Meski benci ke Bowo, tapi hari itu Dira terpaksa menemui pria itu di rumahnya. Dira ingin Bowo membantunya sebagai ayah tiri untuk menerima lamaran dari Aldi.“Kamu, mau nikah sama dia?”Bowo melongo, mukanya jadi bego bahkan Randy sampai harus menyenggol lengan sang papa untuk menyadarkan agar tidak bersikap seperti itu di depan Dira dan Aldi.“Kenapa? aku dan mas Aldi saling cinta, untuk apa pacarana lama-lama,” jawab Dira sedikit ketus, seharusnya dia bersikap manis karena sedang meminta bantuan.Tak terdengar kapan berhubungan dan kini mau lamaran jelas membuat Bowo kebingungan. Dia pandangi Aldi yang hari itu memakai pakaian kasual, karena biasanya pria itu mengenakan setelan jas rapi saat menemuinya.“Kapan kalian pacarannya?”Akhirnya Randy memberanikan diri bertanya, dia memang beberapa kali bertemu dengan Dira. Randy menyadari di mana ada kakaknya pasti ada Aldi.“Tiga bulan yang lalu, kenapa?” Dira menjawab masih dengan nada tak bersahabat. “Aku ingin menikah sama mas Aldi,
"Dia sangat mirip denganmu," ucap Ramahadi. "Dan juga Jiwa."Semenjak Ayuda bersembunyi, pria itu memang tak pernah menyinggung soal putra sulungnya. Ramahadi berusaha menjaga perasaan Ayuda agar tak terbebani dengan tak membahas Jiwa. Namun, kali ini tentu berbeda. Cucunya sudah lahir dan Jiwa pun sudah berpisah dengan Wangi, Ramahadi ingin berusaha mendekatkan keduanya. "Bik Nini juga mengatakan hal yang sama,"jawab Ayuda, dia pandangi Nala yang masih berada di gendongan sang mertua. Ayuda berpikir, haruskah dia bertemu dengan Jiwa? Pria itu pasti sudah bahagia dengan Wangi. Ia beranggapan keduanya masih bersama. Sementara itu, Ramahadi juga tidak pernah membahas perpisahan Jiwa dan Wangi. Bukannya tak ingin bercerita, tapi dia ingin Ayuda tahu dengan sendirinya. "Minggu depan, apakah aku harus datang ke perusahaan, Pa? Aku sedikit ragu. "Ayuda mulai berbicara hal serius, hingga Ramahadi memanggil nama bik Nini untuk bisa mengambil alih Nala dari gendongannya. Ia meminta wanita
Hari itu Ayuda gelisah, dia sudah menggunakan setelan kerja rapi. Bahkan semalam selain menyiapkan bahan presentasi yang akan dia sampaikan saat rapat di RG group, Ayuda juga menyiapkan diri jika sampai berhadap-hadapan langsung dengan Jiwa. Namun, saat dia selesai sarapan dan hendak berangkat, entah kenapa Nala rewel. Putrinya itu terus menangis dan bahkan tidak mau menyusu. “Apa dia tahu aku akan pergi kerja ya, Bi?” Ayuda menimang Nala dan menepuk punggung bayi yang belum genap berumur satu bulan itu. “Atau dia tidak ingin aku bertemu Jiwa.” Bik Nini yang dimintai pendapat jelas menyanggah dua kemungkinan itu. Baru kemarin Ayuda bersemangat untuk menghadapi apa yang akan terjadi hari ini. Ia juga mendapat pesan dari Ramahadi agar membuat Ayuda berani kembali menjalani rutinitas yang sempat dia tinggalkan. Jadi, bik Nini mencoba membantu menenangkan Nala. Ia mengambil alih bayi itu yang lagi-lagi menangis saat berpindah tangan dari sang mama. “Nala sayang, Mommy cuma bentar kok. S
Tatapan mata Jiwa tak sedetikpun terlepas dari sosok Ayuda yang masih berdiri di ambang pintu. Wanita yang dengan tega meninggalkannya itu terlihat jelas tak ingin memandang ke arahnya. Ayuda seolah menghindari kontak mata dengan Jiwa, dan bergegas menuju bagian depan ruangan untuk memulai presentasi.Semua orang yang hadir di rapat itu pun menyimak dengan seksama, setiap penjelasan Ayuda yang dirasa sangat cerdas membuat mereka menganggukkan kepala. Ramahadi bahkan tersenyum senang dengan kepercayaan diri sang menantu, begitu juga Raga yang sibuk menyembunyikan tawa bahagianya. Pria itu berpikir selama ini pasti papanya lah yang membantu Ayuda bersembunyi.Raga melirik Jiwa, kakaknya itu terus memandangi Ayuda dengan ekspresi datar. Hingga dengan jelas dia memergoki pandangan dua orang itu bersirobok. Raga tersenyum miring bersamaan dengan Ayuda menutup presentasinya.Wanita itu menunduk mengucapkan terima kasih ke semua orang. Hal yang membuat Jiwa tercengang karena Ayuda sama sekal
Pertemuan antara dua orang yang saling merindu seharusnya penuh romansa. Pelukan, sapaan hangat yang keluar dari lisan, atau sekadar tatapan penuh kasih yang bisa mengungkapkan segala hasrat yang tertahan di dada.Namun, semua itu hanya angan semu yang tidak mungkin bisa Ayuda dapatkan. Jiwa, pria itu malah melempar tatapan dingin penuh kebencian kepadanya.‘Dia memang pantas melakukan itu, dan aku juga pantas mendapatkannya’Ayuda bergelut dengan pikirannya sepanjang perjalanan pulang. Ari yang tahu sesuatu yang kurang mengenakan pasti telah terjadi memilih menutup mulut. Hingga Ayuda tersadar dari lamunan dan mengingat putrinya.“Apa bisa cepat sedikit, aku takut Nala masih saja rewel.”Ayuda panik bahkan menggigit kuku ibu jarinya. Ia juga harus menahan rasa nyeri di bagian payudara karena seharusnya Nala sudah mendapatkan ASI lagi.__Setelah tak bisa mengejar Ayuda, Jiwa memutuskan menuju ruang kerja Ramahadi. Sambil melonggarkan simpul dasi di leher, Jiwa memikirkan pertanyaan
Ayuda berbaring dan memandangi Nala sesampainya di rumah. Ia bersyukur karena sang putri bisa tidur meski tadi sempat rewel. Merasa Nala bisa untuk ditinggalkan, Ayuda bergegas mengganti baju, dia mengambil pompa ASI untuk meringankan rasa penuh di payudaranya.Ayuda mencoba menyamankan dirinya dengan duduk di sofa, dia memakai pompa model handsfree sehingga tangannya masih bisa mengerjakan hal yang lain.Ayuda membuka ponsel, ada sebuah berita yang mungkin akan mengejutkan dia di sosial media. Namun, suara lembut bik Nini lebih dulu mengalihkan pandangannya.“Non, Apa Nona mau dibuatin sayur daun katuk lagi?”Ayuda menoleh lantas mengangguk, tentu saja dia tidak akan menolak masakan berbahan daun yang dipercaya memilik khasiat untuk memperbanyak dan memperlancar ASI itu. Ia butuh stok ASIP di freezer, karena dia harus berjaga-jaga. Mungkin saja sebentar lagi harus meninggalkan Nala bekerja.“Apa Nona tadi bertemu dengan Tuan muda Jiwa?” Tanya bik Nini penuh kehati-hatian. Ia tidak in
Ayuda memberikan Nala ke gendongan Jiwa, meski dengan sedikit rasa takut dan tangan gemetar pria itu akhirnya bisa menggendong putri kandungnya. Nala bahkan nampak tenang dan hanya menggeliat kecil. Ayuda sendiri tak kuasa menahan haru, apalagi dia melihat Jiwa meneteskan air mata, pria itu mengangkat sedikit pundak kanannya untuk mengusap air mata itu.“Kamu beri nama siapa dia?”“Surinala Flair Zivanya, panggilannya Nala.”“Nama yang cantik,” puji Jiwa setelahnya menempelkan hidung ke pipi Nala.Ayuda sendiri memilih keluar, dia bingung bagaimana menghadapi situasi yang sedikit canggung ini, dan sekaligus ingin memberikan kesempatan Jiwa untuk bisa berduaan dengan sang putri. Dia memilih menyiapkan makan malam, meskipun sesekali menoleh ke belakang karena terlalu penasaran apa yang Jiwa lakukan di kamar.“Bi, bisa tidak periksa mereka sedang apa di dalam!”Bukannya langsung menuruti perintah sang Nona, bi Nini malah menggoda. Wanita itu meminta Ayuda mengecek sendiri, siapa tahu Jiw
“Rindu? Tidak!”Ayuda menjawab diikuti gelengan kepala. Ia duduk di kursinya dengan sikap cuek, meski begitu tetap menyodorkan sayur dan lauk ke Jiwa.“Aku tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal lain kecuali Nala. Kamu pasti tahu, ada orang yang tidak menginginkan anak itu lahir.” Ayuda berbicara tanpa menatap wajah Jiwa, dia fokus dengan sayur dan lauk di piring dan mulai menyantapnya.“Begitukah? Jadi hanya aku sendiri yang menyimpan perasaan ini.”Jiwa mengangguk sambil melihat ke piring. Hatinya patah mendengar ucapan Ayuda.“Aku pikir kamu benar-benar mencintaiku, tapi ternyata semua itu palsu.”Ayuda diam, dia hanya mengerjab lantas memasukkan nasi ke dalam mulut. Wanita itu tak ingin membahas masalah hati dengan Jiwa, meski sebenarnya dia ingin berteriak kegirangan mendapati kenyataan Jiwa masih menyimpan perasaan untuknya.“Kita belum bercerai Ayuda, aku juga tidak akan menceraikanmu. Aku akan mengurus kartu keluarga kita.” Cara bicara Jiwa terdengar tegas dan diktator. Ia