"Lets go Girls. Aku gak mau terlambat. Nanti diomelin Bunda. Kan aku dapet gaji juga dari perusahaan." Seru Acha.Bulan dan Mirna melompat masuk ke mobil, sambil cekikan. Mereka sudah menunggu di samping mobil, saat Acha keluar dari pintu dan berteriak ke dalam rumah, karena tidak melihat kedua sahabatnya itu. Mobil meluncur dengan kecepatan tinggi. Membelah jalan di pagi yang masih dingin. Tidak sekali pun, Bulan menatap ke kiri atau ke kanan. Gadis itu berkonsentrasi penuh, memacu mobil. Lima belas menit kemudian, mereka sudah berada di parkiran kantor ArOne Group. Setelah berhenti dengan baik, Bulan menatap kepada Mirna, yang terdiam dengan wajah pucat, dengan mata yang berkaca-kaca. "Kenapa Mbak?" Tanya Bulan heran. "Lu mau bunuh diri yah? Gue belom mau mati Gantungan kunci. Buseet,"Bulan menatap Acha, yang juga dalam keadaan tegang, di bangku tengah mobil. "Kamu gak lihat jarum spidometer, Bulan? Kecepatan mobil tadi, ngalahin kecepatan malaikat tau." Protes Acha.Melihat k
Istri Lusuh 97"Apa maksudmu Rudi? Istri kurang ajar apa? Saya sedang kerja. Kamu datang untuk mengganggu. Bukannya kamu juga kerja kan di proyek baru?" Tanya Guruh. Setelah berhasil membujuk Rudi keluar dari kantor, mereka berdua berada di cafe seberang jalan. Rudi memesan banyak makanan. Dan tidak menghiraukan sama sekali pertanyaan Guruh. Dia makan seperti orang kesetanan. Guruh sampai takjub melihat, Rudi yang sejak tadi teeus menyuapkan makanan ke dalam mulutnya."Rudi. Jangan buang-buang waktu saya." Sentak Guruh. Rudi menghentikan suapan di mulutnya, lalu dengan kesal menjawab Guruh."Si Ayu itu ternyata cucu dari mantan mafia. Beberapa orang yang berhasil menemukan dia kembali, memukuli saya. Saya hanya menggadaikan setifikat rumahnya kok. Kan, apa pun milik istri, juga hak suami. Jadi, apa salahku?" Ujar Rudi, tanpa rasa bersalah. "Apa? Ya, Allah. Rudi... Kalau saya jadi Ayu, sudah saya suruh orang-orang itu, untuk mematahkan tangan kamu. Keterlaluan. Jelaslah Ayu marah.
Istri Lusuh 98"Kamu suka yah sama CEO muda itu? Siapa namanya? Arga?" Tanya Kevin. Yang ditanya tidak menanggapi sama sekali. Cita hanya menatap chatnya dengan Arga. Tanpa dia sadari, bibirnya menyungging senyum tipis. Kevin nampak kesal, karena pertanyaannya tidak ditanggapi oleh Cita."Cita. Kamu denger gak, aku ngomong apa?" Sentak Kevin. Cita menatap Kevin dengan bingung."Apa?""Ngapain senyum-senyum sendiri kek gitu? Kamu lagi chat sama siapa?" Kesal Kevin. Tangannya menyambar ponsel di tangan Cita, dengan kasar.Seketika, Cita terkejut mendapatkan perlakuan Kevin yang tidak terduga. Kevin tidak pernah sekasar ini padanya. Dengan sigap, Cita kembali merebut ponselnya dari tangan Kevin. "Kita memang berteman sejak kecil Kev. Tapi, semua itu bukanlah sebuah alasan supaya kamu bisa melakukan apapun sama aku, tanpa memikirkan batasan." Tegas Cita. Gadis itu meraih plastik kresek di sampingnya, lalu berjalan meninggalkan Kevin dengan wajah merah menahan marah. Kevin yang terl
Anaya menatap deretan angka di laptop Acha. Dan mendapati beberapa kejanggalan pengeluaran yang berlebihan. Pak Guruh yang menangani proyek ini, setelah Arga ke pulau seberang. Apakah dia tidak memeriksanya? Tidak mungkin ada kesalahan, karena Pak Guruh ahli keuangan. Tatapan gusar dan tidak sabar, dari kedua netra Anaya, menandakan wanita ini sedang gelisah. Sepuluh milyar memang angka sedikit untuk harga saham. Tapi, itu uang yang cukup banyak untuk pengembangan proyek."Pelajari dulu, Nak. Nanti kalo Acha udah nemu salahnya dimana, kasih tau Bunda, biar Bunda panggil Pak Guruh," Ujar Anaya. Acha mengangguk mantap. Lalu kembali fokus dengan laptopnya. Guruh sudah lama ikut Anaya. Dia adalah pria bertanggung jawab dan jujur. Itu sebabnya, Anaya mempercayakan posisi Manager keuangan, dipegang olehnya. Selama bertahun-tahun kerja, tidak pernah sekalipun, Anaya mendapati kesalahan seperti ini dalam proyek atau apapun urusan perusahaan yang ditangani Guruh. Karena itu, Anaya tidak
Surya berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Masuk ke kamarnya, lalu berbaring terlentang, sambil meletakkan tangan menutupi mata. Saat itu juga kepalanya kembali berdenyut nyeri. Dan nyeri itu begitu menyiksanya.Jika sudah begini, Surya hanya ingin sendiri. Menggigit sesuatu, saat nyeri menyerang, supaya tidak ada suara erangan yang terdengar, keluar dari kamarnya. Sari dan Mira tidak boleh tau, jika hampir setiap hari, Surya menahan sakit kepala yang belakangan semakin intens dia rasakan. Kepala sakit itu juga disertai mual yang semakin sering dia terjadi. Lalu, pendengaran dan penglihatannya yang terganggu.Dokter menyarankan Surya untuk mengobati kangkernya di Kuala Lumpur, Malaysia. Ada rumah sakit di sana yang bisa mengobati kangker otak, tanpa operasi terbuka. Kangker otak yang diidap oleh Surya masih stadium dua, masih punya banyak kesempatan untuk sembuh dan hidup lebih lama. Surya akan memikirkannya lagi. Segala persiapannya sudah bisa dia mulai minggu depan. Persiapan
"Pesanan Tuan segini kan?" Tanya Cita memastikan. Di kantin tempat biasa mereka bertemu, untuk mengambil pesanan rendang Arga, Cita dan Titi, duduk berhadapan. Di atas meja kantin yang panjang, berderet-deret kemasan rendang yang telah di packing. Kali ini, Arga memesan dalam jumlah yang lumayan banyak. Pun ada bonusan dari Nilam.Itu karena, Arga akan pergi selama dua minggu. Itulah yang membuat Cita jadi tidak seceria hari-hari yang lalu. Entah mengapa. Cita sendiri, tidak mengerti. "Iya. Manisannya udah di bungkus juga kan?" Arga, menghitung kemasan manisan buah kering, pesanannya."Sudah Tuan. Kalau begitu, kami permisi yah. Masih banyak pesanan yang belum dianter," pamit Cita. Gadis itu dengan lincah merapikan kemasan dalam paper bag besar, di atas motornya. Arga memperhatikan setiap gerakan Cita. Mengamati gadis itu melakukan apapun. Dia tidak melepaskan pandangan dari gadis itu. Cita seperti magnet yang terus menerus menarik Arga untuk mendekat. Dan membuat gerakan hati Ar
Acha memberikan laptopnya pada Anaya. Dengan teliti Anaya memperhatikan bagan angka yang berderet-deret. Sambil sesekali mencocokan dengan bagan angka di ipad miliknya. Setelah memperhatikan dengan seksama, dan sekali lagi memastikan, Anaya menarik nafas dalam. Lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kecolongan sebesar ini, mengapa tidak diperhatikan oleh Guruh? Dia mengulurkan tangan, menekan tombol di telepon. Lalu bicara. "Tolong panggilkan, Pak Guruh ke ruangan saya. Sekarang." Ucap Anaya. Lima menit menunggu, Pak Guruh masuk ke ruangan Abaya dengan langkah tegap. Keningnya mengeryit. Ada Acha, dan teman-temannya? Ada apa?"Nyonya memanggil saya?" Sambil berdiri di depan meja Anaya, Guruh menyapa, sambil membungkukkan badan, menghormati Anaya. Anaya memperhatikan Guruh sejenak. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya Pak Guruh. Saya hanya memastikan. Apa materi proposal untuk rapat nanti sore, sudah anda siapkan atau belum. Jika sudah, bawa kesini, saya ingin
"Undangannya jangan banyak-banyak, Mas. Keluarga aja," "Iya. Mas juga gak mau undang banyak orang. Nanti kamu kecapean malah,""Mas Edward sama keluarganya udah di undang kan, Mas?" "Yah ampun. Untung kamu ingetin Sayang. Belom Mas kabarin tuh anak. Apa telepon aja yah?" "Lebih baik langsung disamperin, Mas. Gak enak ah,""Ya udah. Nanti sore, sepulang dari rumah sakit, Mas mampir ke kantor Edward,"Aluna mengangguk, mengiyakan pernyataan suaminya. Calvin dan Aluna akan mengadakan acara tujuh bulanan di rumah mereka. Semua persiapan sudah Aluna serahkan kepada temannya Arumi, yang punya WO. Dia hanya terima beres saja. Rencananya satu minggu sebelum acara, mereka sudah menyebarkan undangan. Yang di undang hanya orang-orang terdekat saja. Keluarga dan teman Aluna juga Calvin. Aluna bersyukur, di usia kandungan yang sudah masuk trimester tiga ini, kesehatannya tetap terjaga. Bayi dalam kandungannya pun sehat dan lincah. Jangan ditanya bagaimana reaksi ketiga paman dan bibi si bay
"Nona Cita menolak Tuan Besar. Sepertinya, saya akan kesulitan menghadapinya. Dia benar-benar keturunan Adijaya," Tuan Besar itu tampak sumringah. Diwajahnya yang keriput, tersungging senyum dan sukacita yang besar. "Apa kau kewalahan menghadapi sifat keras kepalanya? Kau tau Nabila. Sifat keras kepala adalah salah satu bukti, dia bisa menjadi pemimpin yang dominan. Bagaimana dengan pria yang kerap dekat dengannya? Kau sudah selidiki dia?" tanya Tuan Besar Adijaya, suara sumringahnya berubah dengan seketika. "Sudah Tuan. Dia adalah putra bungsu Anaya Hendrawan. Sekarang, dia yang memegang kendali perusahaan ibunya, setelah ibunya menikah dengan Hendrawan, dan pensiun," Tuan Besar itu mencebik. Dunia bisnis negara ini memang mengenal siapa Anaya. Dia adalah wanita yang bisa mendapatkan nama, setelah berhasil membangun bisnis sendiri dan memulai semuanya dari nol. Tapi, semua itu, tidak bisa disamakan dengan kedudukan Cita. Cita adalah anak bangsawan. Jika orang mengenal k
Karim menatap ponselnya dengan hati penasaran. Pesannya sudah di baca Acha. Tapi tidak ada balasan apapun. Dia hanya ingin tahu, bagaimana kabar Acha, setelah tidak terlihat di manapun selama tiga hari. Benda pipih itu, diketuk-ketuknya di meja, sambil jemarinya memijit pelipis dengan wajah muram. Karim memiliki banyak teman wanita yang cantik. Namun, dia tidak pernah mengkuatirkan mereka seperti dia kuatir dengan keadaan Acha. "Hei ... Rusak hp kamu kalo digituuin terus Karim," suara teguran Mira, menarik kesadaran Karim dari apa yang dipikirkannya. Senyum tipis tersungging dibibirnya, saat melihat siapa yang menegurnya. "Gimana komunikasi kamu sama Acha. Ada kemajuan gak?" tanya Mira setelah menghempaskan tubuhnya, di sofa yang berhadapan dengan Karim. "Baik Ma. Semua baik-baik aja," jawab Karim, acuh. Jawaban singkat Karim, membuat Mira meliriknya dengan mata tajam. "Jangan dikasih kendor, Rim. Mama itu, maunya kamu deketin Acha dengan intens. Kata Tante Anaya, Ac
"Apa maksud anda, Nona? Tolong jangan membuat pernyataan omong kosong disini," Cita berkata dengan tegas, kepada seorang wanita yang ditemani lima orang pria, yang pagi itu, mereka datang ke panti Kasih Bunda. Wanita itu memiliki paras yang cantik, dengan dandanan formal. Rok selutut, dengan blaser dan rambut yang digelung rapi. Lima orang pria yang berdiri tegap dibelakangnya, memakai setelan jas warna hitam, lengkap dengan alat di telinga. Mereka seperti pengawal pribadi si wanita. "Maafkan kami, Nona. Kami sudah menyelidiki dengan teliti, sebelum datang dan membuat peryataan hari ini. Sudah selama bertahun-tahun," ujar wanita itu dengan sopan. Cita membuang muka dengan kesal. Nilam yang duduk di samping gadis itu, hanya bisa menepuk tangannya perlahan untuk meredakan emosi Cita. "Siapa nama anda?" tanya Cita, masih dengan nada ketus. "Nama saya Nabila, Nona," jawab wanita itu, sopan. "Ok. Nona Nabila. Selama bertahun-tahun anda menyelidik saya? Menyelidiki panti ini
Mansion Hendrawan Anaya dan Alisya memeluk Acha dengan erat. Beberapa pelayan, buru-buru membuat masakan kesukaan Acha. Hendrawan duduk berdampingan dengan Arga, menatap mereka dengan perasaan lega. Tak lama kemudian, Calvin tiba bersama Aluna. Meskipun masa nifasnya belum berakhir, Aluna sudah terlihat sangat bugar dan aktif bergerak. "Adek. Kamu bikin Kakak kelimpungan. Coba cerita dulu sama kita. Kamu kemana aja hah? Tiga hari kamu ilang lho." Aluna bertanya pada Acha, setelah memeluk dan mencium gadis itu. Suasana tiba-tiba hening. Semua orang dalam ruangan itu, menunggu jawaban Acha. Sejak masuk mansion, gadis itu belum mengeluarkan satu patah kata pun. Acha menatap bunga mawar putih dalam genggamannya. Otaknya seakan-akan terus memerintah tangannya, untuk menggenggam tangkai bunga itu dengan erat. Tiga hari? rupanya sudah selama itu dia hilang. Hilang? apanya yang hilang? Dia hanya sengaja mengikuti si kakek. Atau jangan-jangan ... Astaga Acha mengangkat wajah
"Acha hilang, Bun?" "Iya Ka. Kemaren habis dari rumah Kakak, mobilnya nyerempet pagar pembatas tol, di belokan sebelum jembatan itu lho. Ponsel ada dalam mobil. Tapi Achanya gak ada. Ini malah udah heboh. Ada fans dia yang upload video mobil di tepi jalan, jadi rame sekarang. Bunda takut Kakak. Kata polisi, gak ada sama sekali jejak penculikan. Terus, anak itu ke mana?" jelas Anaya panjang lebar kepada Aluna. Calvin yang sedang menggendong salah satu bayi kembar mereka, berhenti bersenandung, saat melihat wajah sang istri yang berubah cemas. Aluna pikir, apakah karena video call tadi, sampai Acha menghilang tanpa jejak? Selama ini, mereka memang tidak pernah lagi membahas tentang Surya, atau apapun yang berkaitan dengannya. "Bunda yang sabar yah. Nanti aku coba minta tolong sama anak-anak, buat bantu nyari," Aluna mencoba menenangkan Anaya. "Ok Kakak. Nanti Bunda kabarin, kalo ada perkembangan," Dengan cepat, tangan Aluna mengetik pesan pada Bondan dan teman-temannya
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa