*Happy reading*
"Apa maksud kamu tadi?!"
Kak Sean langsung menghardikku, sesampainya kami di Loft.
"Maksud aku? Apa?"
Bukan aku tak mengerti arah pertanyaan Kak Sean, hanya saja, aku ingin memastikan saja dugaanku.
"Gak usah pura-pura, Rara. Saya tahu kamu pasti mengerti maksud pertanyaan saya. Kamu itu bukan orang bodoh!" tukas Kak Sean, masih dengan nada kesal yang sama.
Aku pun akhirnya menghela napas sebentar, sebelum menjawab, "Apa yang Kakak maksud adalah, aku yang mengenalkan Kakak sebagai sepupu?"
"Tentu saja! Apa lagi selain itu?!" Jawabnya cepat. Bahkan terlalu cepat menurutku.
"Lho, aku kira Kakak memang ingin dikenal dengan status seperti itu di sini?"
Tak ayal, aku pun bertanya balik. Karena bingung dengan sikapnya ini. Kenapa dia harus marah, kalau dia sendiri mengaku sebagai sepupuku pada Ana.
"Saya tidak pernah bilang begitu!" tegasnya.
"Tapi kemarin Kakak mengenalkan diri sebagai sepupu aku 'kan pada, Ana?" Aku mencoba membela diri.
"Ana? Siapa?" Kak Sean makin kebingungan.
"Tetangga Loft ini."
Dia pun lalu terdiam, seraya berpikir. Mungkin dia sedang mencoba mencerna dan mengingat sesuatu.
"Maksud kamu wanita tua yang punya gaya nyentrik itu?" Kak Sean mencoba menkonfirmasi.
"Iya, dia Ana." Aku mengaminkan.
Dia pun terlihat membuang muka dengan tatapan yang ... entahlah, seperti kikuk atau canggung.
Namun dari rona raut wajahnya, aku tahu kekesalannya sudah sedikit berkurang.
"Kalau itu jelas perkara beda."
Nyatanya, dia tak serta merta mengaku salah. Dia masih bersikukuh, seakan tak mau aku merasa menang menghadapinya.
Padahal, menang apa, sih? Ini kan bukan perlombaan.
"Beda gimana?"
Tentu saja itu membuat aku kembali bingung. Karena makin ke sini, aku malah merasa Kak Sean ini seperti bunglon.
"Jelas saja Beda. Wanita tua itu kan tetangga kamu. Dia pasti akan bergosip jika tahu saya suami kamu, tapi tidak pernah terlihat. Saya tak ingin jadi buah bibir. Sementara yang tadi di kampus, kan teman-teman kamu. Mereka harus tahu kalau kamu sudah menikah, agar tak ada yang berani mengajak kamu kencan. Ingat Rara, istri itu pakaiannya suami."
Kok, terdengar egois, ya? Maksudnya apa coba? Tetangga gak boleh tahu aku sudah menikah, sementara teman wajib tahu.
Padahal, temanku justru lebih sering berkunjung ke sini daripada tetangga. Lalu, kalau mereka menanyakan keberadaan Kak Sean yang tak pernah terlihat? Aku harus jawab apa?
Apa Kak Sean tak pernah dikunjungi teman selama ini?
"Tapi kak--"
"Sudahlah! Saya malas bahas ini lagi. Kamu tuh emang bandel, ya? Udah tahu salah, masih saja ngeyel. Bisa gak sih, nurut sama suami sedikit aja? Mau, kamu saya labeli istri durhaka?"
Astaga!
Aku salah apa lagi? Kenapa semua yang aku lakukan sepertinya tak ada yang benar di mata Kak Sean.
"Kamu tuh harus benar-benar belajar sama Audy. Karena Audy itu bukan cuma penurut, tapi pandai membuat hati saya tenang. Makanya saya bangga punya istri seperti dia."
Audy lagi! Audy lagi!
Jujur saja, aku sebenarnya tidak pernah ingin cemburu, atau menganggap Kak Audy itu adalah sainganku selama ini.
Karena apa? Karena aku sadar diri aku cuma piguran di sini. Aku pengganggu dan hanya cadangan.
Aku tahu dan berusaha menerima takdirku itu.
Tetapi, jika Kak Sean terus saja membandingkan kami dengan sengaja. Lama-lama aku bisa kesal juga.
Karena aku juga manusia biasa, yang bisa sakit hati dan punya rasa egois.
Tidak masalah jika dia tidak mencintaiku, atau terpaksa ada di sini bersamaku karena tuntutan Mama Sulis. Makanya dia selalu ketus dan tak sudi melirikku. Aku mengerti itu.
Namun bagaimanapun aku ini juga istrinya, kan? Bisakah dia menghargai aku sedikit saja?
Tak perlu berlebihan. Cukup jaga perasaanku dan tak usah membandingkan aku dengan istrinya yang lain. Karena aku juga bisa sakit hati. Atau ... lebih baik diam dan acuhkan aku saja. Aku akan lebih menghargai itu.
"Ck, benar-benar payah." Kak Sean pun berdecak kesal. Sebelum akhirnya pergi meninggalkanku, menuju lantai atas tempat kamar utama berada.
Tuhan ... sampai kapan aku harus bertahan dengan pernikahan ini?
***
Setelah kejadian itu. Aku pun memilih meminimalisir interaksiku dengan Kak Sean.Bukan menghindar tentu saja, karena itu tidak mungkin dan rasanya terlalu childish.
Aku tetap melayaninya sesuai permintaannya, kok. Menyiapkan baju dan sarapannya. Pulang lebih cepat jika dia minta, bahkan tidur lebih cepat jika dia mulai mengeluh tak bisa tidur jika lampu masih menyala.
Aku turuti semua maunya. Meski tugas-tugas kuliahku kadang jadi kacau dan sering mendapat teguran dari kelompok kerjaku. Tapi bagiku, menghadapi mereka lebih mudah daripada menghadapi Kak Sean.
Entahlah. Aku malas saja berdebat dengan Kak Sean. Apalagi jika sudah membawa-bawa nama Kak Audy. Malasku jadi double-double.
Karena itulah, aku mencoba tak banyak bicara lagi padanya, dan hanya berinteraksi secukupnya. Apa pun aku lakukan agar dia tidak sampai ngomel.
Aku benar-benar mencoba menjadi istrinya yang baik. Agar dia tak menyakiti hatiku lagi.
Sayangnya harapanku terlalu tinggi sepertinya. Karena sebaik apapun aku menjaga hatiku. Kak Sean bisa dengan mudahnya membuatnya hancur hanya dengan satu kata.
Audy!
Dia menyebutkannya saat mendapatkan pelepasannya, ketika memperkosaku!
*Happy Reading*Aku tidak tahu ini bisa disebut perkosaan atau tidak?Faktanya, status Kak Sean itu suami sah ku, dan dia memang berhak atas diriku. Bahkan, melayaninya adalah pahala untukku.Namun, haruskah dengan cara seperti ini?Tidak bisakah dia memintaku dengan baik-baik dan lembut?Bisakah dia memintaku dalam keadaan normal dan memang benar-benar menginginkanku. Bukan dengan memaksaku, dan dalam pengaruh alkohol seperti ini. Karena sungguh, aku sakit hati diperlakukan layaknya jalang seperti ini.Bagaimanapun, aku masih istri yang berhak dapat hormatnya. Bukan cuma pengganti, yang bisa dia gunakan di balik bayangan wanita yang ada di hatinya.Audy!Entah kenapa, nama itu sekarang sangat menyakitiku."Audy," lirih Kak Sean sekali lagi, dalam lelapnya setelah menuntaskan kebutuhan biologisnya secara paksa padaku. Memb
*Happy Reading*Setelah Kak Sean benar-benar terlelap. Aku menggigit bibir bawahku agar tak terisak keras menyuarakan perihnya rasa yang aku rasakan.Entah mana yang lebih perih. Inti tubuhku yang baru saja menerima robekan untuk pertama kalinya. Atau hatiku yang harus kembali menerima kenyataan, jika aku memang hanya sebuah bayangan untuknya.Aku pengganti dan ... aku ... tidak punya nilai sama sekali di hati suamiku sendiri.Entahlah. Aku sudah tidak bisa membedakannya lagi. Yang jelas, rasanya benar-benar sakit sekali.Apa aku memang benar-benar tak berharga?"Audy ...."Lihatlah! Bahkan dalam tidurnya pun, dan meski baru saja merenggut mahkotaku. Yang dia ingat cuma istri pertamanya saja.Lalu, di mana posisiku diletakkan olehnya?Tidak ada. Tentu saja. Karena baginya aku memang tak punya arti apapun. Iya, kan?Bahkan aku yakin. Mungkin dia pun tidak akan ingat, siapa yang melayaninya malam ini. Ka
*Happy Reading*Hariku telah kembali.Setelah kepulangan Kak Sean, hubungan kami pun kembali berjarak.Tidak, maksudku ya ... kembali ke semula. Yaitu kembali tidak ada komunikasi lagi antara kami.Tidak apa-apa. Aku tidak kecewa, kok. Karena bagiku, ini lebih baik daripada ribut terus dengan pria itu.Bukannya aku ingin mengabaikan suamiku sendiri, atau lupa pada tugasku sebagai seorang istri. Hanya saja, kalau suamiku sendiri tak menginginkan aku, bisa apa selain mengikuti alur yang dia buat.Toh, dia sudah bahagia dengan Kak Audy. Jadi, ya ... bolehkan, kalau aku menikmati masa bebasku di sini?Lagipula, aku tidak ingin mengganggu mereka.Ah, ya. Mengenai Kak Audy. Sebenarnya wanita itu beberapa kali masih menghubungiku untuk bertanya kabar, dan basa basi lainnya.Bahkan, saat Kak Sean di sini pun, dia kerap kali menggo
Aku hanya kecapean!Aku hanya kecapean!Aku hanya kecapean!Aku terus mensugestikan kalimat itu berulang kali di sepanjang hari. Menolak percaya pada segala dugaan yang berseliweran tentang kondisiku saat ini, perihal PMS yang ternyata sudah terlambat dua minggu.Tidak, Tuhan. Jangan sampai dugaan itu benar adanya. Aku belum siap. Bukan, aku bukannya ingin menolak rezeki atau apalah namanya. Hanya saja ... kalian tahukan kondisiku saat ini?Bagaimana aku harus meminta pertanggung jawaban pada Kak Sean, jika dia sendiri tidak ingat kejadian itu? Bagaimana? Tolong berikan aku solusi. Aku benar-benar dilema saat ini. Maka dari itu, tolong Tuhan. Jangan isi rahimku sekarang. Aku mohon dengan sangat.
“Siapa Ayah bayimu?” tanya Diego, dengan tatapan yang syarat akan rasa kecewa, membuatku hatiku mencelos seketika. Kasihan. Aku pasti sudah sangat mengecewakannya.“Suamiku,” jawabku mencoba tetap tegar, meski dengan kejujuran ini aku mungkin akan kehilangan mereka.“Are you married?” Kali ini Miranda yang bertanya penuh penasaran.“Yes, I’m,” lirihku sambil menunduk penuh rasa bersalah. Demi Tuhan, aku tidak sanggup menatap bola mata dua insan di depanku, yang penuh rasa kecewa.
“Menjual diri?” beoku tanpa sadar. Karena terkejut dengan ucapan pedas mereka.“Ya! Kamu selama ini tidak menerima Diego karena lebih suka jadi simpanan Om-Om, kan?”Astaga! Gosip dari mana itu?“Hey, kalian jangan sembarangan bicara!” Aku mencoba menegur mereka, karena aku memang tidak seperti itu.“Kami tidak sembarang bicara, kok. Kami punya bukti. Bahkan, kami juga tahu, sekarang kamu tengah hamil anak selingkuhanmu itu, kan?”Deg!Tuhan, dari mana mereka tahu semua itu?“Aku tidak—”
“Mir? Are u ....”“Not me!” bantah Miranda keras, ketika aku mencoba konfirmasi atas sikapnya.“Kalau memang bukan kalian? Lalu siapa? Yang tahu tentang kehamilanku cuma kalian.” Aku bersikukuh, meminta penjelasan pada dua tersangka di hadapanku.“Ya ... mungkin saja dokter itu, atau perawat di sana. Jangan lupa, kemarin kamu dirawat, di rumah sakit salah satu teman kita!” Miranda masih mencoba membela diri, meski mimik wajahnya sudah sangat menjelaskan semuanya.Aku bukan ingin asal tuduh. Namun, kurasa kalian pun akan bisa membedakan, mana orang yang sedang ketakutan karena terciduk, mana yang tidak, iya kan? Miranda bahkan sudah tak berani menatap mataku, dan terus meliarkan pandangannya ke sembarang arah. Nah, gimana ak
Kak Sean :Sebenarnya apa saja kerjamu di sana Rara? Menjual diri? Kenapa sampai ada gosip seperti ini? Apa kau benar-benar sejalang itu, ya?” Aku hanya bisa mendesah lelah, saat membaca rentetan pesan masuk dari Kak Sean, yang pedasnya sudah tidak bisa diragukan lagi. Benarkan dugaanku? Dia tidak ingat kejadian malam itu. Buktinya dia menuduhku seenaknya, tanpa mau repot b**a-basi terlebih dahulu. Padahal semua gosip ini juga hasil kelakuannya yang menyembunyikan pernikahan kami, juga memperkosaku. Jadi, dia juga punya andil besar dalam terciptanya gosip ini. Apa dia tidak berpikir sama sekali?” Kak Sean :Saya tidak mau tahu, Rara. Kamu harus pulang segera ke Indonesia, untuk memberikan penjelasan atas gosip itu. Kalau tidak? Jangan salahkan jika saya seret kamu ke sini dengan cara saya!” Penjelasan apa yang dia mau? Apa dia benar-benar tak bisa mengingat sedikit saja kejadian malam itu? Perasaan kepalanya tak tertantuk apapun, atau ... kepuas
Pov Kenneth” “Bang?”“ “Hm ....”“ “Itu siapa?”“ Kairo mengangkat wajahnya dengan kesal, sebelum mengikuti arah pandangku.” “Maba,” jawabnya singkat. Membuat aku kesal sekali.” Abang kembarku ini memang pelit sekali berkata-kata. Seakan setiap kata dia ucapkan itu harus membayar.” “Ck, Dari baju yang dia pakai pun, gue juga bisa nebak kalau di masih Maba.” Aku berdecak cukup keras, menyuarakan kekesalanku pada pria yang lahir tiga menit lebih awal dariku.” “Kalau begitu, kenapa masih tanya?” gumamnya kemudian, membuat kekesalanku makin menjadi-jadi.”
“Loh, Kak Sean? Udah pulang? Kok, gak ngabarin? Gimana kabar Kakak sama Kak Audy? Baikkan?”“ Aku cukup terkejut melihat keberadaan Kak Sean di Ruang tamu kediamanku, saat baru saja menidurkan Kean yang lumayan rewel hari ini.” Kak Sean tidak menjawabku. Hanya tersenyum tipis, sebelum menyerahkan sebuah amplop padaku.” “Aku baru datang. Sengaja langsung ke sini untuk memberikan itu padamu,” ucapnya sendu, tidak seperti biasanya.” Entah kenapa, aku melihat kesedihan yang teramat sangat dalam matanya.” “Ini apa?” tanyaku kemudian, sambil menerima amplop yang sepertinya berisi surat di dalamnya.” “Baca aja, itu dari Audy.”“ Eh?”
*Happy Reading*” “Saya terima nikah dan kawinnya Andara prameswari Binti Matheo Prameswari dengan mas kawin tersebut, tunai!”“ “Bagaimana para saksi? Sah?”“ “Sah ....”“ Alhamdulilah ....” Rasa haru pun menyeruak tak terbendung, saat moment itu kembali terulang dalam hidupku.” Meski ini memang bukan yang pertama ku alami. Tapi rasa haru ini benar-benar pertama kali aku rasakan dan ....” Terima kasih Tuhan. Akhirnya aku punya hari bahagiaku sendiri.” Aku benar-benar tak pernah menyangka akan punya kesempatan lagi, bisa merasakan moment ini kembali dalam hidupku, setelah semua yang sud
*Happy Reading*”“Andara Prameswari. Kau ku talak.”“Alhamdulilah ....”Senyumku pun langsung terbit, setelah mendengar kata talak kembali diucapkan pria ini.”Please ... tolong jangan bilang aku gila. Karena apa? Karena ini memang harus dilakukan, agar aku bisa meraih kebahagiaanku yang sudah menunggu.”“Makasih ya, Kak,” ucapku tulus, seraya menatap pria yang sekarang sudah sah ku sebut Mantan suami.”Iya, dia adalah Sean Abdilla, yang baru saja mengucapkan kata talak untuk kedua kalinya terhadapku.”Kenapa bisa begitu? Ya ... karena aku sendiri sebenarnya selama ini r
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi.” Mama Sulis terus membelai rambutku, mencoba menenangkan aku yang benar-benar tak bisa menghentikan tangis.”Bagaimana tidak? Aku harus menerima kenyataan kembali ditinggalkan, oleh pria yang sangat penting dalam hidupku. Juga pria yang sudah aku labeli akan menjadi pasangan hidup sampai tua nanti.”Demi Tuhan. Tujuanku ke Rumah ini kan, untuk menyelesaikan masa lalu, agar bisa hidup tenang dengan pria itu.”Tetapi pria itu malah seenaknya pergi, tanpa memberi kabar apapun padaku. Seakan aku ini sudah tak penting dan ....”“Apa perlu kita pesan tiket ke London sekarang. Agar kamu bisa menyusul Dokter Ken ke sana?” usul Kak Sean kemudian. Tampak ikut bersalah akan kejadian itu.”
“Kalau begitu, apa Kakak keberatan jika aku bilang kita impas?” ucapku kemudian, setelah cukup lama membiarkan Kak Sean larut dalam penyesalannya.”Sayangnya, Kak Sean malah menggeleng, dan tersenyum miring saat mengalihkan atensinya padaku.”“Kurasa kata impas lebih tepat diucapkan Papimu, Ra. Karena kamu tak punya salah apapun di sini. Hanya aku saja yang bodoh sudah menjadikanmu alat untuk balas dendam. Jadi, kamu tak pantas mengucapkan hal itu,” balasnya dengan bijak.”Ah, i see.”“Kalau begitu. Apa ini sudah cukup untuk kakak, agar tak menggangguku lagi. I mean, Kakak gak akan meminta aku kembali sama Kakak lagi, kan? Karena aku benar-benar tidak--”“&ldqu
“Terima kasih karena sudah datang, dan membuat Mama bisa tertawa bahagia seperti itu lagi,” ucap Kak Sean. Saat kami akhirnya punya kesempatan duduk berdua, seraya memperhatikan interaksi Mama Sulis dan Kean di Taman samping Rumah.”Ya, aku memang membawa serta Kean ke Rumah ini. Bukan sengaja sebenarnya. Hanya saja, tadi saat aku akan ke sini. Kean terbangun dan rewel sekali tak ingin ditinggalkan. Makanya, sekalian saja kubawa. Toh, ini rumah Neneknya juga, kan?”“Kamu tahu, rasanya saya sudah lama sekali tak melihat Mama tertawa lepas seperti itu,” gumamnya lagi, tak melepaskan sedikitpun pandangan dari Mama Sulis.”Tatapan matanya syarat akan rasa haru, dan binar bahagia yang tak pernah aku lihat selama ini.”Tentu saja
“Rara gak tahu, Bund,” ungkapku akhirnya, sambil menunduk lesu. Setelah sebelumnya berpikir cukup lama sesuai titah Bunda barusan.”Entahlah, aku juga bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Karena jujur saja, hal itu tak pernah aku pikirkan sebelumnya.”Karena bagiku, kebahagiaan Kean itu di atas segalanya, jadi aku tak terlalu memikirkan diriku sendiri. Yang penting Kean bahagia, maka aku pun pasti akan ikut bahagia.”Bukankah saat kita menjadi seorang ibu, itu berarti sudah bukan saatnya egois lagi. Karena kepentingan anak itu di atas segalanya.”Jadi ... apa salah jika aku berpikir demikian dan melupakan keinginan hatiku sendiri?”“Gak tahu siapa yang kamu cintai sebena
“Rara gak pernah bilang gitu, Bun!” batahku cepat tanpa sadar, membuat Bunda lumayan berjengit kaget di tempatnya. Melihatnya, aku langsung gelagapan karena merasa bersalah sudah mengagetkan Bunda Karina.“Eh, maaf, Bund. Rara gak maksud ngomong keras sama Bunda,” ucapku kemudian, menyuarakan permintaan Maafku. Bunda hanya tersenyum menanggapinya dan menepuk tanganku satu kali.“Gak papa, Bunda ngerti, kok,” jawabnya pengertian. “Tapi, apa yang kamu bilang barusan ... beneran?” Bunda Karin lalu mengembalikan topik obrolan.“Ah, iya, Bund. Beneran, Kok! Rara gak pernah ngomong kayak gitu sama Ken.” Aku pun mencoba meyakinkan Bunda.“Lho, tapi Kata Ken, waktu itu kamu ngobrol dengan mantan mertuamu dan&mdash