*Happy reading*
"Baiklah, Rara pulang sekarang."
Walaupun begitu, toh pada akhirnya, aku kembali mengalah, dan menuruti titah Kak Sean. Karena sekali lagi, aku katakan. Aku malas ribut dengannya.
Sabar, Ra! Dia cuma seminggu di sini. Jangan cari gara-gara dengannya, kalau tidak mau imagemu makin buruk di matanya.
Itulah sugesti yang selalu ku tekankan dalam hati. Jika aku mulai kesal dengan segala tingkah laku Kak Sean.
Lagipula dia benar, kok. Surgaku kini memang ada di kakinya. Karenannya, semenyebalkan apapun dia, aku tetap tak boleh membuatnya marah. Takutnya dia mengutukku dengan mulut sadisnya, yang berakhir malah jadi doa untuk hidupku.
Jangan sampai!
"Hay, guys! Aku balik duluan, ya?"
Setelah menutup telpon Kak Sean, aku pun berpamitan pada teman-temanku, yang langsung membuat mereka menyuarakan keberatannya.
Namun, mau bagaimana pun, rengekan keberatan mereka tak akan mampu membuat aku tetap bertahan di sini.
Suamiku menungguku untuk diberi makan. Jadi sebelum dia mengeluarkan sumpah serapahnya, mulutnya harus aku sumpel segera.
"Sorry. Aku lupa ada keperluan yang harus segera aku lakukan (memberi makan suamiku). Jadi, kita lanjut malam, ya? By meeting Zoom, okeh!"
Walau begitu, aku tak memberitahukan alasan sebenarnya, karena aku takut mereka shock berjamaah.
Ya! Di sini, memang tidak ada tahu kalau aku sudah menikah. Karena pernikahanku memang terlalu antimainstream untuk di akui.
Pernikahan ini memang sah di mata agama dan hukum. Tapi statusku yang hanya istri kedua ....
Tidak! Aku tak sanggup memberitahukan hal itu pada khalayak publik.
Karena image istri kedua selalu buruk, dan terlalu empuk untuk di jadikan bahan ghibahan. Tak perduli bagaimana pun true storynya dan alasan di balik pernikahan itu. Istri kedua selalu di pandang negatif oleh publik.
Maka dari itu. Status ini, biar aku saja yang tahu. Karena toh, ini gak akan bertahan lama. Hanya menunggu sampai aku lulus saja, dan itu kurang dari satu tahun lagi.
Aku rasa, aku masih bisa bertahan sampai waktu itu tiba.
Akhirnya, setelah berpamitan dan menentukan jam meeting nanti malam, aku pun segera pergi dari sana, dan berlari secepat yang aku bisa menuju loft.
Semoga aku bisa menyelesaikan masakanku sebelum Kak Sean pulang.
***
Ceklek!Aku langsung menoleh cepat, saat mendengar suara pintu di buka.
Seperti dugaan, itu adalah Kak Sean, yang datang setelah hampir 30 menit aku bergulat dengan alat dapurku.
Syukurlah, dengan begitu aku tidak terlambat menyiapkan makanan untuknya.
"Kakak udah pulang? Tunggu sebentar lagi, ya? Tinggal dikit lagi udah rampung semua," ucapku, seraya meliriknya, yang masih belum mengeluarkan suara sedikitpun sejak datang tadi.
Bahkan mengucap salam pun, tidak sama sekali. Yang dia lakukan hanya menatapku lekat, dengan tatapan elang yang selalu membuat aku kikuk.
Entah kenapa, aku selalu merasa ada yang salah dengan diriku, setiap kali di tatapan seperti itu olehnya.
Rasanya seperti dikuliti habis-habisan. Padahal, perasaan aku tidak sedang melakukan apapun. Hanya saja, tatapan Kak Sean itu memang selalu berhasil membuat aku seperti terdakwa di suatu persidangan.
Tajam dan penuh selidik.
Hingga kadang, aku langsung menelan salivaku kelat, setiap kali bersirobok dengan tatapan tajamnya itu.
Apalagi, dia menatapku tanpa senyum sedikit pun. Membuat aku gusar, tanpa sebab yang pasti.
Pokoknya, tatapan Kak Sean itu, seperti vonis mati untukku.
Seperti saat ini. Sekalipun dia dari tadi hanya menatapku dalam diam. Tapi aku merasa kepalaku sebentar lagi akan bolong, hanya karena tatapannya itu.
Aku salah apa lagi kali ini?
"Kakak gak mau ganti baju dulu? Biar enak nanti makannya." Aku berusaha menegurnya sesantai mungkin. Berbading terbalik dengan degup jantung yang mulai tak terkontrol di dalam dadaku.
"Saya masih harus balik ke kantor."
Owh, okeh! Jadi, dia pulang hanya untuk makan siang?
Kok, so sweet ya, kedengarannya?
Eh, tapi kamu gak boleh baper, Ra. Karena siapa tau, itu hanya sekedar kebiasaannya sama Kak Audy di Indonesia, dan terbawa hingga ke sini.
Jadi intinya, itu hanya sekedar kebiasaan. Bukan semata-mata hal spesial yang sengaja di lakukan untukku.
Jadi, dilarang baper!
"Oh, gitu. Ya, udah. Duduk dulu, Kak. Ini udah selesai, Kok," sahutku sesantai mungkin, sambil memindahkan ayam asam manis yang ku buat, ke dalam piring.
Setelah itu, aku langsung menyajikannya ke atas meja, menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu mejeng di sana.
Namun Kak Sean masih tak mau duduk, dan malah memantau gerak gerikku yang berusaha mengabaikannya.
Ini kenapa, sih? Kenapa aku di pantau seperti seorang pencuri di dalam rumahku sendiri? Masalah dia apa?
"Kak, ini makan siangnya udah siap. Kakak mau makan sekarang, atau--"
"Kamu masak sendiri?" tanyanya tiba-tiba. Membuat aku langsung terdiam, dan mengerjap dua kali.
Maksud pertanyaannya apa?
Dia gak percaya aku bisa masak? Atau gimana, sih? Kok, nanyanya gitu banget?
"Iya, kak. Kenapa? Kak Sean gak suka masakan rumahan, ya? Mau aku pesenin di restauran bawah?" tanya balikku kemudian, yang sayangnya tak mendapat jawaban apapun darinya, selain tatapan datar saja.
Tuhan, aku bisa gila jika ditatap seperti itu terus! Karena tatapannya benar-benar membuat aku nethink pada diriku sendiri.
"Gak usah, ini aja."
Aku pun diam-diam menghela napas lega, saat akhirnya Kak Sean memutuskan tatapannya, dan kini manarik kursinya sendiri.
Aku pun segera meraih piringnya, dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk yang tersedia, sebelum dia mulai membaca dalil lagi akan kewajiban seorang istri dalam melayani suami.
Tidak! Kali ini tidak akan aku biarkan dia mengkritik ku lagi. Karena aku memang tak seburuk dugaannya.
"Saya kira kamu sudah lupa sama nasi dan tempe."
Itu sindiran, jelas! Dia tau aku lama di LN, dan pasti masih mengira aku semanja dugaannya selama ini. Bahkan, aku tahu dia selama ini menganggap aku sombong, karena tak pernah pulang ke Tanah air.
"Aku memang lama di sini, Kak. Tapi lidah dan perutku sudah Indonesia sekali. Makanya, aku selalu merasa belum betul-betul kenyang, sebelum makan nasi dalam satu hari," jelasku lugas. Tanpa niat membantahnya sama sekali.
Kak Sean pun tak bersuara lagi, dan bersiap makan dengan santainya. Membuat aku malah harap-harap cemas menunggu reaksinya, karena takut apa yang kumasak, ternyata tak sesuai harapannya.
Aku bahkan tanpa sadar sudah menahan napas, saat dia mulai menyuapkan makanannya, dan mengunyahnya pelan sekali.
Lalu saat dia terdiam beberapa saat setelah makanan itu masuk, rasanya jantungku pun ikut terhenti, bersiap menerima semburan kata-kata pedasnya tentang makananku.
Glek!
Tanpa sadar aku menelan Saliva, saat dia melirikku dengan tajam.
Baiklah! Aku memang tak pandai masak. Jadi--
"Lain kali kalau masak. Tambahkan cabai di dalamnya, saya suka masakan pedas."
Eh? Apa? Maksudnya?
Setelah itu, Kak Sean pun meneruskan makannya dengan santai, tanpa berkomentar apapun lagi. Membuat aku tersenyum diam-diam, karena ternyata ....
Dia menyukai masakanku!
Ugh ... begini aja aku udah seneng banget!
Rasanya seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah, sebagai kerja kerasnya.
Sayangnya, kebahagiaanku pun harus berakhir, saat getar panjang dari ponsel Kak Sean terdengar. Karena setelah melirik siapa penelponnya, Kak sean pun langsung menghentikan makannya, dan pergi begitu saja meninggalkanku.
Walau begitu, tanpa diberitahu pun, aku tahu pasti siapa yang menelpon Kak Sean tadi? Karena dari sapaannya yang tak sengaja terdengar, aku yakin pasti kalau itu dari ....
"Ya, Sayang?"
Kak audy. Iya, kan?
Tidak ada wanita lain yang akan di panggilnya semanis itu oleh Kak Sean, selain Kak Audy. Karena baginya, hanya Kak Audy yang pantas diperlakukan semanis itu.
Aku?
Lupakan saja!
*Happy reading*"Morning, dear!"Aku langsung menoleh ke sebelah kanan, saat mendengar sapaan yang lumayan familier untukku, ketika aku sedang mengunci rumah sebelum berangkat ke kampus hari ini.Tenang saja, hari ini gak ada drama dari Kak Sean lagi, kok. Karena aku sudah belajar dari hari kemarin dalam mengurus suamiku itu. Hingga tak ada alasan lagi buat Kak Sean untuk mengomeliku.Sekarang, pria itu sudah berangkat ke kantor, setelah menghabiskan sarapan yang tumben mau dia sentuh."Morning, An," balasku dengan Riang, saat melihat keberadaan Ana. Tetangga loft, yang sangat baik hati.Ana itu seorang janda, yang memutuskan tidak menikah lagi setelah suaminya meninggal.Ana bilang, cintanya pada suaminya kekal, hingga tak bisa menerima pria manapun lagi.Lagipula, kini umurnya sudah lebih dari 50 tahun. Dia sudah tak me
*Happy reading*"Apa maksud kamu tadi?!"Kak Sean langsung menghardikku, sesampainya kami di Loft."Maksud aku? Apa?"Bukan aku tak mengerti arah pertanyaan Kak Sean, hanya saja, aku ingin memastikan saja dugaanku."Gak usah pura-pura, Rara. Saya tahu kamu pasti mengerti maksud pertanyaan saya. Kamu itu bukan orang bodoh!" tukas Kak Sean, masih dengan nada kesal yang sama.Aku pun akhirnya menghela napas sebentar, sebelum menjawab, "Apa yang Kakak maksud adalah, aku yang mengenalkan Kakak sebagai sepupu?""Tentu saja! Apa lagi selain itu?!" Jawabnya cepat. Bahkan terlalu cepat menurutku."Lho, aku kira Kakak memang ingin dikenal dengan status seperti itu di sini?" Tak ayal, aku pun bertanya balik. Karena bingung dengan sikapnya ini. Kenapa dia harus marah, kalau dia sendiri mengaku sebagai sepupuku pada Ana."Saya tidak pernah bilang begitu!" tegasnya."Tapi kemarin Kakak mengenalka
*Happy Reading*Aku tidak tahu ini bisa disebut perkosaan atau tidak?Faktanya, status Kak Sean itu suami sah ku, dan dia memang berhak atas diriku. Bahkan, melayaninya adalah pahala untukku.Namun, haruskah dengan cara seperti ini?Tidak bisakah dia memintaku dengan baik-baik dan lembut?Bisakah dia memintaku dalam keadaan normal dan memang benar-benar menginginkanku. Bukan dengan memaksaku, dan dalam pengaruh alkohol seperti ini. Karena sungguh, aku sakit hati diperlakukan layaknya jalang seperti ini.Bagaimanapun, aku masih istri yang berhak dapat hormatnya. Bukan cuma pengganti, yang bisa dia gunakan di balik bayangan wanita yang ada di hatinya.Audy!Entah kenapa, nama itu sekarang sangat menyakitiku."Audy," lirih Kak Sean sekali lagi, dalam lelapnya setelah menuntaskan kebutuhan biologisnya secara paksa padaku. Memb
*Happy Reading*Setelah Kak Sean benar-benar terlelap. Aku menggigit bibir bawahku agar tak terisak keras menyuarakan perihnya rasa yang aku rasakan.Entah mana yang lebih perih. Inti tubuhku yang baru saja menerima robekan untuk pertama kalinya. Atau hatiku yang harus kembali menerima kenyataan, jika aku memang hanya sebuah bayangan untuknya.Aku pengganti dan ... aku ... tidak punya nilai sama sekali di hati suamiku sendiri.Entahlah. Aku sudah tidak bisa membedakannya lagi. Yang jelas, rasanya benar-benar sakit sekali.Apa aku memang benar-benar tak berharga?"Audy ...."Lihatlah! Bahkan dalam tidurnya pun, dan meski baru saja merenggut mahkotaku. Yang dia ingat cuma istri pertamanya saja.Lalu, di mana posisiku diletakkan olehnya?Tidak ada. Tentu saja. Karena baginya aku memang tak punya arti apapun. Iya, kan?Bahkan aku yakin. Mungkin dia pun tidak akan ingat, siapa yang melayaninya malam ini. Ka
*Happy Reading*Hariku telah kembali.Setelah kepulangan Kak Sean, hubungan kami pun kembali berjarak.Tidak, maksudku ya ... kembali ke semula. Yaitu kembali tidak ada komunikasi lagi antara kami.Tidak apa-apa. Aku tidak kecewa, kok. Karena bagiku, ini lebih baik daripada ribut terus dengan pria itu.Bukannya aku ingin mengabaikan suamiku sendiri, atau lupa pada tugasku sebagai seorang istri. Hanya saja, kalau suamiku sendiri tak menginginkan aku, bisa apa selain mengikuti alur yang dia buat.Toh, dia sudah bahagia dengan Kak Audy. Jadi, ya ... bolehkan, kalau aku menikmati masa bebasku di sini?Lagipula, aku tidak ingin mengganggu mereka.Ah, ya. Mengenai Kak Audy. Sebenarnya wanita itu beberapa kali masih menghubungiku untuk bertanya kabar, dan basa basi lainnya.Bahkan, saat Kak Sean di sini pun, dia kerap kali menggo
Aku hanya kecapean!Aku hanya kecapean!Aku hanya kecapean!Aku terus mensugestikan kalimat itu berulang kali di sepanjang hari. Menolak percaya pada segala dugaan yang berseliweran tentang kondisiku saat ini, perihal PMS yang ternyata sudah terlambat dua minggu.Tidak, Tuhan. Jangan sampai dugaan itu benar adanya. Aku belum siap. Bukan, aku bukannya ingin menolak rezeki atau apalah namanya. Hanya saja ... kalian tahukan kondisiku saat ini?Bagaimana aku harus meminta pertanggung jawaban pada Kak Sean, jika dia sendiri tidak ingat kejadian itu? Bagaimana? Tolong berikan aku solusi. Aku benar-benar dilema saat ini. Maka dari itu, tolong Tuhan. Jangan isi rahimku sekarang. Aku mohon dengan sangat.
“Siapa Ayah bayimu?” tanya Diego, dengan tatapan yang syarat akan rasa kecewa, membuatku hatiku mencelos seketika. Kasihan. Aku pasti sudah sangat mengecewakannya.“Suamiku,” jawabku mencoba tetap tegar, meski dengan kejujuran ini aku mungkin akan kehilangan mereka.“Are you married?” Kali ini Miranda yang bertanya penuh penasaran.“Yes, I’m,” lirihku sambil menunduk penuh rasa bersalah. Demi Tuhan, aku tidak sanggup menatap bola mata dua insan di depanku, yang penuh rasa kecewa.
“Menjual diri?” beoku tanpa sadar. Karena terkejut dengan ucapan pedas mereka.“Ya! Kamu selama ini tidak menerima Diego karena lebih suka jadi simpanan Om-Om, kan?”Astaga! Gosip dari mana itu?“Hey, kalian jangan sembarangan bicara!” Aku mencoba menegur mereka, karena aku memang tidak seperti itu.“Kami tidak sembarang bicara, kok. Kami punya bukti. Bahkan, kami juga tahu, sekarang kamu tengah hamil anak selingkuhanmu itu, kan?”Deg!Tuhan, dari mana mereka tahu semua itu?“Aku tidak—”
Pov Kenneth” “Bang?”“ “Hm ....”“ “Itu siapa?”“ Kairo mengangkat wajahnya dengan kesal, sebelum mengikuti arah pandangku.” “Maba,” jawabnya singkat. Membuat aku kesal sekali.” Abang kembarku ini memang pelit sekali berkata-kata. Seakan setiap kata dia ucapkan itu harus membayar.” “Ck, Dari baju yang dia pakai pun, gue juga bisa nebak kalau di masih Maba.” Aku berdecak cukup keras, menyuarakan kekesalanku pada pria yang lahir tiga menit lebih awal dariku.” “Kalau begitu, kenapa masih tanya?” gumamnya kemudian, membuat kekesalanku makin menjadi-jadi.”
“Loh, Kak Sean? Udah pulang? Kok, gak ngabarin? Gimana kabar Kakak sama Kak Audy? Baikkan?”“ Aku cukup terkejut melihat keberadaan Kak Sean di Ruang tamu kediamanku, saat baru saja menidurkan Kean yang lumayan rewel hari ini.” Kak Sean tidak menjawabku. Hanya tersenyum tipis, sebelum menyerahkan sebuah amplop padaku.” “Aku baru datang. Sengaja langsung ke sini untuk memberikan itu padamu,” ucapnya sendu, tidak seperti biasanya.” Entah kenapa, aku melihat kesedihan yang teramat sangat dalam matanya.” “Ini apa?” tanyaku kemudian, sambil menerima amplop yang sepertinya berisi surat di dalamnya.” “Baca aja, itu dari Audy.”“ Eh?”
*Happy Reading*” “Saya terima nikah dan kawinnya Andara prameswari Binti Matheo Prameswari dengan mas kawin tersebut, tunai!”“ “Bagaimana para saksi? Sah?”“ “Sah ....”“ Alhamdulilah ....” Rasa haru pun menyeruak tak terbendung, saat moment itu kembali terulang dalam hidupku.” Meski ini memang bukan yang pertama ku alami. Tapi rasa haru ini benar-benar pertama kali aku rasakan dan ....” Terima kasih Tuhan. Akhirnya aku punya hari bahagiaku sendiri.” Aku benar-benar tak pernah menyangka akan punya kesempatan lagi, bisa merasakan moment ini kembali dalam hidupku, setelah semua yang sud
*Happy Reading*”“Andara Prameswari. Kau ku talak.”“Alhamdulilah ....”Senyumku pun langsung terbit, setelah mendengar kata talak kembali diucapkan pria ini.”Please ... tolong jangan bilang aku gila. Karena apa? Karena ini memang harus dilakukan, agar aku bisa meraih kebahagiaanku yang sudah menunggu.”“Makasih ya, Kak,” ucapku tulus, seraya menatap pria yang sekarang sudah sah ku sebut Mantan suami.”Iya, dia adalah Sean Abdilla, yang baru saja mengucapkan kata talak untuk kedua kalinya terhadapku.”Kenapa bisa begitu? Ya ... karena aku sendiri sebenarnya selama ini r
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi.” Mama Sulis terus membelai rambutku, mencoba menenangkan aku yang benar-benar tak bisa menghentikan tangis.”Bagaimana tidak? Aku harus menerima kenyataan kembali ditinggalkan, oleh pria yang sangat penting dalam hidupku. Juga pria yang sudah aku labeli akan menjadi pasangan hidup sampai tua nanti.”Demi Tuhan. Tujuanku ke Rumah ini kan, untuk menyelesaikan masa lalu, agar bisa hidup tenang dengan pria itu.”Tetapi pria itu malah seenaknya pergi, tanpa memberi kabar apapun padaku. Seakan aku ini sudah tak penting dan ....”“Apa perlu kita pesan tiket ke London sekarang. Agar kamu bisa menyusul Dokter Ken ke sana?” usul Kak Sean kemudian. Tampak ikut bersalah akan kejadian itu.”
“Kalau begitu, apa Kakak keberatan jika aku bilang kita impas?” ucapku kemudian, setelah cukup lama membiarkan Kak Sean larut dalam penyesalannya.”Sayangnya, Kak Sean malah menggeleng, dan tersenyum miring saat mengalihkan atensinya padaku.”“Kurasa kata impas lebih tepat diucapkan Papimu, Ra. Karena kamu tak punya salah apapun di sini. Hanya aku saja yang bodoh sudah menjadikanmu alat untuk balas dendam. Jadi, kamu tak pantas mengucapkan hal itu,” balasnya dengan bijak.”Ah, i see.”“Kalau begitu. Apa ini sudah cukup untuk kakak, agar tak menggangguku lagi. I mean, Kakak gak akan meminta aku kembali sama Kakak lagi, kan? Karena aku benar-benar tidak--”“&ldqu
“Terima kasih karena sudah datang, dan membuat Mama bisa tertawa bahagia seperti itu lagi,” ucap Kak Sean. Saat kami akhirnya punya kesempatan duduk berdua, seraya memperhatikan interaksi Mama Sulis dan Kean di Taman samping Rumah.”Ya, aku memang membawa serta Kean ke Rumah ini. Bukan sengaja sebenarnya. Hanya saja, tadi saat aku akan ke sini. Kean terbangun dan rewel sekali tak ingin ditinggalkan. Makanya, sekalian saja kubawa. Toh, ini rumah Neneknya juga, kan?”“Kamu tahu, rasanya saya sudah lama sekali tak melihat Mama tertawa lepas seperti itu,” gumamnya lagi, tak melepaskan sedikitpun pandangan dari Mama Sulis.”Tatapan matanya syarat akan rasa haru, dan binar bahagia yang tak pernah aku lihat selama ini.”Tentu saja
“Rara gak tahu, Bund,” ungkapku akhirnya, sambil menunduk lesu. Setelah sebelumnya berpikir cukup lama sesuai titah Bunda barusan.”Entahlah, aku juga bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Karena jujur saja, hal itu tak pernah aku pikirkan sebelumnya.”Karena bagiku, kebahagiaan Kean itu di atas segalanya, jadi aku tak terlalu memikirkan diriku sendiri. Yang penting Kean bahagia, maka aku pun pasti akan ikut bahagia.”Bukankah saat kita menjadi seorang ibu, itu berarti sudah bukan saatnya egois lagi. Karena kepentingan anak itu di atas segalanya.”Jadi ... apa salah jika aku berpikir demikian dan melupakan keinginan hatiku sendiri?”“Gak tahu siapa yang kamu cintai sebena
“Rara gak pernah bilang gitu, Bun!” batahku cepat tanpa sadar, membuat Bunda lumayan berjengit kaget di tempatnya. Melihatnya, aku langsung gelagapan karena merasa bersalah sudah mengagetkan Bunda Karina.“Eh, maaf, Bund. Rara gak maksud ngomong keras sama Bunda,” ucapku kemudian, menyuarakan permintaan Maafku. Bunda hanya tersenyum menanggapinya dan menepuk tanganku satu kali.“Gak papa, Bunda ngerti, kok,” jawabnya pengertian. “Tapi, apa yang kamu bilang barusan ... beneran?” Bunda Karin lalu mengembalikan topik obrolan.“Ah, iya, Bund. Beneran, Kok! Rara gak pernah ngomong kayak gitu sama Ken.” Aku pun mencoba meyakinkan Bunda.“Lho, tapi Kata Ken, waktu itu kamu ngobrol dengan mantan mertuamu dan&mdash