Aldi memastikan bahwa ponselnya dan Ayuda di simpan di tempat yang aman. Penjaga La Royale nampak curiga saat melihat satu ponsel yang tak lain adalah milik Bowo. Ponsel itu memiliki layar yang sudah retak, belum lagi model lama yang tidak mencerminkan dirinya sebagai orang kaya yang bisa membayar sejumlah uang untuk masuk ke sana.“Kenapa?” sinis Aldi. Sengaja agar fokus penjaga itu pecah.“Ponsel itu memiliki nilai yang sangat tinggi untuk dia, bahkan kornea matamu tidak sebanding dengan harganya, jaga baik-baik. Ada banyak data penting di sana.”Aldi menggertak sekaligus memberi perintah, dia yakin penjaga La Royale semuanya bermental preman. Untuk menghadapi tipikal orang seperti itu, jelas dibutuhkan keberanian dan sedikit bersilat lidah. Aldi melihat ponsel mereka dimatikan. Ia lalu meminta chip yang akan digunakan untuk berjudi ke petugas, senilai uang yang sudah dia bayarkan.Aldi baru memutar badan, tapi Bowo sudah merampas beberapa chip dan berlari menuju meja judi yang dia
Jiwa meminta bantuan rekannya yang merupakan aparat. Pria itu jemawa dan sudah besar kepala berpikir bahwa dia akan membongkar hal yang besar. Namun, ada satu hal yang tak Jiwa sadari bahwa rekannya selama ini menerima tips besar dari perbuatan menyembunyikan dan melindungi La Royale. Hingga, Jiwa pun ditipu mentah-mentah. Rekannya itu menghubungi pengelola dan memberitahu bahwa mereka akan ke sana dalam waktu kurang dari satu jam. Benar saja, Jiwa berdiri dan tersenyum lebar melihat aparat datang dan langsung masuk ke dalam hotel itu. Mereka menuju ke ballroom dan dihadang oleh penjaga seperti tadi. “Ada apa ini, Pak?” tanya penjaga seolah bingung dengan apa yang terjadi. Ia melihat seringai puas terpulas di bibir Jiwa. “Kami ingin memeriksa ballroom ini, menyingkir!” titah aparat. “Tidak! Anda tidak bisa seenaknya melakukan itu.” Si Penjaga mencegah sekuat tenaga, tapi akhirnya harus dipaksa menyingkir dari depan pintu. “Habis kau!” ucap Jiwa diikuti tawa kemenangan. Sayang, k
Aldi bingung mencari keberadaan Ayuda. Ia kehilangan jejak, dia juga tidak bisa menghubungi karena ponsel mereka tertinggal di La Royale. Pria itu memilih mendekati penjaga ballroom, lantas bertanya apakah melihat wanita dengan ciri-ciri seperti Ayuda. "Suaminya membawa dia pergi," jawab penjaga. "Apa?" Aldi menyugar rambut frustrasi. Ia tak tahu kalau Jiwa mengajak Ayuda ke kamar, yang masih berada di hotel yang sama. __"Ya, aku menyukaimu!""Menyukaiku? Cih... Pandai sekali aktingmu," bibir Ayuda tertekuk mendengar jawaban Jiwa. "Kamu sepertinya pantas menjadi aktor, kamu bisa beradu akting dengan Wangi," sinisnya. Ayuda membuang muka seolah tak sudi berbicara sambil menatap suaminya. Jiwa yang kepalang tanggung sudah mengungkapkan perasaan mendorong tubuh Ayuda, hingga membentur dinding lift. "Apa yang mau kamu lakukan?" tanya Ayuda - yang merasa nyawanya sedang terancam. "Aku bilang aku menyukaimu, apa kamu tidak dengar?" Amuk Jiwa. "Beginikah sikapmu ke orang yang kamu
Jiwa yang kesal membawa mobil mewahnya melaju di jalanan dengan kecepatan tinggi. Ia merasa menjadi orang paling bodoh dan payah. Pria itu benar-benar menyukai Ayuda, dia terpikat pesona istri mudanya yang keras kepala, ketus dan sering seenaknya. Jiwa tak tahu kapan pastinya perasaan itu muncul dan bersemayam di hati. Namun, setiap kali melihat Ayuda tersenyum dia merasa terpesona. Dadanya serasa terbakar jika senyuman wanita itu ditujukan kepada orang lain terutama ke Raga.Sampai di depan istana sang papa, Jiwa menekan klakson berulang seolah tak sabar untuk masuk. Penjaga rumah sampai berlari tunggang langgang menghampiri. Namun, baru setengah pagar besi setinggi tiga meter itu terbuka, Jiwa sudah menerobos. Hal ini menyebabkan bagian samping mobilnya menabrak pagar yang belum terbuka sempurna, lampu bagian kiri pecah dan body mobil tergores cukup panjang.Penjaga hanya bisa melongo melihat apa yang baru saja terjadi, tatapannya tertuju pada anak sulung sang majikan yang turun lal
“Apa?”“Ayuda berjanji mau menemaniku makan mikurame, apa telingamu butuh corong?”“Brtt … “ Ayuda tak bisa menahan gelenyar geli yang menggelitiki perutnya karena ucapan Raga ke Jiwa barusan. Dia menggosok hidung lalu berdehem. “Hem … iya, aku mau menemani Raga makan,” ucapnya.“Kalau begitu aku juga akan makan bersama kalian.” Jiwa tak mau kalah.“Tapi Susi pasti hanya membeli dua bungkus,” kilah Raga.“Aku bisa memintanya pergi membeli lagi.”“Tidak boleh, dia harus memasakkannya untuk kami.”Ayuda benar-benar merasa dua kakak beradik ini sungguh kekanak-kanakan, hingga dia pun mendapat ide. Ayuda berpikir tidak akan ada satu pun di antara Jiwa atau Raga yang bisa menolak idenya ini. “Aku akan memasakkan mi itu untuk kalian, dan aku tidak akan ikut makan,”kata Ayuda.“Nah … kalau kamu tidak makan, biarkan saja dia makan sendiri. Ayo kita naik!” Jiwa meraih pergelangan tangan Ayuda dan hendak melangkahkan kaki.“Enak saja! tidak bisa, dia sudah berjanji menemaniku.” Raga bersuara.
“Pa-pa-papa, apa ini?”Malam itu Bowo pulang di antar oleh dua pengawal La Royale yang disewanya. Pria itu membawa satu tas besar berisi uang yang dia menangkan dari sana. Setelah kerusuhan di La Royale, Bowo memang memutuskan untuk tidak pulang. Terlebih dia memiliki banyak chip yang sudah ditukar oleh Aldi, sayang jika tidak dia pergunakan untuk berjudi.Sebelum menjawab pertanyaan Randy, Bowo memberikan satu gepok uang pecahan lima puluh ribuan ke pengawal La Royale sebagai jasa karena sudah mengantarnya dengan selamat ke rumah. Ia pun menutup pintu lalu menggandeng putranya untuk masuk ke kamar.“Ini uang yang Papa menangkan dari La Royale, kali ini Papa tidak mau bodoh. Papa berhenti main saat Papa sudah menang. Di sini ada tujuh ratus juta Randy, kamu bisa kuliah.”Bowo tersenyum senang dan mengguncang tubuh putranya. Randy sendiri sampai hampir menangis dibuatnya, pemuda itu merasa bahagia sekaligus sedih di saat yang bersamaan. Papanya benar-benar memikirkan kuliahnya dan ini
Jiwa menoleh saat pintu terbuka dan memandang datar wajah Ayuda. Selang infus nampak masih terpasang di tangan kiri pria itu, Jiwa merasa sial karena istri ke duanya itu malah datang ke rumah sakit. Padahal dia berencana pulang setelah dokter melakukan kunjungan sekitar jam sebelas nanti.Ayuda berdiri tepat di samping ranjang Jiwa, dia melihat sarapan pria itu yang masih utuh di atas nakas. Melihat wajah Jiwa yang sedikit pucat, Ayuda urung melancarkan aksi untuk mengata-ngatai suaminya itu. Ia menarik kursi lalu duduk di samping ranjang Jiwa. Meski tak tega, tapi Ayuda merasa malu jika harus memberi perhatian pria ini, dan pada akhirnya dia tetap saja menyindir.“Lihat! apa gunanya menikah kalau saat sakit saja istrimu masih sibuk bekerja.”Jiwa diam. Ia menatap lekat Ayuda dan membiarkan wanita itu berbicara seenaknya. Ayuda yang ditatap seperti itu pun merasa salah tingkah, akan lebih baik jika Jiwa ketus atau mengusirnya dari kamar perawatan itu.“Hanya makan mi instan saja sampa
Baru kali ini Ayuda bisa diam karena ancaman Jiwa. Ia akhirnya naik ke atas ranjang dan berbaring. Ayuda bukannya takut dengan ucapan sang suami, hanya saja dia merasa sangat malas berdebat malam itu. Ayuda merasakan satu perasaan aneh, dia benci sekaligus kasihan melihat Jiwa. Pria itu seperti terlalu terbebani dengan banyak hal, mulai dari orangtua yang suka membandingkan, diremehkan oleh papanya sendiri, juga istri yang sangat dicintai tapi memanfaatkan.“Enak bukan punya dua istri? saat kamu kesal dengan yang satu kamu bisa tidur di kamar yang lain,” sindir Ayuda.“Hanya berlaku jika yang satu juga bisa menerimaku dengan baik, masalahnya tidur di kamar istri ke duaku seperti uji nyali. Bagaimana kalau aku dicekik sampai mati?”Jiwa dan Ayuda menoleh bersamaan hingga tatapan mereka beradu. Jiwa menipiskan bibir, sedangkan Ayuda malah tergelak. Wanita itu meluruskan pandangan menatap langit-langit kamar. Berpikir, baik dirinya dan Jiwa ternyata sama-sama punya sifat suka menyindir.