"Plaaakkk!!"
Tamparan keras mendarat tepat dipipi kiri Jodi. Bentuk kekecewaan yang dilayangkan Kinan ketika mendapati kekasih yang telah 2 tahun dipacarinya itu sedang mengayun tubuh diatas Olivia, kakak tingkat tercantik dan baik hati yang pernah Kinan kenal.
Memergoki keduanya di apartemen Jodi ketika Kinan akan membuat kejutan untuk sang kekasih dengan membawa pudding roti caramel kesukaannya.
Kinan sudah lama mencium aroma perselingkuhan tetapi sulit untuk melepaskan diri dari Jodi, anak konglomerat kaya di Jakarta. Pacarnya itu selalu memiliki sejuta alasan untuk mengelak dan bodohnya ia percaya begitu saja.
Kini ia sudah melihatnya sendiri, berbekal keberanian Kinan memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Jodi.
"Please, Kinan maafin gue. Kasih gue kesempatan sekali lagi," ucap Jodi memohon.
"Dimaafin tapi kita tetap selesai!" sahut Kinan seraya berlalu.
Masih terekam jelas bagaimana Jodi memohon-mohon hingga bertekuk lutut pada perempuan tercintanya. Tetapi Kinan tak bergeming, tetap pada pendiriannya untuk mengakhiri hubungan tidak sehat ini.
Sementara Jodi, orang yang terbiasa segala sesuatunya selalu tercapai tidak tinggal diam. karena Kinan adalah satu-satunya perempuan yang ia cintai sepenuh hati tanpa disentuhnya berlebihan tidak seperti perempuan lain yang hanya hadir menghangatkan ranjangnya.
'Lo enggak bisa giniin gue, Kinan. Lo harus tetap jadi milik gue.' Batin Jodi sambil menatap punggung Kinan yang pergi meninggalkannya.
***
Pintu kamar Kinan diketuk dua kali kemudian Bi Inah memberitahukan bahwa papa menunggunya di ruang makan. Princess Rayadinata yang saat itu masih kusut, terpaksa membersihkan diri menghadap Papa.
Andai masih ada Mama, rumah ini tidak akan sepi ini. Walaupun tiga asisten rumah tangga yang menemaninya dengan Bang Ucok yang selalu setia mengantarnya kemanapun Kinan v pergi.
Bagi Kinan tetaplah ia sendiri menghadapi hidup setelah mama pergi. Papa yang jarang ada di Indonesia karena mengurus perusahaan nya di Vietnam, Kak Allan yang masih menimba ilmu di Nanyang University menambah hampa hidupnya.
Disinilah ia berada, di ruang makan dengan kursi berjumlah sepuluh tetapi hanya diisi dua orang, Kinan dan Papanya. Mengambil selembar roti gandum yang ia olesi selai strawberry chia seed dan segelas susu almond rasa vanilla, ia enggan menatap lelaki terbaik yang tak pernah menyakitinya itu. Karena matanya yang membengkak pasti akan menimbulkan pertanyaan di benak Papa.
“Lihat Papa, Kinan!” perintah Papa Billy seorang eksportir kayu kenamaan yang sudah di kenal di kawasan Asia.
Kinan terdiam, lagi-lagi ia tidak berani mengangkat wajahnya. Mata bengkaknya terlalu sulit disamarkan. Hening tercipta pada pagi itu hingga suara Teh Teti asisten rumah tangga lainnya mempersilahkan seseorang memasuki ruang makannya.
“Assalamualaikum,” sapa sang pemilik suara.
Kinan dan Papa menyahut salam itu secara bersamaan. Otomatis ia menoleh ke arah sumber suara. Ia bertanya dalam hatinya, siapa dia? Pagi-pagi sudah berada di rumahnya. Ganteng, begitu kesan pertama perempuan berambut sebahu itu pada lelaki bertubuh atletis yang memiliki dada tegap pundak kokoh dan sorot mata yang tajam tapi menenduhkan.
Papa mempersilahkan lelaki itu duduk dan memintanya untuk ikut sarapan bersama. Mengambil dua lembar roti yang ia olesi dengan peanut jam serta segelas air putih.
“Kita bicara setelah selesai sarapan,” ujar Papa semakin misterius.
Tak memakan waktu lama Kinan menyudahi sarapannya ketika akan kembali ke kamar, pergelangan tangannya ditarik Papa. Gadis satu-satunya milik Billy Rayadinata itu kembali duduk dan semakin tidak mengerti apa yang terjadi. Bos kayu kenamaan itu membawanya ke ruang kerja di lantai dua sebelah kamarnya, lelaki tadi mengekor di belakang.
Pintu ruang kerja Papa telah terbuka karena baru saja dibersihkan oleh Bi Inah yang bertanggung jawab atas kebersihan lantai dua rumah. Kinan dan lelaki itu duduk berhadapan, di tengahnya ada sang kepala suku yang sudah siap melontarkan sebuah pernyataan.
“Kinan, minggu depan kamu akan papa nikahkan dengan Langit,” Papa menolehkan kepalanya menunjuk lelaki yang baru diketahuinya bernama Langit.
Kinan menegang rahangnya mengeras dengan nafas yang semakin memburu, guratan emosi membingkai paras ayunya. Beribu pertanyaan ada di benak perempuan satu-satunya di keluarga Billy Rayadinata itu.
Mengapa harus menikah? Dengan laki-laki yang sama sekali asing untuknya. Apakah Papa hanya menjebaknya? Untuk apa? Apa tujuannya?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Papanya sungguh tak paham dengan apa yang sedang Kinan rasakan. Ia baru saja putus cinta kini harus dihadapkan dengan kenyataan mengejutkan. Menikah muda dengan lelaki yang tak ia kenal sebelumnya.
“Satria Langit Bagaskara, dia lulusan terbaik Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Seorang Aparatur Sipil Negara berdinas di pemerintahan daerah Propinsi Jawa Barat kantornya di Gedung Sate. Golongannya udah 3C ya, Lang?” tanya Billy Rayadinata, laki-laki kesayangan Kinan.
“Jabatan kamu apa, Lang? Kok papa mendadak lupa,” tanya Papa sekali lagi.
Dengan posisi duduk yang tegap layaknya sedang menghadap atasan Langit menjawab, “ Saya Kepala Sub Bagian Kelembagaan dan Analisa Formasi Jabatan, Pa.”
Kinan merotasi bola matanya seolah tak peduli dengan jabatan yang dibicarakan laki-laki yang baru ia temui hari ini.
Dalam hatinya hanya berujar ‘Oh...ASN’.
Dan tunggu, mengapa seorang Billy Rayadinata menyebut dirinya sebagai Papa juga di depan laki-laki ini. Apa memang sudah sedekat itu hubungan Langit dan Papa. Tanda tanya besar ada di kepala Kinan saat ini.
“Orang yang akan papa andalkan dan percayai untuk menjaga kamu seumur hidup apalagi ketika papa enggak ada,” sambungnya.
Kinan harus angkat bicara pikirnya, “Papa kok main nyuruh nikah aja sih, aku enggak kenal dia siapa baru ketemu hari ini tiba-tiba harus nikah. Gimana sih?”
“Papa sudah kenalkan dia barusan sama kamu, namanya..,” ucap Papa yang sudah menduga akan ada penolakan dari anak gadisnya.
“Bukan itu maksud Kinan, oke aku tau namanya Satria Langit Bagaspati,” balas Kinan.
“Sorry, Bagaskara ya,” potong Langit.
“Ya enggak jauh beda lah,” Kinan menjawab tak mau kalah.
Papa Billy menahan senyumnya atas emosi yang sedang diluapkan putri kecilnya yang akan tetap kecil walaupun kini usianya sudah 19 tahun.
“Ya terus maksudnya apa? Ngomong jangan belok-belok, Kinan!” ungkap Papa Billy.
“Ya kenapa, Pa? Kenapa aku harus nikah? Apa karena Papa jarang di Indonesia dan Kak Allan di Singapore jadi Papa merasa bersalah gitu ninggalin aku sendiri? Aku cuma butuh Mama, minimal Mama baru yang bisa temenin Kinan di rumah. Papa yang harusnya menikah lagi bukan aku, Pa!” air matanya luruh, Kinan tidak dapat mencegahnya. Ia akan sangat sensitif jika membahas mengenai sang bunda.
Tujuh tahun sudah Mama Amara meninggal dunia, kala itu titik terendah keluarga Billy Rayadinata. Sang kepala suku Billy yang dikenal tegas tanpa ampun menangisi kepergian belahan jiwanya, cinta pertama dan terakhirnya. Kinan yang masih duduk di bangku kelas delapan SMP dan Allan di bangku SMA seakan kehilangan dunianya runtuh tak bersisa.
“Tidak semudah itu, Kinan. Papa tidak akan pernah mengkhianati Mama. Papa akan tetap teguh dengan janji. Menikah lagi bukan solusi, papa masih bisa mengatasi kesendirian ini. Permasalahan ada di kamu! Apa kamu pikir papa tidak tau apa yang terjadi selama ini, apa kamu pikir papa tidak tau puncak derita kamu tadi malam. Papa tahu semuanya , Kinan!" Papa menangis untuk kedua kalinya setelah kepergian mama.
“Papa Mama besarkan kamu dengan penuh kasih sayang, kamu tumbuh jadi gadis cantik dan pintar luar biasa. Papa rawat kamu layaknya bunga mawar apalagi setelah kepergian Mama. Papa siram setiap hari, dipupuk agar tumbuh subur. Sudah indah dan cantik kemudian disakiti oleh orang yang tidak papa kenal. Hati seorang ayah mana yang tidak sakit, Kinan!” suara Papa bergetar mengungkapkan isi hatinya.
Kinan menundukkan wajahnya, air mata tak berhenti mengalir. Sementara Langit yang ada di situasi itu sangat paham apa yang dirasakan laki-laki yang sudah ia anggap sebagai ayahnya itu. Tetapi ia tak mampu berbuat banyak karena dengan menerima perintah untuk menikahi Kinan saja itu sudah cukup rumit untuknya.
“Terima kasih banyak kalo Papa peduli sama Kinan tapi enggak perlu juga menikahkan Kinan dengan orang asing ini,” tatapan Kinan beralih pada Langit yang masih duduk di tempatnya dengan memasang wajah datar.
“Langit bukan orang asing! Papa tau betul dari sejak ia sekolah dan papa enggak mungkin gegabah menikahkan kamu dengan laki-laki yang enggak papa kenal asal usulmya. Tolong jangan bantah Papa untuk kali ini, Kinan! Papa sudah mengalah dengan membiarkan kamu masuk jurusan Seni Musik walaupun Papa mau kamu ambil Ekonomi Bisnis,” sekali lagi Papa mengungkit masa-masa perdebatannya ketika memilih jurusan kuliahnya dulu.
“Papa juga fasilitasi kamu yang suka bermusik dengan membuatkan studio di lantai 3. Papa ingin kamu bahagia dengan pilihanmu tapi untuk kali ini tolong turuti pilihan Papa!” tambah Papa Billy.
Kinan tak bergeming dan tetap pada pendiriannya, tidak mau menikah muda. Masa depannya masih panjang, ia masih semester tiga. Usianya baru akan menginjak 19 tahun. Jika harus menikah ia pastikan mimpinya menjadi musisi yang bertitel sarjana akan terkubur dalam-dalam.
Baginya perempuan menikah itu seperti almarhumah mamanya yang diam di rumah menanti suaminya pulang dan mengurus anak-anak. Perempuan yang baru saja akan menginjak masa dewasanya itu tidak mau hal itu terjadi padanya. Ia berdiri meninggalkan ruang kerja papanya.
“Boleh saya susul Kinan, Pa?” tanya Langit sopan.
Papa Billy mengangguk, ia izinkan lelaki pilihannya itu untuk menyusul putrinya yang keras kepala.
Kinan berada di taman belakang yang dipenuhi bunga anggrek kesayangan almarhumah sang bunda.
“Saya Langit, usia saya tiga puluh tiga tahun. Saya anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya perempuan seusia kamu, ayah saya meninggal ketika saya SMA. Papa kamu dan Ayah saya adalah sahabat baik semasa kuliah. Setelah Ayah meninggal, Papa kamu yang membiayai saya sekolah sampai saya keterima di IPDN dan atas saran beliau juga saya masuk kesana meneruskan cita-cita Ayah yang enggak kesampean.” ucap Langit lantang.
Kinan menoleh dengan tatapan tajam, “Lo mau balas budi jangan libatin gue dong, Bang.”Walaupun menggerutu dalam hati namun Kinan masih memiliki adab. Langit, 14 tahun diatas nya seharusnya mungkin ia panggil Om karena jarak usia yang begitu jauh. Namun dengan memanggil Abang saja rasanya sudah cukup sopan.Langit memilih duduk di kursi taman yang berhadapan langsung dengan sang calon istri.“Papa kamu tidak perlu balas budi saya karena dulu pun kami tidak memaksa beliau untuk membiayai saya atau pun adik. Beliau sendiri yang meminta pada Ibu agar mau menerima bantuannya. Dengan saya lulus tepat waktu dan menjadi yang terbaik ketika di kampus itu sudah lebih dari cukup jika hal itu menjadi hutang budi,” begitu dingin Langit menjawab membuat Kinan sebenarnya takut.“Terus ngapain lo mau nerima aja suruh ngawinin gue?” tanya Kinan dengan nada meninggi menutupi ketakutannya.Langit menghela nafas mencoba memilih kalimat yang tepat dan meyakinkan, “Saya punya adik perempuan yang jika mengalami hal seperti kamu tentu saya pun was-was sama seperti Pak Billy. Saya sudah tahu siapa Jodi, pacar kesayangan kamu itu.”“Dia cukup berbahaya untuk kamu yang hidup di Bandung seorang diri, Pak Billy tidak akan tenang di Vietnam jika kamu belum ada yang mendampingi,” ungkap Langit yang sukses membuat Kinan tertegun.Tahu apa memang ia tentang Jodi, pertanyaan itu muncul di benaknya.Seolah tahu apa yang bulan pikirkan Langit melanjutkan bicaranya, “Jodi, pewaris tunggal Daya Asia Corp usia dua puluh lima lahir dari keluarga broken home. Ayahnya memiliki Chivas Bar di Jakarta Selatan, ibunya menikah lagi dengan laki-laki seusia Jodi. ““Jodi juga memiliki link dengan The Bloods kelompok mafia Asia Pasifik. Dia pernah membunuh tiga orang laki-laki-laki dan memperkosa puluhan wanita hingga 5 diantaranya mengandung anaknya.” terang Langit lagi.Fakta mencengangkan yang disebutkan Langit barusan membuat Kinan membelalakkan matanya disertai gelengan kepalanya. Mengapa ia tak tahu semua itu, yang ia tahu Jodi hanya pewaris tunggal Daya Asia dan ayah ibu nya bercerai, tidak ada informasi lengkap seperti yang disampaikan Langit barusan.“Jangan ngawur lo, kenal aja enggak. Jatohnya fitnah kena pasal baru tau rasa. Dia produser musik punya label rekaman Nada Record. That’s it,” Kinan masih saja membela Jodi walaupun secara terang-terangan ia disakiti.“Sudah saya duga dengan respon kamu ini. Tapi jangan ragukan saya mengenai informasi yang saya dapatkan, karena tingkat validitasnya 100 persen,” Langit memperingatkan dengan tatapan lurus ke depan.Kinan melunak setelah tahu fakta tersebut, “Jadi apa yang harus gue lakuin?”“Ikuti permintaan Papa, saya tidak bisa membiarkan Pak Billy dan keluarga hidup penuh kekhawatiran. Papa kamu adalah sosok ayah yang saya rindukan dan jika saya ada kesempatan berbakti maka akan saya lakukan sebisa dan semampu saya,” ucap Langit mantap.“Dengan mengorbankan masa depan gue?” tanya Kinan.Langit menatap dalam Kinan seraya berucap, “Dan juga masa depan saya karena saya punya Naura, gadis sederhana yang sudah menanti saya bertahun-tahun. Saya pernah berjanji menikahinya dan sekarang semuanya sirna.”Keduanya duduk bersisian, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tidak mudah menjalaninya tetapi mereka pun tidak punya pilihan.“Pikirkan baik-baik dengan kepala dingin dan realistis. Kamu sudah hampir 20 tahun belajarlah cara mengelola emosi,” sindir Langit seraya berlalu dari hadapan Kinan.Cukup singkat perkenalan ala Langit pada perempuan yang kemungkinan besar menjadi calon istrinya itu. Namun isi perkenalan itu yang membuat Kinan gelisah terutama fakta tentang Jodi yang sama sekali tidak ia ketahui.***
"Hallo, Bang Langit. Ini gue, Kinan. Sekarang gue ada di depan kantor lo, walaupun enggak tau dimana ruangan lo. Gedung Sate segini luas jadi gue ada di tangga lapangan Gasibu, tepat di depan pintu gerbangnya. Lo kesini ya!" ucap Kinan to the point menelepon calon suami pilihan papanya itu.
Tak ada pilihan bagi Langit, walaupun sedang terlibat bincang serius dengan Kepala Biro Umum mengenai mutasi jabatan yang akan dilakukan di lingkungan pemerintah propinsi Jawa Barat.
'Tunggu saya disitu!' sahut Langit di seberang telepon.
Menunggu sekitar 10 menit, tak lama Toyota HRV abu metalik menghampiri. Kinan masuk tanpa diminta ketika si pengemudi hanya menurunkan jendela mobilnya.
Hening, tak ada suara dan Kinan pun tak tahu akan dibawa kemana oleh lelaki tegap bertinggi 186 cm itu. Sampai akhirnya perempuan yang setia dengan masker duckbill putih yang menutupi hidung dan mulutnya itu berbicara.
"Gue mau ngomongin rencana Papa dan kayaknya gue udah punya keputusan."
Lagi, tak ada komentar dari lelaki dingin di hadapannya ini.
"Bang, denger gue enggak?" tanya Kinan.
Langit melirik sekilas perempuan yang siang itu hanya menggunakan celana super pendek berbahan jeans yang dipadankan dengan kaos putih ketat. Lekuk tubuh sintalnya tercetak jelas hanya masih tertolong dengan long cardi hijau tosca yang cukup lumayan menutup tubuhnya dari belakang.
Purna praja terbaik di angkatannya itu hanya bisa geleng kepala melihat outfit calon istrinya itu. Jauh dari cita-citanya dulu yang ingin beristrikan wanita syari berjilbab lebar.
"Nanti ngobrolnya sambil saya makan siang, saya lapar."
Kinan menurut hingga sampai di kedai makan yang tak istimewa jika dilihat dari luar, hanya rumah biasa yang disulap seperti kantin.
Langit memesan sendiri makan siangnya tanpa menawarkan pada Kinan kemudian ia memilih meja paling ujung.
"Silahkan bicara, waktu saya enggak banyak," ujar Langit dingin.
“Oke, sorry kalau gue ganggu waktu kerja lo. Gue cuma mau bilang setuju sama permintaan Papa, gue tau dia khawatir banget sama gue dan satu-satunya yang gue miliki sekarang jadi gue mau bikin dia bahagia,” jelasnya.
Tak ada raut wajah bahagia atau pun sedih dari seorang Satria Langit Bagaskara. Ia tetap datar dengan menatap tajam perempuan di hadapannya ini.Sadar diperhatikan secara lekat oleh Langit membuat Kinan gugup. Ia mengeluarkan rokok putihnya dari dalam tas kemudian ia tempelkan gulungan berisi tembakau itu di bibirnya sambil mencari kriket untuk menyalakannya.Disambarnya lintingan nikotin itu dari bibir Kinan oleh lelaki yang baru saja disetujui sebagai calon suaminya.“Apaan sih lo? Kok dibuang?” ujar Kinan kesal.“Kamu baru saja setuju untuk menikah dengan saya dan otomatis akan jadi istri dari seorang ASN. Jaga sikap layaknya seorang calon Dharma Wanita!” perintah Langit.Kinan tercengang, ia baru saja mengambil langkah yang salah. Deritanya dimulai sejak beberapa menit yang lalu. Dengan menyetujui pernikahan ini berarti ia akan berada dalam sangkar aturan dan tata tertib. Hal yang ia lewatkan bahwa pria yang akan menikahinya adalah seorang purna praja IPDN.
“Gue mau nikah sama lo tapi cuma dalam tempo setahun aja, yaa...maksimal dua tahun lah. Setelah itu kita pisah, gue mau lanjutin sekolah ke Perth.”
“Maksudmu nikah kontrak?” Langit berkata sambil menautkan kedua alis tegasnya.
Kinan mengangguk karena terus terang ia tak siap dengan pernikahan dadakan ini.
“Kamu itu belum dijalani sudah terlalu banyak ketakutan. Dari saya simple saja, Kinan, take it or leave it. Kamu ambil dengan resiko yang sudah saya jabarkan atau kamu tolak semuanya dengan resiko yang kamu sudah tau bagaimana,” ujar Langit.
“Oke..oke..kalau kita enggak bisa nikah kontrak minimal ada pasal-pasal tertulis yang jadi pagar buat kita. Please, mudah-mudahan lo ngerti karena ini mendadak buat gue yang harus nikah sama cowok yang asing banget buat gue. Mudah-mudahan lo bisa diajak kerja sama, Bang,” pinta Kinan.
“Kamu itu berasa tersakiti banget padahal saya niat awalnya hanya menjalankan perintah papa kamu, “ Langit menjeda ucapannya melihat reaksi yang akan ia lihat dari perempuan di depannya.”
“Bukan cuma kamu yang ngerasa enggak nyaman dengan pernikahan ini, saya juga. Saya harus mengorbankan hati saya juga jadi silahkan lah terserah kamu maunya gimana. Pasal-pasal yang kamu bilang itu yaa atur sajalah sesuka hatimu,” sambung Langit seraya melorotkan tubuhnya di kursi yang ia duduki.
Kinan semakin bingung karena ia kira Langit akan sulit memenuhi permintaannya tapi ternyata calon suamiya itu menyerahkan padanya.
“Ya udah intinya ada beberapa hal yang gue minta sama lo, Bang. Enggak banyak-banyak kok. Pertama lo enggak boleh sentuh gue dengan sengaja apalagi sampe yang aneh-aneh, kita tidurnya harus pisah kasur pokoknya. Kedua, pernikahan ini harus disembunyikan cukup nikah di KUA aja beres. Ketiga, jangan ngelarang gue gaul sama temen-temen apalagi temen band. Mereka jangan sampe tau kita udah nikah, simple kan? Deal ya?” kata Kinan seraya menyodorkan tangan kanannya untuk berjabat tangan.
"Suka-suka kamu lah," jawab Langit cuek.
Flight pagi menuju Palangkaraya, Langit ditemani asistennya Fajar menuju ibukota Kalimantan Tengah.Kondisi fisiknya yang lelah belum lagi pulang dalam keadaan basah kuyup membuat tubuh Langit tak 100 persen fit. Di perjalanan pun ia terlelap hingga akhirnya dibangunkan Fajar ketika landing."Cape banget kayaknya, Bos? Perasaan kemaren sore juga udah cabut," tanya Fajar yang usianya hanya selisih 5 tahun lebih muda dari Langit."Nyampe rumah tetep aja jam 11 malem, ngurusin bocah yang susah diatur dulu," jawab Langit seraya merapikan tampilannya karena akan langsung menuju kantor gubernur Kalimantan Tengah.Fajar mengerenyitkan keningnya tetapi tak bertanya lebih lanjut karena ia hafal betul karakter atasannya itu. 'Nanti juga cerita' begitu yang ada di dalam pikiranya.Bangunan bercat putih dengan ornamen khas suku Dayak menghiasi kantor gubernur Kalimantan Tengah. Bertemu langsung dengan panitia penyelenggara, Langit begitu luwes menyampaikan maksud kedatangannya sebagai utusan Jawa
"Saya teima nikah dan kawinnya Annaya Sekar Kinanti binti Billy Rayadinata dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," ucap Langiit lantang dengan satu tarikan nafas.Menjabat tangan lelaki bernama Billy Rayadinata yang dahulu adalah ayah angkatnya dan kini menjadi ayah sesungguhnya bagi Langit. Kepala yang terus tertunduk mendengarkan doa yang dipanjatkan seorang ustadz yang sengaja diundang dalam prosesi akad nikah yang super sederhana, jauh dari kata mewah.Ada rasa haru di benak Papa Billy ketika menjabat tangan anak muda yang ia saksikan sendiri tumbuh kembangnya dan kini mendapat limpahan tanggung jawab atas putrinya.Kinan sengaja tidak dihadirkan pada ijab kabul atas permintaan Langit dengan alasan ingin halal lebih dulu baru bertemu padahal sebenarnya ia takut berubah pikiran untuk memperistri perempuan yang lebih pantas menjadi keponakan atau adiknya itu.Papa Billy memeluk menantu barunya itu selepas ijab kabul seraya berucap, "Maafkan papa yang sangat egois sama kamu, Lang.
"Nanti siang kita ke Puncak, enggak lama paling juga semalem," ungkap Langit sambil membereskan sofa bed di kamar Kinan yang 2 hari ini menjadi tempat tidurnya.Kinan sedang mengecat kukunya dengan warna beige langsung menoleh, "Ngapain? Ogah ahhh...ntar bersin-bersin lagi, Puncak kan dingin.""Ngapain kamu bilang? Kamu lupa ibu dan adik saya tinggal disana? Saya enggak lahir dari batu jadi saya harus kesana ngenalin kamu yang katanya sekarang istri saya."Konsisten ketus dan dingin, begitulah Langit. Entah bagaimana caranya agar lelaki gagah itu sedikit ramah pada istrinya."Oke," Kinan menjawab seperlunya.Ia bisa apa karena protes pun tak akan bisa dilakukan. Suaminya terlalu istimewa untuk ia bantah.Terlihat tak peduli tetapi Kinan berpikir keras apa yang harus dilakukannya ketika nanti bertemu ibu mertuanya? Apakah ia akan dibenci sama halnya dengan sang putra yang selalu ketus padanya. Belum lagi adik ipar yang katanya lebih menyeramkan dari dosen killer karena menjadi duri dal
Kinan tak berhenti bersin walaupun sudah menggunakan dua sweater ditambah tubuhnya yang bergelung dengan selimut tebal milik Langit.Langit melirik istrinya dan kembali tak tega melihatnya, ia edarkan pandangannya dan melihat jendela yang tak tertutup rapat. Ada rasa heran karena sore tadi ia menutupnya sendiri tetapi mengapa kini jadi terbuka sedikit."Emhhhh...Kinan, ini kata Ibu suruh pake minyak angin. Katanya biar badannya anget," tawar Langit sambil menyodorkan botol kaca berisi minyak berwarna coklat.Seperti biasanya pria dingin itu bersikap datar dan juga kaku menutupi kegugupannya yang hinggap tiba-tiba.Kinan bangun dari tidurnya, ia menatap Langit dan minyak yang ada di telapak tangan suaminya itu bergantian.Tak lama pintu kamar diketuk dan ternyata Ibu Arini."Kinan, itu minyaknya dibalurin di punggung sama dada ya. Insya Allah lebih baik. Aa, sok balurin punggung sama dadanya Kinan!" titah Ibu.Kinan melotot sambil menggeleng tipis agar Ibu tak melihat."I-iya, nanti di
"Kinaaaaannnn..." Langit tak kalah meninggikan suara.Langit buru-buru memakai kaos yang tadi dibukanya, hanya tersisa boxer brief yang menutup bagian bawah tubuhnya."Lagian Abang, gue udah ketuk pintu enggak ada jawaban. Mana gue tau kalau lo pake headset gitu mana telanjang pula," ucap Kinan membela diri dengan wajah yang masih ia tutup dengan kedua tangannya."Ada apa sih?" sungut Langit yang sudah menggunakan kaos rumahan dengan celana trainning.Kinan membuka matanya perlahan, ada lega yang ia rasakan walaupun jantungnya masih berdisko ria. Mungkin pemandangan seperti ini akan terulang di kemudian hari karena hidupnya kini akan ada di sekitar lelaki bertubuh atletis."Gue laper, kulkas segede gitu isinya cuma susu sama apel 3 biji, anggur tinggal semangkok. Mie instan dimana naronya?" protes Kinan pada teman satu rumahnya itu.Menatap sejenak sang istri seraya menarik nafas, Langit gegas menuruni tangga. Menuju dapur dan membuka rak atas kitchen set nya."Nih, stok mie disini ka
"Besok gue kuliah pagi, Bang. Kalau dosennya ada semua kuliah sampe jam 3 sore, udah itu gue izin buat latihan sama anak-anak di studio," kata Kinan ketika makan malam tiba. Langit memutuskan untuk tak memberi tahu istrinya jika ia melihat chat dari nomor tak dikenal. Namun bukan Langit namanya jika tak memiliki tindakan preventif. "Ok, besok saya anter sebelum ke kantor. Pulangnya saya jemput, bilang aja jam berapa selesainya dan dimana tempat latihannya," sahut Langit berusaha setenang mungkin agar tak terlihat mengetahui sesuatu. Hati Langit resah luar biasa karena isi chat dari seseorang yang ia yakini itu Jodi. Bahaya mengintai istrinya, rasanya ingin sekali ia melarang Kinan keluar rumah. "Ihhh...enggak usah dianter segala, gue pake motor aja. Nanti pulangnya juga...." "Bisa nurut enggak? Saya bilang saya yang antar dan saya juga yang jemput, ngerti?" Langit memotong ocehan Kinan. Jika sudah seperti itu Kinan tak berkutik. Entah kemana perginya julukan Kinanti si pembangkan
Langit bersimpuh di hadapan Kinan terbaring lemah di sofa panjang milik ibu baik hati yang bersedia menampung istrinya itu. "Kinan, Sayang..." panggil Langit dengan suara tercekat. Lelaki tampan yang biasanya dingin dan ketus itu mendadak lemah lembut menyapa sang istri, ada tangis yang mati-matian ia tahan. Tak tega rasanya melihat pipi kulit putih bersih itu memerah karena tamparan ditambah darah yang mengering di sudut bibirnya. Kinan bergerak pelan merasakan sentuhan di pipinya, respon tubuhnya menegang. Matanya langsung terbuka waspada. "Ini Abang, Kinan," kata Langit yang untuk pertama kalinya memanggil dirinya dengan sebutan yang sering istrinya panggil. Tak ada suara dari perempuan yang malam ini tampak tak beraturan, ia hanya memeluk suaminya sekencang mungkin dengan air mata yang terus meluruh. Tak ada raungan atau teriakan, Kinan menangis dalam diamnya. Sakit, pasti sakit sekali. Perempuan yang biasanya riang tanpa beban kini terlihat lemah tak berdaya menahan luka f
"Bang, kok belum siap-siap. Ini udah setengah 8 loh," kata Kinan mengingatkan.Melirik jam dinding yang menggantung di dinding meja makan, Langit menjawab, "Ke kantor tapi siangan, banyak yang harus diurus."Tak curiga, Kinan kembali ke kamarnya. Ia pun memilih tak kuliah, mentalnya belum siap untuk kembali ke kampus. Berusaha tegar tetapi bayang-bayang penyekapan singkat Jodi dan 2 bodyguardnya masih belum hilang dari ingatan."Baru juga cuti kemarin, Bang. Sekarang udah enggak masuk lagi," Kinan khawatir jika Langit keseringan tak masuk akan mempengaruhi kinerjanya."Saya enggak cuti tapi ke kantor rada siang, besok saya ada dinas ke Jakarta, kamu ikut ya. Kuliahnya minta online dulu, nanti saya bantu bilang sama dosen kamu."Sejujurnya Langit masih amat khawatir jika meninggalkan Kinan sendiri termasuk saat kuliah."Bang, yang bener aja masa iya gue ikut lo kerja. Enggak ahhh, lagian mau cari kostum buat hari Sabtu besok. Gue pulang ke rumah aja, disana ada Bi Inah sama Teh Teti,"
Kinan tertegun, pikirannya blank, tubuhnya linglung. Ingin sekali berteriak tetapi lidahnya kelu, ini bohong kan? Mimpi kan? Apa namanya sama? Dan berjuta pertanyaan lainnya yang terus berputar di kepala Kinan."Teh Kinan, tau kan siapa dia? Mungkin Aa pernah cerita, dia anaknya Om Doni Purnomo yang ambil alih perusahaan almarhum Ayah. Dan Aa itu benci banget sama dia," jelas Salma.'Dia juga mantan gue, Sal. Karena dia, gue dikawinin sama Abang lo dan dia juga yang hampir ambil kegadisan gue. Duhh...gue enggak tau deh gimana murka nya Abang lo kalau tau.'Kinan hanya bia bermonolog dalam hatinya."Tapi sebaiknya Abang emhhh...maksud aku Aa tau ini, Sal. Semarah apapun nanti tapi dia berhak tau, anak di perut kamu itu butuh ayahnya. Darah Purnomo mengalir deras disana dan kamu enggak bisa mengelak," saran Kinan.Salma terdiam, ia begitu bimbang apa harus jujur atau tidak. Jika jujur, resikonya begitu besar tetapi jika tidak ia tak ingin Ibu dan kakaknya menanggung malu."Tapi gimana?
Pagi kesekian masih di kota Perth, Australia Barat. Kedua pengantin lama rasa baru ini masih bergelung dengan selimut."Morning, Love," sapa Langit dengan suara khas bangun tidur, terduduk diatas ranjang. Rambut acak-acakan membuat aura seksi semakin kentara."Morning juga, Papa Bear," jawab Kinan yang sudah membuat hot papermint tea untuknya."Jadi kamu Marsha nya?" kelakar Langit sambil tertawa.Kinan melirik sekilas seraya tersenyum manis. Tak berbeda jauh dengan tampilan sang suami, pagi itu Kinan masih dengan camisol satin diatas lutut warna putih. Rambutnya diikat asal keatas ala gadis Thailand."Bikin minum cuma satu, Love?" Langit beranjak dari ranjang hanya menggunakan boxer brief hitam, otot trapezius tercetak indah dari punggungnya."Ya udah iya, ini mau aku bikinin. Hot papermint tea nya juga."Setengah berteriak dari kamar mandi dengan mulut penuh busa pasta gigi, "No, saya udah enggak suka papermint tea. Bikinin capuccino aja ya, Love."Kinan tersenyum seraya memanaskan
Mentari pagi mengintip malu-malu di langit Australia Barat, sama halnya dengan seorang perempuan muda yang semalam menyerahkan mahkota sucinya pada suami yang ternyata masih setia menantinya sejak 2 tahun lalu.Kinan sudah terbangun lebih dulu tetapi kungkungan lengan besar yang menguasai pinggangnya begitu sulit dienyahkan. Bergeser perlahan dengan maksud menuntaskan hajat paginya tetapi rasanya tak ada tenaga yang tersisa dari pertempurannya semalam.Gerak tubuh Kinan yang cukup mengganggu mengusik lelaki yang begitu tampan berbagi peluh dengannya, jika ingat peristiwa itu ia ungin sekali menenggelamkan diri ke dasar palung Mariana."Morning, Love...Pagi, Neng..."Suara serak khas bangun tidur ditambah rambutnya yang masih acak-acakan menambah seksi Langit pagi itu.Kinan menunduk malu sambil terus memegangi selimut putih sebatas dada, sampai ia terlelap pun tubuhnya masih polos tanpa busana. Hotpants dan tanktopnya berceceran entah dimana."Bang, pengen ke kamar mandi tapi ini gima
'Gimana udah lulus? Kok enggak ada kabarnya? Mentang-mentang udah ketemu pawang.' "Astaga, Bang. Kok aku lupa ngabarin Papa, kamu ngabarin enggak?" Kinan langsung mencari nama papanya di kontak ponsel. "Video call aja, Neng," saran Langit. Setiap panggilan Neng keluar dari mulut Langit, perempuan cantik yang kini tepat berusia 22 tahun itu selalu merasakan panas di wajahnya. "Hallo, Pa. Maaf lupa ngabarin. Ini baru sampe flat dan alhamdulillah aku lulus, nilainya juga memuaskan," terang Kinan. Lelaki paruh baya yang nampak semakin sepuh itu seperti menyeka bulir bening yang keluar dari sudut matanya. "Syukurlah, papa bangga sekali sama anak nakal yang sekarang udah dewasa, makin matang makin tenang. Selamat ulang tahun ya, Sayang. Eh, Langit ada kan?" Arah kamera ponsel Kinan arahkan pada lelaki tampan di hadapannya, "Hadir, Pa. Sesuai janji dan kesepakatan." Gelak tawa Papa terdengar begitu renyah menggantikan tangisan haru lelaki yang berjuang sendiri tanpa pendamping untuk m
"Kapan wisudanya ini?" tanya Langit seraya terus menggenggam tangan Kinan keluar dari ruang sidang. "Bulan depan kayaknya, Bang. Nanti Abang bisa temenin lagi kan?" ucap Kinan malu-malu. "Insya Allah, pasti dtemenin. Enggak mau kehilangan momen lagi aku, cukup 2 tahun kemaren Papa nyiksa segitu beratnya." Keduanya memutuskan untuk duduk sejenak di taman kampus, melepas rindu bertukar cerita yang mungkin lebih tebal dari novel jika dibukukan. "Abang enggak nakal selama aku enggak ada?" tanya Kinan. Langit mengernyit, "Wait, coba ulangi." Merasa tak ada yang salah dengan pertanyaannya, "Apaan sih, Bang. Emang pertanyaan aku salah?" "Aku? Enggak salah denger ini?" goda Langit yang cukup surprise dengan bahasa sang istri yang berubah. Mendelik kesal, "Oke, ulangi. Abang enggak nakal kan selama gue enggak ada?" Tawa renyah Langit menguar terbawa udara kota Perth, "Kaku gitu ngomong gue nya sekarang." "Teruuss aja terus godain aku, udah pasti disana juga godain ASN muda atau tetan
Langit terpogoh karena mendapat informasi dari security, bahwa ada yang mencarinya bernama Billy Rayadinata. Terlihat dari kejauhan pria paruh baya berkacamata progresif itu menantinya di ruang tunggu."Papa, ya ampun sampe kesini segala. Padahal mah telpon aja atuh, nanti Langit ke rumah," ucap Bintang seraya menyalami ayah mertuanya takzim.Tersenyum lebar, Papa mengitarkan pandangannya ke gedung bersejarah paling ikonik di Jawa barat, Gedung Sate. Tempat yang baru kali ini ia kunjungi selama hidup sebagai warga bumi Pasundan. "Enggak apa-apa, pengen tau kantor mantu sendiri. Kebanggaan banget kayaknya ya, Lang bisa ngantor disini."Langit menanggapinya dengan balik tersenyum, "Ada apa ini, Pa. Kaget banget tadi kata satpam bilang ada ayahnya Pak Langit kesini katanya. Sempet kaget masa iya tapi ternyata beneran.""Terus aja nanya kamu tuh ada apa, ya emang enggak boleh papa kesini. Apa jangan-jangan ada ASN muda yang lagi kamu dekati disini terus papa kesini, ketauan," selidik Pap
Sarapan Papa dan Langit di kediaman Rayadinata pagi itu nampak berbeda. Sengaja Papa Billy memanggil menantunya ke rumah."Papa mau ketemu Kinan, Lang. Titip apa sama dia?"Satria Langit Bhagaskara masih setia dengan kesendiriannya, di usianya 35 tahun ia beristri tetapi menduda."Titip rindu aja, Pa. Kalau titip oleh-oleh juga bingung mau dibawain apa, saya kan enggak tau Papa sembunyiin istri saya dimana."Dua tahun harus dibayar mahal Langit sebagai kompensasi karena papa mertuanya setuju untuk tidak memisahkanya dengan Kinan."Papa ini dosa dunia akhirat sama kamu, Lang. Enggak seharusnya papa sembunyikan istri kamu kayak gini tapi yang harus kamu tau, papa punya strategi. Semoga sabarmu masih cukup, sebentar lagi aja," kata Papa dengan rasa penyesalan yang teramat dalam.Langit tersenyum simpul, "Kalau saya menyerah sekarang enggak mungkin, Pa. Ini udah kepalang tanggung, penantian saya sia-sia kalau saya mundur. Saya sama sekali enggak meragukan strategi yang Papa bikin, percaya
Ketidakadilan yang Naura rasakan membuatnya hancur, baru saja ia bertemu dengan cinta pertamanya kini harus menerima kenyataan jika lelaki yang selalu menghiasi mimpinya itu telah menikah.Kenapa baru sekarang? Ketika semua mimpinya sudah hampir tercapai tapi tiba-tiba patah begitu saja."Siapa perempuan itu, A?" tanya Naura."Kamu enggak kenal, Ra," Langit tak berani menatap manik indah yang berubah sendu itu.Naura mencoba menegarkan dirinya, "Aa cinta sama dia?""Jujur, awalnya enggak, Ra. Waktu itu kamu enggak tergantikan tapi semakin kesini saya semakin takut kehilangan dia. Kesannya saya alay, Ra, tapi ini fakta yang harus kamu tau. Ternyata Kinan nadi saya, enggak ada dia saya kacau, enggak ada dia saya hancur," ucap Langit yang sadar betul apa yang ia katakan ini menyakiti perempuan yang sudah lama menantinya itu."Dan aku terganti? Benar begitu?" cecar Naura.Langit mengangguk, "Maafkan saya, Ra."Naura terus menggelengkan kepalanya, berharap semua yang ia dengar ini mimpi be
"Kinan, pulanglah. Papa tau kamu sama Langit lagi enggak baik-baik aja. Tapi bukan begini caranya, dengan menghindar dari suamimu masalah bukannya selesai malah makin panjang," ujar Papa yang tiba-tiba masuk ke kamar setelah Kinan membalas pesan Fajar. Kinan menunduk memainkan jemari yang saling bertaut. Cinta pertamanya tahu bahwa ia berbohong, Langit tidak pelatihan tidak pula ke Jakarta. Ia lupa jika sang papa memiliki banyak mata di Bandung. Papa sengaja mendekat ke tepi ranjang, berbagi pengalaman. "Dulu, papa dan mama juga sering ribut, apalagi awal-awal pernikahan kami. Banyak berdebat dan berselisih paham. Enggak jarang mama sampe nangis kalau berantem sama papa tapi yang harus kamu tau, Mama enggak pernah sekalipun meninggalkan rumah dalam keadaan marah dan emosi. Almarhumah tetap di rumah, tetap melayani semua kebutuhan papa walaupun hatinya masih kesal, mulutnya masih terkunci." "Ya tapi kan Papa enggak nyebelin makanya Mama bisa sabar ngadepinnya," potong Kinan. "Kata