"Kinaaaaannnn..." Langit tak kalah meninggikan suara.
Langit buru-buru memakai kaos yang tadi dibukanya, hanya tersisa boxer brief yang menutup bagian bawah tubuhnya.
"Lagian Abang, gue udah ketuk pintu enggak ada jawaban. Mana gue tau kalau lo pake headset gitu mana telanjang pula," ucap Kinan membela diri dengan wajah yang masih ia tutup dengan kedua tangannya.
"Ada apa sih?" sungut Langit yang sudah menggunakan kaos rumahan dengan celana trainning.
Kinan membuka matanya perlahan, ada lega yang ia rasakan walaupun jantungnya masih berdisko ria. Mungkin pemandangan seperti ini akan terulang di kemudian hari karena hidupnya kini akan ada di sekitar lelaki bertubuh atletis.
"Gue laper, kulkas segede gitu isinya cuma susu sama apel 3 biji, anggur tinggal semangkok. Mie instan dimana naronya?" protes Kinan pada teman satu rumahnya itu.
Menatap sejenak sang istri seraya menarik nafas, Langit gegas menuruni tangga. Menuju dapur dan membuka rak atas kitchen set nya.
"Nih, stok mie disini kalau telur di sebelahnya. Enggak pernah saya masukin kulkas, panci ada di bawah kiri deket kaki kamu tuh. Ngerti kan? Saya masih banyak kerjaan."
Sepeninggal Langit yang meneruskan kembali pekerjaannya, Kinan hanya duduk berpangku tangan di stool bar mini.
'Nyalain kompornya aja gue enggak ngerti gimana, andai aja ada Bi Inah. Gue kan tinggal makan aja, enggak kayak gini.'
Bukan Langit tak tahu jika istrinya itu pasti tak bisa memproses mie instan tapi karena pekerjaan yang harus ia setorkan laporannya malam itu juga maka ia tinggalkan dulu sang istri di dapur.
30 menit berlalu belum ada tanda-tanda mie instan itu dibuat, Kinan membuka laman pencarian. Mengetik kata kunci bagaimana cara menyalakan kompor tanam seperti yang ada di dapur suaminya.
Pria masih segar walau jam dinding menunjukkan pukul 12 malam itu hanya memperhatikan sang istri dari belakang. Ia tarik sudut bibirnya sedikit seraya menggelengkan kepala. Beginilah resikonya menikahi putri sultan pikirnya.
"Minggir ahh! Kamu yang masak bisa jadi sahur baru selesai," ucap Langit mengagetkan.
"Abang, 2 kali ini Abang ngagetin gue. Makanya punya rumah jangan canggih-canggih banget jadi gue enggak ngerti ini nyalainnya gimana," balas Kinan kesal.
Kedua alis Langit berkerut, "Kompor di rumah kamu juga begini makanya sesekali main tuh ke dapur jangan ke studio band terus. Kamu perempuan harus bisa urusan mie instan doang mah."
Mengapa semakin hari suami seminggu nya itu semakin cerewet, sungguh berbeda ketika pertama kali bertemu dan berkenalan.
Kinan memilih diam di belakang Langit tetapi justru posisinya menghalangi lelaki yang ternyata terampil di dapur itu.
"Duduk aja sana! Tunggu jadi daripada disini ngehalangin," titah Langit galak.
Vokalis White Panther itu memilih duduk di stool bar, menanti dengan sabar mie yang sudah mulai tercium baunya.
"Nih udah jadi, saya bikinin mie nyemek. Kalau enggak enak jangan protes," ujar Langit menyodorkan mangkuk biru navy yang isinya menggoda selera.
"Kok cuma satu mangkuk? Buat Abang mana?" tanya Kinan.
"Saya enggak laper," sahut Langit datar.
Kinan berinisiatif mengambil mangkuk serupa dan menduakan mie yang tadi dibuat Langit.
"Makan! Kita terakhir makan tadi siang, Abang besok mulai kerja dan gue mulai kuliah lagi. Jangan sampe sakit gara-gara enggak makan, konyol banget. Kalau Abang enggak makan, gue juga enggak."
Menu nasi dan mie nyemek yang penuh karbohidrat itu pun menjadi menu makan tengah malam sepasang pengantin baru.
Tak ada suara dari keduanya hingga mie yang ada di mangkuk masing-masing habis tak bersisa.
"Besok kamu ikut ke kantor, ada serah terima jabatan di kantor karena sekda lama pensiun. Jadi semua harus hadir termasuk kamu sebagai ibu Dharma Wanita Persatuan," jelas Langit.
Sontak Kinan kaget hingga air putih yang sedang mengalir ke tenggorokannya menjadi tersendat kemudian tersedak.
"Emang harus gitu? Besok gue ada kuliah, Bang."
"Kuliah apa? Coba bilang, kuliah apa? Jadwal kuliah kamu Selasa sampe Sabtu pagi, kalau Senin enggak ada. Jangan suka boong sama saya," ucap Langit.
Kinan gelisah karena ini akan jadi pengalaman pertamanya menjadi istri seorang Aparatur Sipil Negara.
"Gue mesti gimana, Bang? Ihh...bajunya juga belum jadi tau, skip dulu deh besok. Tar aja bulan depan gimana? Bulan depan masih ada pertemuan kan?"
Langit cuek tak mengindahkan kepanikan istrinya, yang ada ia menuju kamar Kinan yang diikuti si pemilik kamar.
Lelaki berpundak lebar itu membuka lemari pakaian berwarna coklat yang berdiri kokoh di sisi kiri kamar.
"Ini baju Dharma Wanita yang udah saya jahitkan sesuai dengan ukuran tubuh kamu jadi besok enggak ada alasan buat enggak hadir. Ngerti?"
Kinan melongo karena ternyata suaminya sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan paripurna. Satu pertanyaan di benak Kinan, bagaimana Langit bisa tahu ukuran tubuhnya hingga seragam berwarna orange muda ini bisa begitu pas di tubuhnya.
Shubuh menjelang ketika adzan terdengar berkumandang, Kinan sulit sekali untuk membuka mata. Lelap tidurnya mungkin hanya 4 jam.
"Kinan, bangun! Ayo siap-siap nanti kesiangan, karena undangan serah terima jam 9. Sejam sebelumnya kta udah mesti disana," seru Langit seraya mengetuk pintu kamar istrinya.
Dengan rasa malas yang amat sangat, Kinan menuju kamar mandi. Disaat gadis seusianya masih bergelung selimut, ia harus sudah siap dengan kostum yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Wajahnya disapu make up tipis cenderung asal-asalan, rambut panjangnya cukup diekor kuda saja pikirnya. Kinan benar-benar blank tak tahu harus berdandan seperti apa.
Keluar dengan langkah gontai karena masih mengantuk, Kinan menuju ruang makan. Sudah ada Langit disana yang sedang mengoles roti gandum dengan peanut jam favoritnya.
"Masih ngantuk gue, Bang," keluh Kinan.
Sedari tadi Langit menunduk fokus pada sarapannya. Namun ketika ia mengangkat wajahnya, pejabat golongan 3 itu seolah terhipnotis dengan penampilan berbeda Kinan.
'Cantik amat kamu, Neng.'
"Kenapa, Bang? Ada yang salah enggak?"
Mendadak lidah Langit kelu melihat visual jelita di hadapannya tetapi tak lama ia berhasil menguasai dirinya kembali.
"Enggak...enggak salah kok, cuma ini mau ke kantor. Bukan mau ke kampus jadi jangan dikucir kuda gitu," saran Langit.
"Jadi gimana? Kudu disanggul gitu?" sahut Kinan seraya mengambil 2 rangkup roti gandum yang ia olesi strawberry jam.
Langit pun bingung memberi saran tetapi ia teringat pernah melihat istri rekannya yang tidak berjilbab, "Coba kamu liat tutorial pegawai bank kalau dicepol gitu, pasti ada di youtube."
"Ribet amat, Bang."jawab Kinan sambil mengunyah roti.
Dasar Langit manusia prefeksionis, ia sengaja membuka youtube mencari tutorial bagaimana membbuat cepol ala pegawai bank.
Tak disangka, lelaki yang sudah rapih menggunakan safari hitam lengkap dengan peci diatas kepalanya itu segera ke kamar mencari sisir dan mulai mempraktekkan nya di rambut sang istri.
"Saya coba, enggak apa-apa kan?" ucap Langit meminta izin memegang rambut Kinan.
Sang pemilik rambut nampak pasrah saja cenderung ingin tahu apa yang bisa suaminya lakukan.
"Kinaaannnn..." jerit Langit dengan mata membulat.
Kinan membalikan tubuhnya, "Apa sih lo, Bang?"
"Ini tatto di belakang leher?"
Menutup mulut yang masih penuh dengan roti, Kinan langsung shock. Bagaimana bisa ia membiarkan suaminya mengolah rambutnya sementara tato kupu-kupu tepat berada di tengah tengkuknya.
"Ya gimana? Emang ada dari tahun lalu, udah sih ahh...emang bakal keliatan?"
"Keliatan lah, weekend ini kita ke rumah sakit. Laser pokoknya," titah Langit galak.
Memutar bola matanya, Kinan mengiyakan saja dulu.
"Terus ini rambut gue gimana? Enggak jadi?"
"Terserah kamu pokoknya jangan sampe keliatan, terserah kamu mau ditutup pake apa. Ayo buruan, udah jam 7 ini."
Langit bergegas menuju garasi mengeluarkan Toyota HRV nya sedangkan Kinan berinisatif menggunakan bando hitam dengan bulir mutiara di yang melingkar di sekelilingnya. Rambut yang kini dicat hitam dibiarkan tergerai indah sebatas pundak.
"Kalau kayak gini gimana? Cantik enggak?" tanya Kinan meminta pendapat.
'Kamu mah lagi tidur aja cantik, Neng.'
"Ayo buruan, Kinan!" ajak Langit.
"Jawab dulu, Bang. Biar gue pede ini, ngerti dong ini kan first time bocah kek gue mau gabung sama ibu-ibu," ujar Kinan kesal.
Dengan berat hati untuk pertama kalinya ia harus ungkapkan apa yang ada di hatinya, "Cantik, Kinan. Beneran."
Senyum pasta gigi terkembang dari bibir tipis gadis manis yang sekarang sudah menjadi Nyonya Satria Langit Bhagaskara.
"Bang, nanti gue mesti gimana dan ngapain? Pokoknya Abang jangan jauh-jauh dari gue," pinta Kinan yang semakin gugup karena kini mobil yang dikemudikan suaminya sudah sampai di basement Gedung Sate.
"Iya, cerewet." sahut Langit.
Dengan gagah Langit melangkah pasti, disampingnya kini sudah berdiri sosok wanita cantik yang sudah legal bertitel istri.
Tak kalah menawan si vokalis cantik yang sedang digandrungi anak muda Bandung itu kini bermetamorfosa sebagai istri Aparatur Sipil Negara yang memiliki posisi strategis di kantornya itu.
Menggunakan seragam orange muda dengan sepatu pantofel hitam ala wanita karier membuat Kinan begitu berkharisma.
"Pagi, Pak Langit. Waahhh...Ibu ini, Pak?" tanya seorang staff protokoler yang sedang bertugas mempersiapkan acara.
Langit tersenyum seperlunya seraya mengangguk membenarkan terkaan sang pegawai.
"Sumpah, Bang. Gue keringet dingin ini bukan apa-apa gue takut malu-maluin lo," ucap Kinan panik.
Tak banyak bicara Langit langsung menggenggam erat istrinya hingga jemari mereka bertaut mesra, sang istri sempat terkejut tetapi buru-buru ia kuasai keadaan.
"Wooowww...pengantin baru, masuk-masuk langsung udah harus pake safari gini ya. Gimana lancar jaya kan?" tanya Pak Arman, Asisten Dua Pemprov Jabar.
Langit hanya tersenyum seraya mengenalkan Kinan pada rekan sejawat beserta ibu.
"Posisi beliau striker, Pak. Skill individu nya diatas rata-rata, top scorer lah kalau bobol gawang turnamen antar biro. Enggak tau kalau bobol yang lain," goda staff Pak Arman.
Kinan semakin mengeratkan genggamannya, ia tak bisaa dengan guyonan receh ala bapak-bapak begini.
"Skill lain enggak jauh beda lah, Pak. Permisi kesana dulu," pamit Langit berusaha menghindar khawatir istrinya tak nyaman berlama-lama disana.
Satu demi satu pejabat eselon disalami Langit sekaligus mengenalkan Kinan pada mereka. Tak ada yang harus dikhawatirkan oleh Kinan tentang titelnya sebagai vokalis band yang sedang viral di Bandung karena yang hadir saat ini mungkin para orangtua fans garis kerasnya.
"Bu Naya, idola saya..." sapa Fajar tiba-tiba muncul dari arah belakang membantu staff protokoler.
Mata Langit membulat mendengar suara Fajar. Asistennya itu memang mulutnya sulit sekali dijaga.
"Sorry, Bos. Lagian mereka enggak akan tau siapa Bu Naya."
"Kinan aja, Kak. Disini enggak lagi jadi Naya apalagi dipanggil ibu," sahut Kinan sambil bergidik.
Langit langsung menyambar sebelum Fajar kembali bicara, "Ibu Langit, mulai sekarang panggil Kinan kayak gitu. Ngerti, Jar?"
Memukul pelan pundak lebar suaminya, Kinan protes seraya berbisik.
"Geli gue, Bang. Masa dipanggil begitu, kayak enggak ada panggilan lain aja."
Sementara Fajar tertawa renyah seraya berlalu karena dipanggil rekannya.
"Emang bener kok, disini emang jarang yang dipanggil nama aslinya. Semua pake nama suaminya cuma ditambah Ibu didepannya," terang Langit.
Tak lama gubernur beserta ibu memasuki area pelantikan sekda baru yang terpilih. Satu persatu para pejabat eselon 2,3, dan 4 menyalami sekda baru tersebut.
"Bang, eselon itu apa?" tanya Kinan mendengar protokol menyebutkan para pejabat eselon.
"Kayak tingkatan jabatan struktural di lingkungan pemerintah, di pusat ada di daerah kayak gini juga ada," jawab Langit berbisik sambil antri untuk menyalami pejabat abru.
Kinan mengangguk meski belum paham benar, "Abang eselon berapa?"
"Eselon 2, setingkat dibawah Sekda yang baru dilantik ini."
"Widiiihh...pejabat dong kamu, Bang," puji Kinan dengan volume suara yang meninggi.
Langit melotot dan dibalas cengiran sang vokalis.
"Ini istrinya, Pak Langit?" tanya Ibu Sekda baru.
Langit mengangguk sambil tersenyum, "Betul, Bu. Ini Kinanti, istri saya."
Dahulu setiap ada acara Dharma Wanita, Ibu Sekda baru ini selalu meminta Langit untuk jadi menantunya. Putrinya yang dokter spesialis anak hanya beda 3 tahun lebih muda dibandingnya tetapi ia menolak halus.
"Masih muda banget ya," sambung perempuan paruh baya yang masih on dengan alis setajam celurit.
Kinan mengangguk sopan, untuk kedua kalinya setelah pernikahannya kemarin ia harus menjadi orang lain dan itu membuatnya tak nyaman.
Seorang wanita muda yang tak berseragam menghampiri Langit dan Kinan.
"Punten, Pak Langit. Bu Aliya memanggil Ibu sepertinya mau diajak ngobrol sebentar."
Ibu Aliya adalah istri gubernur Jawa Barat sekaligus Ketua PKK dan Dekranasda provinsi.
Langit cukup berat melepas Kinan tanpanya, khawatir tak bisa membawa diri. Pandangannya tak lepas mengamati gerak gerik wanitanya. Walaupun bagaimana istrinya itu masih belia yang terkadang bertindak seenaknya.
"Enggak akan kenapa-napa kok, Lang. Ada ibu disana," ucap Pak Arif menunjuk istrinya.
Praktis hanya Pak Arif dan Fajar yang tahu kisah pernikahan dadakan Langit. Sosoknya yang kebapakan menjadikannya pengganti ayah bagi laki-laki yang sudah yatim sejak SMA kelas 1.
Langit tersenyum penuh arti, "Khawatir aja, Pak. Takut childish nya kambuh di tengah Ibu-ibu Dharma Wanita."
Faktanya, Kinan mampu berbaur dengan para wanita yang usianya sebaya dengan almarhumah mamanya. Kesan pertama Ibu Aliya pun terlihat positif dimana Kinan selalu dipanggilnya untuk mendekat. Entah apa yang sedang ibu-ibu itu bicarakan. Namun sepertinya istri cantik milik Langit itu menginfokan nomor ponsel pada sang istri gubernur.
Ponsel Kinan memang ada pada saku Langit dan suaminya itu merogoh ponsel dengan case tengkorak milik sang istri di sakunya.
Terlihat ada 2 nomor baru di layar terkuncinya tetapi masih bisa Langit lihat isi pesannya. Pertama, nomor ponsel Ibu Aliya yang meminta Kinan menyimpan nomor handphonenya. Kedua, nomor tak dikenal.
'Gue pastiin pernikahan pura-pura lo enggak bahagia selamanya, Kinan.'
Darah Langit seolah mendidih tiba-tiba. Satu nama sudah dipastikannya sebagai pengirim pesan teror itu.
'Annaya Sekar Kinanti milik gue, Jodi. Dan selamanya akan begitu, enggak akan ada yang bisa ambil Kinan dari gue termasuk lo atau bokap lo yang bajingan itu.'
"Besok gue kuliah pagi, Bang. Kalau dosennya ada semua kuliah sampe jam 3 sore, udah itu gue izin buat latihan sama anak-anak di studio," kata Kinan ketika makan malam tiba. Langit memutuskan untuk tak memberi tahu istrinya jika ia melihat chat dari nomor tak dikenal. Namun bukan Langit namanya jika tak memiliki tindakan preventif. "Ok, besok saya anter sebelum ke kantor. Pulangnya saya jemput, bilang aja jam berapa selesainya dan dimana tempat latihannya," sahut Langit berusaha setenang mungkin agar tak terlihat mengetahui sesuatu. Hati Langit resah luar biasa karena isi chat dari seseorang yang ia yakini itu Jodi. Bahaya mengintai istrinya, rasanya ingin sekali ia melarang Kinan keluar rumah. "Ihhh...enggak usah dianter segala, gue pake motor aja. Nanti pulangnya juga...." "Bisa nurut enggak? Saya bilang saya yang antar dan saya juga yang jemput, ngerti?" Langit memotong ocehan Kinan. Jika sudah seperti itu Kinan tak berkutik. Entah kemana perginya julukan Kinanti si pembangkan
Langit bersimpuh di hadapan Kinan terbaring lemah di sofa panjang milik ibu baik hati yang bersedia menampung istrinya itu. "Kinan, Sayang..." panggil Langit dengan suara tercekat. Lelaki tampan yang biasanya dingin dan ketus itu mendadak lemah lembut menyapa sang istri, ada tangis yang mati-matian ia tahan. Tak tega rasanya melihat pipi kulit putih bersih itu memerah karena tamparan ditambah darah yang mengering di sudut bibirnya. Kinan bergerak pelan merasakan sentuhan di pipinya, respon tubuhnya menegang. Matanya langsung terbuka waspada. "Ini Abang, Kinan," kata Langit yang untuk pertama kalinya memanggil dirinya dengan sebutan yang sering istrinya panggil. Tak ada suara dari perempuan yang malam ini tampak tak beraturan, ia hanya memeluk suaminya sekencang mungkin dengan air mata yang terus meluruh. Tak ada raungan atau teriakan, Kinan menangis dalam diamnya. Sakit, pasti sakit sekali. Perempuan yang biasanya riang tanpa beban kini terlihat lemah tak berdaya menahan luka f
"Bang, kok belum siap-siap. Ini udah setengah 8 loh," kata Kinan mengingatkan.Melirik jam dinding yang menggantung di dinding meja makan, Langit menjawab, "Ke kantor tapi siangan, banyak yang harus diurus."Tak curiga, Kinan kembali ke kamarnya. Ia pun memilih tak kuliah, mentalnya belum siap untuk kembali ke kampus. Berusaha tegar tetapi bayang-bayang penyekapan singkat Jodi dan 2 bodyguardnya masih belum hilang dari ingatan."Baru juga cuti kemarin, Bang. Sekarang udah enggak masuk lagi," Kinan khawatir jika Langit keseringan tak masuk akan mempengaruhi kinerjanya."Saya enggak cuti tapi ke kantor rada siang, besok saya ada dinas ke Jakarta, kamu ikut ya. Kuliahnya minta online dulu, nanti saya bantu bilang sama dosen kamu."Sejujurnya Langit masih amat khawatir jika meninggalkan Kinan sendiri termasuk saat kuliah."Bang, yang bener aja masa iya gue ikut lo kerja. Enggak ahhh, lagian mau cari kostum buat hari Sabtu besok. Gue pulang ke rumah aja, disana ada Bi Inah sama Teh Teti,"
Lelaki berkulit gelap yang sepertinya berasal dari benua hitam itu terus mengawasi kedua tamu bosnya, hingga Doni Chivas, begitu orang dekat mengenalnya memintanya untuk pergi."Om cari kamu, Langit. Ke sekolah pun sempat om datangi tapi pihak sekolah kamu enggak kasih info apapun tentang kamu dan ibumu," sesal Doni."Untuk apa, Om? Bukannya Om udah ambil semuanya atau masih kurang?" sindir Langit.Doni terdiam terdengar hanya hembusan napasnya dari ruangan kedap suara itu. Hingar bingar diluar nyaris tak terdengar."Ada hak kamu, ibumu, juga adikmu di perusahaan. Sampai hari ini enggak kami ambil karena om masih yakin kalau suatu hari nanti bakal ketemu kamu atau ibumu. Dan hari ini tiba juga, Langit."Langit mendengkus kesal seraya tersenyum sinis, "Saya enggak ada hak apapun di Daya Asia Corp, Om. Perusahaan almarhum ayah itu Langit Asia Corp sesuai nama saya kalau yang sekarang saya enggak tau menau. Tapi kalau akta perubahan dan lain-lain mungkin Om lebih tau."'Lalu mau apa kamu
Pengakuan Kinan membuatnya merasa tak punya muka di hadapan Langit, wataknya blak-blakan khas perempuan yang sedang ada di akhir remajanya. Namun kejujuran Kinan nampaknya ada efek yang merubah alur hidup sepasang suami istri ini. Langit kembali dingin seperti awal bertemu. Sarapan yang biasanya penuh cerita menjadi arena kucing-kucingan yang tak berakhir. Nyaris tak ada komunikasi langsung antara Kinan dan Langit sepulangnya dari Jakarta. "Saya duluan, nanti pulang malam," ucap Langit dingin. Kinan hanya mengangguk seraya bertanya pada dirinya sendiri. 'Gue salah apa sih, Bang? Apa ketakutan ini enggak boleh gue ungkapin.' Bukan hanya Kinan yang dilanda kebingungan, Langit juga. Dalam perjalanan menuju kantor, Langit terus memikirkan ucapan Kinan tempo hari. 'Maafin saya kalau sekarang jadi beda, Kinan. Saya pengen jaga jarak dulu sama kamu, saya cuma enggak mau nyakitin kamu. Karena sejujurnya saya lagi berusaha mengikis rasa saya sama perempuan lain dan ternyata itu enggak m
Mondar mandir di depan ruangan bertulisankan Instalasi Gawat Darurat, Langit tak bisa diam. Fajar berusaha menenangkan atasannya itu tetapi nampaknya sia-sia. Diberitahu Pak Arif ketika rapat sudah berjalan kurang lebih 90 menit, Langit tak meminta izin meninggalkan ruangan. Ia langsung menuju lapangan voli dan kebetulan ada Fajar yang baru saja kembali dari toilet. Mengusap wajah hingga kepala dengan kedua tangannya, Langit begitu cemas. Kali kedua Kinan membuatnya seperti ini, bayang-bayang kehilangan seorang yang berarti terus berkecamuk dalam pikiran. "Bos, maaf nih saya sok tahu karena saya juga nikah aja belum cuma kata orang-orang, kita harus manfaatin waktu sama orang yang kita sayang sebelum waktu itu berakhir. Gitu katanya, Bos," ujar Fajar memberitahu tanpa menggurui. Langit tak mampu berkata-kata, apa yang staff nya bilang benar adanya. Ego tingginya mengalahkan logika hanya karena istrinya takut jatuh cinta padanya. Padahal ia sendiri pun mengingkari dirinya yang seda
"Kinan, pulanglah. Papa tau kamu sama Langit lagi enggak baik-baik aja. Tapi bukan begini caranya, dengan menghindar dari suamimu masalah bukannya selesai malah makin panjang," ujar Papa yang tiba-tiba masuk ke kamar setelah Kinan membalas pesan Fajar. Kinan menunduk memainkan jemari yang saling bertaut. Cinta pertamanya tahu bahwa ia berbohong, Langit tidak pelatihan tidak pula ke Jakarta. Ia lupa jika sang papa memiliki banyak mata di Bandung. Papa sengaja mendekat ke tepi ranjang, berbagi pengalaman. "Dulu, papa dan mama juga sering ribut, apalagi awal-awal pernikahan kami. Banyak berdebat dan berselisih paham. Enggak jarang mama sampe nangis kalau berantem sama papa tapi yang harus kamu tau, Mama enggak pernah sekalipun meninggalkan rumah dalam keadaan marah dan emosi. Almarhumah tetap di rumah, tetap melayani semua kebutuhan papa walaupun hatinya masih kesal, mulutnya masih terkunci." "Ya tapi kan Papa enggak nyebelin makanya Mama bisa sabar ngadepinnya," potong Kinan. "Kata
Ketidakadilan yang Naura rasakan membuatnya hancur, baru saja ia bertemu dengan cinta pertamanya kini harus menerima kenyataan jika lelaki yang selalu menghiasi mimpinya itu telah menikah.Kenapa baru sekarang? Ketika semua mimpinya sudah hampir tercapai tapi tiba-tiba patah begitu saja."Siapa perempuan itu, A?" tanya Naura."Kamu enggak kenal, Ra," Langit tak berani menatap manik indah yang berubah sendu itu.Naura mencoba menegarkan dirinya, "Aa cinta sama dia?""Jujur, awalnya enggak, Ra. Waktu itu kamu enggak tergantikan tapi semakin kesini saya semakin takut kehilangan dia. Kesannya saya alay, Ra, tapi ini fakta yang harus kamu tau. Ternyata Kinan nadi saya, enggak ada dia saya kacau, enggak ada dia saya hancur," ucap Langit yang sadar betul apa yang ia katakan ini menyakiti perempuan yang sudah lama menantinya itu."Dan aku terganti? Benar begitu?" cecar Naura.Langit mengangguk, "Maafkan saya, Ra."Naura terus menggelengkan kepalanya, berharap semua yang ia dengar ini mimpi be
Kinan tertegun, pikirannya blank, tubuhnya linglung. Ingin sekali berteriak tetapi lidahnya kelu, ini bohong kan? Mimpi kan? Apa namanya sama? Dan berjuta pertanyaan lainnya yang terus berputar di kepala Kinan."Teh Kinan, tau kan siapa dia? Mungkin Aa pernah cerita, dia anaknya Om Doni Purnomo yang ambil alih perusahaan almarhum Ayah. Dan Aa itu benci banget sama dia," jelas Salma.'Dia juga mantan gue, Sal. Karena dia, gue dikawinin sama Abang lo dan dia juga yang hampir ambil kegadisan gue. Duhh...gue enggak tau deh gimana murka nya Abang lo kalau tau.'Kinan hanya bia bermonolog dalam hatinya."Tapi sebaiknya Abang emhhh...maksud aku Aa tau ini, Sal. Semarah apapun nanti tapi dia berhak tau, anak di perut kamu itu butuh ayahnya. Darah Purnomo mengalir deras disana dan kamu enggak bisa mengelak," saran Kinan.Salma terdiam, ia begitu bimbang apa harus jujur atau tidak. Jika jujur, resikonya begitu besar tetapi jika tidak ia tak ingin Ibu dan kakaknya menanggung malu."Tapi gimana?
Pagi kesekian masih di kota Perth, Australia Barat. Kedua pengantin lama rasa baru ini masih bergelung dengan selimut."Morning, Love," sapa Langit dengan suara khas bangun tidur, terduduk diatas ranjang. Rambut acak-acakan membuat aura seksi semakin kentara."Morning juga, Papa Bear," jawab Kinan yang sudah membuat hot papermint tea untuknya."Jadi kamu Marsha nya?" kelakar Langit sambil tertawa.Kinan melirik sekilas seraya tersenyum manis. Tak berbeda jauh dengan tampilan sang suami, pagi itu Kinan masih dengan camisol satin diatas lutut warna putih. Rambutnya diikat asal keatas ala gadis Thailand."Bikin minum cuma satu, Love?" Langit beranjak dari ranjang hanya menggunakan boxer brief hitam, otot trapezius tercetak indah dari punggungnya."Ya udah iya, ini mau aku bikinin. Hot papermint tea nya juga."Setengah berteriak dari kamar mandi dengan mulut penuh busa pasta gigi, "No, saya udah enggak suka papermint tea. Bikinin capuccino aja ya, Love."Kinan tersenyum seraya memanaskan
Mentari pagi mengintip malu-malu di langit Australia Barat, sama halnya dengan seorang perempuan muda yang semalam menyerahkan mahkota sucinya pada suami yang ternyata masih setia menantinya sejak 2 tahun lalu.Kinan sudah terbangun lebih dulu tetapi kungkungan lengan besar yang menguasai pinggangnya begitu sulit dienyahkan. Bergeser perlahan dengan maksud menuntaskan hajat paginya tetapi rasanya tak ada tenaga yang tersisa dari pertempurannya semalam.Gerak tubuh Kinan yang cukup mengganggu mengusik lelaki yang begitu tampan berbagi peluh dengannya, jika ingat peristiwa itu ia ungin sekali menenggelamkan diri ke dasar palung Mariana."Morning, Love...Pagi, Neng..."Suara serak khas bangun tidur ditambah rambutnya yang masih acak-acakan menambah seksi Langit pagi itu.Kinan menunduk malu sambil terus memegangi selimut putih sebatas dada, sampai ia terlelap pun tubuhnya masih polos tanpa busana. Hotpants dan tanktopnya berceceran entah dimana."Bang, pengen ke kamar mandi tapi ini gima
'Gimana udah lulus? Kok enggak ada kabarnya? Mentang-mentang udah ketemu pawang.' "Astaga, Bang. Kok aku lupa ngabarin Papa, kamu ngabarin enggak?" Kinan langsung mencari nama papanya di kontak ponsel. "Video call aja, Neng," saran Langit. Setiap panggilan Neng keluar dari mulut Langit, perempuan cantik yang kini tepat berusia 22 tahun itu selalu merasakan panas di wajahnya. "Hallo, Pa. Maaf lupa ngabarin. Ini baru sampe flat dan alhamdulillah aku lulus, nilainya juga memuaskan," terang Kinan. Lelaki paruh baya yang nampak semakin sepuh itu seperti menyeka bulir bening yang keluar dari sudut matanya. "Syukurlah, papa bangga sekali sama anak nakal yang sekarang udah dewasa, makin matang makin tenang. Selamat ulang tahun ya, Sayang. Eh, Langit ada kan?" Arah kamera ponsel Kinan arahkan pada lelaki tampan di hadapannya, "Hadir, Pa. Sesuai janji dan kesepakatan." Gelak tawa Papa terdengar begitu renyah menggantikan tangisan haru lelaki yang berjuang sendiri tanpa pendamping untuk m
"Kapan wisudanya ini?" tanya Langit seraya terus menggenggam tangan Kinan keluar dari ruang sidang. "Bulan depan kayaknya, Bang. Nanti Abang bisa temenin lagi kan?" ucap Kinan malu-malu. "Insya Allah, pasti dtemenin. Enggak mau kehilangan momen lagi aku, cukup 2 tahun kemaren Papa nyiksa segitu beratnya." Keduanya memutuskan untuk duduk sejenak di taman kampus, melepas rindu bertukar cerita yang mungkin lebih tebal dari novel jika dibukukan. "Abang enggak nakal selama aku enggak ada?" tanya Kinan. Langit mengernyit, "Wait, coba ulangi." Merasa tak ada yang salah dengan pertanyaannya, "Apaan sih, Bang. Emang pertanyaan aku salah?" "Aku? Enggak salah denger ini?" goda Langit yang cukup surprise dengan bahasa sang istri yang berubah. Mendelik kesal, "Oke, ulangi. Abang enggak nakal kan selama gue enggak ada?" Tawa renyah Langit menguar terbawa udara kota Perth, "Kaku gitu ngomong gue nya sekarang." "Teruuss aja terus godain aku, udah pasti disana juga godain ASN muda atau tetan
Langit terpogoh karena mendapat informasi dari security, bahwa ada yang mencarinya bernama Billy Rayadinata. Terlihat dari kejauhan pria paruh baya berkacamata progresif itu menantinya di ruang tunggu."Papa, ya ampun sampe kesini segala. Padahal mah telpon aja atuh, nanti Langit ke rumah," ucap Bintang seraya menyalami ayah mertuanya takzim.Tersenyum lebar, Papa mengitarkan pandangannya ke gedung bersejarah paling ikonik di Jawa barat, Gedung Sate. Tempat yang baru kali ini ia kunjungi selama hidup sebagai warga bumi Pasundan. "Enggak apa-apa, pengen tau kantor mantu sendiri. Kebanggaan banget kayaknya ya, Lang bisa ngantor disini."Langit menanggapinya dengan balik tersenyum, "Ada apa ini, Pa. Kaget banget tadi kata satpam bilang ada ayahnya Pak Langit kesini katanya. Sempet kaget masa iya tapi ternyata beneran.""Terus aja nanya kamu tuh ada apa, ya emang enggak boleh papa kesini. Apa jangan-jangan ada ASN muda yang lagi kamu dekati disini terus papa kesini, ketauan," selidik Pap
Sarapan Papa dan Langit di kediaman Rayadinata pagi itu nampak berbeda. Sengaja Papa Billy memanggil menantunya ke rumah."Papa mau ketemu Kinan, Lang. Titip apa sama dia?"Satria Langit Bhagaskara masih setia dengan kesendiriannya, di usianya 35 tahun ia beristri tetapi menduda."Titip rindu aja, Pa. Kalau titip oleh-oleh juga bingung mau dibawain apa, saya kan enggak tau Papa sembunyiin istri saya dimana."Dua tahun harus dibayar mahal Langit sebagai kompensasi karena papa mertuanya setuju untuk tidak memisahkanya dengan Kinan."Papa ini dosa dunia akhirat sama kamu, Lang. Enggak seharusnya papa sembunyikan istri kamu kayak gini tapi yang harus kamu tau, papa punya strategi. Semoga sabarmu masih cukup, sebentar lagi aja," kata Papa dengan rasa penyesalan yang teramat dalam.Langit tersenyum simpul, "Kalau saya menyerah sekarang enggak mungkin, Pa. Ini udah kepalang tanggung, penantian saya sia-sia kalau saya mundur. Saya sama sekali enggak meragukan strategi yang Papa bikin, percaya
Ketidakadilan yang Naura rasakan membuatnya hancur, baru saja ia bertemu dengan cinta pertamanya kini harus menerima kenyataan jika lelaki yang selalu menghiasi mimpinya itu telah menikah.Kenapa baru sekarang? Ketika semua mimpinya sudah hampir tercapai tapi tiba-tiba patah begitu saja."Siapa perempuan itu, A?" tanya Naura."Kamu enggak kenal, Ra," Langit tak berani menatap manik indah yang berubah sendu itu.Naura mencoba menegarkan dirinya, "Aa cinta sama dia?""Jujur, awalnya enggak, Ra. Waktu itu kamu enggak tergantikan tapi semakin kesini saya semakin takut kehilangan dia. Kesannya saya alay, Ra, tapi ini fakta yang harus kamu tau. Ternyata Kinan nadi saya, enggak ada dia saya kacau, enggak ada dia saya hancur," ucap Langit yang sadar betul apa yang ia katakan ini menyakiti perempuan yang sudah lama menantinya itu."Dan aku terganti? Benar begitu?" cecar Naura.Langit mengangguk, "Maafkan saya, Ra."Naura terus menggelengkan kepalanya, berharap semua yang ia dengar ini mimpi be
"Kinan, pulanglah. Papa tau kamu sama Langit lagi enggak baik-baik aja. Tapi bukan begini caranya, dengan menghindar dari suamimu masalah bukannya selesai malah makin panjang," ujar Papa yang tiba-tiba masuk ke kamar setelah Kinan membalas pesan Fajar. Kinan menunduk memainkan jemari yang saling bertaut. Cinta pertamanya tahu bahwa ia berbohong, Langit tidak pelatihan tidak pula ke Jakarta. Ia lupa jika sang papa memiliki banyak mata di Bandung. Papa sengaja mendekat ke tepi ranjang, berbagi pengalaman. "Dulu, papa dan mama juga sering ribut, apalagi awal-awal pernikahan kami. Banyak berdebat dan berselisih paham. Enggak jarang mama sampe nangis kalau berantem sama papa tapi yang harus kamu tau, Mama enggak pernah sekalipun meninggalkan rumah dalam keadaan marah dan emosi. Almarhumah tetap di rumah, tetap melayani semua kebutuhan papa walaupun hatinya masih kesal, mulutnya masih terkunci." "Ya tapi kan Papa enggak nyebelin makanya Mama bisa sabar ngadepinnya," potong Kinan. "Kata