Tama mulai melangkah untuk masuk ke dalam rumah besarnya, yang kini akan dia tempati bersama Rania. Masih dengan perasaan takjub, Rania mengikuti langkah kaki Tama. Mereka berdua diam sambil berjalan melalui lorong-lorong yang panjang dan ruangan-ruangan yang indah. Rania merasa sedang berada di dalam istana dongeng, tetapi dia juga sadar bahwa ini adalah awal dari sebuah babak baru dalam hidupnya.Tiba-tiba Tama menghentikan langkahnya, setelah mereka sampai di lantai dua rumah besar itu. Dia menoleh ke belakang, menghadap Rania yang memang sejak awal membuntutinya."Ada apa?" tanya Rania polos.Tama memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Kamu mau sekamar denganku, atau punya kamar sendiri?" Pertanyaan itu meluncur tiba-tiba. Rania tidak bisa menahan rasa gugupnya, hingga wajahnya merona merah. "A-aku tidak tahu … ""Tinggal jawab," sambar Tama. Wajahnya dingin. "Jika kamu ingin sekamar denganku, aku akan suruh pelayan untuk membersihkannya dulu. Kalau kamu ingin kamar sendi
"Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini padaku?" tuntut Rania. Dia kembali teringat akan saat pertama pernikahannya, dimana meski Tama tetap dingin padanya, namun sikap pria itu sangat jauh lebih baik. "Ini bukanlah dirimu," tambah Rania, berusaha menarik kaki lecetnya yang tengah diobati oleh Tama.Tama paham maksud Rania, tapi dia tidak menanggapi. Mendapat penolakan yang membuat hatinya kecewa, membuat Tama beranjak dari ranjang untuk menjauh dari Rania."Apakah jika kita bercerai, kamu akan bersama Vinko?" tanya Tama tiba-tiba.Rania tertegun mendengar pertanyaan itu. Rania mencoba membaca raut wajah Tama yang tampak cemas dan bingung dalam satu waktu. Benar-benar bukan dirinya."Bukan urusanmu," timpal Rania dingin. "Yang pasti … tidak kembali bersama orang sepertimu,"Tama menelan ludah. Dia tidak menyangka ucapan Rania membuat hatinya tertohok sakit. Demi menjaga emosinya, Tama memutuskan untuk keluar dari kamar itu demi menyegarkan pikirannya. Meski tidak mau dia akui secara langsu
"Apa yang Mama lakukan tadi, hah?!" hardik Vinko, setelah mereka menutup butik dan hanya berdua saja.Nita mendorong tubuh Vinko, memaksanya untuk duduk di salah satu sudut. "Dengarkan Mama baik-baik, Vinko," Rahangnya mengeras, tegas. "Kalau kamu memang peduli dengan Mama dan sayang sama Mama, jangan pernah lagi bicara seperti itu di depan ayahmu. Apalagi jika itu semua berhubungan dengan Rania!" tegur Nita serius.Seumur hidup dia tidak pernah dibentak oleh Nita. Bahkan ketika dia berbuat onar yang berimbas pada nasibnya yang hampir dikeluarkan dari sekolah, Nita tidak pernah membentak. Namun kali ini terasa berbeda. Seakan Nita rela melakukan apapun demi membuat Vinko terus berada di sisi Tuan Hadi, terus diakui sebagai anaknya."Kita sudah sejauh ini. Sedikit lagi semua akan tercapai, hidupmu akan terjamin," Nita melanjutkan. "Apa susahnya menikahi Regina? Dia gadis yang cantik, baik. Lagipula kalian sudah mengenal sejak kecil,""Tapi aku mencintai Rania, Ma … " balas Vinko dengan
"Ran!" Vinko terus menggedor pintu, berharap setidaknya Rania membuka kaca mobil atau segera turun.Air mata Rania mengalir perlahan. Dia kembali teringat akan percakapan singkatnya bersama Tuan Hadi bulan lalu, tentang kesepakatan mereka. Meskipun dia mulai membuka hati perlahan untuk Vinko, namun dia harus segera sadar jika bersama Vinko bukanlah pilihan yang tepat.Lantas Rania menyambar botol kecil berisi racun yang ada digenggaman Tama. "Ya, aku memang berharap kamu mati," ujarnya. "Terimakasih sudah memberiku botol ini, karena selama ini kucari,"Tama makin menyeringai mendapatkan respon berani dari Rania. Meski di dalam hati dia cukup kecewa, karena Rania memang benar-benar hendak meracuninya. Setelah Rania keluar dari mobil, Tama dapat melihat Vinko berusaha menyusul langkah kaki Rania namun istrinya itu terus menghindar dan menolak bicara."Tuan, apa saya perlu membereskan Vinko?" tawar Arif, yang menangkap kegalauan tuannya."Tidak perlu," jawab Tama. "Seberapa keras kita be
Tuan Hadi menganga lebar, bahkan hingga mulutnya terbuka untuk beberapa saat. Ada semburat bangga setelah Rania mengucapkan ikrarnya untuk tidak mengganggu keluarga Hadi jika terbukti dia tidak hamil. Pria tua itu lantas menyerahkan sebuah kotak perhiasan berbentuk persegi panjang."Ini untukmu. Maaf karena terlambat memberikannya," ucap Tuan Hadi.Rania menerima kotak perhiasan itu dengan sejuta tanya di hatinya. Dia memandang Tuan Hadi, dan kotak itu bergantian."Bukalah," pinta Tuan Hadi.Atas perintah mertuanya, Rania pun perlahan membuka kotak itu. Di dalamnya ada sebuah perhiasan berupa kalung berlian berwarna putih yang sederhana namun sangat indah."Ini adalah perhiasan milik ibu Tama," ungkap Tuan Hadi, dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca saat memandangi perhiasan itu. "Sayang sekali aku tidak memberikanmu kalung ini tepat di hari pernikahanmu. Karena waktu itu aku belum mempercayaimu,""Ini milik Ibu Dewi?"Tuan Hadi tercekat. Lantas memandang ke arah Rania keheranan. "A
Rania tampak mematung, memandang Vinko dengan beberapa kali kedipan. "Kamu ini bicara apa?" Dan membuncahlah tawanya.Rania tertawa keras, sesekali menepuk lengan Vinko. Sementara Vinko–yang sama sekali tidak menganggap itu lucu hanya bisa diam tercengang. Dia mencoba serius, tapi Rania justru menganggapnya bercanda."Kamu menganggapku anak kecil?" gumam Vinko, dengan suara berat. Dia tersinggung."Hei, Vin–" Rania kini mendorong kedua pipi Vinko, membuat wajah pria itu nampak polos nan lucu. "Kamu ini kenapa? Aku ada disini karena aku memang ingin bertemu denganmu,"Vinko segera menepis kedua tangan Rania yang memegangi pipinya. Dia merajuk. "Tadi pagi kamu mengabaikanku,""Tentu saja. Apa kamu pikir aku bisa menemuimu saat ada Tama di sebelahku? Bagaimanapun juga, aku masih istri Tama," jelas Rania, berusaha memberi pengertian. Dia mengelus pipi Vinko, mencoba untuk menenangkan hati pria muda itu."Aku benar-benar membencinya! Kuharap kamu tidak hamil agar bisa lepas darinya," gerut
Rania menghela nafas. "Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi," ucap Rania. Dia berusaha keras untuk menguatkan dirinya sendiri, karena tidak tega melihat raut wajah kebingungan milik Vinko."Apa kamu hamil?" tebak Vinko dengan cepat.Rania menggeleng. "Tidak ada hubungannya dengan itu," jawabnya. "Kamu tentu tahu, mustahil bagi kita untuk bersatu, meski aku sudah tidak lagi bersama Tama,""Kenapa?" Vinko mencengkeram pergelangan tangan Rania, seakan takut wanita itu tiba-tiba kabur. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" Dia lantas turun dari motornya secepat mungkin, dengan pandangan tak mau lepas dari Rania. "Apa ada yang mengancammu?" Vinko ganti mengguncang bahu Rania.Rania seketika melepas tangan Vinko di bahunya. "Berhenti menyalahkan orang lain, Vin. Ini semua tidak ada hubungannya dengan orang lain. Ini semua murni karena aku sudah tidak ingin berurusan lagi denganmu," cerca Rania, memasang wajah muak.Vinko diam, mengedipkan mata berusaha memikirkan segalanya. "Ada apa ini? Kenapa
Tama mulai bangkit berdiri. Tatapannya nampak dingin namun juga tenang di satu waktu. Sementara Rania yang frustasi, melempar tasnya ke sembarang arah, berusaha menahan air matanya yang menggenang. Pelupuk matanya terus-menerus mengulang rekaman ekspresi Vinko yang tampak bingung dan kecewa di satu waktu. Membuat hati Rania teriris pedih, antara kasihan dan mengutuki diri sendiri."Apa kamu yakin akan benar-benar pergi dari sini?" tanya Tama, terus memperhatikan gerak-gerik Rania yang linglung, duduk bersimpuh di bawah ranjang besar mereka."Aku pasti pergi," jawab Rania lantang."Jadi kamu tidak hamil?"Rania memandang Tama dengan tatapan benci. "Kenapa kamu sangat ingin aku hamil, hah? Bukankah, apapun yang terjadi, ayahmu tetap memberikan hartanya padamu?""Dia akan jadi penerusku," Tama sama sekali tidak merubah ekspresinya. Berdiri tenang, memandangi Rania yang menyedihkan.Rania tertawa getir. "Kamu bisa meminta wanita manapun untuk mengandung anakmu," timpal Rania pias."Ya, ka
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng