Hari itu Ayuda gelisah, dia sudah menggunakan setelan kerja rapi. Bahkan semalam selain menyiapkan bahan presentasi yang akan dia sampaikan saat rapat di RG group, Ayuda juga menyiapkan diri jika sampai berhadap-hadapan langsung dengan Jiwa. Namun, saat dia selesai sarapan dan hendak berangkat, entah kenapa Nala rewel. Putrinya itu terus menangis dan bahkan tidak mau menyusu. “Apa dia tahu aku akan pergi kerja ya, Bi?” Ayuda menimang Nala dan menepuk punggung bayi yang belum genap berumur satu bulan itu. “Atau dia tidak ingin aku bertemu Jiwa.” Bik Nini yang dimintai pendapat jelas menyanggah dua kemungkinan itu. Baru kemarin Ayuda bersemangat untuk menghadapi apa yang akan terjadi hari ini. Ia juga mendapat pesan dari Ramahadi agar membuat Ayuda berani kembali menjalani rutinitas yang sempat dia tinggalkan. Jadi, bik Nini mencoba membantu menenangkan Nala. Ia mengambil alih bayi itu yang lagi-lagi menangis saat berpindah tangan dari sang mama. “Nala sayang, Mommy cuma bentar kok. S
Tatapan mata Jiwa tak sedetikpun terlepas dari sosok Ayuda yang masih berdiri di ambang pintu. Wanita yang dengan tega meninggalkannya itu terlihat jelas tak ingin memandang ke arahnya. Ayuda seolah menghindari kontak mata dengan Jiwa, dan bergegas menuju bagian depan ruangan untuk memulai presentasi.Semua orang yang hadir di rapat itu pun menyimak dengan seksama, setiap penjelasan Ayuda yang dirasa sangat cerdas membuat mereka menganggukkan kepala. Ramahadi bahkan tersenyum senang dengan kepercayaan diri sang menantu, begitu juga Raga yang sibuk menyembunyikan tawa bahagianya. Pria itu berpikir selama ini pasti papanya lah yang membantu Ayuda bersembunyi.Raga melirik Jiwa, kakaknya itu terus memandangi Ayuda dengan ekspresi datar. Hingga dengan jelas dia memergoki pandangan dua orang itu bersirobok. Raga tersenyum miring bersamaan dengan Ayuda menutup presentasinya.Wanita itu menunduk mengucapkan terima kasih ke semua orang. Hal yang membuat Jiwa tercengang karena Ayuda sama sekal
Pertemuan antara dua orang yang saling merindu seharusnya penuh romansa. Pelukan, sapaan hangat yang keluar dari lisan, atau sekadar tatapan penuh kasih yang bisa mengungkapkan segala hasrat yang tertahan di dada.Namun, semua itu hanya angan semu yang tidak mungkin bisa Ayuda dapatkan. Jiwa, pria itu malah melempar tatapan dingin penuh kebencian kepadanya.‘Dia memang pantas melakukan itu, dan aku juga pantas mendapatkannya’Ayuda bergelut dengan pikirannya sepanjang perjalanan pulang. Ari yang tahu sesuatu yang kurang mengenakan pasti telah terjadi memilih menutup mulut. Hingga Ayuda tersadar dari lamunan dan mengingat putrinya.“Apa bisa cepat sedikit, aku takut Nala masih saja rewel.”Ayuda panik bahkan menggigit kuku ibu jarinya. Ia juga harus menahan rasa nyeri di bagian payudara karena seharusnya Nala sudah mendapatkan ASI lagi.__Setelah tak bisa mengejar Ayuda, Jiwa memutuskan menuju ruang kerja Ramahadi. Sambil melonggarkan simpul dasi di leher, Jiwa memikirkan pertanyaan
Ayuda berbaring dan memandangi Nala sesampainya di rumah. Ia bersyukur karena sang putri bisa tidur meski tadi sempat rewel. Merasa Nala bisa untuk ditinggalkan, Ayuda bergegas mengganti baju, dia mengambil pompa ASI untuk meringankan rasa penuh di payudaranya.Ayuda mencoba menyamankan dirinya dengan duduk di sofa, dia memakai pompa model handsfree sehingga tangannya masih bisa mengerjakan hal yang lain.Ayuda membuka ponsel, ada sebuah berita yang mungkin akan mengejutkan dia di sosial media. Namun, suara lembut bik Nini lebih dulu mengalihkan pandangannya.“Non, Apa Nona mau dibuatin sayur daun katuk lagi?”Ayuda menoleh lantas mengangguk, tentu saja dia tidak akan menolak masakan berbahan daun yang dipercaya memilik khasiat untuk memperbanyak dan memperlancar ASI itu. Ia butuh stok ASIP di freezer, karena dia harus berjaga-jaga. Mungkin saja sebentar lagi harus meninggalkan Nala bekerja.“Apa Nona tadi bertemu dengan Tuan muda Jiwa?” Tanya bik Nini penuh kehati-hatian. Ia tidak in
Ayuda memberikan Nala ke gendongan Jiwa, meski dengan sedikit rasa takut dan tangan gemetar pria itu akhirnya bisa menggendong putri kandungnya. Nala bahkan nampak tenang dan hanya menggeliat kecil. Ayuda sendiri tak kuasa menahan haru, apalagi dia melihat Jiwa meneteskan air mata, pria itu mengangkat sedikit pundak kanannya untuk mengusap air mata itu.“Kamu beri nama siapa dia?”“Surinala Flair Zivanya, panggilannya Nala.”“Nama yang cantik,” puji Jiwa setelahnya menempelkan hidung ke pipi Nala.Ayuda sendiri memilih keluar, dia bingung bagaimana menghadapi situasi yang sedikit canggung ini, dan sekaligus ingin memberikan kesempatan Jiwa untuk bisa berduaan dengan sang putri. Dia memilih menyiapkan makan malam, meskipun sesekali menoleh ke belakang karena terlalu penasaran apa yang Jiwa lakukan di kamar.“Bi, bisa tidak periksa mereka sedang apa di dalam!”Bukannya langsung menuruti perintah sang Nona, bi Nini malah menggoda. Wanita itu meminta Ayuda mengecek sendiri, siapa tahu Jiw
“Rindu? Tidak!”Ayuda menjawab diikuti gelengan kepala. Ia duduk di kursinya dengan sikap cuek, meski begitu tetap menyodorkan sayur dan lauk ke Jiwa.“Aku tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal lain kecuali Nala. Kamu pasti tahu, ada orang yang tidak menginginkan anak itu lahir.” Ayuda berbicara tanpa menatap wajah Jiwa, dia fokus dengan sayur dan lauk di piring dan mulai menyantapnya.“Begitukah? Jadi hanya aku sendiri yang menyimpan perasaan ini.”Jiwa mengangguk sambil melihat ke piring. Hatinya patah mendengar ucapan Ayuda.“Aku pikir kamu benar-benar mencintaiku, tapi ternyata semua itu palsu.”Ayuda diam, dia hanya mengerjab lantas memasukkan nasi ke dalam mulut. Wanita itu tak ingin membahas masalah hati dengan Jiwa, meski sebenarnya dia ingin berteriak kegirangan mendapati kenyataan Jiwa masih menyimpan perasaan untuknya.“Kita belum bercerai Ayuda, aku juga tidak akan menceraikanmu. Aku akan mengurus kartu keluarga kita.” Cara bicara Jiwa terdengar tegas dan diktator. Ia
“Tapi Aldi masih menjaganya ‘kan?” “Aku tidak tahu, aku tidak memikirkan orang lain karena aku sendiri sakit saat kamu pergi begitu saja.” “Wangi akan menikah tahun depan, apa kamu sudah tahu?” Ayuda bertanya ke Jiwa. Ia sejatinya penasaran, benarkah Jiwa sudah melupakan sosok wanita yang sejak remaja dipujanya itu. “Dengan pria pengusaha itu, bukan? aku sejak awal sudah tahu hubungan mereka, jadi wajar jika dia akan cepat menikah.” Jiwa semakin mendekat dan memeluk Ayuda. Ia benar-benar merasa seperti mimpi bisa memeluk wanita yang sangat dicintaiya lagi. “Aku harus menyusui Nala, dia harus minum ASI dua jam sekali.” Ayuda berusaha mengurai pelukan, dia pikir akan susah lepas dari bayi besarnya, tapi ternyata tidak. Jiwa sepertinya mengalah jika itu tentang sang putri. “Kamu tidurlah! atau mau pulang?” tanya Ayuda sambil bangkit lalu duduk di sisi ranjang sebelah Nala. Dia angkat tubuh putrinya itu pelan-pelan dan Nala pun menggeliat. “Apa kamu mengusirku? Aku mau di sini sampai
Ayuda merasa bersalah. Jiwa ternyata pulang dan bik Nini bahkan sudah memandikan Nala. Wanita itu mengambil alih putrinya dari gendongan bik Nini lalu memberinya ASI seperti biasa. Sesekali Ayuda melirik sang pembantu, dia malu memikirkan apa yang mungkin bik Nini kira.“Kapan Jiwa pergi, Bi?”Ayuda berbasa-basi, dia sedikit mengubah posisi Nala sambil harap-harap cemas menunggu bik Nini menjawab pertanyaannya.“Jam enam tadi, tuan muda bilang Nona tidur sangat nyeyak, jadi dia tidak tega untuk membangunkan.”“Maaf ya, Bi! Semalam berapa kali Nala bangun?”“Non Nala cuma bangun pas saya beri ASIP, selebihnya dia tidur nyeyak. Sepertinya dia juga tahu kalau papa dan mamanya sedang butuh waktu berduaan setelah sekian lama.”Ayuda mengulum bibir, bik Nini pasti tahu kalau dia dan Jiwa hanya tidur bersama dan tak melakukan apa-apa.Seusai memberi ASI Nala, Ayuda berniat pergi membersihkan diri. Namun, baru saja mengambil handuk, suara Jiwa kembali terdengar menyapa bik Nini. Ayuda dengan