*Happy Reading*
Aku tidak tahu ini bisa disebut perkosaan atau tidak?
Faktanya, status Kak Sean itu suami sah ku, dan dia memang berhak atas diriku. Bahkan, melayaninya adalah pahala untukku.
Namun, haruskah dengan cara seperti ini?
Tidak bisakah dia memintaku dengan baik-baik dan lembut?
Bisakah dia memintaku dalam keadaan normal dan memang benar-benar menginginkanku. Bukan dengan memaksaku, dan dalam pengaruh alkohol seperti ini. Karena sungguh, aku sakit hati diperlakukan layaknya jalang seperti ini.
Bagaimanapun, aku masih istri yang berhak dapat hormatnya. Bukan cuma pengganti, yang bisa dia gunakan di balik bayangan wanita yang ada di hatinya.
Audy!
Entah kenapa, nama itu sekarang sangat menyakitiku.
"Audy," lirih Kak Sean sekali lagi, dalam lelapnya setelah menuntaskan kebutuhan biologisnya secara paksa padaku. Membuat aku lagi, lagi, dan lagi sakit untuk kesekian kalinya.
Apakah aku benar-benar tak pernah ada dalam ingatannya sedikit pun?
Aku memejamkan mata dengan erat sekali lagi, sebelum mengusap air mataku dengan kasar setelahnya.
Seperti kaset rusak, ingatanku pun berputar otomatis pada beberapa jam lalu, dimana akhirnya kejadian ini tercipta.
Tadi itu, sebenarnya aku sudah terlelap setelah mengerjakan tugas kuliahku yang menumpuk.
Kebetulan, Kak Sean juga sedang tidak ada di rumah, karena harus menghadiri pesta ulang tahun salah satu rekan binisnya di Negara ini.
Tentu saja, moment itu aku gunakan untuk menyelesaikan semua tugas kuliah yang menumpuk, mumpung tak ada yang merecokiku seperti biasa.
Awalnya, semuanya baik-baik saja. Aku mengerjakan tugas kuliah hingga selesai, sambil diselingin makan malam hari ini. Hingga akhirnya semua tugas itu selesai, aku pun langsung tidur karena memang sudah sangat mengantuk.
Namun, saat jam di dinding menunjukan pukul dua dini hari. Aku terpaksa bangun, karena bunyi bell Apartement yang sangat nyaring dan bertubi-tubi.
"Ck, siapa, sih? Malam-malam gini mainin bell, apa dia tidak punya jam di Rumahnya?" Aku menggerutu kesal, sambil turun dengan malas ke lantai bawah.
Awalnya, aku yakin itu bukan Kak Sean, karena pria itu punya kunci cadangan Rumah ini.
Namun, siapa sangka? Saat aku baru saja membuka pintu depan. Aku pun langsung di sambut tubuh oleng Kak Sean, yang dari aromanya saja, membuatku ingin muntah karena bau alkohol yang sangat menyengat dari tubuhnya.
"Kak Sean mabuk?"
Tentu saja aku langsung bertanya, sambil membantunya masuk kedalam rumah.
"Berisik!" hardiknya galak. "Bisa tidak? Kamu jangan banyak omong, dan bantu aku saja ke tempat tidur. Kepalaku pusing sekali," keluhnya, masih dengan ketus.
Ya, saat dia datang, dia memang masih setengah sadar, dan masih bisa menguasai diri meski sedang mabuk.
Tak ingin membuatnya makin marah, aku pun membungkam mulutku, dan memapahnya dalam diam hingga ke tepian kasur.
"Ambilkan Air putih, saya mau minum obat sakit kepala," titahnya kemudian. Yang juga kuturuti masih dalam diamku.
"Siapkan air hangat. Saya mau mandi dulu sebelum tidur, badan saya lengket sekali," titah keduanya, sesaat setelah aku menyodorkan air minum yang dia minta sebelumnya.
Lagi, aku segera menuruti titahnya. Meski masih tanpa komentar apapun. Aku benar-benar tak ingin cari ribut dengannya.
Aku masuk ke dalam kamar mandi, dan segera menyiapkan air hangat sesuai reques pria galak itu.
Aku tidak tahu apa yang dilakukan Kak Sean atau apa yang dia minum saat aku di dalam kamar mandi. Yang jelas, entah kenapa saat aku selesai dengan tugasku, dan berniat memberitahukannya, jika dia sudah bisa mandi.
Tiba-tiba saja dia melihatku lekat dengan napas memburu, sebelum akhirnya menarikku ke atas tempat tidur dan ditindihnya begitu saja.
Tentu aja aku kaget luar biasa dengan aksinya ini. Karena, ... kalian pasti mengerti apa yang aku rasakan dalam posisi itu, kan?
"Kak, ap--hhmmmfffttt ...."
Belum sempat aku melanjutkan tanyaku, Kak Sean sudah lebih dulu melumat dan memagut bibirku dengan panas. Membuat aku langsung berontak dan mencoba melepaskan diri.
Namun, dilihat dari postur tubuh dan kekuatan saja, jelas aku kalah telak dengan Kak Sean. Karena selain dia ini pria, dia juga punya badan tegap, dan seperti sedang dipengaruhi sesuatu hingga menggila seperti ini.
Kenapa aku bilang menggila?
Karena memang dia mencumbuku seperti orang kesetanan. Meski aku terus berontak. Dengan mudahnya dia mengunci gerakanku, bahkan menyatukan kedua tanganku dalam satu gengaman, dan ditekannya di atas kepala.
"Shit! Buka mulutmu!" makinya karena aku tak mau membalas cumbuannya, dan malah sengaja menutup mulutku rapat-rapat.
Aku menggeleng cepat, karena tak ingin diperlakukan seperti ini.
"Buka!" titahnya keras, namun masih kutanggapi dengan gelengan dan air mata yang mulai merembes dari mataku.
Aku takut. Takut sekali dengan keadaan seperti ini. Apalagi Kak Sean benar-benar seperti bukan dirinya.
Matanya merah, napasnya panas dan tatapannya kelam sekali.
"Jangan, kak. Aku mohon. Aku ... akh!"
Saat aku berusaha menolak dan meminta belas kasihnya. Dengan pintar dia kembali melumat dan sengaja menggigit bibir bawahku dengan keras.
Tentu saja hal itu membuat aku mau tak mau membuka mulutku, yang langsung dikuasainya seperti orang kesetanan.
Dia membelit lidahku, membelai deretan gigiku dan mengajaku bertukar saliva dengan menjijikan. Membuat aku mual sekali.
Akhirnya, aku pun hanya bisa menangis diperlakukan seperti itu.
"Kak ... jangan!" Aku mencoba memohon sekali lagi, saat kembali bersirobok dengan matanya.
Dia terdiam.
Kukira, dia mengerti dan akan menghentikan kegilaannya ini. Dia bahkan tersenyum dan membelai wajahku dengan lembut, oleh sebelah tangannya yang bebas.
Aku sudah mengucapkan syukur dalam hati, karena mengira semuanya akan segera baik-baik saja.
"Berikan aku hakku, sayang. Aku sangat menginginkanmu? " ucapnya kemudian di telingaku, sebelum kembali mencumbuku yang kali ini lembut, namun tetap penuh tuntutan.
Menginginkanku? Benarkah?
Mendengarnya, hatiku pun mulai menghangat. Akhirnya aku pasrah, dan bersedia melayaninya seperti apa yang dia inginkan.
Awalnya, semuanya baik-baik saja. Meski aku tidak tahu kenapa Kak Sean tiba-tiba meminta haknya seperti ini? Aku tetap mencoba melayaninya seperti yang dia inginkan.
Aku mencoba mengimbangi dan membalas apa yang dia lakukan terhadap tubuhku, sebisaku dan semampuku. Hingga akhirnya aku pun turut terbuai dalam kenikmatan yang dia tawarkan. Karena jujur ku akui, sentuhannya memang membuat aku gila, dan turut menginginkannya.
Bagaimanapun, aku juga seorang wanita Dewasa yang punya kebutuhan biologis seperti dirinya. Walau tak selalu mendesak seperti halnya pria. Namun, aku juga punya, dan itu normal, kan?
Malam itu aku benar-benar menikmati penyatuan kami, walau di awal penyatuan terasa sakit dan seperti ada yang robek di inti tubuhku. Tapi aku sangat menikmati semua treath yang Kak Sean lakukan.
Kami hampir meraih puncak bersama jika saja Kak Sean tak mengucapkan nama itu saat mendapat klimaknya.
"Augh ... Audy ... i feel that!" ucapnya sambil menengadah penuh rasa puas. "Makasih, sayang. I love u Always," lanjutnya setelahnya, sambil merangkum wajahku dan mengecup bibirku sekilas, sebelum jatuh tertidur di sampingku.
Seketika aku pun seperti ditampar kenyataan. Karena ternyata, bukan aku yang dilihat Kak Sean selama percintaan kami. Melainkan Kak Audy dan ....
Tuhan .... hatiku sakit sekali.
================================
Kurang kejam belum?Mau amih tambahin gak kekejaman Sean?Tenang, ini belum berakhir. Bakal ada yang lebih nyakitin dari ini. Pokoknya stay tune ya
*Happy Reading*Setelah Kak Sean benar-benar terlelap. Aku menggigit bibir bawahku agar tak terisak keras menyuarakan perihnya rasa yang aku rasakan.Entah mana yang lebih perih. Inti tubuhku yang baru saja menerima robekan untuk pertama kalinya. Atau hatiku yang harus kembali menerima kenyataan, jika aku memang hanya sebuah bayangan untuknya.Aku pengganti dan ... aku ... tidak punya nilai sama sekali di hati suamiku sendiri.Entahlah. Aku sudah tidak bisa membedakannya lagi. Yang jelas, rasanya benar-benar sakit sekali.Apa aku memang benar-benar tak berharga?"Audy ...."Lihatlah! Bahkan dalam tidurnya pun, dan meski baru saja merenggut mahkotaku. Yang dia ingat cuma istri pertamanya saja.Lalu, di mana posisiku diletakkan olehnya?Tidak ada. Tentu saja. Karena baginya aku memang tak punya arti apapun. Iya, kan?Bahkan aku yakin. Mungkin dia pun tidak akan ingat, siapa yang melayaninya malam ini. Ka
*Happy Reading*Hariku telah kembali.Setelah kepulangan Kak Sean, hubungan kami pun kembali berjarak.Tidak, maksudku ya ... kembali ke semula. Yaitu kembali tidak ada komunikasi lagi antara kami.Tidak apa-apa. Aku tidak kecewa, kok. Karena bagiku, ini lebih baik daripada ribut terus dengan pria itu.Bukannya aku ingin mengabaikan suamiku sendiri, atau lupa pada tugasku sebagai seorang istri. Hanya saja, kalau suamiku sendiri tak menginginkan aku, bisa apa selain mengikuti alur yang dia buat.Toh, dia sudah bahagia dengan Kak Audy. Jadi, ya ... bolehkan, kalau aku menikmati masa bebasku di sini?Lagipula, aku tidak ingin mengganggu mereka.Ah, ya. Mengenai Kak Audy. Sebenarnya wanita itu beberapa kali masih menghubungiku untuk bertanya kabar, dan basa basi lainnya.Bahkan, saat Kak Sean di sini pun, dia kerap kali menggo
Aku hanya kecapean!Aku hanya kecapean!Aku hanya kecapean!Aku terus mensugestikan kalimat itu berulang kali di sepanjang hari. Menolak percaya pada segala dugaan yang berseliweran tentang kondisiku saat ini, perihal PMS yang ternyata sudah terlambat dua minggu.Tidak, Tuhan. Jangan sampai dugaan itu benar adanya. Aku belum siap. Bukan, aku bukannya ingin menolak rezeki atau apalah namanya. Hanya saja ... kalian tahukan kondisiku saat ini?Bagaimana aku harus meminta pertanggung jawaban pada Kak Sean, jika dia sendiri tidak ingat kejadian itu? Bagaimana? Tolong berikan aku solusi. Aku benar-benar dilema saat ini. Maka dari itu, tolong Tuhan. Jangan isi rahimku sekarang. Aku mohon dengan sangat.
“Siapa Ayah bayimu?” tanya Diego, dengan tatapan yang syarat akan rasa kecewa, membuatku hatiku mencelos seketika. Kasihan. Aku pasti sudah sangat mengecewakannya.“Suamiku,” jawabku mencoba tetap tegar, meski dengan kejujuran ini aku mungkin akan kehilangan mereka.“Are you married?” Kali ini Miranda yang bertanya penuh penasaran.“Yes, I’m,” lirihku sambil menunduk penuh rasa bersalah. Demi Tuhan, aku tidak sanggup menatap bola mata dua insan di depanku, yang penuh rasa kecewa.
“Menjual diri?” beoku tanpa sadar. Karena terkejut dengan ucapan pedas mereka.“Ya! Kamu selama ini tidak menerima Diego karena lebih suka jadi simpanan Om-Om, kan?”Astaga! Gosip dari mana itu?“Hey, kalian jangan sembarangan bicara!” Aku mencoba menegur mereka, karena aku memang tidak seperti itu.“Kami tidak sembarang bicara, kok. Kami punya bukti. Bahkan, kami juga tahu, sekarang kamu tengah hamil anak selingkuhanmu itu, kan?”Deg!Tuhan, dari mana mereka tahu semua itu?“Aku tidak—”
“Mir? Are u ....”“Not me!” bantah Miranda keras, ketika aku mencoba konfirmasi atas sikapnya.“Kalau memang bukan kalian? Lalu siapa? Yang tahu tentang kehamilanku cuma kalian.” Aku bersikukuh, meminta penjelasan pada dua tersangka di hadapanku.“Ya ... mungkin saja dokter itu, atau perawat di sana. Jangan lupa, kemarin kamu dirawat, di rumah sakit salah satu teman kita!” Miranda masih mencoba membela diri, meski mimik wajahnya sudah sangat menjelaskan semuanya.Aku bukan ingin asal tuduh. Namun, kurasa kalian pun akan bisa membedakan, mana orang yang sedang ketakutan karena terciduk, mana yang tidak, iya kan? Miranda bahkan sudah tak berani menatap mataku, dan terus meliarkan pandangannya ke sembarang arah. Nah, gimana ak
Kak Sean :Sebenarnya apa saja kerjamu di sana Rara? Menjual diri? Kenapa sampai ada gosip seperti ini? Apa kau benar-benar sejalang itu, ya?” Aku hanya bisa mendesah lelah, saat membaca rentetan pesan masuk dari Kak Sean, yang pedasnya sudah tidak bisa diragukan lagi. Benarkan dugaanku? Dia tidak ingat kejadian malam itu. Buktinya dia menuduhku seenaknya, tanpa mau repot b**a-basi terlebih dahulu. Padahal semua gosip ini juga hasil kelakuannya yang menyembunyikan pernikahan kami, juga memperkosaku. Jadi, dia juga punya andil besar dalam terciptanya gosip ini. Apa dia tidak berpikir sama sekali?” Kak Sean :Saya tidak mau tahu, Rara. Kamu harus pulang segera ke Indonesia, untuk memberikan penjelasan atas gosip itu. Kalau tidak? Jangan salahkan jika saya seret kamu ke sini dengan cara saya!” Penjelasan apa yang dia mau? Apa dia benar-benar tak bisa mengingat sedikit saja kejadian malam itu? Perasaan kepalanya tak tertantuk apapun, atau ... kepuas
“Lalu ada apa lagi kamu menghubungi saya? Orang suruhan saya sudah datang menjemput kamu, kan?”Setelah beberapa saat terdiam, Kak Sean pun kembali bersuara. Nah, mumpung lagi dibahas, mari kita bicarakan baik-baik.“Justru karena itu Rara nelepon Kakak. Karena Rara tidak bisa pulang saat ini,” ungkapku kemudian, tak ingin membuang waktu.“Saya sudah bilang. Saya tidak mau mendengar bantahan
Pov Kenneth” “Bang?”“ “Hm ....”“ “Itu siapa?”“ Kairo mengangkat wajahnya dengan kesal, sebelum mengikuti arah pandangku.” “Maba,” jawabnya singkat. Membuat aku kesal sekali.” Abang kembarku ini memang pelit sekali berkata-kata. Seakan setiap kata dia ucapkan itu harus membayar.” “Ck, Dari baju yang dia pakai pun, gue juga bisa nebak kalau di masih Maba.” Aku berdecak cukup keras, menyuarakan kekesalanku pada pria yang lahir tiga menit lebih awal dariku.” “Kalau begitu, kenapa masih tanya?” gumamnya kemudian, membuat kekesalanku makin menjadi-jadi.”
“Loh, Kak Sean? Udah pulang? Kok, gak ngabarin? Gimana kabar Kakak sama Kak Audy? Baikkan?”“ Aku cukup terkejut melihat keberadaan Kak Sean di Ruang tamu kediamanku, saat baru saja menidurkan Kean yang lumayan rewel hari ini.” Kak Sean tidak menjawabku. Hanya tersenyum tipis, sebelum menyerahkan sebuah amplop padaku.” “Aku baru datang. Sengaja langsung ke sini untuk memberikan itu padamu,” ucapnya sendu, tidak seperti biasanya.” Entah kenapa, aku melihat kesedihan yang teramat sangat dalam matanya.” “Ini apa?” tanyaku kemudian, sambil menerima amplop yang sepertinya berisi surat di dalamnya.” “Baca aja, itu dari Audy.”“ Eh?”
*Happy Reading*” “Saya terima nikah dan kawinnya Andara prameswari Binti Matheo Prameswari dengan mas kawin tersebut, tunai!”“ “Bagaimana para saksi? Sah?”“ “Sah ....”“ Alhamdulilah ....” Rasa haru pun menyeruak tak terbendung, saat moment itu kembali terulang dalam hidupku.” Meski ini memang bukan yang pertama ku alami. Tapi rasa haru ini benar-benar pertama kali aku rasakan dan ....” Terima kasih Tuhan. Akhirnya aku punya hari bahagiaku sendiri.” Aku benar-benar tak pernah menyangka akan punya kesempatan lagi, bisa merasakan moment ini kembali dalam hidupku, setelah semua yang sud
*Happy Reading*”“Andara Prameswari. Kau ku talak.”“Alhamdulilah ....”Senyumku pun langsung terbit, setelah mendengar kata talak kembali diucapkan pria ini.”Please ... tolong jangan bilang aku gila. Karena apa? Karena ini memang harus dilakukan, agar aku bisa meraih kebahagiaanku yang sudah menunggu.”“Makasih ya, Kak,” ucapku tulus, seraya menatap pria yang sekarang sudah sah ku sebut Mantan suami.”Iya, dia adalah Sean Abdilla, yang baru saja mengucapkan kata talak untuk kedua kalinya terhadapku.”Kenapa bisa begitu? Ya ... karena aku sendiri sebenarnya selama ini r
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi.” Mama Sulis terus membelai rambutku, mencoba menenangkan aku yang benar-benar tak bisa menghentikan tangis.”Bagaimana tidak? Aku harus menerima kenyataan kembali ditinggalkan, oleh pria yang sangat penting dalam hidupku. Juga pria yang sudah aku labeli akan menjadi pasangan hidup sampai tua nanti.”Demi Tuhan. Tujuanku ke Rumah ini kan, untuk menyelesaikan masa lalu, agar bisa hidup tenang dengan pria itu.”Tetapi pria itu malah seenaknya pergi, tanpa memberi kabar apapun padaku. Seakan aku ini sudah tak penting dan ....”“Apa perlu kita pesan tiket ke London sekarang. Agar kamu bisa menyusul Dokter Ken ke sana?” usul Kak Sean kemudian. Tampak ikut bersalah akan kejadian itu.”
“Kalau begitu, apa Kakak keberatan jika aku bilang kita impas?” ucapku kemudian, setelah cukup lama membiarkan Kak Sean larut dalam penyesalannya.”Sayangnya, Kak Sean malah menggeleng, dan tersenyum miring saat mengalihkan atensinya padaku.”“Kurasa kata impas lebih tepat diucapkan Papimu, Ra. Karena kamu tak punya salah apapun di sini. Hanya aku saja yang bodoh sudah menjadikanmu alat untuk balas dendam. Jadi, kamu tak pantas mengucapkan hal itu,” balasnya dengan bijak.”Ah, i see.”“Kalau begitu. Apa ini sudah cukup untuk kakak, agar tak menggangguku lagi. I mean, Kakak gak akan meminta aku kembali sama Kakak lagi, kan? Karena aku benar-benar tidak--”“&ldqu
“Terima kasih karena sudah datang, dan membuat Mama bisa tertawa bahagia seperti itu lagi,” ucap Kak Sean. Saat kami akhirnya punya kesempatan duduk berdua, seraya memperhatikan interaksi Mama Sulis dan Kean di Taman samping Rumah.”Ya, aku memang membawa serta Kean ke Rumah ini. Bukan sengaja sebenarnya. Hanya saja, tadi saat aku akan ke sini. Kean terbangun dan rewel sekali tak ingin ditinggalkan. Makanya, sekalian saja kubawa. Toh, ini rumah Neneknya juga, kan?”“Kamu tahu, rasanya saya sudah lama sekali tak melihat Mama tertawa lepas seperti itu,” gumamnya lagi, tak melepaskan sedikitpun pandangan dari Mama Sulis.”Tatapan matanya syarat akan rasa haru, dan binar bahagia yang tak pernah aku lihat selama ini.”Tentu saja
“Rara gak tahu, Bund,” ungkapku akhirnya, sambil menunduk lesu. Setelah sebelumnya berpikir cukup lama sesuai titah Bunda barusan.”Entahlah, aku juga bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Karena jujur saja, hal itu tak pernah aku pikirkan sebelumnya.”Karena bagiku, kebahagiaan Kean itu di atas segalanya, jadi aku tak terlalu memikirkan diriku sendiri. Yang penting Kean bahagia, maka aku pun pasti akan ikut bahagia.”Bukankah saat kita menjadi seorang ibu, itu berarti sudah bukan saatnya egois lagi. Karena kepentingan anak itu di atas segalanya.”Jadi ... apa salah jika aku berpikir demikian dan melupakan keinginan hatiku sendiri?”“Gak tahu siapa yang kamu cintai sebena
“Rara gak pernah bilang gitu, Bun!” batahku cepat tanpa sadar, membuat Bunda lumayan berjengit kaget di tempatnya. Melihatnya, aku langsung gelagapan karena merasa bersalah sudah mengagetkan Bunda Karina.“Eh, maaf, Bund. Rara gak maksud ngomong keras sama Bunda,” ucapku kemudian, menyuarakan permintaan Maafku. Bunda hanya tersenyum menanggapinya dan menepuk tanganku satu kali.“Gak papa, Bunda ngerti, kok,” jawabnya pengertian. “Tapi, apa yang kamu bilang barusan ... beneran?” Bunda Karin lalu mengembalikan topik obrolan.“Ah, iya, Bund. Beneran, Kok! Rara gak pernah ngomong kayak gitu sama Ken.” Aku pun mencoba meyakinkan Bunda.“Lho, tapi Kata Ken, waktu itu kamu ngobrol dengan mantan mertuamu dan&mdash