Ayuda berbaring dan memandangi Nala sesampainya di rumah. Ia bersyukur karena sang putri bisa tidur meski tadi sempat rewel. Merasa Nala bisa untuk ditinggalkan, Ayuda bergegas mengganti baju, dia mengambil pompa ASI untuk meringankan rasa penuh di payudaranya.Ayuda mencoba menyamankan dirinya dengan duduk di sofa, dia memakai pompa model handsfree sehingga tangannya masih bisa mengerjakan hal yang lain.Ayuda membuka ponsel, ada sebuah berita yang mungkin akan mengejutkan dia di sosial media. Namun, suara lembut bik Nini lebih dulu mengalihkan pandangannya.“Non, Apa Nona mau dibuatin sayur daun katuk lagi?”Ayuda menoleh lantas mengangguk, tentu saja dia tidak akan menolak masakan berbahan daun yang dipercaya memilik khasiat untuk memperbanyak dan memperlancar ASI itu. Ia butuh stok ASIP di freezer, karena dia harus berjaga-jaga. Mungkin saja sebentar lagi harus meninggalkan Nala bekerja.“Apa Nona tadi bertemu dengan Tuan muda Jiwa?” Tanya bik Nini penuh kehati-hatian. Ia tidak in
Ayuda memberikan Nala ke gendongan Jiwa, meski dengan sedikit rasa takut dan tangan gemetar pria itu akhirnya bisa menggendong putri kandungnya. Nala bahkan nampak tenang dan hanya menggeliat kecil. Ayuda sendiri tak kuasa menahan haru, apalagi dia melihat Jiwa meneteskan air mata, pria itu mengangkat sedikit pundak kanannya untuk mengusap air mata itu.“Kamu beri nama siapa dia?”“Surinala Flair Zivanya, panggilannya Nala.”“Nama yang cantik,” puji Jiwa setelahnya menempelkan hidung ke pipi Nala.Ayuda sendiri memilih keluar, dia bingung bagaimana menghadapi situasi yang sedikit canggung ini, dan sekaligus ingin memberikan kesempatan Jiwa untuk bisa berduaan dengan sang putri. Dia memilih menyiapkan makan malam, meskipun sesekali menoleh ke belakang karena terlalu penasaran apa yang Jiwa lakukan di kamar.“Bi, bisa tidak periksa mereka sedang apa di dalam!”Bukannya langsung menuruti perintah sang Nona, bi Nini malah menggoda. Wanita itu meminta Ayuda mengecek sendiri, siapa tahu Jiw
“Rindu? Tidak!”Ayuda menjawab diikuti gelengan kepala. Ia duduk di kursinya dengan sikap cuek, meski begitu tetap menyodorkan sayur dan lauk ke Jiwa.“Aku tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal lain kecuali Nala. Kamu pasti tahu, ada orang yang tidak menginginkan anak itu lahir.” Ayuda berbicara tanpa menatap wajah Jiwa, dia fokus dengan sayur dan lauk di piring dan mulai menyantapnya.“Begitukah? Jadi hanya aku sendiri yang menyimpan perasaan ini.”Jiwa mengangguk sambil melihat ke piring. Hatinya patah mendengar ucapan Ayuda.“Aku pikir kamu benar-benar mencintaiku, tapi ternyata semua itu palsu.”Ayuda diam, dia hanya mengerjab lantas memasukkan nasi ke dalam mulut. Wanita itu tak ingin membahas masalah hati dengan Jiwa, meski sebenarnya dia ingin berteriak kegirangan mendapati kenyataan Jiwa masih menyimpan perasaan untuknya.“Kita belum bercerai Ayuda, aku juga tidak akan menceraikanmu. Aku akan mengurus kartu keluarga kita.” Cara bicara Jiwa terdengar tegas dan diktator. Ia
“Tapi Aldi masih menjaganya ‘kan?” “Aku tidak tahu, aku tidak memikirkan orang lain karena aku sendiri sakit saat kamu pergi begitu saja.” “Wangi akan menikah tahun depan, apa kamu sudah tahu?” Ayuda bertanya ke Jiwa. Ia sejatinya penasaran, benarkah Jiwa sudah melupakan sosok wanita yang sejak remaja dipujanya itu. “Dengan pria pengusaha itu, bukan? aku sejak awal sudah tahu hubungan mereka, jadi wajar jika dia akan cepat menikah.” Jiwa semakin mendekat dan memeluk Ayuda. Ia benar-benar merasa seperti mimpi bisa memeluk wanita yang sangat dicintaiya lagi. “Aku harus menyusui Nala, dia harus minum ASI dua jam sekali.” Ayuda berusaha mengurai pelukan, dia pikir akan susah lepas dari bayi besarnya, tapi ternyata tidak. Jiwa sepertinya mengalah jika itu tentang sang putri. “Kamu tidurlah! atau mau pulang?” tanya Ayuda sambil bangkit lalu duduk di sisi ranjang sebelah Nala. Dia angkat tubuh putrinya itu pelan-pelan dan Nala pun menggeliat. “Apa kamu mengusirku? Aku mau di sini sampai
Ayuda merasa bersalah. Jiwa ternyata pulang dan bik Nini bahkan sudah memandikan Nala. Wanita itu mengambil alih putrinya dari gendongan bik Nini lalu memberinya ASI seperti biasa. Sesekali Ayuda melirik sang pembantu, dia malu memikirkan apa yang mungkin bik Nini kira.“Kapan Jiwa pergi, Bi?”Ayuda berbasa-basi, dia sedikit mengubah posisi Nala sambil harap-harap cemas menunggu bik Nini menjawab pertanyaannya.“Jam enam tadi, tuan muda bilang Nona tidur sangat nyeyak, jadi dia tidak tega untuk membangunkan.”“Maaf ya, Bi! Semalam berapa kali Nala bangun?”“Non Nala cuma bangun pas saya beri ASIP, selebihnya dia tidur nyeyak. Sepertinya dia juga tahu kalau papa dan mamanya sedang butuh waktu berduaan setelah sekian lama.”Ayuda mengulum bibir, bik Nini pasti tahu kalau dia dan Jiwa hanya tidur bersama dan tak melakukan apa-apa.Seusai memberi ASI Nala, Ayuda berniat pergi membersihkan diri. Namun, baru saja mengambil handuk, suara Jiwa kembali terdengar menyapa bik Nini. Ayuda dengan
“Aku tidak jadi berangkat kerja.”“Hei, kenapa?”Jiwa meletakkan jasnya ke sandaran kursi meja rias Ayuda, dia mendekat dan merebahkan diri di samping wanita itu yang sedang memberi ASI Nala.“Mau di sini saja melihatmu dan Nala.”“Kamu pikir kami tontonan?”Ayuda menggeleng tak percaya. Ia tutup bajunya setelah Nala kenyang. Dengan cekatan mengambil burb cloth dan meletakkannya di pundak. Ia tegakkan tubuh Nala dan menepuk punggungnya lembut.“Kamu apakan dia, Ayuda?” tanya Jiwa yang heran, dia bingung kenapa punggung putrinya ditepuk-tepuk setelah diberi ASI.“Ini namanya disendawakan agar dia lega.”Bahu Jiwa mengedik, dia heran sejak kapan Ayuda tahu banyak hal tentang cara mengasuh bayi. Jiwa keponya pun meronta, mungkinkah selama melarikan diri darinya Ayuda belajar banyak hal?“Kamu sangat berbeda jauh, bukan seperti Ayudaku yang dulu, tapi aku tetap sangat mencintaimu.”“Gombal!” sergah Ayuda. Ia tersenyum miring mencibir lalu membaringkan Nala. “Sudah sana berangkat kerja, ka
Linda pergi meninggalkan Ayuda dan Jiwa, dia memandangi bik Nini yang sedang menggendong Nala. Wanita itu masih saja merasa mantan pembantunya itu musuh, tak ingat bahwa karena bik Nini lah rahasianya bisa tertutup rapat selama ini. Jika sata bik Nini orang yang jahat tentu saja mulutnya bisa dengan mudah memberitahu Ramahadi kalau dirinya memiliki anak dari pria lain. Namun, bukankah ini sama saja dengan menyakiti hati Tiara? Bik Nini jelas tidak ingin putri yang selama ini dia besarkan dengan penuh kasih sayang menjadi sedih, atau bahkan menyesali kelahirannya di dunia. Bik Nini tidak mau jika sampai Tiara berpikir dia dibuang dan tak bernilai. “Lihat ini cucumu, cantik ‘kan?” Ramahadi menimang Nala di gendongan, dia perlihatkan bayi mungil itu Linda yang berkata akan mencuci tangan dulu. Ia bahkan menyindir Ramahadi yang tidak tahu bagaimana SOP memegang bayi. Bik Nini tertawa melihat Ramahadi diomeli Linda. Ia mohon izin untuk membuatkan minuman, dan tanpa sengaja berpapasan de
Jiwa dan Ramahadi terus memandangi Linda dan Ayuda yang terlihat sibuk mengobrol dengan Nala yang ada dipangkuan Ayuda. Dua wanita itu nampaknya sibuk membahas permasalahan seputar bayi. Jika dilihat seperti ini keduanya nampak harmonis. Tipikal mertua dan mantu idaman.“Pa, aku berencana membangun rumah untuk kami tempati bertiga, jadi sampai rumah itu jadi izinkan Ayuda tetap tinggal di sini.”“Penthouse ini hadiah untuk Nala, jadi tidak perlu izin untuk menempati atau pergi dari sini,”timpal Ramahadi. “Memangnya Ayuda sudah mau menerimamu kembali?” selidiknya.“Dia mencintaiku, Pa. Dan aku lebih mencintainya.” Jiwa tersenyum lebar, hingga tanpa sengaja tatapan matanya bersirobok dengan Ayuda. Wanita itu mengerutkan kening, tapi tak lama tersenyum malu-malu.Setelah Ramahadi dan Linda pulang, Ayuda memilih untuk membantu bik Nini membersihkan rumah. Meski sudah dilarang, tapi tetap saja Ayuda yang sekarang sudah memiliki sifat keibuan. Tangannya gatal melihat penyedot debu diam, sam