Mada membunyikan klaksonnya, sebelum pergi meninggalkan Vinko dan Rania tepat di depan kampus mereka. Tanpa mau mengucapkan apapun, Rania berjalan cepat meninggalkan Vinko untuk kembali ke ruang dosen. Sadar jika sikap Rania berubah dingin sejak bertemu Mada, Vinko buru-buru mengejar dan menarik tangan wanita itu supaya berhenti."Ada apa lagi, Vin?" tukas Rania geram. Dia tidak suka Vinko memperlihatkan kedekatan mereka di kampus, dimana banyak mata yang mengawasi."Kamu kenapa?" tanya Vinko. "Tiba-tiba sikapmu berubah aneh,"Rania menggeleng. "Tidak ada yang berubah. Aku hanya tidak senang melihat Mada," Rania berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Vinko.Tapi pria itu tampak belum puas dengan jawaban Rania. "Tapi kenapa sampai sekarang kamu ketus padaku?""Aku tidak ketus," sambar Rania. "Demi Tuhan, Vinko! Kumohon lepaskan aku!" bentak Rania lirih. Dia melotot tajam memberi peringatan, karena takut Pak Viktor memergoki mereka.Tapi bukannya Pak Viktor yang tahu, justru Regin
Meskipun Arif cukup terkejut dengan fakta itu, tapi dia tidak akan bertanya kenapa. Sebagai seorang bos pemilik usaha kredit yang sangat berjaya, sudah pasti Tuan Hadi tidak akan bekerja keras untuk setia hanya pada satu wanita. Fakta ini juga membuat Arif mulai memaklumi segala sikap Tama yang tampak begitu dingin dan kejam."Dimana dia sekarang?" tanya Arif tenang.Sikap Arif membuat Laura keheranan. Dia kira, setidaknya pria itu akan memberikan respon atau ekspresi kaget setelah mendengar fakta itu. "Memang begini, ya, caranya pria tua merespon hal mengejutkan?" seloroh Laura, terus mengamati raut wajah Arif.Justru pertanyaan Lauralah yang membuat Arif terkejut. "Pria tua?" ulangnya.Dengan polosnya Laura mengangguk. Membuat Arif tak bisa menahan dirinya untuk tidak mengacak rambut Laura, sebagai perwakilan perasaan kesal nan gemas."Aku tidak menyangka, kamu begitu biasa saja mendengar fakta itu," aku Laura. "Tidak ada siapapun yang tahu selain keluarga inti kami,""Kenapa hal it
Lima tahun lalu …"Rania!" Terdengar seseorang berteriak memanggil Rania, di pagi hari yang masih begitu dingin.Rania berusaha merangkak sebisanya. Hari yang begitu berat ini akhirnya tiba. Setelah kemarin seharian dia berusaha membereskan barang-barang berharganya–yang hanya sekantong plastik kecil. Dia kelelahan fisik dan batinnya, membiarkan tubuhnya tergeletak tak berdaya mencoba untuk memejamkan mata.Ayahnya meninggal dengan sia-sia dan dia diusir dari rumahnya sendiri. Segala cobaan datang bertubi-tubi, diletakkan begitu saja di atas punggungnya. Rania mencoba bergerak dengan kemampuan tangannya yang masih begitu lemah dan mengantuk."Rania!" panggil orang itu lagi. Kini dia sudah ada di depan Rania, berdiri tanpa perasaan di depan kepala Rania yang tergeletak lemas. "Kamu baik-baik saja?" tegurnya, sedikit menepuk pelan pipi Rania.Rania hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas, sembari mencoba membuka mata untuk melihat siapakan orang itu."T-Tama?" gumamnya lirih.Tama seg
"Bukannya Tama sudah bilang kalau dia akan menikahimu?" tanya Arif heran melihat ekspresi kaget Rania.Rania mengangguk, masih dengan sikap polosnya. "Tapi aku tidak tahu kalau dia anak Tuan Hadi,"Arif memejamkan mata sejenak, lalu menghembuskan nafas. Dia membenci ayah Rania yang pengecut, tapi tak menyangka jika Rania juga menjengkelkan baginya karena sikap polosnya ini. Tanpa mau banyak bicara lagi, Arif bergegas mengajak Rania keluar dari dalam mobil, sebelum Tama menyadari jika Rania tertinggal di belakang."Apakah aku akan baik-baik saja?" tanya Rania, sepanjang perjalanan menuju rumah besar itu.Arif memasang ekspresi dingin. "Apakah hidup bersama ayahmu membuatmu baik-baik saja?" Dia justru balik bertanya, tanpa perasaan. Rania menunduk. Dia tidak ingin mengingat kembali tentang ayahnya, yang kini dengan tega membiarkannya hidup sendirian. Seumur hidup Rania bekerja keras sampai mengorbankan masa depannya demi sang ayah, tapi ayahnya justru memilih kabur."Kalian lama sekali
Tama mulai melangkah untuk masuk ke dalam rumah besarnya, yang kini akan dia tempati bersama Rania. Masih dengan perasaan takjub, Rania mengikuti langkah kaki Tama. Mereka berdua diam sambil berjalan melalui lorong-lorong yang panjang dan ruangan-ruangan yang indah. Rania merasa sedang berada di dalam istana dongeng, tetapi dia juga sadar bahwa ini adalah awal dari sebuah babak baru dalam hidupnya.Tiba-tiba Tama menghentikan langkahnya, setelah mereka sampai di lantai dua rumah besar itu. Dia menoleh ke belakang, menghadap Rania yang memang sejak awal membuntutinya."Ada apa?" tanya Rania polos.Tama memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Kamu mau sekamar denganku, atau punya kamar sendiri?" Pertanyaan itu meluncur tiba-tiba. Rania tidak bisa menahan rasa gugupnya, hingga wajahnya merona merah. "A-aku tidak tahu … ""Tinggal jawab," sambar Tama. Wajahnya dingin. "Jika kamu ingin sekamar denganku, aku akan suruh pelayan untuk membersihkannya dulu. Kalau kamu ingin kamar sendi
"Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini padaku?" tuntut Rania. Dia kembali teringat akan saat pertama pernikahannya, dimana meski Tama tetap dingin padanya, namun sikap pria itu sangat jauh lebih baik. "Ini bukanlah dirimu," tambah Rania, berusaha menarik kaki lecetnya yang tengah diobati oleh Tama.Tama paham maksud Rania, tapi dia tidak menanggapi. Mendapat penolakan yang membuat hatinya kecewa, membuat Tama beranjak dari ranjang untuk menjauh dari Rania."Apakah jika kita bercerai, kamu akan bersama Vinko?" tanya Tama tiba-tiba.Rania tertegun mendengar pertanyaan itu. Rania mencoba membaca raut wajah Tama yang tampak cemas dan bingung dalam satu waktu. Benar-benar bukan dirinya."Bukan urusanmu," timpal Rania dingin. "Yang pasti … tidak kembali bersama orang sepertimu,"Tama menelan ludah. Dia tidak menyangka ucapan Rania membuat hatinya tertohok sakit. Demi menjaga emosinya, Tama memutuskan untuk keluar dari kamar itu demi menyegarkan pikirannya. Meski tidak mau dia akui secara langsu
"Apa yang Mama lakukan tadi, hah?!" hardik Vinko, setelah mereka menutup butik dan hanya berdua saja.Nita mendorong tubuh Vinko, memaksanya untuk duduk di salah satu sudut. "Dengarkan Mama baik-baik, Vinko," Rahangnya mengeras, tegas. "Kalau kamu memang peduli dengan Mama dan sayang sama Mama, jangan pernah lagi bicara seperti itu di depan ayahmu. Apalagi jika itu semua berhubungan dengan Rania!" tegur Nita serius.Seumur hidup dia tidak pernah dibentak oleh Nita. Bahkan ketika dia berbuat onar yang berimbas pada nasibnya yang hampir dikeluarkan dari sekolah, Nita tidak pernah membentak. Namun kali ini terasa berbeda. Seakan Nita rela melakukan apapun demi membuat Vinko terus berada di sisi Tuan Hadi, terus diakui sebagai anaknya."Kita sudah sejauh ini. Sedikit lagi semua akan tercapai, hidupmu akan terjamin," Nita melanjutkan. "Apa susahnya menikahi Regina? Dia gadis yang cantik, baik. Lagipula kalian sudah mengenal sejak kecil,""Tapi aku mencintai Rania, Ma … " balas Vinko dengan
"Ran!" Vinko terus menggedor pintu, berharap setidaknya Rania membuka kaca mobil atau segera turun.Air mata Rania mengalir perlahan. Dia kembali teringat akan percakapan singkatnya bersama Tuan Hadi bulan lalu, tentang kesepakatan mereka. Meskipun dia mulai membuka hati perlahan untuk Vinko, namun dia harus segera sadar jika bersama Vinko bukanlah pilihan yang tepat.Lantas Rania menyambar botol kecil berisi racun yang ada digenggaman Tama. "Ya, aku memang berharap kamu mati," ujarnya. "Terimakasih sudah memberiku botol ini, karena selama ini kucari,"Tama makin menyeringai mendapatkan respon berani dari Rania. Meski di dalam hati dia cukup kecewa, karena Rania memang benar-benar hendak meracuninya. Setelah Rania keluar dari mobil, Tama dapat melihat Vinko berusaha menyusul langkah kaki Rania namun istrinya itu terus menghindar dan menolak bicara."Tuan, apa saya perlu membereskan Vinko?" tawar Arif, yang menangkap kegalauan tuannya."Tidak perlu," jawab Tama. "Seberapa keras kita be