*Happy reading*
"Kalau begitu kenapa kamu gak berani hanya memilih Audy saja, dan meninggalkan perusahaan Rara?"
Degh!
Tunggu!
Itu maksudnya apa?
Hening pun kembali menyapa. Membuat aku kembali menunggu dengan harap cemas, akan jawaban Kak sean setelah ini.
Namun, sampai waktu berlalu pun, Kak Sean ternyata tak memberikan jawaban juga. Hingga Mama Sulis pun kembali mendesaknya.
"Jawab Mama, Sean!"
"Karena Sean gak mau membuat Audy menderita sebagai istri Sean, Ma! Jadi Sean gak boleh kehilangan pekerjaan saat itu. Sean harus bertanggung jawab akan hidup dan kebahagiaan Audy saat itu."
Lalu, bagaimana dengan aku?!
Ingin sekali aku berteriak seperti itu. Namun, rasanya suaraku tercekat dalam tenggorokan, dan tak bisa keluar tanpa membuatku sesak.
Tuhan, ternyata pernikahan ini benar-benar tidak sehat dari awal. Wajar jika Kak Sean tak pernah mau melirikku. Karena ternyata ... aku ... hanya ... sebuah beban untuknya.
Sekarang harus bagaimana aku ambil sikap terhadap pernikahan ini?
"Seharusnya kamu memikirkan hal sama terhadap Rara juga, karena--"
Klik!
Cukup. Aku tak kuat lagi!
Akhirnya aku pun memilih menutup panggilan itu, saat Mama Sulis masih mencoba membuat Kak Sean mau memikirkanku.
Demi tuhan, aku tak ingin seperti ini!
Aku pun meninggalkan ponselku begitu saja di sofa, dan merayap ke atas tempat tidur dengan langkah tak pasti, untuk segera memejamkan mata.
"Gak papa, Ra. Besok semuanya pasti akan baik-baik saja." Aku mencoba memberi sugesti pada diriku sendiri. Berharap ini hanya sebuah mimpi buruk dalam hidupku, yang akan hilang saat aku membuka mata esok hari.
Aku menolak pikiran buruk, yang terus memenuhi kepalaku. Tentang Papi yang mungkin saja melakukan ancaman pada kak Sean, hanya untuk pernikahan ini. Atau mungkin memanipulasi Kak Sean saat itu.
Tidak, Papi gak mungkin setega itu, kan?
Ugh ... Papi, Rara harus bagaimana sekarang?
Tidur, Ra. Besok semuanya akan kembali baik-baik saja. Batinku menegur.
Aku merapatkan mataku seerat mungkin, dan mengigit bibir bawahku agar tak bergetar karena rasa sesak ini membuat mataku mulai memanas.
Jangan nangis, Ra! Kamu gak boleh lemah. Sekarang gak akan ada yang memelukmu jika sedih, Rara. Gak akan ada lagi yang mau menghiburmu. Kamu harus belajar berdiri pada kakimu sendiri.
Harus!
Kamu harus segera lulus, meraih sarjanamu, dan mengambil tampuk kepemimpinan perusahaan Papi. Agar bisa melepaskan Kak Sean dari bebannya, yaitu kamu.
Kamu harus kuat, Rara! Harus!
Akhirnya, sekalipun rasanya sulit sekali. Aku pun bisa memejamkan mata, meski harus diiringi rasa sakit hati yang luar biasa. Karena otakku tak bisa berhenti berpikir dan mengingatkanku, kalau ... ternyata ....
Aku cuma beban suamiku sendiri!
***
Akhirnya, setelah hari itu. Aku pun mencoba menjalani hariku seperti biasa. Tanpa memikirkan tentang pernikahan tak sehat ini, juga semua hal yang menyangkut pada pernikahan ini.Aku tak ingin sakit hati terus menerus. Cukup sudah aku tahu alasan Kak Sean sebenarnya, dan mencari bukti sendiri tentang perjanjian hitam di atas putih pernikahan ini.
Ya, setelah aku bertanya langsung kepada sekretaris Papi dan pengacaranya. Ternyata memang benar, Papi menjanjikan masing-masing 20 saham perusahan, pada Kak Sean dan Kak Audy jika mereka mau menerimaku pada pernikahan mereka.
Konyol, kan!
Apa ... aku memang sebodoh itu, Sampai harus di carikan suami?
Apa, Papi terlalu takut hartanya jatuh ke pria yang salah, yang mungkin hanya akan manfaatkanku untuk sebuah harta?
Tuhan, aku benar-benar tak habis pikir untuk semua alasan di balik perjanjian Papi itu. Karena aku merasa, aku gak sebodoh itu.
Maka dari itu, karena sekarang aku sudah tau maksud dan niat Kak Sean menjadi suamiku. Aku pun mencoba mengabaikan dan menutup hatiku untuk pernikahan ini.
Aku yakin, sampai kapanpun. Kak Sean pasti gak akan mau menerimaku sebagai istrinya. Karena dari awal, bagi kak Sean istrinya itu hanya kak Audy. Sementara aku, hanya sumber penghasilan saja.
Jadi, untuk apa aku menjadi pungguk merindukan rembulan seperti ini? Iya, kan?
Lebih baik aku fokus pada pendidikanku, agar bisa segera melepaskan diri darinya.
Bercerai? Tentu saja. Apa lagi yang bisa aku lakukan selain itu? Karena aku tak ingin menjadi beban siapapun terlalu lama.
Ya! Aku rasa. Aku pasti bisa mengurus hidupku sendiri tanpa bantuan siapapun.
Kalian tenang saja, aku tidak serta merta mengabaikan orang-orang di Jakarta. Karena sampai saat ini pun, aku masih berhubungan baik dengan Mama Sulis, seperti hari biasanya.
Namun sekarang, aku menolak dan mencoba menutup telinga untuk semua kabar Kak Sean dan istrinya di sana.
Biarkan saja kami hidup masing-masing sekarang. Aku ingin lebih menikmati kesendirianku, sebelum benar-benar terjun menjalan Bisnis Papi.
Ya, Aku pasti bisa melewati ini semua!
Sayangnya, kebahagiaanku itu tak bertahan lama. Karena pada dua bulan setelahnya, sebuah nomor keramat menghubungiku, tanpa adanya peringatan terlebih Dahulu.
Kak Sean!
Bukan cuma itu, dia bahkan mengatakan sudah menungguku di depan Apartementku yang ada di sini, dan menyuruhku segera datang Karena dia ingin segera istirahat.
"Saya baru sampai negara ini. Masih sangat lelah dan butuh tidur. Jadi kamu cepatlah datang, lalu bukakan pintu ini untuk saya. Saya mengantuk sekali."
Itu ucapannya yang penuh dengan nada perintah padaku.
Aku tidak tahu untuk urusan apa dia ke sini, dan akan berapa lama?
Yang jelas, mendengar hal itu. Tentu saja aku pun bergegas pulang, dan menyambut tamuku tersebut.
Terlepas dari hubungan kami yang sudah sangat lost contact. Bagaimanapun, dia masih sah sebagai suamiku. Dan Kehadirannya, memang tak boleh aku abaikan begitu saja, iya kan?
Karena surgaku masih ada pada kakinya.
Untungnya, kelas hari ini sudah selesai, dan jarak Apartement dari kampus juga tak terlalu jauh. Jadi, aku bisa berlari cepat untuk pulang.
Namun, baru saja aku sampai di hadapannya. Dia pun langsung menatapku tajam, dan berdesis kesal.
"Lelet!"
*Happy reading*"Tolong ambilkan minum, saya haus!" ujar Kak Sean saat sudah masuk, sebelum menghempaskan diri di sofa yang ada di Apartemen-ku, lalu memijat keningnya beberapa kali.Sepertinya, dia memang lelah sekali. Karenanya, ku iya kan saja permintaannya. Tanpa banyak komentar.Aku segera berjalan menuju dapur, dan mengambilkan apa yang dia mau. Letak dapur memang tidak jauh dari ruang tamu, di mana Kak Sean tengah duduk. Hingga membuat aku tak butuh waktu lama untuk kembali menghampirinya lagi."Ini, Kak." Aku menyodorkan air dalam gelas bening.Kak Sean terlihat melirik sekilas. Ia lalu mengambil gelas itu."Makasih." Pria itupun lalu menenggak minumannya dengan rakus.Melihat Kak Sean yang tiba-tiba datang begini. Jelas membuatku heran bercampur penasaran juga.Untuk apa Kak Sean kemari? Ada masalah apa?Entahlah, aku tak merasa senang sedikitpun, mendapati kehadirannya di sini. Karena aku tahu
*Happy reading*"Kenapa melihat saya seperti itu? Mau ngerengek? Atau mau ngadu lagi sama Mama? Ngadu aja, saya udah gak perduli. Karena apapun yang kamu lalukan, tidak akan pernah membuat saya simpatik sama kamu. Camkan itu!"Butuh beberapa detik, untukku bisa menguasai diri dan rasa sakit akan ucapan Kak Sean tersebut.Namun setelahnya, aku pun mencoba tersenyum, dan mengangguk mengerti pada pernyataan itu."Ya, Kak. Rara tau. Dan Rara juga gak akan berharap lebih pada kakak, ataupun pernikahan ini. Karena Rara sadar posisi Rara di mana." Aku pun mencoba menjawab sebijak yang aku bisa."Bagus kalau kamu memang sadar diri," ucap Kak Sean setelahnya."Kalau begitu, sekarang tunjukan kamarnya. Karena saya lelah ingin segera istirahat!"Aku kembali mengangguk. Sebelum berdiri dari dudukku, dan menunjukan satu-satunya kamar yang ada di Apartemen ini.Begini, sebenarnya ini bukan Aprtemen mewah seperti dalam bayangan kalain. Ini ha
*Happy reading*"RARA?!"Degh!"Iya, Kak!"Aku pun segera menyahut, saat mendengar teriakan Kak Sean dari dalam kamar. Juga segera menghampirinya.Demi Tuhan, ini masih pagi. Kenapa suara Kak Sean sudah menggelegar seperti itu? Apa lagi sekarang yang mengganggunya?"Kenap--Astagfirullah!"Namun saat aku sampai kamar dan hendak menegurnya, aku pun langsung dikejutkan dengan tampilannya, yang masih bertelanjang dada. Bahkan hanya memakai handuk saja untuk menutupi daerah intimnya.Astaga!Dia apa-apaan, sih?"Ck, gak usah sok suci kamu!"Tak kusangka, Kak Sean malah berdecak kesal setelahnya."Cuma liat begini saja sok-sok nyebut istighfar. Saya yakin kamu pasti sudah sering liat, kan? Secara kamu itu tinggal di Luar Negri, jauh dari orang tua, lagi. Pasti kehidupan kamu itu bebas selama ini, iya kan? Jadi, liat cowo bertelanjang dada seperti ini. Bukan hal tabu kan, buat kamu?" tuduhnya kemudian
*Happy reading*Aku pun memilihkan. Kaos berkerah tinggi warna putih, dengan jas warna abu-abu tua untuk Kak Sean. Dipadukan celana bahan hitam, dan sepatu pantopel hitam juga.Awalnya, Kak Sean tidak mau memakai baju pilihanku, karena katanya, "Saya mau ke kantor Rara. Bukan mau nongkrong. Pilihan baju kamu itu gak ada resmi-resminya. Saya udah biasa pake dasi tiap ke kantor. Jangan coba ubah gaya saya."Aku tahu itu, dilihat dari semua baju beserta puluhan dasi berbagai motif, yang di bawanya pun, Aku tahu kok, Kak Sean memang terbiasa berpakaian formal tiap ke Kantor.Cuma masalahnya di sini adalah ... Kak Sean gak bisa memasang dasi sendiri, pun aku. Karena, dia biasa di urusi Kak Audy dan Mama Sulis. Sementara aku lama hidup jauh dari papi dan belum pernah punya pacar orang kantoran. Jadi, ya ... aku belum belajar hal itu sama sekali.Akan tetapi, mungkin se
*Happy reading*"Baiklah, Rara pulang sekarang."Walaupun begitu, toh pada akhirnya, aku kembali mengalah, dan menuruti titah Kak Sean. Karena sekali lagi, aku katakan. Aku malas ribut dengannya.Sabar, Ra! Dia cuma seminggu di sini. Jangan cari gara-gara dengannya, kalau tidak mau imagemu makin buruk di matanya.Itulah sugesti yang selalu ku tekankan dalam hati. Jika aku mulai kesal dengan segala tingkah laku Kak Sean.Lagipula dia benar, kok. Surgaku kini memang ada di kakinya. Karenannya, semenyebalkan apapun dia, aku tetap tak boleh membuatnya marah. Takutnya dia mengutukku dengan mulut sadisnya, yang berakhir malah jadi doa untuk hidupku.Jangan sampai!"Hay, guys! Aku balik duluan, ya?"Setelah menutup telpon Kak Sean, aku pun berpamitan pada teman-temanku, yang langsung membuat mereka menyuarakan keberatannya.Namun, mau bagaimana pun, rengekan keberatan mereka tak akan mampu membuat aku tetap be
*Happy reading*"Morning, dear!"Aku langsung menoleh ke sebelah kanan, saat mendengar sapaan yang lumayan familier untukku, ketika aku sedang mengunci rumah sebelum berangkat ke kampus hari ini.Tenang saja, hari ini gak ada drama dari Kak Sean lagi, kok. Karena aku sudah belajar dari hari kemarin dalam mengurus suamiku itu. Hingga tak ada alasan lagi buat Kak Sean untuk mengomeliku.Sekarang, pria itu sudah berangkat ke kantor, setelah menghabiskan sarapan yang tumben mau dia sentuh."Morning, An," balasku dengan Riang, saat melihat keberadaan Ana. Tetangga loft, yang sangat baik hati.Ana itu seorang janda, yang memutuskan tidak menikah lagi setelah suaminya meninggal.Ana bilang, cintanya pada suaminya kekal, hingga tak bisa menerima pria manapun lagi.Lagipula, kini umurnya sudah lebih dari 50 tahun. Dia sudah tak me
*Happy reading*"Apa maksud kamu tadi?!"Kak Sean langsung menghardikku, sesampainya kami di Loft."Maksud aku? Apa?"Bukan aku tak mengerti arah pertanyaan Kak Sean, hanya saja, aku ingin memastikan saja dugaanku."Gak usah pura-pura, Rara. Saya tahu kamu pasti mengerti maksud pertanyaan saya. Kamu itu bukan orang bodoh!" tukas Kak Sean, masih dengan nada kesal yang sama.Aku pun akhirnya menghela napas sebentar, sebelum menjawab, "Apa yang Kakak maksud adalah, aku yang mengenalkan Kakak sebagai sepupu?""Tentu saja! Apa lagi selain itu?!" Jawabnya cepat. Bahkan terlalu cepat menurutku."Lho, aku kira Kakak memang ingin dikenal dengan status seperti itu di sini?" Tak ayal, aku pun bertanya balik. Karena bingung dengan sikapnya ini. Kenapa dia harus marah, kalau dia sendiri mengaku sebagai sepupuku pada Ana."Saya tidak pernah bilang begitu!" tegasnya."Tapi kemarin Kakak mengenalka
*Happy Reading*Aku tidak tahu ini bisa disebut perkosaan atau tidak?Faktanya, status Kak Sean itu suami sah ku, dan dia memang berhak atas diriku. Bahkan, melayaninya adalah pahala untukku.Namun, haruskah dengan cara seperti ini?Tidak bisakah dia memintaku dengan baik-baik dan lembut?Bisakah dia memintaku dalam keadaan normal dan memang benar-benar menginginkanku. Bukan dengan memaksaku, dan dalam pengaruh alkohol seperti ini. Karena sungguh, aku sakit hati diperlakukan layaknya jalang seperti ini.Bagaimanapun, aku masih istri yang berhak dapat hormatnya. Bukan cuma pengganti, yang bisa dia gunakan di balik bayangan wanita yang ada di hatinya.Audy!Entah kenapa, nama itu sekarang sangat menyakitiku."Audy," lirih Kak Sean sekali lagi, dalam lelapnya setelah menuntaskan kebutuhan biologisnya secara paksa padaku. Memb
Pov Kenneth” “Bang?”“ “Hm ....”“ “Itu siapa?”“ Kairo mengangkat wajahnya dengan kesal, sebelum mengikuti arah pandangku.” “Maba,” jawabnya singkat. Membuat aku kesal sekali.” Abang kembarku ini memang pelit sekali berkata-kata. Seakan setiap kata dia ucapkan itu harus membayar.” “Ck, Dari baju yang dia pakai pun, gue juga bisa nebak kalau di masih Maba.” Aku berdecak cukup keras, menyuarakan kekesalanku pada pria yang lahir tiga menit lebih awal dariku.” “Kalau begitu, kenapa masih tanya?” gumamnya kemudian, membuat kekesalanku makin menjadi-jadi.”
“Loh, Kak Sean? Udah pulang? Kok, gak ngabarin? Gimana kabar Kakak sama Kak Audy? Baikkan?”“ Aku cukup terkejut melihat keberadaan Kak Sean di Ruang tamu kediamanku, saat baru saja menidurkan Kean yang lumayan rewel hari ini.” Kak Sean tidak menjawabku. Hanya tersenyum tipis, sebelum menyerahkan sebuah amplop padaku.” “Aku baru datang. Sengaja langsung ke sini untuk memberikan itu padamu,” ucapnya sendu, tidak seperti biasanya.” Entah kenapa, aku melihat kesedihan yang teramat sangat dalam matanya.” “Ini apa?” tanyaku kemudian, sambil menerima amplop yang sepertinya berisi surat di dalamnya.” “Baca aja, itu dari Audy.”“ Eh?”
*Happy Reading*” “Saya terima nikah dan kawinnya Andara prameswari Binti Matheo Prameswari dengan mas kawin tersebut, tunai!”“ “Bagaimana para saksi? Sah?”“ “Sah ....”“ Alhamdulilah ....” Rasa haru pun menyeruak tak terbendung, saat moment itu kembali terulang dalam hidupku.” Meski ini memang bukan yang pertama ku alami. Tapi rasa haru ini benar-benar pertama kali aku rasakan dan ....” Terima kasih Tuhan. Akhirnya aku punya hari bahagiaku sendiri.” Aku benar-benar tak pernah menyangka akan punya kesempatan lagi, bisa merasakan moment ini kembali dalam hidupku, setelah semua yang sud
*Happy Reading*”“Andara Prameswari. Kau ku talak.”“Alhamdulilah ....”Senyumku pun langsung terbit, setelah mendengar kata talak kembali diucapkan pria ini.”Please ... tolong jangan bilang aku gila. Karena apa? Karena ini memang harus dilakukan, agar aku bisa meraih kebahagiaanku yang sudah menunggu.”“Makasih ya, Kak,” ucapku tulus, seraya menatap pria yang sekarang sudah sah ku sebut Mantan suami.”Iya, dia adalah Sean Abdilla, yang baru saja mengucapkan kata talak untuk kedua kalinya terhadapku.”Kenapa bisa begitu? Ya ... karena aku sendiri sebenarnya selama ini r
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi.” Mama Sulis terus membelai rambutku, mencoba menenangkan aku yang benar-benar tak bisa menghentikan tangis.”Bagaimana tidak? Aku harus menerima kenyataan kembali ditinggalkan, oleh pria yang sangat penting dalam hidupku. Juga pria yang sudah aku labeli akan menjadi pasangan hidup sampai tua nanti.”Demi Tuhan. Tujuanku ke Rumah ini kan, untuk menyelesaikan masa lalu, agar bisa hidup tenang dengan pria itu.”Tetapi pria itu malah seenaknya pergi, tanpa memberi kabar apapun padaku. Seakan aku ini sudah tak penting dan ....”“Apa perlu kita pesan tiket ke London sekarang. Agar kamu bisa menyusul Dokter Ken ke sana?” usul Kak Sean kemudian. Tampak ikut bersalah akan kejadian itu.”
“Kalau begitu, apa Kakak keberatan jika aku bilang kita impas?” ucapku kemudian, setelah cukup lama membiarkan Kak Sean larut dalam penyesalannya.”Sayangnya, Kak Sean malah menggeleng, dan tersenyum miring saat mengalihkan atensinya padaku.”“Kurasa kata impas lebih tepat diucapkan Papimu, Ra. Karena kamu tak punya salah apapun di sini. Hanya aku saja yang bodoh sudah menjadikanmu alat untuk balas dendam. Jadi, kamu tak pantas mengucapkan hal itu,” balasnya dengan bijak.”Ah, i see.”“Kalau begitu. Apa ini sudah cukup untuk kakak, agar tak menggangguku lagi. I mean, Kakak gak akan meminta aku kembali sama Kakak lagi, kan? Karena aku benar-benar tidak--”“&ldqu
“Terima kasih karena sudah datang, dan membuat Mama bisa tertawa bahagia seperti itu lagi,” ucap Kak Sean. Saat kami akhirnya punya kesempatan duduk berdua, seraya memperhatikan interaksi Mama Sulis dan Kean di Taman samping Rumah.”Ya, aku memang membawa serta Kean ke Rumah ini. Bukan sengaja sebenarnya. Hanya saja, tadi saat aku akan ke sini. Kean terbangun dan rewel sekali tak ingin ditinggalkan. Makanya, sekalian saja kubawa. Toh, ini rumah Neneknya juga, kan?”“Kamu tahu, rasanya saya sudah lama sekali tak melihat Mama tertawa lepas seperti itu,” gumamnya lagi, tak melepaskan sedikitpun pandangan dari Mama Sulis.”Tatapan matanya syarat akan rasa haru, dan binar bahagia yang tak pernah aku lihat selama ini.”Tentu saja
“Rara gak tahu, Bund,” ungkapku akhirnya, sambil menunduk lesu. Setelah sebelumnya berpikir cukup lama sesuai titah Bunda barusan.”Entahlah, aku juga bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Karena jujur saja, hal itu tak pernah aku pikirkan sebelumnya.”Karena bagiku, kebahagiaan Kean itu di atas segalanya, jadi aku tak terlalu memikirkan diriku sendiri. Yang penting Kean bahagia, maka aku pun pasti akan ikut bahagia.”Bukankah saat kita menjadi seorang ibu, itu berarti sudah bukan saatnya egois lagi. Karena kepentingan anak itu di atas segalanya.”Jadi ... apa salah jika aku berpikir demikian dan melupakan keinginan hatiku sendiri?”“Gak tahu siapa yang kamu cintai sebena
“Rara gak pernah bilang gitu, Bun!” batahku cepat tanpa sadar, membuat Bunda lumayan berjengit kaget di tempatnya. Melihatnya, aku langsung gelagapan karena merasa bersalah sudah mengagetkan Bunda Karina.“Eh, maaf, Bund. Rara gak maksud ngomong keras sama Bunda,” ucapku kemudian, menyuarakan permintaan Maafku. Bunda hanya tersenyum menanggapinya dan menepuk tanganku satu kali.“Gak papa, Bunda ngerti, kok,” jawabnya pengertian. “Tapi, apa yang kamu bilang barusan ... beneran?” Bunda Karin lalu mengembalikan topik obrolan.“Ah, iya, Bund. Beneran, Kok! Rara gak pernah ngomong kayak gitu sama Ken.” Aku pun mencoba meyakinkan Bunda.“Lho, tapi Kata Ken, waktu itu kamu ngobrol dengan mantan mertuamu dan&mdash