"Lex, apa mereka belum sampai?" tanya sang sopir panik.
Mobil yang ditumpangi Navier sudah sampai di ujung jalan dan harus memasuki area hutan.
Meski di area itu mereka bisa bertindak leluasa karena tak akan ada pihak lain yang ikut campur, tetap saja mereka butuh bantuan.
"Tidak ada tanda-tanda mereka sampai!"
Kepanikan terdengar dari suara pria yang menangkapnya itu.
Duang!
Di saat yang sama, mobil yang ditumpangi Navier tiba-tiba ditabrak dari belakang dan menyebabkan lajunya tidak stabil.
Alhasil, mobil itu pun terpaksa berhenti.
Navier menahan napas merasakan itu semua. Terlebih kala orang-orang yang menangkapnya tampak serius sekali bertarung.
"Kita harus menghadapi mereka secara langsung!" ujar salah satunya.
Masing-masing dari mereka pun segera keluar dengan membawa senjata.
Dor!
Buk!
Brak!
Adu tembak dan fisik tak terelakkan.
Hanya saja, pihak lawan terlalu hebat. Orang-orang yang membawa Navier pun terkepung.
Menyaksikan itu semua, Navier bergetar hebat sembari tetap meringkuk di dalam mobil.
Dia benar-benar tak mau tahu tentang perkelahian yang terjadi.
Tak lama, Navier bingung kala tidak lagi mendengarkan desingan peluru atau pukulan.
Hening, hanya ada deru angin malam.
Gadis itu sontak mendapatkan sebuah ide.
‘Aku harus kabur,’ gumamnya dalam hati.
Pelan-pelan, ia keluar meski dengan keadaan berantakan.
Ditembusnya kegelapan setelah menemukan bahwa pintu mobil tidak terkunci.
Navier memilih menerjang semak belukar menuju ke dalam hutan ketimbang jalan raya. Dia pikir akan lebih mudah untuk bersembunyi di hutan daripada menyusuri jalan raya.
"Apakah mereka tidak akan menemukanku di sini?" tanya Navier dalam hati, ketika dirasanya sudah melangkah jauh ke dalam hutan.
Dia duduk di bawah pohon besar dengan napas terengah, dan berharap tidak ada hewan melata yang menyapanya.
"Aku harap, mereka tidak menemukanku sampai pagi tiba," lanjutnya dalam hati.
Dicobanya untuk tenang dan menstabilkan napasnya yang terengah-engah.
Cukup lama ia melakukannya, sampai ia merasa kantuk mulai menyerang.
Navier pun memejamkan mata. Namun....
"Hai!"
Navier yang semula memejamkan mata karena sakit yang luar biasa, berusaha untuk membuka mata dan melihat siapa yang berbicara.
Apakah orang itu juga datang untuk menyakitinya seperti sebelumnya?
Jika memang begitu adanya, Navier lebih memilih untuk mati saja. Lagi pula, tubuhnya sudah seperti tidak bisa lagi untuk menahan siksaan lebih lama.
“K–Kau?!” pekik Navier tertahan.
“Hahaha … kau pikir bisa kabur dari kami?” maki Alex yang menculiknya tadi, “sebelum itu terjadi, akan kupatahkan kakimu!”
Bugh!“Arrgh!” pekik Navier menahan sakit di kakinya yang dipukuli sebuah tongkat kayu.
Rasanya, ia sudah tak sanggup lagi.
Bila harus mati, Navier hanya berharap itu terjadi secepatnya.
“Mengapa kalian ingin memukuli wanita yang sudah tidak berdaya dan tidak memiliki tenaga lagi?”
Suara bariton yang familiar tiba-tiba terdengar.
Di kegelapan malam, wajahnya sama sekali tidak terlihat.
Hanya postur tubuh yang tinggi dan tegap saja yang bisa ditangkap dari sosok itu. Anehnya, ada nada kemarahan di sana.
Alex yang baru saja memukuli Navier, sontak terkejut. Namun, ia berusaha tenang. “Kau tak usah ikut campur! Ini urusanku dengan buruanku! Kau hanya orang luar yang tidak tahu apa-apa. Atau, apa kau juga mau menikmati wanita itu, heh!?” tantangnya.
“Justru di sini, kau yang tidak tahu apa-apa. Jadi, kusarankan untuk menyerah saja. Aku akan memberimu waktu lebih baik untuk hidup. Kalau tidak, mungkin aku bisa menambahkan kalimat mati segan hidup pun tak mau.”
“Menyerah? Dalam mimpimu!” Edgar kembali berucap meremehkan.
Hal ini membuat Alex berbaik menyerang Edgar dengan kekuatan penuh.
Sayangnya, pria yang beberapa hari lalu memberikan Navier sapu tangan itu–dapat menghindar dan membalas dengan mudah.
Bug!
Tanpa penyerang Navier duga, bawahan Edgar datang dan memukulnya, hingga pingsan.
Edgar tersenyum sinis.
Dia berjalan menghampiri pria yang sudah tersungkur itu dan menginjak kepalanya.
“Urus mahkluk ini secepatnya. Jangan membuatnya mati sebelum kuperintahkan. Korek informasi sebanyak apa pun. Dan balaskan setiap titik kesakitan wanitaku dengan berkali lipat. Kau mengerti!” tukas Edgar.
“Baik, Tuan.”
Setelahnya, Edgar segera menghampiri Navier yang telah tergeletak tak berdaya.
Tubuh gadisnya itu telah melemas. Darah Edgar mendidih kala melihat banyak darah yang menghiasi beberapa luka di tubuh Navier.
“Apa aku akan masuk neraka?” gumam Navier tiba-tiba.
Edgar yang selama tiga puluh tahun hidupnya telah menerima banyak pelatihan keras, tak sengaja menitikkan air mata.
Sebagai putra tunggal dan pewaris satu-satunya dari keluarga ternama, Edgar sudah yakin jika hidupnya tak bisa semena-mena. Ia bahkan menerima bahwa tunangannya sudah ditentukan sejak awal.
Oleh sebab itu, Edgar tidak pernah menjalin kasih dengan wanita mana pun, hingga dua tahun lalu, untuk pertama kalinya Edgar melihat bagaimana rupa Navier–sang tunangan lewat foto yang diberikan sang kakek.
Dalam balutan seragam pramuniaga, Navier yang berusia 18 tahun saat itu sangat manis.Tanpa disadari, jantung Edgar berdegup kencang.
Hanya saja, Edgar mulai menaruh curiga, mengapa tunangannya terlihat susah?
Pria itu pun mulai mencari tahu segala hal tentang gadis yang untuk pertama kalinya.Dan di sinilah pria itu sekarang.
Edgar lantas membawa Navier dalam rangkulannya dan membawa tubuh wanita itu dengan lembut. “Maafkan, aku. Mulai hari ini, aku akan memberikanmu surga.”
“Surga?” beo Navier tanpa sadar, “syukurlah … kalau begitu aku sudah bertemu dengan malaikat.”
Usai berucap demikian, Navier memejamkan matanya.
Dia sudah merasa tidak sanggup dan hanya pasrah saat pria yang belum dia ketahui namanya itu memerlakukannya dengan lembut.
“Navier ….” panik Edgar.Sebisa mungkin, pria itu mencapai mobil yang dia bawa secepatnya.
Entah mengapa, firasatnya sangat tidak enak melihat keadaan tunangan kecilnya itu. "Kau harus selamat. Kalau tidak, aku tak tahu berapa banyak nyawa yang melayang untuk bertanggung jawab," geram Edgar membuat siapapun yang mendengar itu pasti merinding seketika.
Edgar sudah sampai di rumah sakit miliknya. Ia langsung menyuruh dokter wanita yang lebih berpengalaman untuk menangani Navier. Namun, dia hanya bisa berdiri terpaku melihat pintu ruang tindakan, saat Navier diperiksa. "Aku tak yakin sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter ahli. Tapi, kusarankan untuk membesarkan hatimu. Dia mendapatkan kekerasan terlalu banyak, dan hanya menunggu waktu saja untuk sadar. Lebih dari itu, aku tidak bisa mengatakan banyak. Pemeriksaan lebih lanjut bisa dilakukan saat dia sadar," ucap Rui—dokter wanita yang menangani Navier setelah pemeriksaan."Jangan bertele-tele. Katakan saja bagaimana keadaan Navier dengan singkat!" bentak Edgar. Suasana hatinya yang kacau membuat dia ingin meluapkan emosinya. Jujur saja, melihat Navier tak sadarkan diri membuatnya kalut. "Dia bisa sehat. Tapi aku tidak yakin jika dia bisa berjalan dengan normal. Aku menemukan beberapa keganjilan di saraf kakinya." "Jadi kau mau mengatakan jika Navier lumpuh, begitu
"Tinggalkan aku sendiri! Aku butuh ketenangan dan jangan ganggu aku!" ketus Navier. Sejak tadi, dia mengusir semua pelayan yang ditugaskan untuk menjaganya. Dua pelayan yang mengikuti Navier sontak saling pandang. Mereka diperintahkan untuk mengikuti Navier ke mana pun dia pergi. Apa kata Tuan Edgard nantinya? "Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang. Bisakah kalian meninggalkanku sendiri? Lagi pula, aku ingin melatih kakiku juga untuk berpindah sendiri ke ranjang." Dengan sedikit pemaksaan halus, Navier berkata lagi.Cukup lama pelayan-pelayan itu terdiam, sampai akhirnya mereka undur diri.Navier menghela napas lega. 'Aku tak punya apa-apa. Selain itu, aku juga lumpuh dan tidak berpendidikan tinggi. Edgar pantas memiliki wanita yang lebih baik dariku,' batinnya merasa rendah diri dan tak pantas untuk pria sesempurna Edgar. Begitu para pelayan sudah tidak ada, Navier turun dari kursi rodanya. Dengan susah payah, dia menyeret tubuh lemahnya ke kamar mandi, mengisi bathtub sampa
"Aku akan merawat cucuku!" tukas James yang kebetulan berada di kantor Edgar untuk mengambil kembali cucunya. Ia sudah mendengar kabar mengenai Navier yang semakin depresi setelah mengetahui keadaanya.Namun, Edgar sama sekali tidak bergeming. Sepulang dari rumah sakit, Navier menjadi pribadi yang pendiam dan pemurung. Dia lebih banyak mendiamkan Edgar ketimbang membalas ucapannya seperti sebelumnya. Karena itu James ingin membawanya pulang. James ingin mengenalkan sang cucu pada pegawa di rumahnya. Terutama saat mendengar Navier menjadi lebih pendiam lagi. Bagi James, Edgar masih belum bisa menjadi pria yang benar-benar bertanggung jawab. Dan, dia tidak bisa memasrahkan sang cucu pada pria seperti itu. "Tidak bisa! Dia sudah menjadi tunanganku dan harus berada di sini, di dekatku. Tidak bisa kau bawa pulang karena sebentar lagi aku akan menikahinya," balas Edgar tak kalah sengit. Susah-susah membawa Navier, malah orang lain ingin mengambilnya. Jujur saja, Edgar tak terima! T
"Aku menyerah, Kakek," ucap Navier.Setelah memutuskan untuk hidup di tempat kakeknya, Navier dilatih dengan baik untuk menjadi seorang pewaris.Navier satu-satunya keturunan murni keluarga Wyatt, harus menjadi pemimpin yang mumpuni dari segi pengetahuan maupun perilaku.Pertama kali melihat Navier secara langsung, James Wyatt merasakan firasat yang baik tentang Navier. Jadi, dia bersungguh-sungguh untuk membantu Navier.Kelumpuhan Navier bukanlah halangan. Jadi, sebisa mungkin dia tidak akan mengungkit hal itu pada Navier."Baru begitu saja kau sudah menyerah!? Kalau begitu kau menikah saja dengan Edgar, agar aku bisa memberikan semua ini padanya!" tukas James.Navier menunduk, lalu menjawab, "Kadang aku berpikir kalau bukan kakekku. Bagaimana bisa ada orang yang memperlakukan cucunya seperti itu? Aku tidur hanya empat jam semalam, setengah jam di siang hari, dan selebihnya tidak ada yang kulakukan selain belajar dan belajar! Bahkan di meja
"Nav, pengawalku menemukan Mobil Edgar tak jauh dari wilayah kita." Pergerakan Navier yang sedang makan, terhenti. Jantungnya mulai berdebar dengan kencang. Dia takut jika .... "Anak buahku menemukan jika Edgar tidak ada di sana. penuh dengan bercak darah. Dari pMobilnyaenyelidikan mereka, darah itu bukan hanya milik Edgar, tapi banyak orang." Navier masih terdiam, mencoba menebak apa yang selanjutnya dikatakan oleh sang kakek. Akan tetapi, dia tidak memungkiri jika hatinya berkata lain. "Dan sayangnya, Keluarga Edgar juga menghubungiku, mengatakan kalau Edgar tidak ada. Kupikir Edgar sudah dibawa keluarganya, tetapi justru mereka pun terlambat. Pagi tadi, lokasi kejadian sudah bersih. Entah siapa yang membersihkannya, aku tak tahu." Trang!!! Sendok dan garpu yang dipakai Navier, terjatuh. Tangannya bergetar dan tiba-tiba air matanya keluar. "Kalau dia tidak ada di sana,, lalu di mana?" tanya Navier. Jam
Keadaan Navier kembali memburuk. Sudah semingu Edgar menghilang tanpa kabar. Apalagi keluarga Edgar seolah menyalahkan Navier atas kejadian yang menimpa Edgar. Setahu mereka, Edgar menghillang setelah mengunjungi Navier. Mereka menduga jika ada konspirasi di atasnya. "Sudah kubilang cucuku sama sekali tidak tahu apa pun! Kau tidak tahu dia bahkan sampai frustrasi dan kesehatannya kembali terganggu!? Kalau kau kembali datang untuk menyalahkan Navier kembali, maka pergilah! Aku akan mengunjungi Jonathan untuk membatalkan pertunangan mereka!" "Anda tahu bagaimana rasanya kehilangan anak dan penerus satu-satnya, bukan? itulah yang kurasakan. Apalagi Edgar menghilang setelah dari cucu Anda! Akan masuk akal jika dia di balik konsprasi semua ini!" Navier ingin sekali menutup telinga rapat-rapat, saat mendengar perdebatan di luar. Selama ini, Navier masih belum pernah bertemu dengan orang tua Edgar. Namun, mereka sendiri yang menemui Navier ketika Edgar tidak ditemukan. Mereka menuduh Na
"Aku bisa mengantarkanmu dengan pesawat pribadiku. Atau kalau kau mau, aku akan menemanimu di sana," tawar Edgar.Dia kini di bandara, mengantarkan sang kekasih ke tempat kelahirannya.Navier yang meminta untuk menyelesaikan masalahnya ternyata bukan isapan jempol belaka. Wanita itu benar-benar pergi.Ditemani salah satu bawahan sang kakek, Navier pergi. Dan hal itu membuat Edgar geram.Edgar ingin ikut, sayangnya dia tidak bisa."Aku mendapat laporan dari bawahanmu kalau pekerjaanmu masih banyak. Jadi, selesaikan dulu semuanya. Baru kau bisa mengantarku," ucap Navier.Edgar menatap Navier dengan sendu. "Aku cemburu, jadi jangan dekat-dekat dengannya," ucapnya kemudian.'Ya Tuhan ...,' batin Navier. "Dia hanya pengawal yang ditugaskan kakek untuk menjagaku," ucap Navier.Dengan berat hati, Edgar melepaskan Navier.Mau tak mau dia harus membiarkan Navier pergi hanya dengan pengawal yang James tunjuk.Edgar tahu jika Navie
"Nona, perlukah aku juga membawa bos mereka ke sini?" tanya Martin.Setelah menerima perintah dari Navier, Martin langsung mencari banyak hal tentang transaksi yang dilakukan oleh Yuni.Sejujurnya, Navier penasaran dengan apa yang menimpanya."Tak perlu sampai bos mereka. Aku hanya ingin tahu kebenaran dari mereka sendiri."Navier mengembus napas kasar. Kini dia sedang berada di balkon hotel mewah yang tempati.Setelah bertemu Yuni dan mengetahui keadaan keluarganya,Navier belum memutuskan untuk kembali."Sayangnya, Nona, tunangan Anda itu sudah menghabiskan mereka yang terlibat pada malam itu. Tentu dengan meninggalkan petinggi mereka saja. Saya tidak tahu jelasnya, yang pasti Tuan Edgar sudah turun tangan masalah ini," tutur Edgar.Navier terdiam sejenak. Dia tahu jika malam itu Edgar yang menolongnya. Namun, dia tidak tahu apa saja yang dilakukan oleh pria itu setelahnya."Lalu, apa yang telah kau dapatkan? Tak mungkin ibu tiriku langsung bertemu begitu saja dengan bos besar yang
Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau
"Apa tidak apa-apa jika ibu tahu aku akan datang?" tanya Navier.Setelah mereka berbincang, Navier memutuskan untuk ikut ayahnya pulang ke kediaman mereka yang dulu. Ayahnya takut jika Yuni datang dan tidak mendapati di mana pun. Karena bahan persediaan di rumah mereka telah habis, jadi Navier hanya bisa menurut.Sebenarnya dia bisa saja meminta Edgar atau Henry untuk mengantar bahan makanan itu. Terutama Edgar yang telah mengetahui di mana lokasinya. Sayang, Navier menolak dengan tegas. Dia tidak ingin suaminya turun tangan langsung, atau semuanya akan kacau."Tidak apa-apa, dia pasti sangat senang kau datang. Bukankah sudah lama kalian tidak bertemu?"'Yah ... itu sih kalau Ibu tidak dendam padaku,' batin Navier.Dia meringis saat mengingat masa lalu. Di mana dia yang kabur dan meninggalkan banyak masalah untuk ibunya.Tidak bisa dikatakan dia yang meninggalkan masalah untuk mereka, sebenarnya. Melainkan Yuni sendiri yang telah mengambil r
"Jadi, kini hanya Ayah yang biasa mengerjakan pekerjaan rumah. Rumah itu telah sepi semenjak kau pergi, dan bertambah sepi setelahnya."Navier menggigit bibir bawahnya. Tidak menyangka jika hidup mereka yang dia tinggalkan, begitu menyedihkan.Ayahnya lumpuh sebelah karena kecelakaan kerja. Karena itu, ayahnya dipensiunkan dini. Ibunya mengambil alih mencari nafkah setelah uang tunjangan ayahnya habis, dan kedua adiknya berhenti sekolah karena malu. Kemudian mereka bekerja sebagai buruh kasar di pasar.Dari yang diceritakan ayahnya, Navier mendapat beberapa informasi. Adik pertamanya, Davian, telah menikah dan seorang wanita yang merupakan putri dari pemilik tempatnya bekerja. Setelah istrinya melahirkan di usia pernikahan mereka yang baru enam bulan, satu bulan kemudian mereka bercerai dan membawa anak itu bersamanya.Ayahnya menduga jika wanita itu menikahi Davier hanya untuk menutupi aib karena hamil terlebih dahulu dengan mantan pacarnya yang tidak ma
"A-Ayah!"Navier hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Ayah yang sejak dirinya lahir hingga dijemput Edgar menemaninya, dan tidak pernahlagi mereka bertemu setelah dijual Yuni, ada di hadapanynya.Wajah yang sudah tua termakan usia, dan tidak lagi semuda dulu membuat hati Navier menjadi trenyuh. Ayahnya itu tidak pernah melakukan tindak kekerasan seperti yang Yuni lakukan. Dan hingga hari terakhirnya di kota itu, Navier belum sempat untuk perpamitan.Pun dengan pernikahannya dengan Edgar, sang ayah pastilah tidak pernah tahu akan hal itu. Tidak akan ada kabar yang didengar jika Edgar sudah memutuskan untuk menutup rapat semua yang berpotensi untuk menyebar berita.Kepergiannya kala itu memang terjadi karena terpaksa."Kau putriku, Navier?"Navier mengangguk. Matanya sudah hampir dibanjiri air mata jika tidak dia tahan."Aku merindukan Ayah," lirih Navier. Dia menghambur ke pelukan ayahnya yang kini sudah tidak sempur