*Happy Reading*
Setelah Kak Sean benar-benar terlelap. Aku menggigit bibir bawahku agar tak terisak keras menyuarakan perihnya rasa yang aku rasakan.
Entah mana yang lebih perih. Inti tubuhku yang baru saja menerima robekan untuk pertama kalinya. Atau hatiku yang harus kembali menerima kenyataan, jika aku memang hanya sebuah bayangan untuknya.
Aku pengganti dan ... aku ... tidak punya nilai sama sekali di hati suamiku sendiri.
Entahlah. Aku sudah tidak bisa membedakannya lagi. Yang jelas, rasanya benar-benar sakit sekali.
Apa aku memang benar-benar tak berharga?
"Audy ...."
Lihatlah! Bahkan dalam tidurnya pun, dan meski baru saja merenggut mahkotaku. Yang dia ingat cuma istri pertamanya saja.
Lalu, di mana posisiku diletakkan olehnya?
Tidak ada. Tentu saja. Karena baginya aku memang tak punya arti apapun. Iya, kan?
Bahkan aku yakin. Mungkin dia pun tidak akan ingat, siapa yang melayaninya malam ini. Ka
*Happy Reading*Hariku telah kembali.Setelah kepulangan Kak Sean, hubungan kami pun kembali berjarak.Tidak, maksudku ya ... kembali ke semula. Yaitu kembali tidak ada komunikasi lagi antara kami.Tidak apa-apa. Aku tidak kecewa, kok. Karena bagiku, ini lebih baik daripada ribut terus dengan pria itu.Bukannya aku ingin mengabaikan suamiku sendiri, atau lupa pada tugasku sebagai seorang istri. Hanya saja, kalau suamiku sendiri tak menginginkan aku, bisa apa selain mengikuti alur yang dia buat.Toh, dia sudah bahagia dengan Kak Audy. Jadi, ya ... bolehkan, kalau aku menikmati masa bebasku di sini?Lagipula, aku tidak ingin mengganggu mereka.Ah, ya. Mengenai Kak Audy. Sebenarnya wanita itu beberapa kali masih menghubungiku untuk bertanya kabar, dan basa basi lainnya.Bahkan, saat Kak Sean di sini pun, dia kerap kali menggo
Aku hanya kecapean!Aku hanya kecapean!Aku hanya kecapean!Aku terus mensugestikan kalimat itu berulang kali di sepanjang hari. Menolak percaya pada segala dugaan yang berseliweran tentang kondisiku saat ini, perihal PMS yang ternyata sudah terlambat dua minggu.Tidak, Tuhan. Jangan sampai dugaan itu benar adanya. Aku belum siap. Bukan, aku bukannya ingin menolak rezeki atau apalah namanya. Hanya saja ... kalian tahukan kondisiku saat ini?Bagaimana aku harus meminta pertanggung jawaban pada Kak Sean, jika dia sendiri tidak ingat kejadian itu? Bagaimana? Tolong berikan aku solusi. Aku benar-benar dilema saat ini. Maka dari itu, tolong Tuhan. Jangan isi rahimku sekarang. Aku mohon dengan sangat.
“Siapa Ayah bayimu?” tanya Diego, dengan tatapan yang syarat akan rasa kecewa, membuatku hatiku mencelos seketika. Kasihan. Aku pasti sudah sangat mengecewakannya.“Suamiku,” jawabku mencoba tetap tegar, meski dengan kejujuran ini aku mungkin akan kehilangan mereka.“Are you married?” Kali ini Miranda yang bertanya penuh penasaran.“Yes, I’m,” lirihku sambil menunduk penuh rasa bersalah. Demi Tuhan, aku tidak sanggup menatap bola mata dua insan di depanku, yang penuh rasa kecewa.
“Menjual diri?” beoku tanpa sadar. Karena terkejut dengan ucapan pedas mereka.“Ya! Kamu selama ini tidak menerima Diego karena lebih suka jadi simpanan Om-Om, kan?”Astaga! Gosip dari mana itu?“Hey, kalian jangan sembarangan bicara!” Aku mencoba menegur mereka, karena aku memang tidak seperti itu.“Kami tidak sembarang bicara, kok. Kami punya bukti. Bahkan, kami juga tahu, sekarang kamu tengah hamil anak selingkuhanmu itu, kan?”Deg!Tuhan, dari mana mereka tahu semua itu?“Aku tidak—”
“Mir? Are u ....”“Not me!” bantah Miranda keras, ketika aku mencoba konfirmasi atas sikapnya.“Kalau memang bukan kalian? Lalu siapa? Yang tahu tentang kehamilanku cuma kalian.” Aku bersikukuh, meminta penjelasan pada dua tersangka di hadapanku.“Ya ... mungkin saja dokter itu, atau perawat di sana. Jangan lupa, kemarin kamu dirawat, di rumah sakit salah satu teman kita!” Miranda masih mencoba membela diri, meski mimik wajahnya sudah sangat menjelaskan semuanya.Aku bukan ingin asal tuduh. Namun, kurasa kalian pun akan bisa membedakan, mana orang yang sedang ketakutan karena terciduk, mana yang tidak, iya kan? Miranda bahkan sudah tak berani menatap mataku, dan terus meliarkan pandangannya ke sembarang arah. Nah, gimana ak
Kak Sean :Sebenarnya apa saja kerjamu di sana Rara? Menjual diri? Kenapa sampai ada gosip seperti ini? Apa kau benar-benar sejalang itu, ya?” Aku hanya bisa mendesah lelah, saat membaca rentetan pesan masuk dari Kak Sean, yang pedasnya sudah tidak bisa diragukan lagi. Benarkan dugaanku? Dia tidak ingat kejadian malam itu. Buktinya dia menuduhku seenaknya, tanpa mau repot b**a-basi terlebih dahulu. Padahal semua gosip ini juga hasil kelakuannya yang menyembunyikan pernikahan kami, juga memperkosaku. Jadi, dia juga punya andil besar dalam terciptanya gosip ini. Apa dia tidak berpikir sama sekali?” Kak Sean :Saya tidak mau tahu, Rara. Kamu harus pulang segera ke Indonesia, untuk memberikan penjelasan atas gosip itu. Kalau tidak? Jangan salahkan jika saya seret kamu ke sini dengan cara saya!” Penjelasan apa yang dia mau? Apa dia benar-benar tak bisa mengingat sedikit saja kejadian malam itu? Perasaan kepalanya tak tertantuk apapun, atau ... kepuas
“Lalu ada apa lagi kamu menghubungi saya? Orang suruhan saya sudah datang menjemput kamu, kan?”Setelah beberapa saat terdiam, Kak Sean pun kembali bersuara. Nah, mumpung lagi dibahas, mari kita bicarakan baik-baik.“Justru karena itu Rara nelepon Kakak. Karena Rara tidak bisa pulang saat ini,” ungkapku kemudian, tak ingin membuang waktu.“Saya sudah bilang. Saya tidak mau mendengar bantahan
Huek ... Huek ... Huek ....Aku terus mencoba memuntahkan, apa yang bisa aku keluarkan dari perut, agar bisa segera meredakan sedikit saja rasa mual ini. Aneh sekali!Selama ini aku tak pernah mengalami morning sick, atau mual muntah seperti ibu hamil lainnya. Tapi ... kenapa hari ini tiba-tiba begini? Ada apa? Kenapa perutku tiba-tiba jadi mual begini? Apalagi, bayiku juga terus bergerak aktif, menambah gejolak tak nyaman dalam perutku.Nak? Diem, dong. Mama mual banget kalau kamu terus gerak seperti ini.Huek ... Huek ... Huek ...Aku kembali mencoba muntah. Meski sebenarnya sudah tak ada yang bisa aku keluarkan selain cairan bening yang
Pov Kenneth” “Bang?”“ “Hm ....”“ “Itu siapa?”“ Kairo mengangkat wajahnya dengan kesal, sebelum mengikuti arah pandangku.” “Maba,” jawabnya singkat. Membuat aku kesal sekali.” Abang kembarku ini memang pelit sekali berkata-kata. Seakan setiap kata dia ucapkan itu harus membayar.” “Ck, Dari baju yang dia pakai pun, gue juga bisa nebak kalau di masih Maba.” Aku berdecak cukup keras, menyuarakan kekesalanku pada pria yang lahir tiga menit lebih awal dariku.” “Kalau begitu, kenapa masih tanya?” gumamnya kemudian, membuat kekesalanku makin menjadi-jadi.”
“Loh, Kak Sean? Udah pulang? Kok, gak ngabarin? Gimana kabar Kakak sama Kak Audy? Baikkan?”“ Aku cukup terkejut melihat keberadaan Kak Sean di Ruang tamu kediamanku, saat baru saja menidurkan Kean yang lumayan rewel hari ini.” Kak Sean tidak menjawabku. Hanya tersenyum tipis, sebelum menyerahkan sebuah amplop padaku.” “Aku baru datang. Sengaja langsung ke sini untuk memberikan itu padamu,” ucapnya sendu, tidak seperti biasanya.” Entah kenapa, aku melihat kesedihan yang teramat sangat dalam matanya.” “Ini apa?” tanyaku kemudian, sambil menerima amplop yang sepertinya berisi surat di dalamnya.” “Baca aja, itu dari Audy.”“ Eh?”
*Happy Reading*” “Saya terima nikah dan kawinnya Andara prameswari Binti Matheo Prameswari dengan mas kawin tersebut, tunai!”“ “Bagaimana para saksi? Sah?”“ “Sah ....”“ Alhamdulilah ....” Rasa haru pun menyeruak tak terbendung, saat moment itu kembali terulang dalam hidupku.” Meski ini memang bukan yang pertama ku alami. Tapi rasa haru ini benar-benar pertama kali aku rasakan dan ....” Terima kasih Tuhan. Akhirnya aku punya hari bahagiaku sendiri.” Aku benar-benar tak pernah menyangka akan punya kesempatan lagi, bisa merasakan moment ini kembali dalam hidupku, setelah semua yang sud
*Happy Reading*”“Andara Prameswari. Kau ku talak.”“Alhamdulilah ....”Senyumku pun langsung terbit, setelah mendengar kata talak kembali diucapkan pria ini.”Please ... tolong jangan bilang aku gila. Karena apa? Karena ini memang harus dilakukan, agar aku bisa meraih kebahagiaanku yang sudah menunggu.”“Makasih ya, Kak,” ucapku tulus, seraya menatap pria yang sekarang sudah sah ku sebut Mantan suami.”Iya, dia adalah Sean Abdilla, yang baru saja mengucapkan kata talak untuk kedua kalinya terhadapku.”Kenapa bisa begitu? Ya ... karena aku sendiri sebenarnya selama ini r
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi.” Mama Sulis terus membelai rambutku, mencoba menenangkan aku yang benar-benar tak bisa menghentikan tangis.”Bagaimana tidak? Aku harus menerima kenyataan kembali ditinggalkan, oleh pria yang sangat penting dalam hidupku. Juga pria yang sudah aku labeli akan menjadi pasangan hidup sampai tua nanti.”Demi Tuhan. Tujuanku ke Rumah ini kan, untuk menyelesaikan masa lalu, agar bisa hidup tenang dengan pria itu.”Tetapi pria itu malah seenaknya pergi, tanpa memberi kabar apapun padaku. Seakan aku ini sudah tak penting dan ....”“Apa perlu kita pesan tiket ke London sekarang. Agar kamu bisa menyusul Dokter Ken ke sana?” usul Kak Sean kemudian. Tampak ikut bersalah akan kejadian itu.”
“Kalau begitu, apa Kakak keberatan jika aku bilang kita impas?” ucapku kemudian, setelah cukup lama membiarkan Kak Sean larut dalam penyesalannya.”Sayangnya, Kak Sean malah menggeleng, dan tersenyum miring saat mengalihkan atensinya padaku.”“Kurasa kata impas lebih tepat diucapkan Papimu, Ra. Karena kamu tak punya salah apapun di sini. Hanya aku saja yang bodoh sudah menjadikanmu alat untuk balas dendam. Jadi, kamu tak pantas mengucapkan hal itu,” balasnya dengan bijak.”Ah, i see.”“Kalau begitu. Apa ini sudah cukup untuk kakak, agar tak menggangguku lagi. I mean, Kakak gak akan meminta aku kembali sama Kakak lagi, kan? Karena aku benar-benar tidak--”“&ldqu
“Terima kasih karena sudah datang, dan membuat Mama bisa tertawa bahagia seperti itu lagi,” ucap Kak Sean. Saat kami akhirnya punya kesempatan duduk berdua, seraya memperhatikan interaksi Mama Sulis dan Kean di Taman samping Rumah.”Ya, aku memang membawa serta Kean ke Rumah ini. Bukan sengaja sebenarnya. Hanya saja, tadi saat aku akan ke sini. Kean terbangun dan rewel sekali tak ingin ditinggalkan. Makanya, sekalian saja kubawa. Toh, ini rumah Neneknya juga, kan?”“Kamu tahu, rasanya saya sudah lama sekali tak melihat Mama tertawa lepas seperti itu,” gumamnya lagi, tak melepaskan sedikitpun pandangan dari Mama Sulis.”Tatapan matanya syarat akan rasa haru, dan binar bahagia yang tak pernah aku lihat selama ini.”Tentu saja
“Rara gak tahu, Bund,” ungkapku akhirnya, sambil menunduk lesu. Setelah sebelumnya berpikir cukup lama sesuai titah Bunda barusan.”Entahlah, aku juga bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Karena jujur saja, hal itu tak pernah aku pikirkan sebelumnya.”Karena bagiku, kebahagiaan Kean itu di atas segalanya, jadi aku tak terlalu memikirkan diriku sendiri. Yang penting Kean bahagia, maka aku pun pasti akan ikut bahagia.”Bukankah saat kita menjadi seorang ibu, itu berarti sudah bukan saatnya egois lagi. Karena kepentingan anak itu di atas segalanya.”Jadi ... apa salah jika aku berpikir demikian dan melupakan keinginan hatiku sendiri?”“Gak tahu siapa yang kamu cintai sebena
“Rara gak pernah bilang gitu, Bun!” batahku cepat tanpa sadar, membuat Bunda lumayan berjengit kaget di tempatnya. Melihatnya, aku langsung gelagapan karena merasa bersalah sudah mengagetkan Bunda Karina.“Eh, maaf, Bund. Rara gak maksud ngomong keras sama Bunda,” ucapku kemudian, menyuarakan permintaan Maafku. Bunda hanya tersenyum menanggapinya dan menepuk tanganku satu kali.“Gak papa, Bunda ngerti, kok,” jawabnya pengertian. “Tapi, apa yang kamu bilang barusan ... beneran?” Bunda Karin lalu mengembalikan topik obrolan.“Ah, iya, Bund. Beneran, Kok! Rara gak pernah ngomong kayak gitu sama Ken.” Aku pun mencoba meyakinkan Bunda.“Lho, tapi Kata Ken, waktu itu kamu ngobrol dengan mantan mertuamu dan&mdash