Flight pagi menuju Palangkaraya, Langit ditemani asistennya Fajar menuju ibukota Kalimantan Tengah.
Kondisi fisiknya yang lelah belum lagi pulang dalam keadaan basah kuyup membuat tubuh Langit tak 100 persen fit. Di perjalanan pun ia terlelap hingga akhirnya dibangunkan Fajar ketika landing.
"Cape banget kayaknya, Bos? Perasaan kemaren sore juga udah cabut," tanya Fajar yang usianya hanya selisih 5 tahun lebih muda dari Langit.
"Nyampe rumah tetep aja jam 11 malem, ngurusin bocah yang susah diatur dulu," jawab Langit seraya merapikan tampilannya karena akan langsung menuju kantor gubernur Kalimantan Tengah.
Fajar mengerenyitkan keningnya tetapi tak bertanya lebih lanjut karena ia hafal betul karakter atasannya itu. 'Nanti juga cerita' begitu yang ada di dalam pikiranya.
Bangunan bercat putih dengan ornamen khas suku Dayak menghiasi kantor gubernur Kalimantan Tengah. Bertemu langsung dengan panitia penyelenggara, Langit begitu luwes menyampaikan maksud kedatangannya sebagai utusan Jawa Barat untuk acara simposium formasi jabatan se Indonesia.
"Bos, kayaknya yang lain tua-tua gitu ya. Cuma Jawa Barat yang diwakili anak muda kayak kita," bisik Fajar.
Mendapat tatapan tajam dari atasannya seperti biasanya, Fajar menunduk sambil tersenyum tipis.
"Jangan galak terus dong, Bos. Gimana mau dapet jodoh," ucapnya masih dengan suara sepelan mungkin.
Langit sepertinya habis kesabaran, "Bisa diem enggak?"
Hanya Fajar yang bisa tahan dengan ketusnya pejabat muda propinsi Jawa Barat itu. Ia terbiasa dengan galak dan dinginnya sang atasan.
Ponsel Langit bergetar, pertanda pesan masuk. Disana tertera nama Putri Papa Billy yang belum sempat ia ubah namanya dan memang tidak ada niat juga untuk diganti.
'Bang, draf perjanjian udah gue bikin. Lo tinggal tanda tangan ya!'
Menghela nafas kasar, Langit sampai tak fokus mengikuti simposium. Beberapa orang pejabat daerah saling menyapa dalam rehat siang tetapi tidak dengan purna praja terbaik itu.
"Kenapa sih, Bos? Kayak banyak pikiran gitu, enggak biasanya deh. Kesambet perawan ya?" tanya Fajar asal sambil melahap makan siangnya.
"Tar saya cerita sama kamu dan tolong kasih saya saran yang bener. Pusing saya sama hal kayak gini doang duhh.."
Langit sampai tak selera makan karena pikirannya terus tertuju pada Kinan, gadis nyentrik vokalis band yang akan menjadi calon istri dadakannya.
***
"Coba cerita, Bos. Ada apa sih? Perasaan masalah segede apapun di kantor enggak pernah sampe bikin Bos sepusing ini deh," ucap Fajar.
Menikmati malam di Palangkaraya sebelum esok hari kembali ke Bandung. Langit dan Fajar berada di cafe yang cukup terkenal di kota cantik itu.
Menyesap papermint tea favoritnya sambil bertumpang kaki, ada keraguan dalam hati Langit untuk bercerita. Namun ia benar-benar buta untuk masalah yang satu ini.
"Tau Pak Billy, kan?"
Fajar mengangguk pasti, ia beberapa kali bertemu dengan pengusaha sukses Kota Bandung yang dikenalkan Langit sebagai ayah angkatnya.
"Beliau punya anak perempuan namanya Kinanti dan beliau ingin saya..."
"Ngawinin anaknya kan?" tebak Fajar dengan mata berbinar.
Langit mengangguk sambil menatap lekat Fajar yang begitu ceria mendengar kabar yang baru saja disampaikannya.
"Cihuuyyyy...kawin euuyy si Bos, akhirnya..."
"Jaaarrrr...ahhhh, enggak sesimpel itu!"
Mengalirlah cerita Langit yang menerangkan siapa Kinanti dengan semua tingkahnya yang menginginkan kawin kontrak dan apa yang baru saja terjadi dengan hidupnya termasuk cerita tentang Naura.
Baru kali ini Langit jujur tentang hal yang amat pribadi pada orang lain. Fajar beruntung menjadi orang yang dipercaya untuk tahu.
"Rumit duh, Bos," begitu tanggapan Fajar ketika dengan seksama mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut bosnya.
"Saya enggak punya pilihan, Jar. Kamu tau sendiri gimana berjasanya Pak Billy sama saya dan keluarga sejak Ayah enggak ada. Tapi ya itu dia, anaknya juga enggak mau nikah sama saya. Malah ngajuin syarat aneh-aneh dan kalau kamu liat juga gimana dia pasti geleng kepala lah," sahut Langit yang juga bercerita tentang latar belakang Kinan, si vokalis band.
Fajar berpikir sejenak, ingin menjadi bawahan sekaligus teman yang solutif.
"Bapak punya fotonya? Kali aja saya kenal, anak band Bandung mah saya tau lah."
Fajar berubah serius begitu pula dengan Langit yang memang selalu formal dan kaku.
Langit menggeleng tetapi ia ingat kontak si calon istri, jika ia tak salah lihat Kinan memasang fotonya sendiri di profil. Segera lelaki berparas tampan itu mengotak atik ponselnya mencari kontak.
"Nihh...kebeneran dia pasang fotonya lagi manggung mungkin," ujar Langit sambil menyodorkan ponselnya pada sang asisten.
Alangkah terkejutnya Fajar ketika melihat foto yang diperlihatkan atasannya.
"Ini sih Naya White Panther, Bos!"
Langit berkerut dahi, "Naya? Kinan ini..."
"100 persen yakin saya, Pak. Ini Naya, nih...stand mikrofonnya juga lambang White Panther."
Lelaki berkulit sawo matang itu mematung sejenak, "Annaya Sekar Kinanti."
"Nahhh...bener itu, nama panggungnya Naya, Pak. Ya ampuuuunnnn....saya teh fans garis kerasnya Naya dan sekarang Bapak mau dapetin dia. Teu rido ahh, Pak."
Tubuh Fajar melorot dan menutup wajahnya dengan sehelai tisu yang ada diatas meja kemudian Langit menendang kaki sang asisten dari bawah.
"Bukannya bantuin mikir malah pundung kamu mah."
Fajar tergelak, "Tapi serius, Pak. Masa sih Naya anaknya Pak Billy dan mau dikawinin sama om-om kayak Bapak gini. Duuhhh..White Panther tamat ini mah."
"Fajar!!" teriak Langit galak.
Tak kuasa menahan tawanya, Fajar membayangkan Naya yang digilai banyak penggemar band indie Kota Bandung harus menikah dan berubah jadi ibu Dharma Wanita Gedung Sate.
"Oke...oke...ampun, Bos. Gini-gini serius ini, saya pikir wajar Naya nolak. Dia masih muda banget, lagi manggung dimana-dimana. Fansnya banyak banget, Pak. Anaknya asik, enggak sombong, dan keren suka pake motor gede tapi tetep cantik gemesin. Cowok Bandung mana yang enggak suka sama dia. Saya aja ngefans tapi tau diri karena saya udah ampir 30 tahun ini. Ehhh...malah mau nikah sama Bapak yang lebih tua dari saya."
"Saya tinggal nih kamu, Jar. Besok balik pake kapal laut aja kamu," ancam Langit.
"Jangan atuh, Bos. Tega banget ahh..."
Langit terus menatap tajam bawahannya yang terus meledek dirinya yang terkesan tua dan tak pantas bagi Kinan alias Naya.
"Naya itu kalau enggak salah punya cowok, Pak. Namanya saya lupa cuma punya label Nada Record kalau enggak salah dan anak-anak White Panther ngandelin banget si Naya biar dikontrak disana. Tapi gosip yang beredar di grup sih katanya Naya putus tapi belum jelas juga," jelas Fajar.
Mata Langit membulat, "Ada grupnya? Grup fansnya Kinan? Emhhh..maksud saya Naya."
Fajar mengangguk, "Ada, dan saya salah satu membernya. Alay ya, Bos? Tapi emang sekeren itu sih Naya teh terus lagu-lagunya enak. Pokoknya Bapak harus jadi fansnya White Panther juga kalau pengen tau Naya gimana."
Langit termenung seolah tak percaya ternyata Kinan adalah gadis yang digilai anak muda Kota Bandung.
"Kalau emang Naya enggak punya pilihan dan tetep harus nikah sama Bapak, yaa...ikutin aja maunya. Dia pasti enggak mau ketauan udah nikah, Pak. Karier nya lagi bagus dan hebatnya dia sambil kuliah. Enggak tau gimana ngatur waktunya cuma emang anaknya jenius banget. Gitar bisa, piano oke, main flute nya juga keren," ucap Fajar berpromosi.
"Kamu tuh tau banget, mentang-mentang fansnya. Cuma saya enggak bisa terima kalau harus nikah diem-diem, Jar. Kamu tau saya purna praja dan jabatan saya di kantor apa, masa iya BKD jangan tau saya udah nikah. Kita ASN, Jar...semua diatur undang-undang."
Kali ini Langit yang nampak frustasi belum lagi harus memberikan penjelasan pada Naura, teman kecilnya yang ia janjikan akan dinikahi setelah mapan.
"Dijalani aja dulu satu-satu, Bos. Saya siap bantu dan siap keep tentang ini asal saya boleh foto bareng sekali aja sama Naya," ujar Fajar sambil mengerling genit.
Langit bergidik ngeri seraya menggelengkan kepala melihat tingkah sang asisten.
Ponsel Langit berdering dan nama Putri Pak Billy muncul di layar melakukan video call. Fajar melirik benda pipih warna abu metalik itu diatas meja, matanya berbinar.
"Saya aja yang angkat ya, Bos."
Mata Langit seolah membunuh, Fajar menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Hallo.."
'Bang, sibuk banget apa? Sampe enggak bales chat gue tadi siang. Drafnya udah dibaca kan?'
Kinan terlihat sedang berada di keramaian dengan pakaian yang tak biasa. Mungkin benar kata Fajar, hari-hari sang vokalis dipenuhi jadwal panggung ke panggung.
"Matiin enggak itu rokoknya! Baru saya mau tanda tangan," ucap Langit galak.
Di ujung telepon sana, Kinan yang memang sedang memegang rokok putihnya cemberut. Namun lagi-lagi ia menurut dengan membuang lintingan tembakau yang masih panjang itu dengan kakinya.
'Udaahhh...puas kan? Cepetan deal, kan ini udah nurut.'
"Saya masih di Palangkaraya, besok aja tanda tangannya."
Langit dengan santainya menutup telepon artis kesayangan Fajar itu.
"Pak...ya ampuuunnn, orang-orang berebut pengen tanda tangan Naya. Sekarang Bapak dimintain tanda tangan sama dia malah dinanti-nanti. Gilaaaa...ini gila, Pak!.
"Bodo amat...."
Langit berlalu diikuti Fajar yang tergesa mengikuti atasannya menuju hotel.
***
Sampai di Bandung semalam pukul 12 malam, Langit menikmati hari liburnya dengan santai-santai di rumah hingga dering ponsel terus berbunyi 2 kali.
'Ha-Hallo..Bang, Abang dimana? Abang, tolongin Kinan. Kinan ada di Jalan Gudang Utara, disini ada Jodi. Kinan takut, Bang,' ucap Kinan berbisik dan sepertinya menahan bulir kristal yang sebentar lagi akan meluruh.
"Hallo, Kinan. Kinaaannn..."
Sambungan terputus, panik melanda Langit. Hari Minggu yang harusnya menjadi hari libur, waktunya santai dari segala aktivitas tetapi kini berubah menjadi gelisah di dada.
Kinan ketakutan, terdengar dari caranya berbicara. Tidak lo gue seperti biasanya, Langit mondar mandiri di kamarnya sendiri. Bayangan Papa Billy berkelebat, dewa penolong keluarganya itu sedang ada di Hanoi sejak 3 hari lalu dan menitipkan putri tercintanya pada dirinya.
"Hallo, Jar..kamu dimana?"
'Di jalan, Bos. White Panther mau manggung sebentar lagi, saya kejebak macet ini.'
"Manggung nya dimana?"
'Lapangan Saparua, Pak. Ada apa?'
"Tunggu saya di Jalan Gudang Utara, Kinan lagi enggak baik-baik aja."
Fajar hanya bisa terdiam mendengar atasannya yang sepertinya sedang panik. Namun ia tak punya pilihan. Gegas ia membelokkan kemudinya ke jalan yang dikatakan bosnya itu.
Setelah mendapat sharelock dari Kinan, Langit segera mengeluarkan kuda besinya dari garasi. Memacu Kawasaki Ninja 250 ABS hijau yang baru ia beli dari tabungannya sendiri, lelaki yang sedang luar biasa cemas itu berusaha fokus membelah Jalan Ir.H. Djuanda menuju lokasi yang tadi sudah diberitahu oleh calon istri kecilnya.
Sementara Fajar kebingungan karena Jalan Gudang Utara cukup luas dan ia tak tahu harus menunggu dimana.
Langit tiba di lokasi hanya 15 menit setelah Kinan menelepon, ia hendak membuka pesan dari vokalis band yang sedang merepotkannya itu. Menoleh kiri kanan, tempatnya berada kini seperti gedung tua TNI yang sehari-hari digunakan sebagai hall badminton.
"Permisi, Bu. Mau tanya apa ada perempuan..."
Belum selesai Langit bertanya pada ibu kantin yang ada di hall badminton itu, sudah ada yang menubruk tubuhnya.
"Astagfirulloh, Kinan! Ngagetin aja. Kamu kenapa sih?"
Kinan masih memeluk erat calon suaminya itu, ada lega di dadanya. Tubuhnya kini kembali menghangat setelah seolah membeku karena orang-orang Jodi terus membuntutinya.
"Heyy...Kinan, liat saya!"
Kinan tetap menggeleng hingga membuat iba ibu kantin.
"Duduk, Mas. Dari tadi Mbak ini lari ketakutan kayak dikejar-kejar. Makanya saya sembunyiin disini sampe Masnya dateng," ucap si ibu kantin yang membawa kursi.
Langit mendudukkan Kinan di kursi yang dibawakan ibu kantin, sementara itu ia melipat kedua lututnya tepat di hadapan si cantik idola remaja Bandung ini.
Menyodorkan air mineral 330 ml dan membukakan segelnya, Kinan meneguknya hingga tandas.
"Bang, jangan tinggalin Kinan. Abang kemana aja, Kinan ikut. Kinan takut, sekarang Kinan mau pulang," ucapnya dengan derai air mata yang membasahi wajah pualam yang begitu cantik natural.
"Jodi?" tanya Langit singkat.
Kinan menunduk seraya mengangguk lemah.
"Selesaikan tanggung jawabmu, udah itu saya anter pulang," titah Langit.
"Enggak mau, dia mau culik Kinan. Dia ada disana dan orang-orangnya juga," sahut Kinan yang keluar mode bocahnya.
Langit meraup nafasnya dalam-dalam, "Ada saya, Kinan. Saya bakal ada di belakang panggung, temenin kamu. Sekarang juga saya yang bakal anterin kamu, enggak akan ada yang ganggu. Percaya saya!"
Kinan menatap lelaki yang tetap dengan wajah datar dan dinginnya tetapi perlindungannya sangat terasa padanya.
"Hallo, dimana kamu? Itu udah saya sharelock, cepet kesini!"
Langit memberikan perintah pada Fajar yang masih setia menunggu di ujung jalan.
Tak lama Fajar datang dan melongo takjub dengan apa yang sedang ia lihat.
"Spek bidadari, Bos. Nyata kan ini?" ucap Fajar yang menepuk pipinya sendiri.
Si bos menatapnya jengah, "Kinan, ini Fajar. Dia teman saya di kantor dan dia fans berat kamu. Sekarang kita ke Saparua, dikawal dia dari belakang."
Kinan tersenyum paksa, "Kinan, Kak. Maaf merepotkan ya."
"Enggak apa-apa, Naya. Emmhh..Kinan, seneng kok direpotin sama calon bu bos."
Kinan mengerutkan dahi seakan bertanya pada Langit.
"Dia udah tau semuanya," sahut Langit.
Lelaki yang siang itu berkali lipat gantengnya di mata Kinan membuka jaket bomber hijau army nya. Topi base ball merk New Era dipasangkan di kepala sang vokalis cantik, tak lupa masker duckbill dan juga aviator sun glasses andalan Langit dipakaianya juga.
Fajar bertukar kendaraan dengan Langit, ia menunggangi motor sport yang jarang sekali keluar kandang dan atasannya menaiki Suzuki Baleno yang sudah dimodif oleh lelaki penggemar Kinan itu.
Sampai di venue acara, personel White Panther lainnya sudah berada diatas panggung. Terlihat road manager Kinan nampak panik mencari perempuan yang ketika di panggung berganti nama menjadi Naya.
Tangan halus Kinan tak lepas dari genggaman Langit sampai ke backstage dengan tampilan yang nyaris tak dikenali.
Sampai di belakang panggung, Langit membantu Kinan melepas atribut yang tadi dipakainya.
"Ya ampuuunn, Nay. Lo kemana aja? Hp lo mati, gue kelimpungan nyariin lo. Kita udah panik lo ilang," ujar lelaki bertato di sepanjang lengan kanannya.
Tak ada jawaban dari Kinan, melirik pun tidak pada suara yang barusan didengarnya.
"Bang, jangan kemana-mana. Please...!" pinta Kinan yang masih ragu akan naik panggung.
Menghampiri sejenak perempuan yang dielu-elukan khalayak ramai itu, Langit memberikan pelukannya seraya berbisik.
"Saya disini, enggak kemana-mana. Saya tungguin sampe beres, jaga jarak sama penonton. Kita enggak tau ancaman kamu ada dimana."
Sontak Kinan kaget dengan pelukan tiba-tiba yang seolah Langit sedang mengatakan pada dunia bahwa perempuan idola anak muda Bandung ini adalah miliknya.
Edo, road manager yang tadi bicara pun cukup tersentak karena tak mengenal siapa lelaki atletis yang ada di hadapannya ini.
Kinan naik ke atas panggung seolah tidak ada apa-apa, ia berjingkrak kesana kemari mengikuti alunan musik. Suara sopran dengan timbre unik itu menggema di lapangan yang biasa digunakan anak muda Bandung untuk berkonser.
Langit tak biasa dengan situasi seperti ini tetapi lagi-lagi ia tak memiliki pilihan. Berusaha beradaptasi walaupun sulit.
Fajar ikut menemani atasannya di belakang panggung, sesekali Edo curi-curi pandang. Seolah ingin tahu dan berkenalan tetapi Langit menciptakan temboknya sendiri.
"Cari siapa?" tanya kru White Panther pada 2 orang lelaki yang sudah dicurigai Langit sejak tadi.
"Naya...kami utusan ayahnya, diminta jemput Naya kalau udah selesai manggung," jawab salah satu dari mereka.
Fajar mendengar jelas apa yang disebutkan lelaki tadi dan berkode pada atasannya.
"Sejak tadi Naya dengan saya, Bung. Saya yang antar dan saya juga yang akan membawanya pulang. Paham?" ucap Langit intimidatif.
Lelaki tadi gelagapan, tak lama langsung menghilang. Drama penculikan Kinan memang sudah direncanakan sepertinya.
'Mau main-main kamu dengan saya, Jodi. Dulu Bapakmu sekarang kamu, kali ini enggak akan berhasil, Jod!'
"Saya teima nikah dan kawinnya Annaya Sekar Kinanti binti Billy Rayadinata dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," ucap Langiit lantang dengan satu tarikan nafas.Menjabat tangan lelaki bernama Billy Rayadinata yang dahulu adalah ayah angkatnya dan kini menjadi ayah sesungguhnya bagi Langit. Kepala yang terus tertunduk mendengarkan doa yang dipanjatkan seorang ustadz yang sengaja diundang dalam prosesi akad nikah yang super sederhana, jauh dari kata mewah.Ada rasa haru di benak Papa Billy ketika menjabat tangan anak muda yang ia saksikan sendiri tumbuh kembangnya dan kini mendapat limpahan tanggung jawab atas putrinya.Kinan sengaja tidak dihadirkan pada ijab kabul atas permintaan Langit dengan alasan ingin halal lebih dulu baru bertemu padahal sebenarnya ia takut berubah pikiran untuk memperistri perempuan yang lebih pantas menjadi keponakan atau adiknya itu.Papa Billy memeluk menantu barunya itu selepas ijab kabul seraya berucap, "Maafkan papa yang sangat egois sama kamu, Lang.
"Nanti siang kita ke Puncak, enggak lama paling juga semalem," ungkap Langit sambil membereskan sofa bed di kamar Kinan yang 2 hari ini menjadi tempat tidurnya.Kinan sedang mengecat kukunya dengan warna beige langsung menoleh, "Ngapain? Ogah ahhh...ntar bersin-bersin lagi, Puncak kan dingin.""Ngapain kamu bilang? Kamu lupa ibu dan adik saya tinggal disana? Saya enggak lahir dari batu jadi saya harus kesana ngenalin kamu yang katanya sekarang istri saya."Konsisten ketus dan dingin, begitulah Langit. Entah bagaimana caranya agar lelaki gagah itu sedikit ramah pada istrinya."Oke," Kinan menjawab seperlunya.Ia bisa apa karena protes pun tak akan bisa dilakukan. Suaminya terlalu istimewa untuk ia bantah.Terlihat tak peduli tetapi Kinan berpikir keras apa yang harus dilakukannya ketika nanti bertemu ibu mertuanya? Apakah ia akan dibenci sama halnya dengan sang putra yang selalu ketus padanya. Belum lagi adik ipar yang katanya lebih menyeramkan dari dosen killer karena menjadi duri dal
Kinan tak berhenti bersin walaupun sudah menggunakan dua sweater ditambah tubuhnya yang bergelung dengan selimut tebal milik Langit.Langit melirik istrinya dan kembali tak tega melihatnya, ia edarkan pandangannya dan melihat jendela yang tak tertutup rapat. Ada rasa heran karena sore tadi ia menutupnya sendiri tetapi mengapa kini jadi terbuka sedikit."Emhhhh...Kinan, ini kata Ibu suruh pake minyak angin. Katanya biar badannya anget," tawar Langit sambil menyodorkan botol kaca berisi minyak berwarna coklat.Seperti biasanya pria dingin itu bersikap datar dan juga kaku menutupi kegugupannya yang hinggap tiba-tiba.Kinan bangun dari tidurnya, ia menatap Langit dan minyak yang ada di telapak tangan suaminya itu bergantian.Tak lama pintu kamar diketuk dan ternyata Ibu Arini."Kinan, itu minyaknya dibalurin di punggung sama dada ya. Insya Allah lebih baik. Aa, sok balurin punggung sama dadanya Kinan!" titah Ibu.Kinan melotot sambil menggeleng tipis agar Ibu tak melihat."I-iya, nanti di
"Kinaaaaannnn..." Langit tak kalah meninggikan suara.Langit buru-buru memakai kaos yang tadi dibukanya, hanya tersisa boxer brief yang menutup bagian bawah tubuhnya."Lagian Abang, gue udah ketuk pintu enggak ada jawaban. Mana gue tau kalau lo pake headset gitu mana telanjang pula," ucap Kinan membela diri dengan wajah yang masih ia tutup dengan kedua tangannya."Ada apa sih?" sungut Langit yang sudah menggunakan kaos rumahan dengan celana trainning.Kinan membuka matanya perlahan, ada lega yang ia rasakan walaupun jantungnya masih berdisko ria. Mungkin pemandangan seperti ini akan terulang di kemudian hari karena hidupnya kini akan ada di sekitar lelaki bertubuh atletis."Gue laper, kulkas segede gitu isinya cuma susu sama apel 3 biji, anggur tinggal semangkok. Mie instan dimana naronya?" protes Kinan pada teman satu rumahnya itu.Menatap sejenak sang istri seraya menarik nafas, Langit gegas menuruni tangga. Menuju dapur dan membuka rak atas kitchen set nya."Nih, stok mie disini ka
"Besok gue kuliah pagi, Bang. Kalau dosennya ada semua kuliah sampe jam 3 sore, udah itu gue izin buat latihan sama anak-anak di studio," kata Kinan ketika makan malam tiba. Langit memutuskan untuk tak memberi tahu istrinya jika ia melihat chat dari nomor tak dikenal. Namun bukan Langit namanya jika tak memiliki tindakan preventif. "Ok, besok saya anter sebelum ke kantor. Pulangnya saya jemput, bilang aja jam berapa selesainya dan dimana tempat latihannya," sahut Langit berusaha setenang mungkin agar tak terlihat mengetahui sesuatu. Hati Langit resah luar biasa karena isi chat dari seseorang yang ia yakini itu Jodi. Bahaya mengintai istrinya, rasanya ingin sekali ia melarang Kinan keluar rumah. "Ihhh...enggak usah dianter segala, gue pake motor aja. Nanti pulangnya juga...." "Bisa nurut enggak? Saya bilang saya yang antar dan saya juga yang jemput, ngerti?" Langit memotong ocehan Kinan. Jika sudah seperti itu Kinan tak berkutik. Entah kemana perginya julukan Kinanti si pembangkan
Langit bersimpuh di hadapan Kinan terbaring lemah di sofa panjang milik ibu baik hati yang bersedia menampung istrinya itu. "Kinan, Sayang..." panggil Langit dengan suara tercekat. Lelaki tampan yang biasanya dingin dan ketus itu mendadak lemah lembut menyapa sang istri, ada tangis yang mati-matian ia tahan. Tak tega rasanya melihat pipi kulit putih bersih itu memerah karena tamparan ditambah darah yang mengering di sudut bibirnya. Kinan bergerak pelan merasakan sentuhan di pipinya, respon tubuhnya menegang. Matanya langsung terbuka waspada. "Ini Abang, Kinan," kata Langit yang untuk pertama kalinya memanggil dirinya dengan sebutan yang sering istrinya panggil. Tak ada suara dari perempuan yang malam ini tampak tak beraturan, ia hanya memeluk suaminya sekencang mungkin dengan air mata yang terus meluruh. Tak ada raungan atau teriakan, Kinan menangis dalam diamnya. Sakit, pasti sakit sekali. Perempuan yang biasanya riang tanpa beban kini terlihat lemah tak berdaya menahan luka f
"Bang, kok belum siap-siap. Ini udah setengah 8 loh," kata Kinan mengingatkan.Melirik jam dinding yang menggantung di dinding meja makan, Langit menjawab, "Ke kantor tapi siangan, banyak yang harus diurus."Tak curiga, Kinan kembali ke kamarnya. Ia pun memilih tak kuliah, mentalnya belum siap untuk kembali ke kampus. Berusaha tegar tetapi bayang-bayang penyekapan singkat Jodi dan 2 bodyguardnya masih belum hilang dari ingatan."Baru juga cuti kemarin, Bang. Sekarang udah enggak masuk lagi," Kinan khawatir jika Langit keseringan tak masuk akan mempengaruhi kinerjanya."Saya enggak cuti tapi ke kantor rada siang, besok saya ada dinas ke Jakarta, kamu ikut ya. Kuliahnya minta online dulu, nanti saya bantu bilang sama dosen kamu."Sejujurnya Langit masih amat khawatir jika meninggalkan Kinan sendiri termasuk saat kuliah."Bang, yang bener aja masa iya gue ikut lo kerja. Enggak ahhh, lagian mau cari kostum buat hari Sabtu besok. Gue pulang ke rumah aja, disana ada Bi Inah sama Teh Teti,"
Lelaki berkulit gelap yang sepertinya berasal dari benua hitam itu terus mengawasi kedua tamu bosnya, hingga Doni Chivas, begitu orang dekat mengenalnya memintanya untuk pergi."Om cari kamu, Langit. Ke sekolah pun sempat om datangi tapi pihak sekolah kamu enggak kasih info apapun tentang kamu dan ibumu," sesal Doni."Untuk apa, Om? Bukannya Om udah ambil semuanya atau masih kurang?" sindir Langit.Doni terdiam terdengar hanya hembusan napasnya dari ruangan kedap suara itu. Hingar bingar diluar nyaris tak terdengar."Ada hak kamu, ibumu, juga adikmu di perusahaan. Sampai hari ini enggak kami ambil karena om masih yakin kalau suatu hari nanti bakal ketemu kamu atau ibumu. Dan hari ini tiba juga, Langit."Langit mendengkus kesal seraya tersenyum sinis, "Saya enggak ada hak apapun di Daya Asia Corp, Om. Perusahaan almarhum ayah itu Langit Asia Corp sesuai nama saya kalau yang sekarang saya enggak tau menau. Tapi kalau akta perubahan dan lain-lain mungkin Om lebih tau."'Lalu mau apa kamu
Kinan tertegun, pikirannya blank, tubuhnya linglung. Ingin sekali berteriak tetapi lidahnya kelu, ini bohong kan? Mimpi kan? Apa namanya sama? Dan berjuta pertanyaan lainnya yang terus berputar di kepala Kinan."Teh Kinan, tau kan siapa dia? Mungkin Aa pernah cerita, dia anaknya Om Doni Purnomo yang ambil alih perusahaan almarhum Ayah. Dan Aa itu benci banget sama dia," jelas Salma.'Dia juga mantan gue, Sal. Karena dia, gue dikawinin sama Abang lo dan dia juga yang hampir ambil kegadisan gue. Duhh...gue enggak tau deh gimana murka nya Abang lo kalau tau.'Kinan hanya bia bermonolog dalam hatinya."Tapi sebaiknya Abang emhhh...maksud aku Aa tau ini, Sal. Semarah apapun nanti tapi dia berhak tau, anak di perut kamu itu butuh ayahnya. Darah Purnomo mengalir deras disana dan kamu enggak bisa mengelak," saran Kinan.Salma terdiam, ia begitu bimbang apa harus jujur atau tidak. Jika jujur, resikonya begitu besar tetapi jika tidak ia tak ingin Ibu dan kakaknya menanggung malu."Tapi gimana?
Pagi kesekian masih di kota Perth, Australia Barat. Kedua pengantin lama rasa baru ini masih bergelung dengan selimut."Morning, Love," sapa Langit dengan suara khas bangun tidur, terduduk diatas ranjang. Rambut acak-acakan membuat aura seksi semakin kentara."Morning juga, Papa Bear," jawab Kinan yang sudah membuat hot papermint tea untuknya."Jadi kamu Marsha nya?" kelakar Langit sambil tertawa.Kinan melirik sekilas seraya tersenyum manis. Tak berbeda jauh dengan tampilan sang suami, pagi itu Kinan masih dengan camisol satin diatas lutut warna putih. Rambutnya diikat asal keatas ala gadis Thailand."Bikin minum cuma satu, Love?" Langit beranjak dari ranjang hanya menggunakan boxer brief hitam, otot trapezius tercetak indah dari punggungnya."Ya udah iya, ini mau aku bikinin. Hot papermint tea nya juga."Setengah berteriak dari kamar mandi dengan mulut penuh busa pasta gigi, "No, saya udah enggak suka papermint tea. Bikinin capuccino aja ya, Love."Kinan tersenyum seraya memanaskan
Mentari pagi mengintip malu-malu di langit Australia Barat, sama halnya dengan seorang perempuan muda yang semalam menyerahkan mahkota sucinya pada suami yang ternyata masih setia menantinya sejak 2 tahun lalu.Kinan sudah terbangun lebih dulu tetapi kungkungan lengan besar yang menguasai pinggangnya begitu sulit dienyahkan. Bergeser perlahan dengan maksud menuntaskan hajat paginya tetapi rasanya tak ada tenaga yang tersisa dari pertempurannya semalam.Gerak tubuh Kinan yang cukup mengganggu mengusik lelaki yang begitu tampan berbagi peluh dengannya, jika ingat peristiwa itu ia ungin sekali menenggelamkan diri ke dasar palung Mariana."Morning, Love...Pagi, Neng..."Suara serak khas bangun tidur ditambah rambutnya yang masih acak-acakan menambah seksi Langit pagi itu.Kinan menunduk malu sambil terus memegangi selimut putih sebatas dada, sampai ia terlelap pun tubuhnya masih polos tanpa busana. Hotpants dan tanktopnya berceceran entah dimana."Bang, pengen ke kamar mandi tapi ini gima
'Gimana udah lulus? Kok enggak ada kabarnya? Mentang-mentang udah ketemu pawang.' "Astaga, Bang. Kok aku lupa ngabarin Papa, kamu ngabarin enggak?" Kinan langsung mencari nama papanya di kontak ponsel. "Video call aja, Neng," saran Langit. Setiap panggilan Neng keluar dari mulut Langit, perempuan cantik yang kini tepat berusia 22 tahun itu selalu merasakan panas di wajahnya. "Hallo, Pa. Maaf lupa ngabarin. Ini baru sampe flat dan alhamdulillah aku lulus, nilainya juga memuaskan," terang Kinan. Lelaki paruh baya yang nampak semakin sepuh itu seperti menyeka bulir bening yang keluar dari sudut matanya. "Syukurlah, papa bangga sekali sama anak nakal yang sekarang udah dewasa, makin matang makin tenang. Selamat ulang tahun ya, Sayang. Eh, Langit ada kan?" Arah kamera ponsel Kinan arahkan pada lelaki tampan di hadapannya, "Hadir, Pa. Sesuai janji dan kesepakatan." Gelak tawa Papa terdengar begitu renyah menggantikan tangisan haru lelaki yang berjuang sendiri tanpa pendamping untuk m
"Kapan wisudanya ini?" tanya Langit seraya terus menggenggam tangan Kinan keluar dari ruang sidang. "Bulan depan kayaknya, Bang. Nanti Abang bisa temenin lagi kan?" ucap Kinan malu-malu. "Insya Allah, pasti dtemenin. Enggak mau kehilangan momen lagi aku, cukup 2 tahun kemaren Papa nyiksa segitu beratnya." Keduanya memutuskan untuk duduk sejenak di taman kampus, melepas rindu bertukar cerita yang mungkin lebih tebal dari novel jika dibukukan. "Abang enggak nakal selama aku enggak ada?" tanya Kinan. Langit mengernyit, "Wait, coba ulangi." Merasa tak ada yang salah dengan pertanyaannya, "Apaan sih, Bang. Emang pertanyaan aku salah?" "Aku? Enggak salah denger ini?" goda Langit yang cukup surprise dengan bahasa sang istri yang berubah. Mendelik kesal, "Oke, ulangi. Abang enggak nakal kan selama gue enggak ada?" Tawa renyah Langit menguar terbawa udara kota Perth, "Kaku gitu ngomong gue nya sekarang." "Teruuss aja terus godain aku, udah pasti disana juga godain ASN muda atau tetan
Langit terpogoh karena mendapat informasi dari security, bahwa ada yang mencarinya bernama Billy Rayadinata. Terlihat dari kejauhan pria paruh baya berkacamata progresif itu menantinya di ruang tunggu."Papa, ya ampun sampe kesini segala. Padahal mah telpon aja atuh, nanti Langit ke rumah," ucap Bintang seraya menyalami ayah mertuanya takzim.Tersenyum lebar, Papa mengitarkan pandangannya ke gedung bersejarah paling ikonik di Jawa barat, Gedung Sate. Tempat yang baru kali ini ia kunjungi selama hidup sebagai warga bumi Pasundan. "Enggak apa-apa, pengen tau kantor mantu sendiri. Kebanggaan banget kayaknya ya, Lang bisa ngantor disini."Langit menanggapinya dengan balik tersenyum, "Ada apa ini, Pa. Kaget banget tadi kata satpam bilang ada ayahnya Pak Langit kesini katanya. Sempet kaget masa iya tapi ternyata beneran.""Terus aja nanya kamu tuh ada apa, ya emang enggak boleh papa kesini. Apa jangan-jangan ada ASN muda yang lagi kamu dekati disini terus papa kesini, ketauan," selidik Pap
Sarapan Papa dan Langit di kediaman Rayadinata pagi itu nampak berbeda. Sengaja Papa Billy memanggil menantunya ke rumah."Papa mau ketemu Kinan, Lang. Titip apa sama dia?"Satria Langit Bhagaskara masih setia dengan kesendiriannya, di usianya 35 tahun ia beristri tetapi menduda."Titip rindu aja, Pa. Kalau titip oleh-oleh juga bingung mau dibawain apa, saya kan enggak tau Papa sembunyiin istri saya dimana."Dua tahun harus dibayar mahal Langit sebagai kompensasi karena papa mertuanya setuju untuk tidak memisahkanya dengan Kinan."Papa ini dosa dunia akhirat sama kamu, Lang. Enggak seharusnya papa sembunyikan istri kamu kayak gini tapi yang harus kamu tau, papa punya strategi. Semoga sabarmu masih cukup, sebentar lagi aja," kata Papa dengan rasa penyesalan yang teramat dalam.Langit tersenyum simpul, "Kalau saya menyerah sekarang enggak mungkin, Pa. Ini udah kepalang tanggung, penantian saya sia-sia kalau saya mundur. Saya sama sekali enggak meragukan strategi yang Papa bikin, percaya
Ketidakadilan yang Naura rasakan membuatnya hancur, baru saja ia bertemu dengan cinta pertamanya kini harus menerima kenyataan jika lelaki yang selalu menghiasi mimpinya itu telah menikah.Kenapa baru sekarang? Ketika semua mimpinya sudah hampir tercapai tapi tiba-tiba patah begitu saja."Siapa perempuan itu, A?" tanya Naura."Kamu enggak kenal, Ra," Langit tak berani menatap manik indah yang berubah sendu itu.Naura mencoba menegarkan dirinya, "Aa cinta sama dia?""Jujur, awalnya enggak, Ra. Waktu itu kamu enggak tergantikan tapi semakin kesini saya semakin takut kehilangan dia. Kesannya saya alay, Ra, tapi ini fakta yang harus kamu tau. Ternyata Kinan nadi saya, enggak ada dia saya kacau, enggak ada dia saya hancur," ucap Langit yang sadar betul apa yang ia katakan ini menyakiti perempuan yang sudah lama menantinya itu."Dan aku terganti? Benar begitu?" cecar Naura.Langit mengangguk, "Maafkan saya, Ra."Naura terus menggelengkan kepalanya, berharap semua yang ia dengar ini mimpi be
"Kinan, pulanglah. Papa tau kamu sama Langit lagi enggak baik-baik aja. Tapi bukan begini caranya, dengan menghindar dari suamimu masalah bukannya selesai malah makin panjang," ujar Papa yang tiba-tiba masuk ke kamar setelah Kinan membalas pesan Fajar. Kinan menunduk memainkan jemari yang saling bertaut. Cinta pertamanya tahu bahwa ia berbohong, Langit tidak pelatihan tidak pula ke Jakarta. Ia lupa jika sang papa memiliki banyak mata di Bandung. Papa sengaja mendekat ke tepi ranjang, berbagi pengalaman. "Dulu, papa dan mama juga sering ribut, apalagi awal-awal pernikahan kami. Banyak berdebat dan berselisih paham. Enggak jarang mama sampe nangis kalau berantem sama papa tapi yang harus kamu tau, Mama enggak pernah sekalipun meninggalkan rumah dalam keadaan marah dan emosi. Almarhumah tetap di rumah, tetap melayani semua kebutuhan papa walaupun hatinya masih kesal, mulutnya masih terkunci." "Ya tapi kan Papa enggak nyebelin makanya Mama bisa sabar ngadepinnya," potong Kinan. "Kata