“Rindu? Tidak!”Ayuda menjawab diikuti gelengan kepala. Ia duduk di kursinya dengan sikap cuek, meski begitu tetap menyodorkan sayur dan lauk ke Jiwa.“Aku tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal lain kecuali Nala. Kamu pasti tahu, ada orang yang tidak menginginkan anak itu lahir.” Ayuda berbicara tanpa menatap wajah Jiwa, dia fokus dengan sayur dan lauk di piring dan mulai menyantapnya.“Begitukah? Jadi hanya aku sendiri yang menyimpan perasaan ini.”Jiwa mengangguk sambil melihat ke piring. Hatinya patah mendengar ucapan Ayuda.“Aku pikir kamu benar-benar mencintaiku, tapi ternyata semua itu palsu.”Ayuda diam, dia hanya mengerjab lantas memasukkan nasi ke dalam mulut. Wanita itu tak ingin membahas masalah hati dengan Jiwa, meski sebenarnya dia ingin berteriak kegirangan mendapati kenyataan Jiwa masih menyimpan perasaan untuknya.“Kita belum bercerai Ayuda, aku juga tidak akan menceraikanmu. Aku akan mengurus kartu keluarga kita.” Cara bicara Jiwa terdengar tegas dan diktator. Ia
“Tapi Aldi masih menjaganya ‘kan?” “Aku tidak tahu, aku tidak memikirkan orang lain karena aku sendiri sakit saat kamu pergi begitu saja.” “Wangi akan menikah tahun depan, apa kamu sudah tahu?” Ayuda bertanya ke Jiwa. Ia sejatinya penasaran, benarkah Jiwa sudah melupakan sosok wanita yang sejak remaja dipujanya itu. “Dengan pria pengusaha itu, bukan? aku sejak awal sudah tahu hubungan mereka, jadi wajar jika dia akan cepat menikah.” Jiwa semakin mendekat dan memeluk Ayuda. Ia benar-benar merasa seperti mimpi bisa memeluk wanita yang sangat dicintaiya lagi. “Aku harus menyusui Nala, dia harus minum ASI dua jam sekali.” Ayuda berusaha mengurai pelukan, dia pikir akan susah lepas dari bayi besarnya, tapi ternyata tidak. Jiwa sepertinya mengalah jika itu tentang sang putri. “Kamu tidurlah! atau mau pulang?” tanya Ayuda sambil bangkit lalu duduk di sisi ranjang sebelah Nala. Dia angkat tubuh putrinya itu pelan-pelan dan Nala pun menggeliat. “Apa kamu mengusirku? Aku mau di sini sampai
Ayuda merasa bersalah. Jiwa ternyata pulang dan bik Nini bahkan sudah memandikan Nala. Wanita itu mengambil alih putrinya dari gendongan bik Nini lalu memberinya ASI seperti biasa. Sesekali Ayuda melirik sang pembantu, dia malu memikirkan apa yang mungkin bik Nini kira.“Kapan Jiwa pergi, Bi?”Ayuda berbasa-basi, dia sedikit mengubah posisi Nala sambil harap-harap cemas menunggu bik Nini menjawab pertanyaannya.“Jam enam tadi, tuan muda bilang Nona tidur sangat nyeyak, jadi dia tidak tega untuk membangunkan.”“Maaf ya, Bi! Semalam berapa kali Nala bangun?”“Non Nala cuma bangun pas saya beri ASIP, selebihnya dia tidur nyeyak. Sepertinya dia juga tahu kalau papa dan mamanya sedang butuh waktu berduaan setelah sekian lama.”Ayuda mengulum bibir, bik Nini pasti tahu kalau dia dan Jiwa hanya tidur bersama dan tak melakukan apa-apa.Seusai memberi ASI Nala, Ayuda berniat pergi membersihkan diri. Namun, baru saja mengambil handuk, suara Jiwa kembali terdengar menyapa bik Nini. Ayuda dengan
“Aku tidak jadi berangkat kerja.”“Hei, kenapa?”Jiwa meletakkan jasnya ke sandaran kursi meja rias Ayuda, dia mendekat dan merebahkan diri di samping wanita itu yang sedang memberi ASI Nala.“Mau di sini saja melihatmu dan Nala.”“Kamu pikir kami tontonan?”Ayuda menggeleng tak percaya. Ia tutup bajunya setelah Nala kenyang. Dengan cekatan mengambil burb cloth dan meletakkannya di pundak. Ia tegakkan tubuh Nala dan menepuk punggungnya lembut.“Kamu apakan dia, Ayuda?” tanya Jiwa yang heran, dia bingung kenapa punggung putrinya ditepuk-tepuk setelah diberi ASI.“Ini namanya disendawakan agar dia lega.”Bahu Jiwa mengedik, dia heran sejak kapan Ayuda tahu banyak hal tentang cara mengasuh bayi. Jiwa keponya pun meronta, mungkinkah selama melarikan diri darinya Ayuda belajar banyak hal?“Kamu sangat berbeda jauh, bukan seperti Ayudaku yang dulu, tapi aku tetap sangat mencintaimu.”“Gombal!” sergah Ayuda. Ia tersenyum miring mencibir lalu membaringkan Nala. “Sudah sana berangkat kerja, ka
Linda pergi meninggalkan Ayuda dan Jiwa, dia memandangi bik Nini yang sedang menggendong Nala. Wanita itu masih saja merasa mantan pembantunya itu musuh, tak ingat bahwa karena bik Nini lah rahasianya bisa tertutup rapat selama ini. Jika sata bik Nini orang yang jahat tentu saja mulutnya bisa dengan mudah memberitahu Ramahadi kalau dirinya memiliki anak dari pria lain. Namun, bukankah ini sama saja dengan menyakiti hati Tiara? Bik Nini jelas tidak ingin putri yang selama ini dia besarkan dengan penuh kasih sayang menjadi sedih, atau bahkan menyesali kelahirannya di dunia. Bik Nini tidak mau jika sampai Tiara berpikir dia dibuang dan tak bernilai. “Lihat ini cucumu, cantik ‘kan?” Ramahadi menimang Nala di gendongan, dia perlihatkan bayi mungil itu Linda yang berkata akan mencuci tangan dulu. Ia bahkan menyindir Ramahadi yang tidak tahu bagaimana SOP memegang bayi. Bik Nini tertawa melihat Ramahadi diomeli Linda. Ia mohon izin untuk membuatkan minuman, dan tanpa sengaja berpapasan de
Jiwa dan Ramahadi terus memandangi Linda dan Ayuda yang terlihat sibuk mengobrol dengan Nala yang ada dipangkuan Ayuda. Dua wanita itu nampaknya sibuk membahas permasalahan seputar bayi. Jika dilihat seperti ini keduanya nampak harmonis. Tipikal mertua dan mantu idaman.“Pa, aku berencana membangun rumah untuk kami tempati bertiga, jadi sampai rumah itu jadi izinkan Ayuda tetap tinggal di sini.”“Penthouse ini hadiah untuk Nala, jadi tidak perlu izin untuk menempati atau pergi dari sini,”timpal Ramahadi. “Memangnya Ayuda sudah mau menerimamu kembali?” selidiknya.“Dia mencintaiku, Pa. Dan aku lebih mencintainya.” Jiwa tersenyum lebar, hingga tanpa sengaja tatapan matanya bersirobok dengan Ayuda. Wanita itu mengerutkan kening, tapi tak lama tersenyum malu-malu.Setelah Ramahadi dan Linda pulang, Ayuda memilih untuk membantu bik Nini membersihkan rumah. Meski sudah dilarang, tapi tetap saja Ayuda yang sekarang sudah memiliki sifat keibuan. Tangannya gatal melihat penyedot debu diam, sam
“Dia bukan Ayuda.”Mata Raga terus menatap ke arah Dira, tak lama gadis itu nampak melambaikan tangan hingga Raga dan Sienna pun menoleh. Benar saja, di belakang mereka ada Aldi yang juga melambaikan tangan. Pria itu kaget mendapati Raga ada di sana.“Apa kak Ayuda kembar?” Sienna sudah bisa menerka tapi memilih bertanya lagi.“Ya, dia kembar.”Raga menjawab sambil terus memandang Aldi, kini mereka berdiri berhadapan. Aldi mendekat saat melihat adik ipar sang atasan berada di pusat perbelanjaan yang sama.Awalnya Dira dibuat mengerutkan kening, tapi setelah menyadari pria itu Raga Ramahadi, dia ikut berdiri di samping Aldi.“Sudah lama tidak bertemu,”ucap Aldi.“Hem … semenjak Ayuda pergi kamu memang tidak pernah menampakkan diri lagi di rumah.”“Untuk apa? tidak ada yang bisa aku kerjakan di sana.”Jawaban Aldi menimbulkan geli di perut Raga. Ia tertawa lantas memukul kecil dada pria di depannya ini. Mereka saling memindai wajah masing-masing sebelum Aldi memperkenalkan Dira.“Dia Di
“Dasar jahat!kenapa kamu pergi?” Dira masuk ke dalam dan langsung memukul lengan Ayuda, dengan air mata yang membasahi pipi dia terus memukul, sedangkan Ayuda hanya bisa berjalan mundur ke belakang. Jiwa hampir menarik Dira agar tak melakukan itu ke istrinya, tapi lebih dulu Dira memeluk Ayuda. Keduanya saling berpelukan erat lalu menangis bersama. Semua orang yang melihat jelas ikut merasakan keharuan, bahkan Sienna sampai melongo melihatnya. “Sial, apa kamu tidak pulang karena sudah rukun kembali dengan Ayuda?” Raga memberikan barang bawaannya ke pelukan Jiwa. Ia masuk ke dalam dan memindai isi penthouse milik Ayuda. Pria itu pikir sang kakak akan frustrasi karena Ayuda dingin saat rapat design kemarin, ternyata salah. Jiwa nampak segar bahkan semringah. “Maaf, bukan maksudku begitu, tapi aku harus memastikan anakku aman,”bisik Ayuda. Ia mengurai pelukan karena Aldi sudah berdiri tak jauh darinya. Sekretarisnya itu diam, memasang muka dingin karena ingin Ayuda tahu kalau diriny