Share

Bab 7

Meskipun nada suara yang sangat lembut, namun tersimpan sedikit amarah di dalamnya.

Demam Winny yang semakin menjadi-jadi ditambah mulai kabur membuatnya nyalinya membesar, "Paman, Anda terlalu dekat."

Lucas menatapnya, sorot matanya menggelap pekat. Kalau bukan ia mengetahui gadis ini sedang demam tinggi, ia pasti mengira dia sedang mencoba merayunya.

Bersamaan, terdengar ketokan pada kaca mobil.

Lucas menurunkan kaca jendela dan terlihat Andre basah kuyup dan mengusap air yang menghalangi wajahnya, “Tuan Muda Ketiga, mobil sudah datang, Anda dan Nona Winny bisa segera naik."

Lucas menoleh ke arah Rolls-Royce yang menyalakan lampu darurat di tengah hujan lebat, lalu menatap Winny yang demam dan terlihat agak bingung, dia sedikit mengerutkan kening, "Panggil ambulans ke sini."

Andre mengusap wajahnya lagi, sambil tersenyum pahit berkata, "Tuan Muda Ketiga, Anda sudah bertahun-tahun tidak kembali, jadi Anda mungkin tidak tahu kondisi di Jakarta. Sekarang hujan deras, setengah kota Jakarta mati listrik dan lalu lintas lumpuh. Di mana saya bisa menemukan ambulans untuk Anda sekarang?"

Lucas mengangkat teleponnya, hendak menelepon, tetapi Andre segera menyela, "Tuan Muda Ketiga, kebetulan di dekat dengan rumah Anda, bagaimana jika kita tinggal di sana malam ini? Kebetulan Dokter Eric juga tinggal di kompleks yang sama. Bukankah ini lebih cepat dari ambulans.”

Tidak lama kemudian, Eric tiba di tempat Kediaman Lucas, dan melihat orang yang terbaring lemas di tempat tidur adalah Winny, ekspresi Eric sontah mejadi kalut.

"Kenapa malah dia?"

"Kami bertemu di jalan, melihat dia sakit, jadi aku membawanya ke sini." Jawab Lucas dengan dingin sesekali melihat Eric yang memberikan suntikan pada Winny

"Sejak kapan Tuan Muda Lucas berubah menjadi baik hati?" Ucap Eric dengan sinis. Ia bangkit, melirik sebentar Winny yang masih tertidur. "Lucas, jangan salahkan aku kalau tidak mengingatkanmu, depresi Lucy sudah sangat parah, jangan mempeparah keadaan.” Ujar Eric dengan ketus.

"Eric, kamu terlalu mencampuri urusan orang." Jawab Lucas tidak kalah ketus.

Eric menyesuaikan kacamatanya berbingkai emas sembari mengamati setiap detail Winny. "Bukan masalah besar jika kamu ingin memelihara kucing atau anjing, namun jangan lupa, kamu pulang untuk bertunangan dengan Lucy, dia yang utama."

Kedua pria ini adalah teman masa kecil, hubungan mereka sangat baik, biasanya mereka tidak pernah menyembunyikan apapun, tetapi nada Eric saat ini membuat Lucas sangat tidak senang.

Selain itu, cara Eric menatap Winny membuatnya merasa seolah-olah barang miliknya sedang diintip orang lain.

Lucas tiba-tiba sedikit menyesal memanggilnya datang. "Eric, kamu sudah melewati batas, keluar!" Ucap Lucas dengan nada sedingin es.

"Siapa yang suka mengurusi urusanmu!" Jawab Eric mendengus dingin, bergegas mengambil kotak obatnya dan pergi.

Ketika Winny terbangun, dia menemukan dirinya berbaring di tempat tidur yang lembut. Udara dipenuhi dengan aroma kayu ringan, di bawah cahaya lampu yang halus dan furnitur putih yang terlihat mewah.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk duduk dan mendapati dirinya sama sekali tidak bertenaga.

Dimana ini?

Dia akhirnya pingsan?

Dimana Lucas?

Tanpa berpikir lebih jauh, ia berusaha turun dari kasurnya, meskipun tubuhnya lemah dan sakit.

Winny mendapati dirinya dengan pakaian yang berbeda, ia memakai kemeja hitam yang seperti milik pria dilihat ukuran besar yang hampir menenggelamkannya.

Ia terdiam sejenak, tidak berani memikirkan siapa yang sudah mengganti pakaiannya dan berusaha menenangkan pikiran sudah melayang kemana-mana.

Winny membuka pintu, dan disuguhi pemandangan ruang tamu yang luas.

Hampir tidak ada furnitur, hanya ada satu sofa kulit besar di depan jendela besar dan sebuah bar yang dipenuh dengan minuman beralkohol.

Terlihat Lucas sedang duduk di sofa dan melihat ponselnya. Dia menyilangkan kakinya yang panjang, mengenakan kemeja putih.

Lucas mendengar suara, sontak mengangkat kepala dan menatapnya.

Kemeja yang terlalu besar menggantung longgar di tubuhnya, hanya sampai lutut, memperlihatkan betisnya yang seputih batang teratai.

Lucas segera mengalihkan pandangannya dengan ekspresinya dingin, "Sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?"

Winny masih merasa pusing, tetapi demamnya memang sudah sedikit mereda.Ia menundukkan matanya dan menjawab suara kecil, "Sudah agak baik."

Lucas menggumam sebentar, lalu melanjutkan,"Ini pneumonia ringan, tadi ada yang datang memberikan suntikan, juga meninggalkan beberapa pil." Dia mengetuk bar di belakangnya, "Obatnya di sini, pergi minumlah."

Nada suaranya sangat dingin, seolah orang yang menatapnya bagaikan predator bukan orang yang sama.

Kadang-kadang Winny merasa Lucas memiliki dua kepribadian, satu yang tajam mengeramkan layak binatang buas dalam kegelapan yang siap menancap taringya kapan saja, satu lagi yang dingin tanpa emosi bagaikan sebongkah es.

Tetapi, terlepas dari kepribadian mana yang dimilikinya, dia selalu memiliki aura yang memandang rendah dunia ini dan ketenangan seolah dia mengendalikan segalanya.

Winny berjalan mendekat, melihat bar yang penuh dengan obat-obatan yang sudah dipisahkan, dan beberapa botol air mineral. Ia menelan satu paket kecil pil, belum sempat meletakkan botol air kembali, ia melihat kilat menyambar di luar jendela, diikuti oleh suara guntur yang menggelegar.

Wajah Winny berubah pucat, botol air mineral sudah teremas kuat hingga berubah bentuk. Di luar gelap gulita, seolah hujan tak pernah berhenti, kilat dan guntur mengingatkannya pada hari pemakaman Zavier. Cuacanya sama persis, seolah-olah langit ikut menangisi kepergiannya.

Air di dalam botol perlahan mengalir ke lantai, Winny menatap ke luar jendela dan membeku di tempat. Lucas menyadari ada yang tidak beres dengannya, dengan nada datar dia bertanya, "Takut petir?"

Winny tersadar, menyadari air sudah mengalir ke lantai kayu mahal, ia buru-buru ingin membersihkannya, tetapi Lucas menghentikannya, "Ada pembantu yang akan melakukannya."

Dia melihat wajah Winny yang pucat, alisnya sedikit berkerut, "Eric bilang kamu kekurangan gizi." Eric adalah teman masa kecil Lucas, seorang dokter terkenal, dijuluki sebagai jenius di dunia medis Jakarta dan keluarganya juga berteman baik dengan Keluarga Sanjaya. Oleh karena itu, nama itu tidak lagi terdengar asing di telinga Winny.

"Orang yang diet memang sering kekurangan gizi." Ujar Winny dengan suara letih.

Lucas menatapnya dalam-dalam. Cahaya lampu menerangi alis dan matanya, menciptakan bayangan yang tidak tajam, namun berbahaya.

Winny sedikit terkejut, karena menyadari dirinya melamun terlalu lama. Di bawah tatapan tajam Lucas, Winny bisa menyembunyikan pikirannya dan berujar lembut, "Akhir-akhir ini tekanan belajar sangat besar."

Lucas mengangguk, bahaya di matanya menghilang, dia mengambil sebuah kartu kecil dari meja di depannya dan memberikannya kepada Winny, "Ini, ambillah." Sebuah kartu bank, berwarna emas, menunjukkan identitasnya yang tidak biasa.Winny mundur selangkah, tidak berani menerima, hanya berbicara dengan suara rendah, "Paman, tidak perlu, aku punya uang."

Lucas menatapnya tanpa berbicara. Pandangan matanya berhenti di wajah pucatnya yang halus selama satu detik, lalu terhenti di bibirnya yang menggoda.

Ingatan tentang siang itu tiba-tiba muncul. Sorot mata menggelap dan suhu udara saat itu terasa sedikit berbahaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status