinnya Andara prameswari Binti Matheo Prameswari dengan mas kawin tersebut, tunai!”“ “Bagaimana para saksi? Sah?”“ “Sah ....”“ Alhamdulilah ....” Rasa haru pun menyeruak tak terbendung, saat moment itu kembali terulang dalam hidupku.” Meski ini memang bukan yang pertama ku alami. Tapi rasa haru ini benar-benar pertama kali aku rasakan dan ....” Terima kasih Tuhan. Akhirnya aku punya hari bahagiaku sendiri.” Aku benar-benar tak pernah menyangka akan punya kesempatan lagi, bisa merasakan moment ini kembali dalam hidupku, setelah semua yang sud
*Happy Reading*”“Andara Prameswari. Kau ku talak.”“Alhamdulilah ....”Senyumku pun langsung terbit, setelah mendengar kata talak kembali diucapkan pria ini.”Please ... tolong jangan bilang aku gila. Karena apa? Karena ini memang harus dilakukan, agar aku bisa meraih kebahagiaanku yang sudah menunggu.”“Makasih ya, Kak,” ucapku tulus, seraya menatap pria yang sekarang sudah sah ku sebut Mantan suami.”Iya, dia adalah Sean Abdilla, yang baru saja mengucapkan kata talak untuk kedua kalinya terhadapku.”Kenapa bisa begitu? Ya ... karena aku sendiri sebenarnya selama ini r
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi.” Mama Sulis terus membelai rambutku, mencoba menenangkan aku yang benar-benar tak bisa menghentikan tangis.”Bagaimana tidak? Aku harus menerima kenyataan kembali ditinggalkan, oleh pria yang sangat penting dalam hidupku. Juga pria yang sudah aku labeli akan menjadi pasangan hidup sampai tua nanti.”Demi Tuhan. Tujuanku ke Rumah ini kan, untuk menyelesaikan masa lalu, agar bisa hidup tenang dengan pria itu.”Tetapi pria itu malah seenaknya pergi, tanpa memberi kabar apapun padaku. Seakan aku ini sudah tak penting dan ....”“Apa perlu kita pesan tiket ke London sekarang. Agar kamu bisa menyusul Dokter Ken ke sana?” usul Kak Sean kemudian. Tampak ikut bersalah akan kejadian itu.”
“Kalau begitu, apa Kakak keberatan jika aku bilang kita impas?” ucapku kemudian, setelah cukup lama membiarkan Kak Sean larut dalam penyesalannya.”Sayangnya, Kak Sean malah menggeleng, dan tersenyum miring saat mengalihkan atensinya padaku.”“Kurasa kata impas lebih tepat diucapkan Papimu, Ra. Karena kamu tak punya salah apapun di sini. Hanya aku saja yang bodoh sudah menjadikanmu alat untuk balas dendam. Jadi, kamu tak pantas mengucapkan hal itu,” balasnya dengan bijak.”Ah, i see.”“Kalau begitu. Apa ini sudah cukup untuk kakak, agar tak menggangguku lagi. I mean, Kakak gak akan meminta aku kembali sama Kakak lagi, kan? Karena aku benar-benar tidak--”“&ldqu
“Terima kasih karena sudah datang, dan membuat Mama bisa tertawa bahagia seperti itu lagi,” ucap Kak Sean. Saat kami akhirnya punya kesempatan duduk berdua, seraya memperhatikan interaksi Mama Sulis dan Kean di Taman samping Rumah.”Ya, aku memang membawa serta Kean ke Rumah ini. Bukan sengaja sebenarnya. Hanya saja, tadi saat aku akan ke sini. Kean terbangun dan rewel sekali tak ingin ditinggalkan. Makanya, sekalian saja kubawa. Toh, ini rumah Neneknya juga, kan?”“Kamu tahu, rasanya saya sudah lama sekali tak melihat Mama tertawa lepas seperti itu,” gumamnya lagi, tak melepaskan sedikitpun pandangan dari Mama Sulis.”Tatapan matanya syarat akan rasa haru, dan binar bahagia yang tak pernah aku lihat selama ini.”Tentu saja
“Rara gak tahu, Bund,” ungkapku akhirnya, sambil menunduk lesu. Setelah sebelumnya berpikir cukup lama sesuai titah Bunda barusan.”Entahlah, aku juga bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Karena jujur saja, hal itu tak pernah aku pikirkan sebelumnya.”Karena bagiku, kebahagiaan Kean itu di atas segalanya, jadi aku tak terlalu memikirkan diriku sendiri. Yang penting Kean bahagia, maka aku pun pasti akan ikut bahagia.”Bukankah saat kita menjadi seorang ibu, itu berarti sudah bukan saatnya egois lagi. Karena kepentingan anak itu di atas segalanya.”Jadi ... apa salah jika aku berpikir demikian dan melupakan keinginan hatiku sendiri?”“Gak tahu siapa yang kamu cintai sebena
“Rara gak pernah bilang gitu, Bun!” batahku cepat tanpa sadar, membuat Bunda lumayan berjengit kaget di tempatnya. Melihatnya, aku langsung gelagapan karena merasa bersalah sudah mengagetkan Bunda Karina.“Eh, maaf, Bund. Rara gak maksud ngomong keras sama Bunda,” ucapku kemudian, menyuarakan permintaan Maafku. Bunda hanya tersenyum menanggapinya dan menepuk tanganku satu kali.“Gak papa, Bunda ngerti, kok,” jawabnya pengertian. “Tapi, apa yang kamu bilang barusan ... beneran?” Bunda Karin lalu mengembalikan topik obrolan.“Ah, iya, Bund. Beneran, Kok! Rara gak pernah ngomong kayak gitu sama Ken.” Aku pun mencoba meyakinkan Bunda.“Lho, tapi Kata Ken, waktu itu kamu ngobrol dengan mantan mertuamu dan&mdash