"Bukannya Tama sudah bilang kalau dia akan menikahimu?" tanya Arif heran melihat ekspresi kaget Rania.Rania mengangguk, masih dengan sikap polosnya. "Tapi aku tidak tahu kalau dia anak Tuan Hadi,"Arif memejamkan mata sejenak, lalu menghembuskan nafas. Dia membenci ayah Rania yang pengecut, tapi tak menyangka jika Rania juga menjengkelkan baginya karena sikap polosnya ini. Tanpa mau banyak bicara lagi, Arif bergegas mengajak Rania keluar dari dalam mobil, sebelum Tama menyadari jika Rania tertinggal di belakang."Apakah aku akan baik-baik saja?" tanya Rania, sepanjang perjalanan menuju rumah besar itu.Arif memasang ekspresi dingin. "Apakah hidup bersama ayahmu membuatmu baik-baik saja?" Dia justru balik bertanya, tanpa perasaan. Rania menunduk. Dia tidak ingin mengingat kembali tentang ayahnya, yang kini dengan tega membiarkannya hidup sendirian. Seumur hidup Rania bekerja keras sampai mengorbankan masa depannya demi sang ayah, tapi ayahnya justru memilih kabur."Kalian lama sekali
Tama mulai melangkah untuk masuk ke dalam rumah besarnya, yang kini akan dia tempati bersama Rania. Masih dengan perasaan takjub, Rania mengikuti langkah kaki Tama. Mereka berdua diam sambil berjalan melalui lorong-lorong yang panjang dan ruangan-ruangan yang indah. Rania merasa sedang berada di dalam istana dongeng, tetapi dia juga sadar bahwa ini adalah awal dari sebuah babak baru dalam hidupnya.Tiba-tiba Tama menghentikan langkahnya, setelah mereka sampai di lantai dua rumah besar itu. Dia menoleh ke belakang, menghadap Rania yang memang sejak awal membuntutinya."Ada apa?" tanya Rania polos.Tama memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Kamu mau sekamar denganku, atau punya kamar sendiri?" Pertanyaan itu meluncur tiba-tiba. Rania tidak bisa menahan rasa gugupnya, hingga wajahnya merona merah. "A-aku tidak tahu … ""Tinggal jawab," sambar Tama. Wajahnya dingin. "Jika kamu ingin sekamar denganku, aku akan suruh pelayan untuk membersihkannya dulu. Kalau kamu ingin kamar sendi
"Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini padaku?" tuntut Rania. Dia kembali teringat akan saat pertama pernikahannya, dimana meski Tama tetap dingin padanya, namun sikap pria itu sangat jauh lebih baik. "Ini bukanlah dirimu," tambah Rania, berusaha menarik kaki lecetnya yang tengah diobati oleh Tama.Tama paham maksud Rania, tapi dia tidak menanggapi. Mendapat penolakan yang membuat hatinya kecewa, membuat Tama beranjak dari ranjang untuk menjauh dari Rania."Apakah jika kita bercerai, kamu akan bersama Vinko?" tanya Tama tiba-tiba.Rania tertegun mendengar pertanyaan itu. Rania mencoba membaca raut wajah Tama yang tampak cemas dan bingung dalam satu waktu. Benar-benar bukan dirinya."Bukan urusanmu," timpal Rania dingin. "Yang pasti … tidak kembali bersama orang sepertimu,"Tama menelan ludah. Dia tidak menyangka ucapan Rania membuat hatinya tertohok sakit. Demi menjaga emosinya, Tama memutuskan untuk keluar dari kamar itu demi menyegarkan pikirannya. Meski tidak mau dia akui secara langsu
"Apa yang Mama lakukan tadi, hah?!" hardik Vinko, setelah mereka menutup butik dan hanya berdua saja.Nita mendorong tubuh Vinko, memaksanya untuk duduk di salah satu sudut. "Dengarkan Mama baik-baik, Vinko," Rahangnya mengeras, tegas. "Kalau kamu memang peduli dengan Mama dan sayang sama Mama, jangan pernah lagi bicara seperti itu di depan ayahmu. Apalagi jika itu semua berhubungan dengan Rania!" tegur Nita serius.Seumur hidup dia tidak pernah dibentak oleh Nita. Bahkan ketika dia berbuat onar yang berimbas pada nasibnya yang hampir dikeluarkan dari sekolah, Nita tidak pernah membentak. Namun kali ini terasa berbeda. Seakan Nita rela melakukan apapun demi membuat Vinko terus berada di sisi Tuan Hadi, terus diakui sebagai anaknya."Kita sudah sejauh ini. Sedikit lagi semua akan tercapai, hidupmu akan terjamin," Nita melanjutkan. "Apa susahnya menikahi Regina? Dia gadis yang cantik, baik. Lagipula kalian sudah mengenal sejak kecil,""Tapi aku mencintai Rania, Ma … " balas Vinko dengan
"Ran!" Vinko terus menggedor pintu, berharap setidaknya Rania membuka kaca mobil atau segera turun.Air mata Rania mengalir perlahan. Dia kembali teringat akan percakapan singkatnya bersama Tuan Hadi bulan lalu, tentang kesepakatan mereka. Meskipun dia mulai membuka hati perlahan untuk Vinko, namun dia harus segera sadar jika bersama Vinko bukanlah pilihan yang tepat.Lantas Rania menyambar botol kecil berisi racun yang ada digenggaman Tama. "Ya, aku memang berharap kamu mati," ujarnya. "Terimakasih sudah memberiku botol ini, karena selama ini kucari,"Tama makin menyeringai mendapatkan respon berani dari Rania. Meski di dalam hati dia cukup kecewa, karena Rania memang benar-benar hendak meracuninya. Setelah Rania keluar dari mobil, Tama dapat melihat Vinko berusaha menyusul langkah kaki Rania namun istrinya itu terus menghindar dan menolak bicara."Tuan, apa saya perlu membereskan Vinko?" tawar Arif, yang menangkap kegalauan tuannya."Tidak perlu," jawab Tama. "Seberapa keras kita be
Tuan Hadi menganga lebar, bahkan hingga mulutnya terbuka untuk beberapa saat. Ada semburat bangga setelah Rania mengucapkan ikrarnya untuk tidak mengganggu keluarga Hadi jika terbukti dia tidak hamil. Pria tua itu lantas menyerahkan sebuah kotak perhiasan berbentuk persegi panjang."Ini untukmu. Maaf karena terlambat memberikannya," ucap Tuan Hadi.Rania menerima kotak perhiasan itu dengan sejuta tanya di hatinya. Dia memandang Tuan Hadi, dan kotak itu bergantian."Bukalah," pinta Tuan Hadi.Atas perintah mertuanya, Rania pun perlahan membuka kotak itu. Di dalamnya ada sebuah perhiasan berupa kalung berlian berwarna putih yang sederhana namun sangat indah."Ini adalah perhiasan milik ibu Tama," ungkap Tuan Hadi, dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca saat memandangi perhiasan itu. "Sayang sekali aku tidak memberikanmu kalung ini tepat di hari pernikahanmu. Karena waktu itu aku belum mempercayaimu,""Ini milik Ibu Dewi?"Tuan Hadi tercekat. Lantas memandang ke arah Rania keheranan. "A
Rania tampak mematung, memandang Vinko dengan beberapa kali kedipan. "Kamu ini bicara apa?" Dan membuncahlah tawanya.Rania tertawa keras, sesekali menepuk lengan Vinko. Sementara Vinko–yang sama sekali tidak menganggap itu lucu hanya bisa diam tercengang. Dia mencoba serius, tapi Rania justru menganggapnya bercanda."Kamu menganggapku anak kecil?" gumam Vinko, dengan suara berat. Dia tersinggung."Hei, Vin–" Rania kini mendorong kedua pipi Vinko, membuat wajah pria itu nampak polos nan lucu. "Kamu ini kenapa? Aku ada disini karena aku memang ingin bertemu denganmu,"Vinko segera menepis kedua tangan Rania yang memegangi pipinya. Dia merajuk. "Tadi pagi kamu mengabaikanku,""Tentu saja. Apa kamu pikir aku bisa menemuimu saat ada Tama di sebelahku? Bagaimanapun juga, aku masih istri Tama," jelas Rania, berusaha memberi pengertian. Dia mengelus pipi Vinko, mencoba untuk menenangkan hati pria muda itu."Aku benar-benar membencinya! Kuharap kamu tidak hamil agar bisa lepas darinya," gerut
Rania menghela nafas. "Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi," ucap Rania. Dia berusaha keras untuk menguatkan dirinya sendiri, karena tidak tega melihat raut wajah kebingungan milik Vinko."Apa kamu hamil?" tebak Vinko dengan cepat.Rania menggeleng. "Tidak ada hubungannya dengan itu," jawabnya. "Kamu tentu tahu, mustahil bagi kita untuk bersatu, meski aku sudah tidak lagi bersama Tama,""Kenapa?" Vinko mencengkeram pergelangan tangan Rania, seakan takut wanita itu tiba-tiba kabur. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" Dia lantas turun dari motornya secepat mungkin, dengan pandangan tak mau lepas dari Rania. "Apa ada yang mengancammu?" Vinko ganti mengguncang bahu Rania.Rania seketika melepas tangan Vinko di bahunya. "Berhenti menyalahkan orang lain, Vin. Ini semua tidak ada hubungannya dengan orang lain. Ini semua murni karena aku sudah tidak ingin berurusan lagi denganmu," cerca Rania, memasang wajah muak.Vinko diam, mengedipkan mata berusaha memikirkan segalanya. "Ada apa ini? Kenapa