Kinan tak berhenti bersin walaupun sudah menggunakan dua sweater ditambah tubuhnya yang bergelung dengan selimut tebal milik Langit.
Langit melirik istrinya dan kembali tak tega melihatnya, ia edarkan pandangannya dan melihat jendela yang tak tertutup rapat. Ada rasa heran karena sore tadi ia menutupnya sendiri tetapi mengapa kini jadi terbuka sedikit.
"Emhhhh...Kinan, ini kata Ibu suruh pake minyak angin. Katanya biar badannya anget," tawar Langit sambil menyodorkan botol kaca berisi minyak berwarna coklat.
Seperti biasanya pria dingin itu bersikap datar dan juga kaku menutupi kegugupannya yang hinggap tiba-tiba.
Kinan bangun dari tidurnya, ia menatap Langit dan minyak yang ada di telapak tangan suaminya itu bergantian.
Tak lama pintu kamar diketuk dan ternyata Ibu Arini.
"Kinan, itu minyaknya dibalurin di punggung sama dada ya. Insya Allah lebih baik. Aa, sok balurin punggung sama dadanya Kinan!" titah Ibu.
Kinan melotot sambil menggeleng tipis agar Ibu tak melihat.
"I-iya, nanti dipakein sama aa. Ibunya keluar dulu kan Kinan malu atuh, Bu," ucap Langit.
Ibu Arini tersenyum kemudian menutup pintu kamar putra pertamanya itu.
"Mau dipake enggak? Kalau mau dipake biar dibalurin sama Ibu atau Salma," tawar Langit.
Mendengar nama Salma rasanya Kinan ingin sekali berontak.
"Abang aja yang pakein di punggung kalau di dada biar gue," sahut Kinan.
Langit terbelalak, ia pikir tawarannya akan ditolak Kinan tetapi ternyata istrinya itu malah menyambutnya.
"Tapi balurin aja, enggak usah keterusan!" Kinan begitu ketus.
Lelaki yang belum pernah menyentuh perempuan lain itu menghela nafas panjang, "Emmhh...iya."
Kinan berbalik kemudian menelungkupkan tubuhnya, ia buka sweater yang membungkus tubuhnya.
Tangan Langit bergetar, memeluk tubuh istrinya saja ia sampai sulit tidur tempo hari apalagi harus menyentuh langsung kulit yang sudah pasti halus itu.
"Ayo, Bang! Dingin ini," ucap Kinan sambil mengambil tisu untuk mengelap cairan dari hidung tersumbatnya.
"Emmhh..iya, maaf ya sebelumnya," tutur Langit nampak kaku, telapak tangannya tak kalah dingin dengan udara di sekitarnya.
Lelaki gagah lagi tampan itu mulai menaruh minyak angin di telapak tangan besarnya kemudian dengan perlahan ia sentuh punggung mulus tanpa noda milik istrinya itu.
'Duhhh...Kinan, mana enggak pake bra lagi. Ya Allah....gimana pun gue cowok normal, liat begini lama-lama benteng jebol.'
"Maaf, Bang. Gue enggak pake bra, sesek."
Dengan entengnya Kinan berucap demikian, ia tak tahu suaminya setengah mati menahan gejolak di dada dan otaknya jangan sampai turun ke pusat dirinya.
"Udah nih, dadanya sendiri aja!" titah Langit yang langsung membalikkan tubuhnya.
Tak ada sedikit pun kekhawatiran Kinan pada Langit, tidak kah ia takut jka suaminya itu kelewat batas?
"Ya iyalah bagian depan sama gue masa iya sama lo, Bang. Enak di lo enggak enak di gue namanya," kata Kinan.
'Balur punggung aja gue kesiksa, Neng. Gimana kalau sama depan,'
Suara hati Langit menggema dan hanya ia yang mendengarnya.
"Saya keluar dulu pengen minum," ucap Langit beralibi padahal ia harus menetralkan jantung dan pikirannya.
Keluar dari kamar Langit menuju dapur untuk diam sejenak kemudian meneguk air putih hingga tandas.
Tak terdengar alergi yang biasanya menyapa Kinan sepanjang malam, minyak angin sang bunda cukup ampuh ternyata.
Perlahan Langit masuk kembali ke dalam kamarnya dan benar saja Kinan sudah meringkuk. Selimut dikuasainya sendiri dan lelaki 33 tahun itu tersenyum melihat tingkah istri kecilnya.
Tak ada sofa bed seperti halnya di rumah Rayadinata jadi mau tidak mau Langit bergabung satu kasur berdua dengan istrinya.
Langit sedemikian pelan menjatuhkan tubuhnya tetapi hal itu tetap mengusik sang istri.
Kinan menatap Langit sejenak, suaminya itu sudah siap dengan protes yang akan dilayangkan. Akan tetapi dugaannya salah, istri cantiknya itu malah mendekat dan mendekap erat dirinya.
Langit yang harusnya menolak tetapi anggota tubuhnya berkhianat. Ia sambut pelukan itu dengan sama hangatnya. Tak ada kata terucap yang ada keduanya saling berpelukan sampai subuh menjelang.
***
"Bang, kok Abang enggak marah gue peluk gini?" tanya Kinan ketika adzan subuh berkumandang.
Langit masih menyesuaikan cahaya yang masuk dari lampu tidurnya, ia melirik perempuan yang masih dalam dekapannya.
"Daripada kamu bersin semaleman mending saya peluk kan?"
"Emang enggak apa-apa?" Kinan bertanya kembali.
Purna praja lulusan terbaik di angkatannya itu terduduk melepaskan tangan Kinan yang sedari malam melingkar pada pinggangnya.
"Maksudnya?"
Dengan ragu Kinan menanggapi, "Naura?"
Langit tak menyangka Kinan akan membahasnya.
"Shalat subuh dulu tapi saya jelasin kalau kamu emang pengen tau."
Kinan menurut dan untuk pertama kalinya keduanya shalat berjamaah. Ada getar di dada Langit ketika ia menjadi imam dari seorang makmum perempuan bernama istri.
Adalah Naura yang menjadi mimipi Langit sebagai makmum setianya tetapi Allah punya rencana lain. Nyatanya lelaki shaleh Ibu Arini itu tetap merasakan kesejukan ketika menjadi imam seorang perempuan sahnya.
Selesai shalat, dengan ragu Kinan merangkak menghampiri Langit dan mencium takzim suaminya itu.
Langit ingin sekali mencium puncak kepala Kinan tetapi rasa malu dan gengsi lebih besar dari keinginannya.
"Naura Azzahra Putri, teman kecil saya. Rumahnya enggak jauh dari sini tapi dia sekarang kuliah di Jakarta. Apoteker, profesi yang dia ambil. Dekat sekali sama Salma dan Ibu, kita enggak pacaran tapi saya punya niat baik tadinya dan dia tau itu. Tapi nyatanya saya adalah looser yang enggak bisa tepatin janji sendiri," Langit berkisah sendu.
Ada irisan di hati Kinan yang tak ia sadari dan berusaha ditepikannya, "Sorry, semua gara-gara gue ya, Bang. Andai aja...."
"Enggak! Semua sudah izinNya, kamu enggak salah dan Papa juga enggak. Jodoh saya udah tercatat sejak saya usia 4 bulan di kandungan Ibu."
"Emmmhhh....Bang, sesuai perjanjian abal-abal yang pernah kita buat. Abang boleh kok lepasin gue. Setaun cukup lah, Bang. Nanti biar gue aja yang cari alasan atau cari gara-gara biar kita bisa pisah dan Abang bisa nikahin Naura."
Langit menatap lekat istrinya itu, ada kebohongan di netra indah berbulu mata lentik alami itu.
"Jangan liatin gue gitu dong, emang ada apaan di mata gue?"
Sungguh Kinan sudah mulai terbiasa dengan pernikahan terpaksanya ini walaupun baru berjalan sebentar.
"Naura masa lalu saya dan enggak pernah kembali. Pantang buat saya merevisi keputusan yang udah saya ambil sampe final," ucap Langit lantang dan tetap datar.
"Tapi lo harus bahagia, Bang. Bahagia dengan cinta dan mimpi lo. Mungkin kita enggak bisa jadi suami istri beneran tapi kita bisa jadi partner, anggap aja gue adek lo, Bang. Dan gue bakal anggap lo kakak gue beneran," kata Kinan memberi ide.
Langit berdiri sambil merapikan sejadahnya, "Ada ya adek tapi sekamar dan sekasur gitu?"
Selalu saja nyinyir, begitu pikir Kinan padahal ia sudah berusaha seramah mungkin. Ia pun segera membuka mukena dan kembali memakai sweater nya.
"Pulang dari sini kita pindah ke rumah saya, jaraknya lebih deket ke kantor dan kampus kamu. Disana ada 3 kamar dan kamu bakal punya kamar sendiri," terang Langit.
Kinan sempat tertegun dan tak ada dalam bayangannya untuk pindah dari rumahnya, tempat ia tumbuh besar dan mengukir banyak kenangan terutama dengan almarhumah ibunya.
"Kalau gue enggak mau gimana? Kalau Papa enggak izinin gimana?
Langit mengerutkan keningnya, "Terserah...tapi satu yang pasti, Papa enggak akan bisa apa-apa. Karena kamu udah tanggung jawab saya dunia akhirat."
Oke, satu hal yang mungkin Kinan lupa. Jika ia sudah sepenuhnya milik Langit dan papanya tak bisa berbuat apapun.
***
Kembali ke Bandung, sepasang pengantin baru ini langsung packing karena sesuai apa yang sudah dibicarakan Langit bahwa keduanya akan pindah dari rumah besar Rayadinata.
"Bang, Naura kayak gimana sih orangnya? Cantik pake banget?" tanya Kinan sambil membereskan isi koper yang akan dibawa pindah ke rumah Langit.
Tak ada jawaban dari lelaki bertubuh jangkung itu, ia fokus membantu Kinan mengepak buku-buku kuliah dan juga aneka partitur lagu yang berserakan.
"Bang, denger enggak?"
Kali ini Langit melirik tajam, "Kalau cantik kenapa kalau enggak kenapa?"
"Elaaahhh...tinggal jawab aja kenapa sih, ribet amat," ucap Kinan.
Terus terang Langit tak nyaman jika terus diteror pertanyaan seputar Naura tapi ia berusaha memaklumi karena yang bertanya adalah istri muda usianya.
"Naura, tingginya enggak lebih dari kamu, berjilbab dan berkacamata. Kalau kamu tanya dia cantik atau enggak? Jawabannya, cantik. Setelah ini enggak usah tanya Naura lagi, bisa?"
Tercubit hati Kinan ketika suaminya menjelaskan sosok Naura yang sepertinya jauh dari dirinya. Perempuan bersuara sopran itu langsung memasang muka tak ramah dan itu disadari Langit.
'Salah lagi gue, gini nih resenya cewek. Giliran dijelasin malah ngambek.'
"Ayok, udah beres kan? Enggak usah dibawa semua juga toh kamu masih akan kesini juga. Pamit dulu sama Bi Inah dan Teh Teti sana!" titah Langit yang dibantu Ucok memasukkan barang-barang Kinan ke bagasi mobil.
Pemandangan haru tersaji di service area rumah Rayadinata, dua ART yang setia sejak Kinan kecil kini harus berpisah dengan majikannya itu.
"Sering-sering kesini ya, Non. Soalnya nanti bibi bakal kangen banget," ucap Bi Inah terbata seraya terus mengusap air matanya yang terus meluruh tanpa komando.
Tak ada suara dari Kinan, ia hanya mengangguk dan memeluk erat sekali lagi para ART nya.
"Den Langit, titip Non Kinan ya. Kalau emang disana butuh asisten bibi atau Teti siap kesana," Bi Inah berkata sekali lagi tetapi kini kepada Langit.
"Biar Kinan belajar mandiri dulu ya, Bi. Nanti juga kalau udah enggak sanggup dia pasti telepon ke Bibi," tukas Langit seraya tersenyum ramah.
Meninggalkan rumah yang sudah ia tempati sejak lahir membuat Kinan sedikit melankolis. Papanya tak ada ketika ia meninggalkan tempat yang menjadi saksi suka duka dunia karena sedang berada di Hanoi.
"Jadi gimana? Mau ikut saya atau mau tetap di rumah sama Bi Inah?" tanya Langit dari balik kemudi.
Istri kecilnya hanya terdiam tak berani bicara karena air matanya terus keluar.
Langit sudah akan putar balik tetapi tangan Kinan mencengkramnya.
"Udah enggak usah, jalan aja ke rumah lo, Bang. Lagian lo mah enggak ngerti, ya wajar dong kalau gue melow. Rumah itu tempat gue tumbuh, banyak cerita disana termasuk sama almarhumah Mama."
Bukannya Langit tak mengerti tapi ia sedang mendidik Kinan menjadi wanita mandiri dan lebih kuat dari sebelumnya. Sayangnya perempuan muda berusia 19 tahun itu tak mengerti maksud Langit.
Selang 30 menit keduanya berhenti di depan rumah berlantai 2, catnya dominan coklat dan hitam. Dindingnya warna natural, tidak besar tetapi tidak kecil juga.
"Ini rumahnya?" tanya Kinan seraya mengitarkan pandangannya ke sekeliling.
Tetangga kiri kanan nya pun memiliki desain rumah yang serupa hanya berbeda nomor rumah saja.
Langit mengangguk, "Ayo masuk, nanti biar saya yang turunin barang-barangnya."
Membuka pintu utama dengan telapak tangan Langit yang digerakkan membuat Kinan melongo.
"Canggih juga rumah lo, Bang. Norak gue liatnya, kok Papa enggak bikin kayak gini ya di rumah?" tanya Kinan absurd.
Langit hanya melirik sekilas perempuan yang mengekorinya sedari tadi sambil menyalakan sensor lampu ruang tamu dan ruangan lainnya dengan tangan kiri.
"Wooww...Bang, keren banget sumpah. Nanti kalau gue punya rumah pengen kayak gini juga ah. Tar gue bilang sama Papa," kata Kinan dengan binar mata antusias.
"Rumah? Ini rumah kamu, milik kamu. Ngapain minta Papa bikinin rumah kayak gini, kamu sekarang nyonya rumahnya kok," sahut Langit seraya menaiki tangga menuju kamarnya.
Kinan tertegun memikirkan perkataan suaminya. Apa katanya tadi? Ini rumah gue? Apa iya?
"Bang, kamar gue dimana?" teriaknya.
Tak ada jawaban dari suami dinginnya itu, entah sedang apa diatas dan Kinan pun tak berani menyusulnya hingga ia tertidur di sofa bed hitam tepat berada di depan televisi yang masih menyala.
Langit lupa ada istri yang ia biarkan di lantai bawah tanpa tahu dimana kamarnya karena ia langsung zoom meeting dengan gubernur 90 menit lamanya.
Gegas ia turun teringat istrinya yang sedari tadi tanpa suara.
'Ya Allah, Neng. Maafin, gue bener-bener lupa kalau sekarang ada lo disini.'
Menatap lekat perempuan yang kini akan menemani hari-harinya itu, Langit tersenyum simpul. Surai rambut yang menutupi sebagian wajah cantik Kinan dienyahkannya perlahan.
Ada bimbang sejenak apa Kinan dibangunkan saja atau digendong Langit menuju kamar yang ia sediakan untuk istrinya itu.
Setelah dipikir berulang kali Langit tak ingin mengganggu nyenyak tidur KInan. Dengan sekali hentak, ia pangku perempuan berkulit putih bersih itu ala bridal style menuju kamar.
Langit sudah persiapkan penghangat ruangan di kamar baru Kinan, ia nyalakan setelah direbahkannya sang istri di kasur empuk yang juga sengaja ia beli sehari sebelum menikah.
Menutup perlahan pintu kamar Kinan, Langit kembali ke kamarnya di lantai atas. Ia teruskan pekerjaan yang sudah menumpuk karena ditinggal cuti menikah.
Waktu menunjukkan pukul 11 malam ketika Kinan tersadar ada di ruangan yang asing untuknya.
'Gue dimana ini? Sepi banget, Bang Langit kemana ya?'
Baru ia tersadar jika saat ini sedang berada di rumah Langit. Perutnya keroncongan karena terakhir Kinan makan ketika siang tadi.
Memutuskan untuk keluar kamar tetapi ia teringat bahwa di rumah ini semuanya serba smart. Ia mencoba membuka pintu dan ternyata masih bisa dibuka.
Kinan menuju dapur mencari sesuatu yang bisa ia makan, dibukanya kulkas side by side yang ia tahu harganya pun tak murah.
'Dia ASN tapi rumah bisa smart gini belum lagi kulkas kayak gini kan mahal. Emang gaji ASN itu gede ya? Kok bisa punya barang-barang mewah gini.'
Di kulkas yang dapat menampung banyak bahan makanan itu hanya terdapat susu full cream putih, 3 buah apel, dan semangkuk anggur hijau.
Sempat meragu tetapi akhirnya Kinan memberanikan diri ke lantai 2 tempat dimana suaminya berada. Melirik ke kanan dan kiri mencari kamar lelaki yang seminggu ini menjadi teman hidupnya, mata Kinan tertuju pada akrilik kuning terang yang menempel pada pintu hitam berluliskan Langit Zone.
Mengetuk pintu kamar suaminya itu berkali-kali tetapi tak ada jawaban. Kinan nekad mendorong handle pintu.
Seketika Kinan menjerit seraya menutup wajah dengan kedua tangannya, "Bang Langiiiittttt...."
"Kinaaaaannnn..." Langit tak kalah meninggikan suara.Langit buru-buru memakai kaos yang tadi dibukanya, hanya tersisa boxer brief yang menutup bagian bawah tubuhnya."Lagian Abang, gue udah ketuk pintu enggak ada jawaban. Mana gue tau kalau lo pake headset gitu mana telanjang pula," ucap Kinan membela diri dengan wajah yang masih ia tutup dengan kedua tangannya."Ada apa sih?" sungut Langit yang sudah menggunakan kaos rumahan dengan celana trainning.Kinan membuka matanya perlahan, ada lega yang ia rasakan walaupun jantungnya masih berdisko ria. Mungkin pemandangan seperti ini akan terulang di kemudian hari karena hidupnya kini akan ada di sekitar lelaki bertubuh atletis."Gue laper, kulkas segede gitu isinya cuma susu sama apel 3 biji, anggur tinggal semangkok. Mie instan dimana naronya?" protes Kinan pada teman satu rumahnya itu.Menatap sejenak sang istri seraya menarik nafas, Langit gegas menuruni tangga. Menuju dapur dan membuka rak atas kitchen set nya."Nih, stok mie disini ka
"Besok gue kuliah pagi, Bang. Kalau dosennya ada semua kuliah sampe jam 3 sore, udah itu gue izin buat latihan sama anak-anak di studio," kata Kinan ketika makan malam tiba. Langit memutuskan untuk tak memberi tahu istrinya jika ia melihat chat dari nomor tak dikenal. Namun bukan Langit namanya jika tak memiliki tindakan preventif. "Ok, besok saya anter sebelum ke kantor. Pulangnya saya jemput, bilang aja jam berapa selesainya dan dimana tempat latihannya," sahut Langit berusaha setenang mungkin agar tak terlihat mengetahui sesuatu. Hati Langit resah luar biasa karena isi chat dari seseorang yang ia yakini itu Jodi. Bahaya mengintai istrinya, rasanya ingin sekali ia melarang Kinan keluar rumah. "Ihhh...enggak usah dianter segala, gue pake motor aja. Nanti pulangnya juga...." "Bisa nurut enggak? Saya bilang saya yang antar dan saya juga yang jemput, ngerti?" Langit memotong ocehan Kinan. Jika sudah seperti itu Kinan tak berkutik. Entah kemana perginya julukan Kinanti si pembangkan
Langit bersimpuh di hadapan Kinan terbaring lemah di sofa panjang milik ibu baik hati yang bersedia menampung istrinya itu. "Kinan, Sayang..." panggil Langit dengan suara tercekat. Lelaki tampan yang biasanya dingin dan ketus itu mendadak lemah lembut menyapa sang istri, ada tangis yang mati-matian ia tahan. Tak tega rasanya melihat pipi kulit putih bersih itu memerah karena tamparan ditambah darah yang mengering di sudut bibirnya. Kinan bergerak pelan merasakan sentuhan di pipinya, respon tubuhnya menegang. Matanya langsung terbuka waspada. "Ini Abang, Kinan," kata Langit yang untuk pertama kalinya memanggil dirinya dengan sebutan yang sering istrinya panggil. Tak ada suara dari perempuan yang malam ini tampak tak beraturan, ia hanya memeluk suaminya sekencang mungkin dengan air mata yang terus meluruh. Tak ada raungan atau teriakan, Kinan menangis dalam diamnya. Sakit, pasti sakit sekali. Perempuan yang biasanya riang tanpa beban kini terlihat lemah tak berdaya menahan luka f
"Bang, kok belum siap-siap. Ini udah setengah 8 loh," kata Kinan mengingatkan.Melirik jam dinding yang menggantung di dinding meja makan, Langit menjawab, "Ke kantor tapi siangan, banyak yang harus diurus."Tak curiga, Kinan kembali ke kamarnya. Ia pun memilih tak kuliah, mentalnya belum siap untuk kembali ke kampus. Berusaha tegar tetapi bayang-bayang penyekapan singkat Jodi dan 2 bodyguardnya masih belum hilang dari ingatan."Baru juga cuti kemarin, Bang. Sekarang udah enggak masuk lagi," Kinan khawatir jika Langit keseringan tak masuk akan mempengaruhi kinerjanya."Saya enggak cuti tapi ke kantor rada siang, besok saya ada dinas ke Jakarta, kamu ikut ya. Kuliahnya minta online dulu, nanti saya bantu bilang sama dosen kamu."Sejujurnya Langit masih amat khawatir jika meninggalkan Kinan sendiri termasuk saat kuliah."Bang, yang bener aja masa iya gue ikut lo kerja. Enggak ahhh, lagian mau cari kostum buat hari Sabtu besok. Gue pulang ke rumah aja, disana ada Bi Inah sama Teh Teti,"
Lelaki berkulit gelap yang sepertinya berasal dari benua hitam itu terus mengawasi kedua tamu bosnya, hingga Doni Chivas, begitu orang dekat mengenalnya memintanya untuk pergi."Om cari kamu, Langit. Ke sekolah pun sempat om datangi tapi pihak sekolah kamu enggak kasih info apapun tentang kamu dan ibumu," sesal Doni."Untuk apa, Om? Bukannya Om udah ambil semuanya atau masih kurang?" sindir Langit.Doni terdiam terdengar hanya hembusan napasnya dari ruangan kedap suara itu. Hingar bingar diluar nyaris tak terdengar."Ada hak kamu, ibumu, juga adikmu di perusahaan. Sampai hari ini enggak kami ambil karena om masih yakin kalau suatu hari nanti bakal ketemu kamu atau ibumu. Dan hari ini tiba juga, Langit."Langit mendengkus kesal seraya tersenyum sinis, "Saya enggak ada hak apapun di Daya Asia Corp, Om. Perusahaan almarhum ayah itu Langit Asia Corp sesuai nama saya kalau yang sekarang saya enggak tau menau. Tapi kalau akta perubahan dan lain-lain mungkin Om lebih tau."'Lalu mau apa kamu
Pengakuan Kinan membuatnya merasa tak punya muka di hadapan Langit, wataknya blak-blakan khas perempuan yang sedang ada di akhir remajanya. Namun kejujuran Kinan nampaknya ada efek yang merubah alur hidup sepasang suami istri ini. Langit kembali dingin seperti awal bertemu. Sarapan yang biasanya penuh cerita menjadi arena kucing-kucingan yang tak berakhir. Nyaris tak ada komunikasi langsung antara Kinan dan Langit sepulangnya dari Jakarta. "Saya duluan, nanti pulang malam," ucap Langit dingin. Kinan hanya mengangguk seraya bertanya pada dirinya sendiri. 'Gue salah apa sih, Bang? Apa ketakutan ini enggak boleh gue ungkapin.' Bukan hanya Kinan yang dilanda kebingungan, Langit juga. Dalam perjalanan menuju kantor, Langit terus memikirkan ucapan Kinan tempo hari. 'Maafin saya kalau sekarang jadi beda, Kinan. Saya pengen jaga jarak dulu sama kamu, saya cuma enggak mau nyakitin kamu. Karena sejujurnya saya lagi berusaha mengikis rasa saya sama perempuan lain dan ternyata itu enggak m
Mondar mandir di depan ruangan bertulisankan Instalasi Gawat Darurat, Langit tak bisa diam. Fajar berusaha menenangkan atasannya itu tetapi nampaknya sia-sia. Diberitahu Pak Arif ketika rapat sudah berjalan kurang lebih 90 menit, Langit tak meminta izin meninggalkan ruangan. Ia langsung menuju lapangan voli dan kebetulan ada Fajar yang baru saja kembali dari toilet. Mengusap wajah hingga kepala dengan kedua tangannya, Langit begitu cemas. Kali kedua Kinan membuatnya seperti ini, bayang-bayang kehilangan seorang yang berarti terus berkecamuk dalam pikiran. "Bos, maaf nih saya sok tahu karena saya juga nikah aja belum cuma kata orang-orang, kita harus manfaatin waktu sama orang yang kita sayang sebelum waktu itu berakhir. Gitu katanya, Bos," ujar Fajar memberitahu tanpa menggurui. Langit tak mampu berkata-kata, apa yang staff nya bilang benar adanya. Ego tingginya mengalahkan logika hanya karena istrinya takut jatuh cinta padanya. Padahal ia sendiri pun mengingkari dirinya yang seda
"Kinan, pulanglah. Papa tau kamu sama Langit lagi enggak baik-baik aja. Tapi bukan begini caranya, dengan menghindar dari suamimu masalah bukannya selesai malah makin panjang," ujar Papa yang tiba-tiba masuk ke kamar setelah Kinan membalas pesan Fajar. Kinan menunduk memainkan jemari yang saling bertaut. Cinta pertamanya tahu bahwa ia berbohong, Langit tidak pelatihan tidak pula ke Jakarta. Ia lupa jika sang papa memiliki banyak mata di Bandung. Papa sengaja mendekat ke tepi ranjang, berbagi pengalaman. "Dulu, papa dan mama juga sering ribut, apalagi awal-awal pernikahan kami. Banyak berdebat dan berselisih paham. Enggak jarang mama sampe nangis kalau berantem sama papa tapi yang harus kamu tau, Mama enggak pernah sekalipun meninggalkan rumah dalam keadaan marah dan emosi. Almarhumah tetap di rumah, tetap melayani semua kebutuhan papa walaupun hatinya masih kesal, mulutnya masih terkunci." "Ya tapi kan Papa enggak nyebelin makanya Mama bisa sabar ngadepinnya," potong Kinan. "Kata
Kinan tertegun, pikirannya blank, tubuhnya linglung. Ingin sekali berteriak tetapi lidahnya kelu, ini bohong kan? Mimpi kan? Apa namanya sama? Dan berjuta pertanyaan lainnya yang terus berputar di kepala Kinan."Teh Kinan, tau kan siapa dia? Mungkin Aa pernah cerita, dia anaknya Om Doni Purnomo yang ambil alih perusahaan almarhum Ayah. Dan Aa itu benci banget sama dia," jelas Salma.'Dia juga mantan gue, Sal. Karena dia, gue dikawinin sama Abang lo dan dia juga yang hampir ambil kegadisan gue. Duhh...gue enggak tau deh gimana murka nya Abang lo kalau tau.'Kinan hanya bia bermonolog dalam hatinya."Tapi sebaiknya Abang emhhh...maksud aku Aa tau ini, Sal. Semarah apapun nanti tapi dia berhak tau, anak di perut kamu itu butuh ayahnya. Darah Purnomo mengalir deras disana dan kamu enggak bisa mengelak," saran Kinan.Salma terdiam, ia begitu bimbang apa harus jujur atau tidak. Jika jujur, resikonya begitu besar tetapi jika tidak ia tak ingin Ibu dan kakaknya menanggung malu."Tapi gimana?
Pagi kesekian masih di kota Perth, Australia Barat. Kedua pengantin lama rasa baru ini masih bergelung dengan selimut."Morning, Love," sapa Langit dengan suara khas bangun tidur, terduduk diatas ranjang. Rambut acak-acakan membuat aura seksi semakin kentara."Morning juga, Papa Bear," jawab Kinan yang sudah membuat hot papermint tea untuknya."Jadi kamu Marsha nya?" kelakar Langit sambil tertawa.Kinan melirik sekilas seraya tersenyum manis. Tak berbeda jauh dengan tampilan sang suami, pagi itu Kinan masih dengan camisol satin diatas lutut warna putih. Rambutnya diikat asal keatas ala gadis Thailand."Bikin minum cuma satu, Love?" Langit beranjak dari ranjang hanya menggunakan boxer brief hitam, otot trapezius tercetak indah dari punggungnya."Ya udah iya, ini mau aku bikinin. Hot papermint tea nya juga."Setengah berteriak dari kamar mandi dengan mulut penuh busa pasta gigi, "No, saya udah enggak suka papermint tea. Bikinin capuccino aja ya, Love."Kinan tersenyum seraya memanaskan
Mentari pagi mengintip malu-malu di langit Australia Barat, sama halnya dengan seorang perempuan muda yang semalam menyerahkan mahkota sucinya pada suami yang ternyata masih setia menantinya sejak 2 tahun lalu.Kinan sudah terbangun lebih dulu tetapi kungkungan lengan besar yang menguasai pinggangnya begitu sulit dienyahkan. Bergeser perlahan dengan maksud menuntaskan hajat paginya tetapi rasanya tak ada tenaga yang tersisa dari pertempurannya semalam.Gerak tubuh Kinan yang cukup mengganggu mengusik lelaki yang begitu tampan berbagi peluh dengannya, jika ingat peristiwa itu ia ungin sekali menenggelamkan diri ke dasar palung Mariana."Morning, Love...Pagi, Neng..."Suara serak khas bangun tidur ditambah rambutnya yang masih acak-acakan menambah seksi Langit pagi itu.Kinan menunduk malu sambil terus memegangi selimut putih sebatas dada, sampai ia terlelap pun tubuhnya masih polos tanpa busana. Hotpants dan tanktopnya berceceran entah dimana."Bang, pengen ke kamar mandi tapi ini gima
'Gimana udah lulus? Kok enggak ada kabarnya? Mentang-mentang udah ketemu pawang.' "Astaga, Bang. Kok aku lupa ngabarin Papa, kamu ngabarin enggak?" Kinan langsung mencari nama papanya di kontak ponsel. "Video call aja, Neng," saran Langit. Setiap panggilan Neng keluar dari mulut Langit, perempuan cantik yang kini tepat berusia 22 tahun itu selalu merasakan panas di wajahnya. "Hallo, Pa. Maaf lupa ngabarin. Ini baru sampe flat dan alhamdulillah aku lulus, nilainya juga memuaskan," terang Kinan. Lelaki paruh baya yang nampak semakin sepuh itu seperti menyeka bulir bening yang keluar dari sudut matanya. "Syukurlah, papa bangga sekali sama anak nakal yang sekarang udah dewasa, makin matang makin tenang. Selamat ulang tahun ya, Sayang. Eh, Langit ada kan?" Arah kamera ponsel Kinan arahkan pada lelaki tampan di hadapannya, "Hadir, Pa. Sesuai janji dan kesepakatan." Gelak tawa Papa terdengar begitu renyah menggantikan tangisan haru lelaki yang berjuang sendiri tanpa pendamping untuk m
"Kapan wisudanya ini?" tanya Langit seraya terus menggenggam tangan Kinan keluar dari ruang sidang. "Bulan depan kayaknya, Bang. Nanti Abang bisa temenin lagi kan?" ucap Kinan malu-malu. "Insya Allah, pasti dtemenin. Enggak mau kehilangan momen lagi aku, cukup 2 tahun kemaren Papa nyiksa segitu beratnya." Keduanya memutuskan untuk duduk sejenak di taman kampus, melepas rindu bertukar cerita yang mungkin lebih tebal dari novel jika dibukukan. "Abang enggak nakal selama aku enggak ada?" tanya Kinan. Langit mengernyit, "Wait, coba ulangi." Merasa tak ada yang salah dengan pertanyaannya, "Apaan sih, Bang. Emang pertanyaan aku salah?" "Aku? Enggak salah denger ini?" goda Langit yang cukup surprise dengan bahasa sang istri yang berubah. Mendelik kesal, "Oke, ulangi. Abang enggak nakal kan selama gue enggak ada?" Tawa renyah Langit menguar terbawa udara kota Perth, "Kaku gitu ngomong gue nya sekarang." "Teruuss aja terus godain aku, udah pasti disana juga godain ASN muda atau tetan
Langit terpogoh karena mendapat informasi dari security, bahwa ada yang mencarinya bernama Billy Rayadinata. Terlihat dari kejauhan pria paruh baya berkacamata progresif itu menantinya di ruang tunggu."Papa, ya ampun sampe kesini segala. Padahal mah telpon aja atuh, nanti Langit ke rumah," ucap Bintang seraya menyalami ayah mertuanya takzim.Tersenyum lebar, Papa mengitarkan pandangannya ke gedung bersejarah paling ikonik di Jawa barat, Gedung Sate. Tempat yang baru kali ini ia kunjungi selama hidup sebagai warga bumi Pasundan. "Enggak apa-apa, pengen tau kantor mantu sendiri. Kebanggaan banget kayaknya ya, Lang bisa ngantor disini."Langit menanggapinya dengan balik tersenyum, "Ada apa ini, Pa. Kaget banget tadi kata satpam bilang ada ayahnya Pak Langit kesini katanya. Sempet kaget masa iya tapi ternyata beneran.""Terus aja nanya kamu tuh ada apa, ya emang enggak boleh papa kesini. Apa jangan-jangan ada ASN muda yang lagi kamu dekati disini terus papa kesini, ketauan," selidik Pap
Sarapan Papa dan Langit di kediaman Rayadinata pagi itu nampak berbeda. Sengaja Papa Billy memanggil menantunya ke rumah."Papa mau ketemu Kinan, Lang. Titip apa sama dia?"Satria Langit Bhagaskara masih setia dengan kesendiriannya, di usianya 35 tahun ia beristri tetapi menduda."Titip rindu aja, Pa. Kalau titip oleh-oleh juga bingung mau dibawain apa, saya kan enggak tau Papa sembunyiin istri saya dimana."Dua tahun harus dibayar mahal Langit sebagai kompensasi karena papa mertuanya setuju untuk tidak memisahkanya dengan Kinan."Papa ini dosa dunia akhirat sama kamu, Lang. Enggak seharusnya papa sembunyikan istri kamu kayak gini tapi yang harus kamu tau, papa punya strategi. Semoga sabarmu masih cukup, sebentar lagi aja," kata Papa dengan rasa penyesalan yang teramat dalam.Langit tersenyum simpul, "Kalau saya menyerah sekarang enggak mungkin, Pa. Ini udah kepalang tanggung, penantian saya sia-sia kalau saya mundur. Saya sama sekali enggak meragukan strategi yang Papa bikin, percaya
Ketidakadilan yang Naura rasakan membuatnya hancur, baru saja ia bertemu dengan cinta pertamanya kini harus menerima kenyataan jika lelaki yang selalu menghiasi mimpinya itu telah menikah.Kenapa baru sekarang? Ketika semua mimpinya sudah hampir tercapai tapi tiba-tiba patah begitu saja."Siapa perempuan itu, A?" tanya Naura."Kamu enggak kenal, Ra," Langit tak berani menatap manik indah yang berubah sendu itu.Naura mencoba menegarkan dirinya, "Aa cinta sama dia?""Jujur, awalnya enggak, Ra. Waktu itu kamu enggak tergantikan tapi semakin kesini saya semakin takut kehilangan dia. Kesannya saya alay, Ra, tapi ini fakta yang harus kamu tau. Ternyata Kinan nadi saya, enggak ada dia saya kacau, enggak ada dia saya hancur," ucap Langit yang sadar betul apa yang ia katakan ini menyakiti perempuan yang sudah lama menantinya itu."Dan aku terganti? Benar begitu?" cecar Naura.Langit mengangguk, "Maafkan saya, Ra."Naura terus menggelengkan kepalanya, berharap semua yang ia dengar ini mimpi be
"Kinan, pulanglah. Papa tau kamu sama Langit lagi enggak baik-baik aja. Tapi bukan begini caranya, dengan menghindar dari suamimu masalah bukannya selesai malah makin panjang," ujar Papa yang tiba-tiba masuk ke kamar setelah Kinan membalas pesan Fajar. Kinan menunduk memainkan jemari yang saling bertaut. Cinta pertamanya tahu bahwa ia berbohong, Langit tidak pelatihan tidak pula ke Jakarta. Ia lupa jika sang papa memiliki banyak mata di Bandung. Papa sengaja mendekat ke tepi ranjang, berbagi pengalaman. "Dulu, papa dan mama juga sering ribut, apalagi awal-awal pernikahan kami. Banyak berdebat dan berselisih paham. Enggak jarang mama sampe nangis kalau berantem sama papa tapi yang harus kamu tau, Mama enggak pernah sekalipun meninggalkan rumah dalam keadaan marah dan emosi. Almarhumah tetap di rumah, tetap melayani semua kebutuhan papa walaupun hatinya masih kesal, mulutnya masih terkunci." "Ya tapi kan Papa enggak nyebelin makanya Mama bisa sabar ngadepinnya," potong Kinan. "Kata