Ayuda terbaring lemah menunggu putri cantiknya yang sedang dibersihkan oleh bidan. Wajah lelahnya membuat bik Nini merasa kasihan hingga menawari minum. Namun, dia menolak dan meminta pembantunya itu untuk mengawasi saja putrinya yang sedang mendapat perawatan.Beberapa jam kemudian, Ayuda sudah diperbolehkan pulang. Dengan tubuhnya yang masih terasa lelah, dia sudah mulai belajar menyusui anaknya dibantu bik Nini.“Dia sangat mirip dengan Anda, Nona. Apa Anda sudah menyiapkan nama untuknya?” tanya bik Nini setelah mengganjal punggung Ayuda dengan satu bantal agar lebih nyaman.“Surinala Flair Zivanya, anak perempuan yang memiliki kepribadian cantik dan bercahaya,” ucap Ayuda dengan senyum lebar. Ia mengecup lembut pipi Nala. Ayuda masih tak percaya dirinya yang keras kepala seperti batu, bisa mengandung dan melahirkan bayi lucu seperti ini.“Bik, apa aku sudah jadi ibu?”“Iya Nona, Anda sudah menjadi ibu.”“Ini masih seperti mimpi,” lirih Ayuda._Jiwa masih teguh dengan pendiriannya
“Pindah? Kenapa?”Ayuda masih di atas ranjang sambil menimang sang putri, dia kebingungan setelah mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Ari. Pria yang beberapa bulan ini seperti menggantikan posisi Aldi itu berkata bahwa Ramahadi menginginkannya pindah ke penthouse secepatnya.“Papa membelikan sebuah penthouse untukku?”Ayuda tak percaya, sedangkan bik Nini yang ada di sana merapikan baju milik Nala hanya bisa menelinga. Sebagai pembantu orang kaya, dia jelas tahu apa yang dimaksud dengan penthouse. Hunian yang biasanya berada di bagian paling atas gedung apartemen itu berharga jauh lebih mahal dibandingkan bangunan di bawahnya. Tak sembarang orang yang bisa memiliki hunian seperti itu, jadi jika Ramahadi yang kaya raya membelikannya untuk Ayuda hal itu wajar-wajar saja.“Untuk Apa Papa membelikan penthouse?” Ayuda masih bertanya-tanya, dia pandangi wajah Nala yang terlelap, pipi bayi itu nampak kemerah-merahan dan membuatnya semakin cantik.“Apa mungkin hadiah untuk Nala?” ba
Bagai orang yang tak memiliki dosa, Jiwa pulang ke rumah larut malam. Ia menaiki anak tangga pelan-pelan hingga suara tapak kakinya nyaris tak terdengar. Jiwa terus menunduk seolah memerhatikan langkah. Bibirnya tersenyum masam, kesepian adalah teman setia baginya semenjak Ayuda pergi. Hingga, saat dia baru saja merebahkan tubuh di atas ranjang bekas kamar Ayuda, suara Raga terdengar menggelegar. Adiknya itu ternyata belum tidur dan sengaja menunggunya pulang.“Jiwa, dasar brengsek. Kenapa kamu tidak datang? Sialan, Sienna marah karena mengira aku yang memesan PSK itu.”Raga yang sudah mengomel terdiam mendapati Jiwa terlentang dengan sebelah lengan menutup mata. Hatinya seketika merasa iba, perasaan marah yang sudah dia tahan sejak tadi menguap bak buih melihat sang kakak seperti itu.“Kita bertengkarnya besok saja. Aku lelah,” lirih Jiwa.Raga membuang napas kasar, sejak kecil dia sama sekali belum pernah melihat Jiwa serapuh ini. Bahkan saat menghadapi masalah, Jiwa tak pernah menu
Meski benci ke Bowo, tapi hari itu Dira terpaksa menemui pria itu di rumahnya. Dira ingin Bowo membantunya sebagai ayah tiri untuk menerima lamaran dari Aldi.“Kamu, mau nikah sama dia?”Bowo melongo, mukanya jadi bego bahkan Randy sampai harus menyenggol lengan sang papa untuk menyadarkan agar tidak bersikap seperti itu di depan Dira dan Aldi.“Kenapa? aku dan mas Aldi saling cinta, untuk apa pacarana lama-lama,” jawab Dira sedikit ketus, seharusnya dia bersikap manis karena sedang meminta bantuan.Tak terdengar kapan berhubungan dan kini mau lamaran jelas membuat Bowo kebingungan. Dia pandangi Aldi yang hari itu memakai pakaian kasual, karena biasanya pria itu mengenakan setelan jas rapi saat menemuinya.“Kapan kalian pacarannya?”Akhirnya Randy memberanikan diri bertanya, dia memang beberapa kali bertemu dengan Dira. Randy menyadari di mana ada kakaknya pasti ada Aldi.“Tiga bulan yang lalu, kenapa?” Dira menjawab masih dengan nada tak bersahabat. “Aku ingin menikah sama mas Aldi,
"Dia sangat mirip denganmu," ucap Ramahadi. "Dan juga Jiwa."Semenjak Ayuda bersembunyi, pria itu memang tak pernah menyinggung soal putra sulungnya. Ramahadi berusaha menjaga perasaan Ayuda agar tak terbebani dengan tak membahas Jiwa. Namun, kali ini tentu berbeda. Cucunya sudah lahir dan Jiwa pun sudah berpisah dengan Wangi, Ramahadi ingin berusaha mendekatkan keduanya. "Bik Nini juga mengatakan hal yang sama,"jawab Ayuda, dia pandangi Nala yang masih berada di gendongan sang mertua. Ayuda berpikir, haruskah dia bertemu dengan Jiwa? Pria itu pasti sudah bahagia dengan Wangi. Ia beranggapan keduanya masih bersama. Sementara itu, Ramahadi juga tidak pernah membahas perpisahan Jiwa dan Wangi. Bukannya tak ingin bercerita, tapi dia ingin Ayuda tahu dengan sendirinya. "Minggu depan, apakah aku harus datang ke perusahaan, Pa? Aku sedikit ragu. "Ayuda mulai berbicara hal serius, hingga Ramahadi memanggil nama bik Nini untuk bisa mengambil alih Nala dari gendongannya. Ia meminta wanita
Hari itu Ayuda gelisah, dia sudah menggunakan setelan kerja rapi. Bahkan semalam selain menyiapkan bahan presentasi yang akan dia sampaikan saat rapat di RG group, Ayuda juga menyiapkan diri jika sampai berhadap-hadapan langsung dengan Jiwa. Namun, saat dia selesai sarapan dan hendak berangkat, entah kenapa Nala rewel. Putrinya itu terus menangis dan bahkan tidak mau menyusu. “Apa dia tahu aku akan pergi kerja ya, Bi?” Ayuda menimang Nala dan menepuk punggung bayi yang belum genap berumur satu bulan itu. “Atau dia tidak ingin aku bertemu Jiwa.” Bik Nini yang dimintai pendapat jelas menyanggah dua kemungkinan itu. Baru kemarin Ayuda bersemangat untuk menghadapi apa yang akan terjadi hari ini. Ia juga mendapat pesan dari Ramahadi agar membuat Ayuda berani kembali menjalani rutinitas yang sempat dia tinggalkan. Jadi, bik Nini mencoba membantu menenangkan Nala. Ia mengambil alih bayi itu yang lagi-lagi menangis saat berpindah tangan dari sang mama. “Nala sayang, Mommy cuma bentar kok. S
Tatapan mata Jiwa tak sedetikpun terlepas dari sosok Ayuda yang masih berdiri di ambang pintu. Wanita yang dengan tega meninggalkannya itu terlihat jelas tak ingin memandang ke arahnya. Ayuda seolah menghindari kontak mata dengan Jiwa, dan bergegas menuju bagian depan ruangan untuk memulai presentasi.Semua orang yang hadir di rapat itu pun menyimak dengan seksama, setiap penjelasan Ayuda yang dirasa sangat cerdas membuat mereka menganggukkan kepala. Ramahadi bahkan tersenyum senang dengan kepercayaan diri sang menantu, begitu juga Raga yang sibuk menyembunyikan tawa bahagianya. Pria itu berpikir selama ini pasti papanya lah yang membantu Ayuda bersembunyi.Raga melirik Jiwa, kakaknya itu terus memandangi Ayuda dengan ekspresi datar. Hingga dengan jelas dia memergoki pandangan dua orang itu bersirobok. Raga tersenyum miring bersamaan dengan Ayuda menutup presentasinya.Wanita itu menunduk mengucapkan terima kasih ke semua orang. Hal yang membuat Jiwa tercengang karena Ayuda sama sekal
Pertemuan antara dua orang yang saling merindu seharusnya penuh romansa. Pelukan, sapaan hangat yang keluar dari lisan, atau sekadar tatapan penuh kasih yang bisa mengungkapkan segala hasrat yang tertahan di dada.Namun, semua itu hanya angan semu yang tidak mungkin bisa Ayuda dapatkan. Jiwa, pria itu malah melempar tatapan dingin penuh kebencian kepadanya.‘Dia memang pantas melakukan itu, dan aku juga pantas mendapatkannya’Ayuda bergelut dengan pikirannya sepanjang perjalanan pulang. Ari yang tahu sesuatu yang kurang mengenakan pasti telah terjadi memilih menutup mulut. Hingga Ayuda tersadar dari lamunan dan mengingat putrinya.“Apa bisa cepat sedikit, aku takut Nala masih saja rewel.”Ayuda panik bahkan menggigit kuku ibu jarinya. Ia juga harus menahan rasa nyeri di bagian payudara karena seharusnya Nala sudah mendapatkan ASI lagi.__Setelah tak bisa mengejar Ayuda, Jiwa memutuskan menuju ruang kerja Ramahadi. Sambil melonggarkan simpul dasi di leher, Jiwa memikirkan pertanyaan