Malla meringsek mendekati Awan. "Mas. Aku gak kuat lagi. Ini harus gimana?" Tanya Malla dengan wajah yang memerah. Sekujur tubuhnya pun sudah basah oleh keringat. Dia kembali terangsang, saat mencium parfum Awan. "Mas gak tau. Tungguin aja. Ini gak banyak kok. Satu jam juga hilang. Tapi, kamu harus kuat nahan rasa sakit. Kita gak mungkin ngelakuinnya di sini. Bisa habis kita kalo ketahuan sama pihak restoran." Ujar Awan. "Kamu tunggu disini. Mas mau nyusul Anita dulu." Sambungnya. Malla mendengus kesal. "Ngapain sih, nyusul si buluk gendut itu. Bikin repot aja. Kamu kan juga gak baik-baik aja, Mas." Kesal Malla. "Udah. Kamu disini aja. Mas mau ke depan.Anita masih tersedu-sedu di samping motornya, saat Awan berhasil menyusul. Laki-laki itu berusaha meraih tangan istrinya. "Sayang, kamu denger dulu penjelasan Mas yah? Jangan gegabah mengambil keputusan. Kamu tau kan, Mas sayang banget sama kamu."Mendengar suara Awan, Anita berdiri dengan cepat. Panggilan di ponselnya terputus.
Mata Arga terbelalak, saat membaca pesan Cita. Tubuhnya yang sudah menuntut hak untuk istirahat, tidak dihiraukannya. Arga bukan bermaksud untuk ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Namun, hati kecilnya berkata, jika penyebab utama Rudi melakukan kekerasan rumah tangga, karena Arga yang menurunkan jabatannya.Pria tampan itu melompat turun dari ranjangnya. Mengganti piyama, dengan celana cino dan hoodie. Menyambar kunci mobil, lalu memacunya ke arah rumah sakit. Arga berhenti di depan salah satu Rumah Sakit Daerah, lalu mengirimkan pesan kepada Cita."Nona Cita, saya ke rumah sakit sekarang. Bdw, rumah sakit mana yah?" Chat Arga untuk Cita."Saya share lock Tuan." Balas Cita.Arga melajukan mobilnya kembali. Tujuannya, adalah salah satu klinik di dekat Panti Asuhan Cinta Bunda.Pantas saja, ada Cita bersama Titi. Arga tiba di klinik itu saat waktu menunjukan 21.30. Tidak susah mencari ruangan tempat perawatan Ayu, istrinya Rudi. Karena ruang rawat hanya ada empat. Titi ada d
"Nama saya Arga, Bunda," ucap Arga. Matanya masih terus menatap Nilam. Yah. Benar. Senyum dan cara bicara mereka juga sama. Kok bisa yah?Nilam mengangguk. "Cita sama Titi, heboh banget, waktu cerita kamu, Nak. Penjabaran mereka yang detail, seperti sedang melukis wajah dan kepribadianmu dengan kalimat mereka. Ternyata, mereka memang tidak melebih-lebihkan. Semua yang mereka katakan, sesuai dengan kenyataan," Kalimat panjang Nilam, membuat Arga tertawa. Sedangkan Cita, sudah tidak bisa dibayangkan lagi, bagaimana malunya gadis ini, karena ucapan Nilam. Cita hanya bisa menunduk, sambil menggaruk kepala dengan kikuk. "Bunda mau bilang terima kasih juga sama Arga, karena sudah memborong dagangan Cita,""Iya Bunda. Kakak saya baru hamil anak pertamanya. Ngidamnya pengen makan rendang. Mas Calvin udah nyari sampe padang, tapi gak cocok sama lidah Kak Aluna. Saya coba kirim rendang punya Bunda. Eh. Saking cocok sama selera ngidamnya, Kak Aluna, cuma mau makan, dengan lauk rendang punya B
Pagi-pagi sekali, laptop sudah siap di atas meja kerja Arga. Dia tidak ingin membuang-buang waktu, untuk melakukan apa yang sudah dia rencanakan sejak kemarin. Sambil menunggu jam kantor, Arga kembali menghubungi Cita. Menanyakan keadaan Ayu dan anak-anaknya. Besok Ayu baru boleh pulang. Keadaannya akan dipantau intens oleh dokter. Titi dan ketiga adiknya, tetap ada dalam pengawasan Nilam di panti asuhan. Belum ada tanda-tanda kedatangan Rudi di sana. Di mes pun, batang hidungnya belum terlihat. Sesuai kesepakatan semalam, pagi ini, Arga dan Guruh akan melakukan zoom meeting. Selama berada di tempat proyek, baru kali ini, Arga meeting dengan Guruh. Meskipun tiap hari, Guruh selalu mengirim laporan, namun untuk bicara langsung, belum pernah Arga lakukan. "Selamat pagi Pak. Apa kabar?" Arga basa-basi. "Selamat pagi Pak. Saya baik Pak. Terima kasih," jawab Guruh. "Bagaimana kabar pertemuan dengan investor? Saya belum sempat lihat laporan Bapak semalam. Soalnya, saya agak sibuk. Kar
Aluna termenung di kamarnya. Sebagai seorang dokter, Aluna tau persis apa itu kangker otak. Penyakit itu sangat mematikan. Jika tidak cepat ditangani dengan baik, maka kesempatan sembuh akan semakin tipis. Aluna menarik nafas besar. Sambil menyandarkan tubuhnya di sofa, Aluna menggeleng. Dulu, dia sangat menginginkan hal ini terjadi pada pria itu. Sering kali, suara jahat, masuk ketelinganya, berbisik, menghasut pikirannya untuk mengutuk ayahnya itu.Dia sangat ingin melihat Surya meringis kesakitan, menangis meraung-raung, karena kemalangan yang menimpa dirinya. Meskipun, Aluna sudah tau, apa yang terjadi pada hidup Surya, tapi, dia merasa, semua itu belum sebanding dengan penderitaan yang dialami Anaya untuk membesarkan mereka bertiga, tanpa bantuan siapa pun. Tidak gampang melupakan, setiap pukulan, dan bentakan yang dia alami saat dia masih kecil. Hingga sekarang pun, Aluna sering meringis, jika mengingat sabetan ikat pinggang Surya di punggungnya. Temannya bilang, itu adalah
Istri Lusuh 94Talita memekik tertahan, saat melihat Melisa turun dari lantai dua, digandeng Erhan dengan mesra. Pria cakep itu tidak lumpuh. Ini luar biasa. Apakah selama ini dia mencoba untuk mempermainkan seseorang? Tapi, baguslah. Setidaknya, dia tidak akan malu, jika ditanya oleh teman-temannya. Mana bisa kan, Talita yang anything is perfect, punya menantu lumpuh? Gak banget deh. "Ma. Udah lama nunggunya?" Sapa Melisa, sambil menunduk, meraih tangan Talita, lalu mencium dengan takzim, aksinya, diikuti oleh sang suami. Talita tersenyum kecut. "Lumayan Kak. Mama udah ngabisin tiga gelas jus jeruk. Kalau kamu belom turun juga, Mama bakalan kembung,"Tawa Melisa dan Erhan pecah. Mereka menganggap apa yang dikatakan Talita tadi hanya candaan. Beda dengan Talita. Dia benar-benar meradang. Masa iya, dia disuruh menunggu di rumah menantunya sendiri. Untuk sekarang ini, Talita akan lebih banyak bersabar. Melisa adalah jalan terakhir untuk membujuk Surya. Ini bukan masalah cinta atau eg
Lintasan waktu membawa pagi menyingkirkan malam. Menerangi sudut-sudut bumi, yang baru saja dirundung kegelapan. Manusia bangun, dan bekerja lagi. Setelah lelah, tidur, lalu terjaga lagi. Seperti itu setiap hari. Yang berbeda hanyalah, takdir kehidupan dan bagaimana pemegang takdir itu menyikapi apa yang menjadi bagian dalam hidupnya. Pagi sekali, Anaya sudah ada di perusahaan. Belakangan ini, setelah Arga ditugaskan keluar pulau, Anaya kembali mengambil alih urusan perusahaan. Selama enam bulan ke depan, Anaya akan sangat sibuk.Hendrawan sudah memberinya ijin, untuk tetap bekerja, asalkan tetap membagi waktu untuk istirahat yang cukup. Anaya harus tetap fit, karena tidak lama lagi, Aluna akan melahirkan. Belakangan ini juga, Anaya merasa, jika ada sesuatu yang mengganjal di perusahaannya. Dia tidak ingin kecolongan dalam hal apapun. Isu yang menyebar akhir-akhir ini, yang membuat seisi perusahaan menjadi gempar. Apa lagi jika bukan kabar tentang jodoh anak laki-laki satu-satunya
"Lets go Girls. Aku gak mau terlambat. Nanti diomelin Bunda. Kan aku dapet gaji juga dari perusahaan." Seru Acha.Bulan dan Mirna melompat masuk ke mobil, sambil cekikan. Mereka sudah menunggu di samping mobil, saat Acha keluar dari pintu dan berteriak ke dalam rumah, karena tidak melihat kedua sahabatnya itu. Mobil meluncur dengan kecepatan tinggi. Membelah jalan di pagi yang masih dingin. Tidak sekali pun, Bulan menatap ke kiri atau ke kanan. Gadis itu berkonsentrasi penuh, memacu mobil. Lima belas menit kemudian, mereka sudah berada di parkiran kantor ArOne Group. Setelah berhenti dengan baik, Bulan menatap kepada Mirna, yang terdiam dengan wajah pucat, dengan mata yang berkaca-kaca. "Kenapa Mbak?" Tanya Bulan heran. "Lu mau bunuh diri yah? Gue belom mau mati Gantungan kunci. Buseet,"Bulan menatap Acha, yang juga dalam keadaan tegang, di bangku tengah mobil. "Kamu gak lihat jarum spidometer, Bulan? Kecepatan mobil tadi, ngalahin kecepatan malaikat tau." Protes Acha.Melihat k