"Besok gue kuliah pagi, Bang. Kalau dosennya ada semua kuliah sampe jam 3 sore, udah itu gue izin buat latihan sama anak-anak di studio," kata Kinan ketika makan malam tiba.
Langit memutuskan untuk tak memberi tahu istrinya jika ia melihat chat dari nomor tak dikenal. Namun bukan Langit namanya jika tak memiliki tindakan preventif.
"Ok, besok saya anter sebelum ke kantor. Pulangnya saya jemput, bilang aja jam berapa selesainya dan dimana tempat latihannya," sahut Langit berusaha setenang mungkin agar tak terlihat mengetahui sesuatu.
Hati Langit resah luar biasa karena isi chat dari seseorang yang ia yakini itu Jodi. Bahaya mengintai istrinya, rasanya ingin sekali ia melarang Kinan keluar rumah.
"Ihhh...enggak usah dianter segala, gue pake motor aja. Nanti pulangnya juga...."
"Bisa nurut enggak? Saya bilang saya yang antar dan saya juga yang jemput, ngerti?" Langit memotong ocehan Kinan.
Jika sudah seperti itu Kinan tak berkutik. Entah kemana perginya julukan Kinanti si pembangkang, setelah menikah ia begitu tunduk pada suaminya. Kharisma Langit memang tak terbantahkan, ia mampu mematahkan apapun alibi yang istrinya buat.
Tak ada sanggahan lagi dari Kinan, ia memilih kamar sebagai tempat persembunyiannya dan musik adalah pelampiasannya.
Keesokan harinya Kinan bersiap lebih dulu, hatinya bertanya-tanya mengapa Langit belum turun dari kamarnya karena biasanya sang suami lebih dulu ada di meja makan dibanding dirinya.
"Bang, are you ok?" teriak Kinan ke arah tangga yang terhubung dengan kamar lelaki tampan bersorot mata tajam.
"Iya, bentar lagi turun," teriak Langit dari atas. Yang Kinan tidak tahu, suaminya sedang koordinasi dengan Fajar untuk mencari tahu dimana studio tempat Kinan latihan dengan bandnya.
Langit tak sempat sarapan karena khawatir Kinan terlambat masuk kuliah pagi. Namun kini istri muda belianya itu sudah mulai paham tugasnya.
"Aaa...Bang!" titah Kinan yang ternyata membuatkan roti panggang selai kacang favorit Langit.
Ada rasa canggung dan terkejut yang dirasakan Langit karena inisiatif Kinan untuk membuatkannya sarapan dan dibekal dijalan.
Langit membuka mulutnya tanpa suara, sulit rasanya mengucapkan terima kasih pada istrinya itu. Sudut bibir kanan lelaki berseragam coklat itu terangkat tanpa Kinan sadari.
"Nih minumnya, papermint tea. Masih anget kok, tadi gue cari tumbler tahan panas biar hangatnya tetap terjaga," ucap Kinan seraya menyodorkan tempat minum berwarna hitam berlogo kedai kopi mahal asal Amerika.
Kali ini Langit harus membalas baiknya Kinan pagi itu, "Thanks, istri kecil."
Puncak kepala Kinan diusap Langit pelan, membuat mahasiswi semester 4 itu menahan nafas.
"Jangan gini ah, Bang. Nanti gue baper gimana? Lo mesti inget sama Naura yang masih setia nungguin lo," sahut Kinan dengan wajah merona.
"Naura masa lalu saya, kamu masa depannya," balas Langit dengan mode datar.
Melirik lelaki yang keren dibalik kemudi dengan seragam dinas yang pas membentuk tubuh, Kinan kembali berucap, "Masa depan karena tanggung jawab dan komitmen ya, Bang."
"Karena itu esensi pernikahan, Kinan. Nanti juga kamu paham, jodoh itu sudah dipilihkan Tuhan yang terbaik buat kita. Kalau Tuhan pilih kamu buat saya, ya berarti kamu yang terbaik. Sesimpel itu," Langit begitu santai menjawab.
Ia tak tahu ada soda gembira di perut Kinan yang sedang membuncah mendengar apa yang baru saja dikatakannya.
"Sampai, udah ini langsung masuk kelas. Jangan lupa kabari saya nanti dimana latihannya, nanti sore saya jemput kamu."
Kinan tersadar dari lamunannya, seraya melepas seat beltnya.
"86, Bos. Gue pamit ya, Assalamualaikum"
Ditariknya punggung tangan Langit kemudian Kinan menciumnya dengan takzim. Ia tempelkan bibir dan dahinya pada sang suami.
Bohong besar jika Langit merasa biasa saja yang ada seluruh sistem pencernaan bak menabuh perkusi berjamaah.
"Waalaikumsalam, hati-hati."
Ingin rasanya Langit menarik kepala Kinan dan mencium puncak kepalanya tetapi apa yang baru saja sang istri lakukan membuatnya sulit berpikir jernih. Hatinya begitu bahagia hanya karena perempuan 19 tahun itu mencium punggung tangannya.
'Gila...baru dia cium tangan aja gue udah blank.'
Begitu pula dengan Kinan yang hari itu merasa kasmaran lagi, tak ada ungkapan cinta dari sang suami tetapi ia rasakan Langit begitu peduli padanya. Hati yang selama hampa seolah terisi kembali. Semoga bukan karena perkara sarapan perlakuan manis lelaki berdada bidang itu.
"Happy banget kayaknya pengantin baru," sapa Ale.
Kinan melotot, ia melirik kanan dan kiri khawatir ada yang melihatnya.
"Berisik lo, Al. Gimana kalau ada yang denger."
Ale, sahabat dari kecil sekaligus bassis White Panther hanya terbahak melihat kepanikan Kinan. Mencintai dalam diam adalah pilihan Ale entah sampai kapan apalagi kini secret admirer nya sudah milik lelaki lain yang lebih pantas dibanding dirinya.
"Latihan lo tar sore, persiapan manggung weekend ini. Keren nya kita bisa jadi band pembuka band sekelas Red Cherry."
"Iyaa, gue semangat banget buat latihan nanti."
"Laki lo ngizinin? Baik juga, kirain bakal kayak kanebo kering mulu."
"Ngizinin laahh, laki gue mah baik banget, Al."
"Yaa...jangan kasih jatah kalau enggak ngizinin mah, simpel aja."
Harusnya ada cermin karena Kinan merasa wajahnya panas dan sudah pasti pipinya memerah bak kepiting rebus dan Ale terbahak puas sekali.
"Anak kecil berisik, jangan tau dulu tentang jatah. Kencing lo aja belum lurus," ucap Kinan seraya berlalu.
Sore menjelang, Kinan selesai perkuliahan langsung menuju studio untuk latihan persiapan menjadi band pembuka Sabtu pekan ini. Namun gelisah melanda karena ponselnya mati, ia sulit menghubungi suaminya.
"Kenapa sih lo?" tanya Ale melihat sahabatnya resah.
"Hp gue mati, tadi pagi gue janji mau ngabarin Bang Langit. Lo punya nomornya enggak? Biar gue chat dia dari hp lo."
"Diiihhh...kapan lo ngasih nomor hp laki lo ma gue, Kinan. Udah nanti sampe studio charge aja, pasti anak-anak bawa juga."
Namun tetap saja itu tak membuat hati Kinan tenang. Sudah terbayang bagaimana marahnya sang suami ketika ia tak ada kabar.
Sampai di studio semua sudah berkumpul, latihan pun dimulai dan sialnya tak ada yang membawa charger handphone. Kinan berusaha fokus walaupun tetap ada pikiran yang mengganggunya.
"Al, tar anterin gue balik ya," pinta Kinan disela lagu kedua yang baru saja selesai ia bawakan.
Ale memberikan jempolnya tanda setuju.
Selesai berlatih semua bubar kecuali Bang Edo dan Ale. Terlihat sekali ada yang road manager nya itu pikirkan.
"Kenapa sih, Bang Edo? Kayak abis didatengin debt collector gitu," gurau Kinan yang sedang bersiap pulang menanti Ale yang sedang menambal ban motornya yang tiba-tiba kempes.
"Enggak apa-apa, Nay. Cuma ini ditungguin si bungsu di rumah," jawab Bang Edo yang selalu memanggil Kinan dengan nama panggung.
Kinan percaya saja, "Ya udah pulang aja atuh, gue enggak apa-apa kok. Paling bentar lagi Ale juga dateng, ta, tambal ban kan disitu doang deket."
Dengan rasa bersalah Edo meninggalkan Kinan dan berkata dalam hatinya.
'Maafin gue, Nay. Setelah ini gue bakal mundur dari White Panther karena gue biarin lo dalam bahaya.'
Edo dalam ancaman Jodi setelah sebelumnya keluarganya yang jadi jaminan jika ia tak ikut memuluskan rencana jahat lelaki setengah mafia itu.
'Ale kemana sih, ini udah mau maghrib juga. Mending gue tunggu di dalem deh, kata Mama dulu enggak boleh diluar kalau mau malem gini takut ada sandekala.'
Handphone nya tak nyala, ia mencoba memetik gitar klasik yang ada disana. Tak lama terdengar deru motor yang ia kira Ale.
Bersiap Kinan mengambil tote bag nya tetapi alangkah terkejutnya ia ketika seseorang mendatanginya.
"Selamat malam, Annaya ku sayang. Apa kabarnya, Cantik."
Jodi kembali, Kinan bergetar ketakutan. Mantan kekasihnya terus mendekat.
'Abang, tolongin Kinan.' Jerit Kinan memanggil suaminya yang ia harapkan mampu didengar.
Diluar studio, Ale mencari Kinan karena terkihat studio sudah sepi. Hanya ada dua laki-laki kekar yang sedang nongkrong di depan.
Ale pikir sahabatnya itu sudah pulang lebih dulu, ia kembali memutar motornya tanpa curiga apapun.
"Enggak ada yang bisa nolongin lo, Sayang. Bajingan itu juga enggak akan bisa nemuin istri cantiknya ini. Selamanya lo milik gue, Kinan. Enggak ada yang boleh hak patenin lo selain gue," ucap Jodi menakutkan.
Tak ada suara dari Kinan, hanya air mata yang terus meluruh.
"Pasrah banget lo, Cantik. Makin pengen gue setelah selama ini kalau gue maen sama cewek lain selalu bayangin lo yang ada dibawah gue. Dan sekarang mimpi itu bakal nyata, enggak masalah lah lo bekas pake bajingan itu yang penting benih gue nanti yang ada disana."
Jodi dan dunia tak tahu bahwa sampai hari ini kesucian Kinan masih terjaga dengan baik. Dalam pelukan Langit pun tak terjadi apa-apa walaupun Kinan tahu, suaminya menahan hasratnya mati-matian jika sedang memeluknya.
"Cuma Bang Langit yang boleh sentuh gue, bukan yang lain apalagi lo," ucap Kinan berani.
Jodi bertepuk tangan ketika mendengar suara Kinan, "Gilaaa...baru kenal aja udah sebucin ini lo, gue aja yang udah lama sama lo enggak pernah dibucinin segininya. Punya dia gede? Coba lo bandingin sama punya gue nih."
Kinan menutup kedua matanya ketika Jodi menanggalkan pakaiannya satu persatu. Sial baginya belt merk mahalnya sulit terbuka dan itu kesempatan bagi Kinan. Ia beranikan diri menendang senjata andalan sang mantan kekasih dan berusaha membuka pintu yang terkunci.
Kemeja dusty pink yang dikenakan Kinan ditarik Jodi hingga sobek dibagian lengan atas, ditamparnya pipi mulus putri kesayangan Billy Rayadinata itu hingga mengeluarkan darah di sudut bibir kanannya.
Tak menyerah, ketika rambut Kinan ditarik paksa. Ia berbalik dan mengambil gitar yang cukup berat disamping kanannya. Alat musik petik klasik itu dipukulkan Kinan pada kepala Jodi hingga terjatuh.
Kinan berhasil kabur, berlari sekencangnya dan kedua bodyguard Jodi melihat perempuan yang sudah tak beraturan itu berlari.
Sial bagi keduanya, Kinan berlari ke arah masjid. Dimana adzan maghrib berkumandang, banyaknya bapak-bapak yang akan shalat berjamaah. Kinan berlindung sementara.
"Neng, kenapa?" sapa seorang ibu bermukena putih.
Kinan memeluk wanita paruh baya itu, "Ibu, tolongin saya. Saya dikejar orang jahat, dia mau macem-macem sama saya."
Ibu tersebut memeluk Kinan, menutupnya dengan mukena.
"Ayo di dalam, mereka enggak mungkin berani masuk masjid."
Sadar posisinya terancam dan tak mungkin mengejar Kinan ke dalam masjid, Jodi dan kedua kacungnya meninggalkan studio.
"Neng, orang mana? Tinggal dimana?" sapa Ibu dan ternyata banyak pula bapak-bapak yang ikut berjaga.
Satu ibu lainnya membawakannya teh manis hangat, tubuh Kinan masih bergetar hebat. Air matanya sudah mengering tetapi jejaknya masih terlihat.
"Saya Kinan, Bu. Saya abis latihan di Studio 55, mau telepon suami saya tapi lowbat. Sampe orang tadi hampir...."
"Udah, Neng. Jangan diterusin, Ibu tau kelanjutannya. Hayu di rumah Ibu aja nunggunya, tas sama hp nya Neng dimana?"
"Masih disana, Bu. Saya enggak berani kesana," sahut Kinan lemah.
Para karang taruna setempat dimintai tolong DKM Masjid Al-Furqon untuk mendatangi studio tersebut untuk mengambil tas dan ponsel Kinan.
"Tasnya mah ada ini, Pak. Handphone nya juga ada tapi kayaknya abis dibanting," kata seorang lelaki seusia Ale.
Tote bag merek terkenal berinsial MK itu diberikan sang pemuda pada Kinan.
"Lho, ini kan Naya White Panther. Beneran kan?"
Kinan hanya tersenyum dan menunduk kembali. Ibu penolong tadi langsung paham bahwa yang ia temukan ini adalah public figure. Langsung saja kerumunan anak muda itu dibubarkan agar sang vokalis kembali tenang.
"Neng, mau nelepon suami? Ini pake hp ibu aja," tawar sang ibu.
Kinan menggeleng, "Nomornya saya enggak hafal, Bu."
Sementara di kantor pemerintah provinsi Jawa Barat ada seorang laki-laki yang khawatir dengan istrinya yang tak ada kabar berita.
"Jar, coba kamu cari tau di grup. Kali aja ada info dimana bandnya Kinan kalau latihan," titah Langit yang terus mondar mandir.
"Udah, Bos. Tapi katanya tempat latihan mereka pindah-pindah, studio yang biasa dipake lagi renov," jawab Fajar.
Langit semakin tak menentu, feelingnya mengatakan ada sesuatu yang terjadi.
"Bos, ini ada kontaknya Ale. Dapet dari temen, Pak Bos mau nelepon dia?"
"Ale siapa?" kata Langit panik.
"Ale bassis bandnya Bu Kinan," jawab Fajar.
Disalinnya nomor handphone itu dan Langit langsung menekan tombol hijau.
"Hallo."
"Hallo, Ale? Ale, saya Langit. Apa Kinan sama kamu?"
"Lho, kirain udah pulang, Bang. Tadi emang bareng saya, hpnya Kinan lowbat dan dia enggak bawa charger. Dari tadi juga gelisah katanya enggak bisa hubungi Abang, terus tadi janjian sama saya mau pulang bareng tapi saya nambal ban dulu. Pas balik ke studio udah sepi," ternag Ale.
"Ya Allah, Ale. Terus dia sekarang dimana? Tadi latihan studio mana?" tanya Langit lagi.
"Studio 55, Bang. Jalan Kecapi, pokoknya sejajaran mesjid. Abang mau kesana saya anter," tawar Ale.
"Ketemu disana aja!"
Menutup teleponnya, Langit menuju basement. Ditemani Fajar yang tahu lokasi persisnya dan ia ambil alih kemudi karena bosnya sedang kalut.
Tak sampai 30 menit, keduanya sampai di studio. Terlihat studio sudah sepi tetapi banyak remaja pria yang bergerombol.
"Malem, Dek. Mau tanya apa liat perempuan yang kira-kira usianya..."
Belum sempat Langit melanjutkan bicara, seorang lelaki muda memotongnya.
"Naya White Panther?"
"Iyaaa..." sambar Fajar.
"Tadi Maghrib sempet rame disini soalnya Naya ada percobaan pemerkosaan kayaknya, Kang," jelas pemuda tadi.
Runtuh dunia Langit, darahnya seolah berkumpul dibawah kakinya.
"Sekarang dimana Naya nya?" tanya Fajar karena bosnya sudah pucat pasi.
"Di rumah Bu Entin, itu tuh yang ada warung."
Gegas Langit berlari menuju warung yang ditunjukkan para pemuda karang taruna tadi.
"Permisi, Bu. Apa benar rumah Bu Entin? Saya Langit, tadi kata adek-adek disana..."
"Ohh...Aa suaminya Neng Naya?"
Langit mengangguk dan dipersilahkan masuk oleh Bu Entin.
Terlihat Kinan sedang bersandar di sofa merah yang sudah memudar warnanya, "Ya Allah, Kinan."
Langit bersimpuh di hadapan Kinan terbaring lemah di sofa panjang milik ibu baik hati yang bersedia menampung istrinya itu. "Kinan, Sayang..." panggil Langit dengan suara tercekat. Lelaki tampan yang biasanya dingin dan ketus itu mendadak lemah lembut menyapa sang istri, ada tangis yang mati-matian ia tahan. Tak tega rasanya melihat pipi kulit putih bersih itu memerah karena tamparan ditambah darah yang mengering di sudut bibirnya. Kinan bergerak pelan merasakan sentuhan di pipinya, respon tubuhnya menegang. Matanya langsung terbuka waspada. "Ini Abang, Kinan," kata Langit yang untuk pertama kalinya memanggil dirinya dengan sebutan yang sering istrinya panggil. Tak ada suara dari perempuan yang malam ini tampak tak beraturan, ia hanya memeluk suaminya sekencang mungkin dengan air mata yang terus meluruh. Tak ada raungan atau teriakan, Kinan menangis dalam diamnya. Sakit, pasti sakit sekali. Perempuan yang biasanya riang tanpa beban kini terlihat lemah tak berdaya menahan luka f
"Bang, kok belum siap-siap. Ini udah setengah 8 loh," kata Kinan mengingatkan.Melirik jam dinding yang menggantung di dinding meja makan, Langit menjawab, "Ke kantor tapi siangan, banyak yang harus diurus."Tak curiga, Kinan kembali ke kamarnya. Ia pun memilih tak kuliah, mentalnya belum siap untuk kembali ke kampus. Berusaha tegar tetapi bayang-bayang penyekapan singkat Jodi dan 2 bodyguardnya masih belum hilang dari ingatan."Baru juga cuti kemarin, Bang. Sekarang udah enggak masuk lagi," Kinan khawatir jika Langit keseringan tak masuk akan mempengaruhi kinerjanya."Saya enggak cuti tapi ke kantor rada siang, besok saya ada dinas ke Jakarta, kamu ikut ya. Kuliahnya minta online dulu, nanti saya bantu bilang sama dosen kamu."Sejujurnya Langit masih amat khawatir jika meninggalkan Kinan sendiri termasuk saat kuliah."Bang, yang bener aja masa iya gue ikut lo kerja. Enggak ahhh, lagian mau cari kostum buat hari Sabtu besok. Gue pulang ke rumah aja, disana ada Bi Inah sama Teh Teti,"
Lelaki berkulit gelap yang sepertinya berasal dari benua hitam itu terus mengawasi kedua tamu bosnya, hingga Doni Chivas, begitu orang dekat mengenalnya memintanya untuk pergi."Om cari kamu, Langit. Ke sekolah pun sempat om datangi tapi pihak sekolah kamu enggak kasih info apapun tentang kamu dan ibumu," sesal Doni."Untuk apa, Om? Bukannya Om udah ambil semuanya atau masih kurang?" sindir Langit.Doni terdiam terdengar hanya hembusan napasnya dari ruangan kedap suara itu. Hingar bingar diluar nyaris tak terdengar."Ada hak kamu, ibumu, juga adikmu di perusahaan. Sampai hari ini enggak kami ambil karena om masih yakin kalau suatu hari nanti bakal ketemu kamu atau ibumu. Dan hari ini tiba juga, Langit."Langit mendengkus kesal seraya tersenyum sinis, "Saya enggak ada hak apapun di Daya Asia Corp, Om. Perusahaan almarhum ayah itu Langit Asia Corp sesuai nama saya kalau yang sekarang saya enggak tau menau. Tapi kalau akta perubahan dan lain-lain mungkin Om lebih tau."'Lalu mau apa kamu
Pengakuan Kinan membuatnya merasa tak punya muka di hadapan Langit, wataknya blak-blakan khas perempuan yang sedang ada di akhir remajanya. Namun kejujuran Kinan nampaknya ada efek yang merubah alur hidup sepasang suami istri ini. Langit kembali dingin seperti awal bertemu. Sarapan yang biasanya penuh cerita menjadi arena kucing-kucingan yang tak berakhir. Nyaris tak ada komunikasi langsung antara Kinan dan Langit sepulangnya dari Jakarta. "Saya duluan, nanti pulang malam," ucap Langit dingin. Kinan hanya mengangguk seraya bertanya pada dirinya sendiri. 'Gue salah apa sih, Bang? Apa ketakutan ini enggak boleh gue ungkapin.' Bukan hanya Kinan yang dilanda kebingungan, Langit juga. Dalam perjalanan menuju kantor, Langit terus memikirkan ucapan Kinan tempo hari. 'Maafin saya kalau sekarang jadi beda, Kinan. Saya pengen jaga jarak dulu sama kamu, saya cuma enggak mau nyakitin kamu. Karena sejujurnya saya lagi berusaha mengikis rasa saya sama perempuan lain dan ternyata itu enggak m
Mondar mandir di depan ruangan bertulisankan Instalasi Gawat Darurat, Langit tak bisa diam. Fajar berusaha menenangkan atasannya itu tetapi nampaknya sia-sia. Diberitahu Pak Arif ketika rapat sudah berjalan kurang lebih 90 menit, Langit tak meminta izin meninggalkan ruangan. Ia langsung menuju lapangan voli dan kebetulan ada Fajar yang baru saja kembali dari toilet. Mengusap wajah hingga kepala dengan kedua tangannya, Langit begitu cemas. Kali kedua Kinan membuatnya seperti ini, bayang-bayang kehilangan seorang yang berarti terus berkecamuk dalam pikiran. "Bos, maaf nih saya sok tahu karena saya juga nikah aja belum cuma kata orang-orang, kita harus manfaatin waktu sama orang yang kita sayang sebelum waktu itu berakhir. Gitu katanya, Bos," ujar Fajar memberitahu tanpa menggurui. Langit tak mampu berkata-kata, apa yang staff nya bilang benar adanya. Ego tingginya mengalahkan logika hanya karena istrinya takut jatuh cinta padanya. Padahal ia sendiri pun mengingkari dirinya yang seda
"Kinan, pulanglah. Papa tau kamu sama Langit lagi enggak baik-baik aja. Tapi bukan begini caranya, dengan menghindar dari suamimu masalah bukannya selesai malah makin panjang," ujar Papa yang tiba-tiba masuk ke kamar setelah Kinan membalas pesan Fajar. Kinan menunduk memainkan jemari yang saling bertaut. Cinta pertamanya tahu bahwa ia berbohong, Langit tidak pelatihan tidak pula ke Jakarta. Ia lupa jika sang papa memiliki banyak mata di Bandung. Papa sengaja mendekat ke tepi ranjang, berbagi pengalaman. "Dulu, papa dan mama juga sering ribut, apalagi awal-awal pernikahan kami. Banyak berdebat dan berselisih paham. Enggak jarang mama sampe nangis kalau berantem sama papa tapi yang harus kamu tau, Mama enggak pernah sekalipun meninggalkan rumah dalam keadaan marah dan emosi. Almarhumah tetap di rumah, tetap melayani semua kebutuhan papa walaupun hatinya masih kesal, mulutnya masih terkunci." "Ya tapi kan Papa enggak nyebelin makanya Mama bisa sabar ngadepinnya," potong Kinan. "Kata
Ketidakadilan yang Naura rasakan membuatnya hancur, baru saja ia bertemu dengan cinta pertamanya kini harus menerima kenyataan jika lelaki yang selalu menghiasi mimpinya itu telah menikah.Kenapa baru sekarang? Ketika semua mimpinya sudah hampir tercapai tapi tiba-tiba patah begitu saja."Siapa perempuan itu, A?" tanya Naura."Kamu enggak kenal, Ra," Langit tak berani menatap manik indah yang berubah sendu itu.Naura mencoba menegarkan dirinya, "Aa cinta sama dia?""Jujur, awalnya enggak, Ra. Waktu itu kamu enggak tergantikan tapi semakin kesini saya semakin takut kehilangan dia. Kesannya saya alay, Ra, tapi ini fakta yang harus kamu tau. Ternyata Kinan nadi saya, enggak ada dia saya kacau, enggak ada dia saya hancur," ucap Langit yang sadar betul apa yang ia katakan ini menyakiti perempuan yang sudah lama menantinya itu."Dan aku terganti? Benar begitu?" cecar Naura.Langit mengangguk, "Maafkan saya, Ra."Naura terus menggelengkan kepalanya, berharap semua yang ia dengar ini mimpi be
Sarapan Papa dan Langit di kediaman Rayadinata pagi itu nampak berbeda. Sengaja Papa Billy memanggil menantunya ke rumah."Papa mau ketemu Kinan, Lang. Titip apa sama dia?"Satria Langit Bhagaskara masih setia dengan kesendiriannya, di usianya 35 tahun ia beristri tetapi menduda."Titip rindu aja, Pa. Kalau titip oleh-oleh juga bingung mau dibawain apa, saya kan enggak tau Papa sembunyiin istri saya dimana."Dua tahun harus dibayar mahal Langit sebagai kompensasi karena papa mertuanya setuju untuk tidak memisahkanya dengan Kinan."Papa ini dosa dunia akhirat sama kamu, Lang. Enggak seharusnya papa sembunyikan istri kamu kayak gini tapi yang harus kamu tau, papa punya strategi. Semoga sabarmu masih cukup, sebentar lagi aja," kata Papa dengan rasa penyesalan yang teramat dalam.Langit tersenyum simpul, "Kalau saya menyerah sekarang enggak mungkin, Pa. Ini udah kepalang tanggung, penantian saya sia-sia kalau saya mundur. Saya sama sekali enggak meragukan strategi yang Papa bikin, percaya
Kinan tertegun, pikirannya blank, tubuhnya linglung. Ingin sekali berteriak tetapi lidahnya kelu, ini bohong kan? Mimpi kan? Apa namanya sama? Dan berjuta pertanyaan lainnya yang terus berputar di kepala Kinan."Teh Kinan, tau kan siapa dia? Mungkin Aa pernah cerita, dia anaknya Om Doni Purnomo yang ambil alih perusahaan almarhum Ayah. Dan Aa itu benci banget sama dia," jelas Salma.'Dia juga mantan gue, Sal. Karena dia, gue dikawinin sama Abang lo dan dia juga yang hampir ambil kegadisan gue. Duhh...gue enggak tau deh gimana murka nya Abang lo kalau tau.'Kinan hanya bia bermonolog dalam hatinya."Tapi sebaiknya Abang emhhh...maksud aku Aa tau ini, Sal. Semarah apapun nanti tapi dia berhak tau, anak di perut kamu itu butuh ayahnya. Darah Purnomo mengalir deras disana dan kamu enggak bisa mengelak," saran Kinan.Salma terdiam, ia begitu bimbang apa harus jujur atau tidak. Jika jujur, resikonya begitu besar tetapi jika tidak ia tak ingin Ibu dan kakaknya menanggung malu."Tapi gimana?
Pagi kesekian masih di kota Perth, Australia Barat. Kedua pengantin lama rasa baru ini masih bergelung dengan selimut."Morning, Love," sapa Langit dengan suara khas bangun tidur, terduduk diatas ranjang. Rambut acak-acakan membuat aura seksi semakin kentara."Morning juga, Papa Bear," jawab Kinan yang sudah membuat hot papermint tea untuknya."Jadi kamu Marsha nya?" kelakar Langit sambil tertawa.Kinan melirik sekilas seraya tersenyum manis. Tak berbeda jauh dengan tampilan sang suami, pagi itu Kinan masih dengan camisol satin diatas lutut warna putih. Rambutnya diikat asal keatas ala gadis Thailand."Bikin minum cuma satu, Love?" Langit beranjak dari ranjang hanya menggunakan boxer brief hitam, otot trapezius tercetak indah dari punggungnya."Ya udah iya, ini mau aku bikinin. Hot papermint tea nya juga."Setengah berteriak dari kamar mandi dengan mulut penuh busa pasta gigi, "No, saya udah enggak suka papermint tea. Bikinin capuccino aja ya, Love."Kinan tersenyum seraya memanaskan
Mentari pagi mengintip malu-malu di langit Australia Barat, sama halnya dengan seorang perempuan muda yang semalam menyerahkan mahkota sucinya pada suami yang ternyata masih setia menantinya sejak 2 tahun lalu.Kinan sudah terbangun lebih dulu tetapi kungkungan lengan besar yang menguasai pinggangnya begitu sulit dienyahkan. Bergeser perlahan dengan maksud menuntaskan hajat paginya tetapi rasanya tak ada tenaga yang tersisa dari pertempurannya semalam.Gerak tubuh Kinan yang cukup mengganggu mengusik lelaki yang begitu tampan berbagi peluh dengannya, jika ingat peristiwa itu ia ungin sekali menenggelamkan diri ke dasar palung Mariana."Morning, Love...Pagi, Neng..."Suara serak khas bangun tidur ditambah rambutnya yang masih acak-acakan menambah seksi Langit pagi itu.Kinan menunduk malu sambil terus memegangi selimut putih sebatas dada, sampai ia terlelap pun tubuhnya masih polos tanpa busana. Hotpants dan tanktopnya berceceran entah dimana."Bang, pengen ke kamar mandi tapi ini gima
'Gimana udah lulus? Kok enggak ada kabarnya? Mentang-mentang udah ketemu pawang.' "Astaga, Bang. Kok aku lupa ngabarin Papa, kamu ngabarin enggak?" Kinan langsung mencari nama papanya di kontak ponsel. "Video call aja, Neng," saran Langit. Setiap panggilan Neng keluar dari mulut Langit, perempuan cantik yang kini tepat berusia 22 tahun itu selalu merasakan panas di wajahnya. "Hallo, Pa. Maaf lupa ngabarin. Ini baru sampe flat dan alhamdulillah aku lulus, nilainya juga memuaskan," terang Kinan. Lelaki paruh baya yang nampak semakin sepuh itu seperti menyeka bulir bening yang keluar dari sudut matanya. "Syukurlah, papa bangga sekali sama anak nakal yang sekarang udah dewasa, makin matang makin tenang. Selamat ulang tahun ya, Sayang. Eh, Langit ada kan?" Arah kamera ponsel Kinan arahkan pada lelaki tampan di hadapannya, "Hadir, Pa. Sesuai janji dan kesepakatan." Gelak tawa Papa terdengar begitu renyah menggantikan tangisan haru lelaki yang berjuang sendiri tanpa pendamping untuk m
"Kapan wisudanya ini?" tanya Langit seraya terus menggenggam tangan Kinan keluar dari ruang sidang. "Bulan depan kayaknya, Bang. Nanti Abang bisa temenin lagi kan?" ucap Kinan malu-malu. "Insya Allah, pasti dtemenin. Enggak mau kehilangan momen lagi aku, cukup 2 tahun kemaren Papa nyiksa segitu beratnya." Keduanya memutuskan untuk duduk sejenak di taman kampus, melepas rindu bertukar cerita yang mungkin lebih tebal dari novel jika dibukukan. "Abang enggak nakal selama aku enggak ada?" tanya Kinan. Langit mengernyit, "Wait, coba ulangi." Merasa tak ada yang salah dengan pertanyaannya, "Apaan sih, Bang. Emang pertanyaan aku salah?" "Aku? Enggak salah denger ini?" goda Langit yang cukup surprise dengan bahasa sang istri yang berubah. Mendelik kesal, "Oke, ulangi. Abang enggak nakal kan selama gue enggak ada?" Tawa renyah Langit menguar terbawa udara kota Perth, "Kaku gitu ngomong gue nya sekarang." "Teruuss aja terus godain aku, udah pasti disana juga godain ASN muda atau tetan
Langit terpogoh karena mendapat informasi dari security, bahwa ada yang mencarinya bernama Billy Rayadinata. Terlihat dari kejauhan pria paruh baya berkacamata progresif itu menantinya di ruang tunggu."Papa, ya ampun sampe kesini segala. Padahal mah telpon aja atuh, nanti Langit ke rumah," ucap Bintang seraya menyalami ayah mertuanya takzim.Tersenyum lebar, Papa mengitarkan pandangannya ke gedung bersejarah paling ikonik di Jawa barat, Gedung Sate. Tempat yang baru kali ini ia kunjungi selama hidup sebagai warga bumi Pasundan. "Enggak apa-apa, pengen tau kantor mantu sendiri. Kebanggaan banget kayaknya ya, Lang bisa ngantor disini."Langit menanggapinya dengan balik tersenyum, "Ada apa ini, Pa. Kaget banget tadi kata satpam bilang ada ayahnya Pak Langit kesini katanya. Sempet kaget masa iya tapi ternyata beneran.""Terus aja nanya kamu tuh ada apa, ya emang enggak boleh papa kesini. Apa jangan-jangan ada ASN muda yang lagi kamu dekati disini terus papa kesini, ketauan," selidik Pap
Sarapan Papa dan Langit di kediaman Rayadinata pagi itu nampak berbeda. Sengaja Papa Billy memanggil menantunya ke rumah."Papa mau ketemu Kinan, Lang. Titip apa sama dia?"Satria Langit Bhagaskara masih setia dengan kesendiriannya, di usianya 35 tahun ia beristri tetapi menduda."Titip rindu aja, Pa. Kalau titip oleh-oleh juga bingung mau dibawain apa, saya kan enggak tau Papa sembunyiin istri saya dimana."Dua tahun harus dibayar mahal Langit sebagai kompensasi karena papa mertuanya setuju untuk tidak memisahkanya dengan Kinan."Papa ini dosa dunia akhirat sama kamu, Lang. Enggak seharusnya papa sembunyikan istri kamu kayak gini tapi yang harus kamu tau, papa punya strategi. Semoga sabarmu masih cukup, sebentar lagi aja," kata Papa dengan rasa penyesalan yang teramat dalam.Langit tersenyum simpul, "Kalau saya menyerah sekarang enggak mungkin, Pa. Ini udah kepalang tanggung, penantian saya sia-sia kalau saya mundur. Saya sama sekali enggak meragukan strategi yang Papa bikin, percaya
Ketidakadilan yang Naura rasakan membuatnya hancur, baru saja ia bertemu dengan cinta pertamanya kini harus menerima kenyataan jika lelaki yang selalu menghiasi mimpinya itu telah menikah.Kenapa baru sekarang? Ketika semua mimpinya sudah hampir tercapai tapi tiba-tiba patah begitu saja."Siapa perempuan itu, A?" tanya Naura."Kamu enggak kenal, Ra," Langit tak berani menatap manik indah yang berubah sendu itu.Naura mencoba menegarkan dirinya, "Aa cinta sama dia?""Jujur, awalnya enggak, Ra. Waktu itu kamu enggak tergantikan tapi semakin kesini saya semakin takut kehilangan dia. Kesannya saya alay, Ra, tapi ini fakta yang harus kamu tau. Ternyata Kinan nadi saya, enggak ada dia saya kacau, enggak ada dia saya hancur," ucap Langit yang sadar betul apa yang ia katakan ini menyakiti perempuan yang sudah lama menantinya itu."Dan aku terganti? Benar begitu?" cecar Naura.Langit mengangguk, "Maafkan saya, Ra."Naura terus menggelengkan kepalanya, berharap semua yang ia dengar ini mimpi be
"Kinan, pulanglah. Papa tau kamu sama Langit lagi enggak baik-baik aja. Tapi bukan begini caranya, dengan menghindar dari suamimu masalah bukannya selesai malah makin panjang," ujar Papa yang tiba-tiba masuk ke kamar setelah Kinan membalas pesan Fajar. Kinan menunduk memainkan jemari yang saling bertaut. Cinta pertamanya tahu bahwa ia berbohong, Langit tidak pelatihan tidak pula ke Jakarta. Ia lupa jika sang papa memiliki banyak mata di Bandung. Papa sengaja mendekat ke tepi ranjang, berbagi pengalaman. "Dulu, papa dan mama juga sering ribut, apalagi awal-awal pernikahan kami. Banyak berdebat dan berselisih paham. Enggak jarang mama sampe nangis kalau berantem sama papa tapi yang harus kamu tau, Mama enggak pernah sekalipun meninggalkan rumah dalam keadaan marah dan emosi. Almarhumah tetap di rumah, tetap melayani semua kebutuhan papa walaupun hatinya masih kesal, mulutnya masih terkunci." "Ya tapi kan Papa enggak nyebelin makanya Mama bisa sabar ngadepinnya," potong Kinan. "Kata