*Happy reading*
Aku pun memilihkan. Kaos berkerah tinggi warna putih, dengan jas warna abu-abu tua untuk Kak Sean. Dipadukan celana bahan hitam, dan sepatu pantopel hitam juga.
Awalnya, Kak Sean tidak mau memakai baju pilihanku, karena katanya, "Saya mau ke kantor Rara. Bukan mau nongkrong. Pilihan baju kamu itu gak ada resmi-resminya. Saya udah biasa pake dasi tiap ke kantor. Jangan coba ubah gaya saya."
Aku tahu itu, dilihat dari semua baju beserta puluhan dasi berbagai motif, yang di bawanya pun, Aku tahu kok, Kak Sean memang terbiasa berpakaian formal tiap ke Kantor.
Cuma masalahnya di sini adalah ... Kak Sean gak bisa memasang dasi sendiri, pun aku. Karena, dia biasa di urusi Kak Audy dan Mama Sulis. Sementara aku lama hidup jauh dari papi dan belum pernah punya pacar orang kantoran. Jadi, ya ... aku belum belajar hal itu sama sekali.
Akan tetapi, mungkin setelah ini aku harus secepatnya belajar hal itu. Agar tidak diomeli Kak Sean lagi.
Mengetahui hal itu, Kak Sean pun kesal luar biasa. Karena dia terpaksa harus keluar Zona nyamannya gara-gara aku.
Walau begitu, akhirnya dia pun mau memakai baju pilihanku, meski sambil menggeram dan wajah di tekuk dalam.
Benar-benar seperti anak kecil yang sedang merajuk.
Padahal apa salahnya sih, sekali-kali tampil beda? Pergi ke kantor gak selalu harus berdasi. Apalagi, jika kalian mau tahu. Sebenarnya, Kak Sean dalam balutan pakaian yang aku pilihkan itu, jauh lebih tampan dari sebelumnya.
Bukan, aku bukannya ingin menyombongkan selera fashionku atau apa. Tapi memang ... ya, Kak Sean itu lebih terlihat luar biasa dengan pilihan baju yang tepat.
Terlihat lebih muda, gagah, dan tampan. Aku saja sampai speachless beberapa saat, waktu pertama kali melihatnya.
Kalau saja aku gak ingat dia milik Kak Audy, mungkin aku akan mulai baper pada pria, yang sebenarnya sudah menjadi suamiku sendiri.
Untungnya, aku cukup sadar diri. Makanya, sebelum baper berkepanjangan, aku pun menghentikan rasa kagumku padanya.
Aku gak boleh jatuh hati sama Kak Sean!
"Kakak gak sarapan?" tegurku kemudian, saat dia melewati meja makan begitu saja.
"Saya sudah telat."
Hanya begitu saja jawabannya. Setelahnya, dia pun berlalu begitu saja, meninggalkan aku yang lagi-lagi, hanya bisa menghela napas panjang menghadapi sikap ketus Kak Sean.
Kalau memang dari awal tidak ingin sarapan di rumah. Kenapa dia menyuruhku masak tadi pagi?
Dia beneran mau ngerjain aku, ya?
Sekali lagi, aku pun menghela napas panjang. Sebelum akhirnya duduk dan memilih menikmati sarapanku pagi ini.
Biarlah, sisa sarapan yang terlanjur kubuat banyak ini, aku bawa ke kampus saja. Kebetulan, hari ini aku ada jadwal belajar bersama dengan kelompokku.
Lumayan, aku jadi gak harus jajan di luar.
Itu niat awalku, karena saat siang menjelang. Tepatnya saat aku masih sibuk dengan tugas kerja tim. Entah ada angin dari mana? Tiba-tiba aku mendapat telpon dari Kak Sean, yang menanyakan keberadaanku.
Sebenarnya, itu tidak aneh, dan mungkin terdengar wajar untuk pasangan normal pada umumnya. Namun, kalian tidak lupa kan, bagaimana hubungan kami selama ini?
Karenanya, bagiku pribadi. Apapun yang dilakukan Kak Sean yang melibatkan aku, itu terasa aneh.
Entahlah? Mungkin, aku benar-benar sudah menerima statusku sebagai bintang figuran di sini. Karenanya, aku malah jadi menganggap Kak Sean bukan siapa-siapaku.
Tolong jangan bilang aku aneh, atau bodoh, karena tidak bisa memanfaatkan keadaan saat ini, dalam meraih simpatik Kak Sean. Hanya saja ... kalian tahu 'kan? Bahkan dari awal pun, Kak Sean sudah menolakku, dan memberikan ultimatum padaku untuk tak berharap.
Nah, mengutip dari penolakan itu? Apa aku salah, jika aku kini bersikap acuh padanya? Dan tidak berani berharap apapun?
Apa aku salah? Tolong berikan aku jawaban.
"Kamu dimana?" tanya Kak Sean siang itu. Saat aku masih sibuk dengan kelompok kerjaku.
"Di cafe depan kampus, Kak. Lagi ngerjain tugas kelompok. Kenapa? Kak Sean butuh sesuatu?" jelasku, sekalian balik bertanya. Mengingat dia baru di negara ini.
Bukan mau merendahkan pria itu. Aku tau dia sering bepergian ke negri mana pun dalam kunjungan bisnis, ataupun hanya sekedar liburan. Jadi, dia pasti gak akan kesusahan menyesuaikan hidup di negri orang, kan?
Namun, kenapa aku bertanya begitu? Ya ... anggap aja sekedar basa basi. Karena, aku gak mungkin bertanya, "Kenapa, kak? Kakak kangen, ya?"
Tidak. Aku gak segila itu!
"Saya belum makan siang."
Hah?
"Maksudnya?" tanyaku refleks. Karena tak mengerti akan maksud ucapannya barusan.
Dia belum makan siang? Ya sudah, tinggal makan saja. Kenapa musti laporan sama aku, coba? Memang aku siapa?
Istrinya! Iya, itu benar. Tapi hanya istri yang tak dianggap. Lalu, apa maksudnya dia laporan seperti ini?
"Ck, kamu ini pura-pura bodoh atau gimana, sih? Bukannya tawarin saya makan, atau apa gitu. Malah nanya maksud pernyataan saya? Kamu bener-bener gak ngerti tugas seorang istri, ya?"
Salah lagi!
Tuhan ... maunya nih cowok apa sebenarnya?
Dia sendiri yang dari awal menyuarakan penolakannya dengan lantang terhadapku dan menyatakan kalau dia memang tak pernah menganggapku sebagai istrinya.
Akan tetapi sekarang? Kenapa dia juga yang ribet nuntut aku harus bisa jadi istri yang baik di sini.
Maksudnya apa, coba?
"Bukan begitu, Kak. Rara cuma--"
"Saya gak mau tau! Pokoknya kamu pulang sekarang, dan siapin makan siang buat saya. Secepatnya!" potongnya dengan cepat. Lagi-lagi tak membiarkan aku membela diri.
"Tapi Rara lagi kerja kelompok, Kak. Rara--"
"Saya gak perduli! Saya suami kamu Rara, dan posisi saya harus kamu utamakan. Jadi, pulang sekarang, dan masak!"
Tuhan ... kenapa dia jadi otoriter gini.
"Kak? Ayolah. Rara beneran harus--"
"Kamu ngerti Agama, kan? Tau kan, perintah suami itu mutlak dan wajib bagi seorang istri? Sekarang terserah kamu. Mau dapat pahala, dengan menuruti saya. Atau dosa, karena membangkang. Ingat Rara, surga kamu ada pada saya saat ini."
Boleh gak aku balikin? Kalau kini, aku juga punya andil dalam keberkahan rezekinya.
*Happy reading*"Baiklah, Rara pulang sekarang."Walaupun begitu, toh pada akhirnya, aku kembali mengalah, dan menuruti titah Kak Sean. Karena sekali lagi, aku katakan. Aku malas ribut dengannya.Sabar, Ra! Dia cuma seminggu di sini. Jangan cari gara-gara dengannya, kalau tidak mau imagemu makin buruk di matanya.Itulah sugesti yang selalu ku tekankan dalam hati. Jika aku mulai kesal dengan segala tingkah laku Kak Sean.Lagipula dia benar, kok. Surgaku kini memang ada di kakinya. Karenannya, semenyebalkan apapun dia, aku tetap tak boleh membuatnya marah. Takutnya dia mengutukku dengan mulut sadisnya, yang berakhir malah jadi doa untuk hidupku.Jangan sampai!"Hay, guys! Aku balik duluan, ya?"Setelah menutup telpon Kak Sean, aku pun berpamitan pada teman-temanku, yang langsung membuat mereka menyuarakan keberatannya.Namun, mau bagaimana pun, rengekan keberatan mereka tak akan mampu membuat aku tetap be
*Happy reading*"Morning, dear!"Aku langsung menoleh ke sebelah kanan, saat mendengar sapaan yang lumayan familier untukku, ketika aku sedang mengunci rumah sebelum berangkat ke kampus hari ini.Tenang saja, hari ini gak ada drama dari Kak Sean lagi, kok. Karena aku sudah belajar dari hari kemarin dalam mengurus suamiku itu. Hingga tak ada alasan lagi buat Kak Sean untuk mengomeliku.Sekarang, pria itu sudah berangkat ke kantor, setelah menghabiskan sarapan yang tumben mau dia sentuh."Morning, An," balasku dengan Riang, saat melihat keberadaan Ana. Tetangga loft, yang sangat baik hati.Ana itu seorang janda, yang memutuskan tidak menikah lagi setelah suaminya meninggal.Ana bilang, cintanya pada suaminya kekal, hingga tak bisa menerima pria manapun lagi.Lagipula, kini umurnya sudah lebih dari 50 tahun. Dia sudah tak me
*Happy reading*"Apa maksud kamu tadi?!"Kak Sean langsung menghardikku, sesampainya kami di Loft."Maksud aku? Apa?"Bukan aku tak mengerti arah pertanyaan Kak Sean, hanya saja, aku ingin memastikan saja dugaanku."Gak usah pura-pura, Rara. Saya tahu kamu pasti mengerti maksud pertanyaan saya. Kamu itu bukan orang bodoh!" tukas Kak Sean, masih dengan nada kesal yang sama.Aku pun akhirnya menghela napas sebentar, sebelum menjawab, "Apa yang Kakak maksud adalah, aku yang mengenalkan Kakak sebagai sepupu?""Tentu saja! Apa lagi selain itu?!" Jawabnya cepat. Bahkan terlalu cepat menurutku."Lho, aku kira Kakak memang ingin dikenal dengan status seperti itu di sini?" Tak ayal, aku pun bertanya balik. Karena bingung dengan sikapnya ini. Kenapa dia harus marah, kalau dia sendiri mengaku sebagai sepupuku pada Ana."Saya tidak pernah bilang begitu!" tegasnya."Tapi kemarin Kakak mengenalka
*Happy Reading*Aku tidak tahu ini bisa disebut perkosaan atau tidak?Faktanya, status Kak Sean itu suami sah ku, dan dia memang berhak atas diriku. Bahkan, melayaninya adalah pahala untukku.Namun, haruskah dengan cara seperti ini?Tidak bisakah dia memintaku dengan baik-baik dan lembut?Bisakah dia memintaku dalam keadaan normal dan memang benar-benar menginginkanku. Bukan dengan memaksaku, dan dalam pengaruh alkohol seperti ini. Karena sungguh, aku sakit hati diperlakukan layaknya jalang seperti ini.Bagaimanapun, aku masih istri yang berhak dapat hormatnya. Bukan cuma pengganti, yang bisa dia gunakan di balik bayangan wanita yang ada di hatinya.Audy!Entah kenapa, nama itu sekarang sangat menyakitiku."Audy," lirih Kak Sean sekali lagi, dalam lelapnya setelah menuntaskan kebutuhan biologisnya secara paksa padaku. Memb
*Happy Reading*Setelah Kak Sean benar-benar terlelap. Aku menggigit bibir bawahku agar tak terisak keras menyuarakan perihnya rasa yang aku rasakan.Entah mana yang lebih perih. Inti tubuhku yang baru saja menerima robekan untuk pertama kalinya. Atau hatiku yang harus kembali menerima kenyataan, jika aku memang hanya sebuah bayangan untuknya.Aku pengganti dan ... aku ... tidak punya nilai sama sekali di hati suamiku sendiri.Entahlah. Aku sudah tidak bisa membedakannya lagi. Yang jelas, rasanya benar-benar sakit sekali.Apa aku memang benar-benar tak berharga?"Audy ...."Lihatlah! Bahkan dalam tidurnya pun, dan meski baru saja merenggut mahkotaku. Yang dia ingat cuma istri pertamanya saja.Lalu, di mana posisiku diletakkan olehnya?Tidak ada. Tentu saja. Karena baginya aku memang tak punya arti apapun. Iya, kan?Bahkan aku yakin. Mungkin dia pun tidak akan ingat, siapa yang melayaninya malam ini. Ka
*Happy Reading*Hariku telah kembali.Setelah kepulangan Kak Sean, hubungan kami pun kembali berjarak.Tidak, maksudku ya ... kembali ke semula. Yaitu kembali tidak ada komunikasi lagi antara kami.Tidak apa-apa. Aku tidak kecewa, kok. Karena bagiku, ini lebih baik daripada ribut terus dengan pria itu.Bukannya aku ingin mengabaikan suamiku sendiri, atau lupa pada tugasku sebagai seorang istri. Hanya saja, kalau suamiku sendiri tak menginginkan aku, bisa apa selain mengikuti alur yang dia buat.Toh, dia sudah bahagia dengan Kak Audy. Jadi, ya ... bolehkan, kalau aku menikmati masa bebasku di sini?Lagipula, aku tidak ingin mengganggu mereka.Ah, ya. Mengenai Kak Audy. Sebenarnya wanita itu beberapa kali masih menghubungiku untuk bertanya kabar, dan basa basi lainnya.Bahkan, saat Kak Sean di sini pun, dia kerap kali menggo
Aku hanya kecapean!Aku hanya kecapean!Aku hanya kecapean!Aku terus mensugestikan kalimat itu berulang kali di sepanjang hari. Menolak percaya pada segala dugaan yang berseliweran tentang kondisiku saat ini, perihal PMS yang ternyata sudah terlambat dua minggu.Tidak, Tuhan. Jangan sampai dugaan itu benar adanya. Aku belum siap. Bukan, aku bukannya ingin menolak rezeki atau apalah namanya. Hanya saja ... kalian tahukan kondisiku saat ini?Bagaimana aku harus meminta pertanggung jawaban pada Kak Sean, jika dia sendiri tidak ingat kejadian itu? Bagaimana? Tolong berikan aku solusi. Aku benar-benar dilema saat ini. Maka dari itu, tolong Tuhan. Jangan isi rahimku sekarang. Aku mohon dengan sangat.
“Siapa Ayah bayimu?” tanya Diego, dengan tatapan yang syarat akan rasa kecewa, membuatku hatiku mencelos seketika. Kasihan. Aku pasti sudah sangat mengecewakannya.“Suamiku,” jawabku mencoba tetap tegar, meski dengan kejujuran ini aku mungkin akan kehilangan mereka.“Are you married?” Kali ini Miranda yang bertanya penuh penasaran.“Yes, I’m,” lirihku sambil menunduk penuh rasa bersalah. Demi Tuhan, aku tidak sanggup menatap bola mata dua insan di depanku, yang penuh rasa kecewa.
Pov Kenneth” “Bang?”“ “Hm ....”“ “Itu siapa?”“ Kairo mengangkat wajahnya dengan kesal, sebelum mengikuti arah pandangku.” “Maba,” jawabnya singkat. Membuat aku kesal sekali.” Abang kembarku ini memang pelit sekali berkata-kata. Seakan setiap kata dia ucapkan itu harus membayar.” “Ck, Dari baju yang dia pakai pun, gue juga bisa nebak kalau di masih Maba.” Aku berdecak cukup keras, menyuarakan kekesalanku pada pria yang lahir tiga menit lebih awal dariku.” “Kalau begitu, kenapa masih tanya?” gumamnya kemudian, membuat kekesalanku makin menjadi-jadi.”
“Loh, Kak Sean? Udah pulang? Kok, gak ngabarin? Gimana kabar Kakak sama Kak Audy? Baikkan?”“ Aku cukup terkejut melihat keberadaan Kak Sean di Ruang tamu kediamanku, saat baru saja menidurkan Kean yang lumayan rewel hari ini.” Kak Sean tidak menjawabku. Hanya tersenyum tipis, sebelum menyerahkan sebuah amplop padaku.” “Aku baru datang. Sengaja langsung ke sini untuk memberikan itu padamu,” ucapnya sendu, tidak seperti biasanya.” Entah kenapa, aku melihat kesedihan yang teramat sangat dalam matanya.” “Ini apa?” tanyaku kemudian, sambil menerima amplop yang sepertinya berisi surat di dalamnya.” “Baca aja, itu dari Audy.”“ Eh?”
*Happy Reading*” “Saya terima nikah dan kawinnya Andara prameswari Binti Matheo Prameswari dengan mas kawin tersebut, tunai!”“ “Bagaimana para saksi? Sah?”“ “Sah ....”“ Alhamdulilah ....” Rasa haru pun menyeruak tak terbendung, saat moment itu kembali terulang dalam hidupku.” Meski ini memang bukan yang pertama ku alami. Tapi rasa haru ini benar-benar pertama kali aku rasakan dan ....” Terima kasih Tuhan. Akhirnya aku punya hari bahagiaku sendiri.” Aku benar-benar tak pernah menyangka akan punya kesempatan lagi, bisa merasakan moment ini kembali dalam hidupku, setelah semua yang sud
*Happy Reading*”“Andara Prameswari. Kau ku talak.”“Alhamdulilah ....”Senyumku pun langsung terbit, setelah mendengar kata talak kembali diucapkan pria ini.”Please ... tolong jangan bilang aku gila. Karena apa? Karena ini memang harus dilakukan, agar aku bisa meraih kebahagiaanku yang sudah menunggu.”“Makasih ya, Kak,” ucapku tulus, seraya menatap pria yang sekarang sudah sah ku sebut Mantan suami.”Iya, dia adalah Sean Abdilla, yang baru saja mengucapkan kata talak untuk kedua kalinya terhadapku.”Kenapa bisa begitu? Ya ... karena aku sendiri sebenarnya selama ini r
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi.” Mama Sulis terus membelai rambutku, mencoba menenangkan aku yang benar-benar tak bisa menghentikan tangis.”Bagaimana tidak? Aku harus menerima kenyataan kembali ditinggalkan, oleh pria yang sangat penting dalam hidupku. Juga pria yang sudah aku labeli akan menjadi pasangan hidup sampai tua nanti.”Demi Tuhan. Tujuanku ke Rumah ini kan, untuk menyelesaikan masa lalu, agar bisa hidup tenang dengan pria itu.”Tetapi pria itu malah seenaknya pergi, tanpa memberi kabar apapun padaku. Seakan aku ini sudah tak penting dan ....”“Apa perlu kita pesan tiket ke London sekarang. Agar kamu bisa menyusul Dokter Ken ke sana?” usul Kak Sean kemudian. Tampak ikut bersalah akan kejadian itu.”
“Kalau begitu, apa Kakak keberatan jika aku bilang kita impas?” ucapku kemudian, setelah cukup lama membiarkan Kak Sean larut dalam penyesalannya.”Sayangnya, Kak Sean malah menggeleng, dan tersenyum miring saat mengalihkan atensinya padaku.”“Kurasa kata impas lebih tepat diucapkan Papimu, Ra. Karena kamu tak punya salah apapun di sini. Hanya aku saja yang bodoh sudah menjadikanmu alat untuk balas dendam. Jadi, kamu tak pantas mengucapkan hal itu,” balasnya dengan bijak.”Ah, i see.”“Kalau begitu. Apa ini sudah cukup untuk kakak, agar tak menggangguku lagi. I mean, Kakak gak akan meminta aku kembali sama Kakak lagi, kan? Karena aku benar-benar tidak--”“&ldqu
“Terima kasih karena sudah datang, dan membuat Mama bisa tertawa bahagia seperti itu lagi,” ucap Kak Sean. Saat kami akhirnya punya kesempatan duduk berdua, seraya memperhatikan interaksi Mama Sulis dan Kean di Taman samping Rumah.”Ya, aku memang membawa serta Kean ke Rumah ini. Bukan sengaja sebenarnya. Hanya saja, tadi saat aku akan ke sini. Kean terbangun dan rewel sekali tak ingin ditinggalkan. Makanya, sekalian saja kubawa. Toh, ini rumah Neneknya juga, kan?”“Kamu tahu, rasanya saya sudah lama sekali tak melihat Mama tertawa lepas seperti itu,” gumamnya lagi, tak melepaskan sedikitpun pandangan dari Mama Sulis.”Tatapan matanya syarat akan rasa haru, dan binar bahagia yang tak pernah aku lihat selama ini.”Tentu saja
“Rara gak tahu, Bund,” ungkapku akhirnya, sambil menunduk lesu. Setelah sebelumnya berpikir cukup lama sesuai titah Bunda barusan.”Entahlah, aku juga bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Karena jujur saja, hal itu tak pernah aku pikirkan sebelumnya.”Karena bagiku, kebahagiaan Kean itu di atas segalanya, jadi aku tak terlalu memikirkan diriku sendiri. Yang penting Kean bahagia, maka aku pun pasti akan ikut bahagia.”Bukankah saat kita menjadi seorang ibu, itu berarti sudah bukan saatnya egois lagi. Karena kepentingan anak itu di atas segalanya.”Jadi ... apa salah jika aku berpikir demikian dan melupakan keinginan hatiku sendiri?”“Gak tahu siapa yang kamu cintai sebena
“Rara gak pernah bilang gitu, Bun!” batahku cepat tanpa sadar, membuat Bunda lumayan berjengit kaget di tempatnya. Melihatnya, aku langsung gelagapan karena merasa bersalah sudah mengagetkan Bunda Karina.“Eh, maaf, Bund. Rara gak maksud ngomong keras sama Bunda,” ucapku kemudian, menyuarakan permintaan Maafku. Bunda hanya tersenyum menanggapinya dan menepuk tanganku satu kali.“Gak papa, Bunda ngerti, kok,” jawabnya pengertian. “Tapi, apa yang kamu bilang barusan ... beneran?” Bunda Karin lalu mengembalikan topik obrolan.“Ah, iya, Bund. Beneran, Kok! Rara gak pernah ngomong kayak gitu sama Ken.” Aku pun mencoba meyakinkan Bunda.“Lho, tapi Kata Ken, waktu itu kamu ngobrol dengan mantan mertuamu dan&mdash