Edgar sudah sampai di rumah sakit miliknya. Ia langsung menyuruh dokter wanita yang lebih berpengalaman untuk menangani Navier. Namun, dia hanya bisa berdiri terpaku melihat pintu ruang tindakan, saat Navier diperiksa.
"Aku tak yakin sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter ahli. Tapi, kusarankan untuk membesarkan hatimu. Dia mendapatkan kekerasan terlalu banyak, dan hanya menunggu waktu saja untuk sadar. Lebih dari itu, aku tidak bisa mengatakan banyak. Pemeriksaan lebih lanjut bisa dilakukan saat dia sadar," ucap Rui—dokter wanita yang menangani Navier setelah pemeriksaan.
"Jangan bertele-tele. Katakan saja bagaimana keadaan Navier dengan singkat!" bentak Edgar. Suasana hatinya yang kacau membuat dia ingin meluapkan emosinya.Jujur saja, melihat Navier tak sadarkan diri membuatnya kalut."Dia bisa sehat. Tapi aku tidak yakin jika dia bisa berjalan dengan normal. Aku menemukan beberapa keganjilan di saraf kakinya.""Jadi kau mau mengatakan jika Navier lumpuh, begitu?""Aku tidak berkata begitu, bukankah tadi kukatakan jika kita harus menunggu dia sadar untuk pemeriksaan lebih lanjut? Kita butuh dokter ahli saraf untuk memeriksanya!" Rui balas membentak Edgar. Bagaimanapun, Rui adalah teman masa kecil Edgar. Jadi, tak masalah baginya jika Edgar tak suka dan berakhir memecatnya.Edgar merasakan pening di kepalanya. Kemudian, dia duduk dan menghela napas panjang."Padahal aku berniat menjemputnya sesegera mungkin agar dia tidak terlalu menderita. Tapi rupanya aku terlambat," gumam Edgar. Dia meremas rambutnya kasar dan menunduk. "Kalau saja aku tidak terlalu mengulur-ulur waktu," lanjutnya."Sudahlah! Kau tidak akan bisa membalikkan waktu hanya karena rasa sesal." Rui mencoba menghibur, tetapi spertinya hal itu tidak berngaruh apa-apa.Edgar berjanji untuk membalas semua rasa sakit yang Navier dapatkan. Dengan cepat dia bergerak dan mengumpulkan semua orang yang terlibat pada hari itu. Namun, dia tidak mendapat apa-apa.
Sejauh yang didapatnya, semua informasi tidak ada yang janggal. Orang yang membeli Navier bukan dari kalangan penting dan berpengaruh.
Bukannya berhenti, Edgar justru merasa tidak puas dan ingin menyelidiki lebih lanjut. Akan tetapi, Edgar harus berhenti karena Navier yang telah sadar. Kekasihnya itu langsung menjerit ketika membuka mata.
"Aku mohon, tolong jangan sakiti aku!" jerit Navier. Dia menolak keberadaan semua orang kecuali Edgar.
"Aku tidak akan menyakitimu, aku pastikan itu," ucap Edgar dengan lembut.
Navier yang memang sudah bertemu dengan Edgar, entah mengapa hatinya merasa aman.
"Aku mohon selamatkan aku, siapa pun kamu," pinta Navier. dia memohon sampai mengeluarkan air mata.
Jujur saja, Navier trauma. Orang yang dia percaya bisa melindunginya, justru menjualnya. Jadi, dia tidak tahu harus percaya pada siapa.
Edgar duduk di samping ranjang Navier, memegang tangannya lalu berucap, "Aku akan membawamu ke tempat yang jauh. Apa kau bersedia? Aku bisa melindungimu."
Lama Navier terdiam, kemudian dia mengangguk menyetujui.
Dia pikir, untuk apa berada di sini, di tempat yang sudah banyak menyiksanya.
Meski di dalam hati, dia masih tidak bisa memercayai Edgar.
Sejak itu, Navier dibawa Edgar ke tempat di mana dia berasal. Dia ingin membawa Navier ke rumah kakeknya. Hanya saja, Edgar ingin Navier dalam masa penyembuhan terlebih dahulu. Jadi, Edgar memutuskan untuk membawa Navier ke sisinya, dan menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu semua kebenaran.
****
"Aaaaaarg!!!!"Navier tiba-tiba berteriak frustrasi saat dia sama sekali tidak menggerakkan kakinya.
Selama berada di kediaman Edgar, Navier diperlakukan bak tuan putri. Segala apa yang diinginkannya dituruti. Tak hanya itu, Navier juga mendapatkan perawatan langsung dari dokter spesialis yang didatangkan dari rumah sakit ternama.
Meski mendapat perlakuanm Khusus, Navier belum sepenuhnya percaya pada Edgar. Baginya, pria itu terlalu misterius dan sulit untuk bisa ditebak statusnya.
"Apa aku lumpuh?" tanya Navier.
Dengan telaten, Edgar membantu Navier untuk berdiri. Navier terisak, keterdiaman Edgar seolah memberinya jawaban.
"Jika kau lumpuh, aku bisa menjadi kakimu. Jika kau buta, aku bisa menjadi matamu. Jika kau tuli, Aku bisa menjadi telingamu." Hanya itu yang bisa Edgar ucapkan untuk menghibur Navier. Namun, sepertinya Navier justru tersinggung.
"Aku ini bukan siapa-siapamu! Kita hanya kebetulan pernah bertemu beberapa kali saja! Jadi jangan bersikap terlalu baik padaku!" teriak Navier. Kemudian dia menangis. Pikirnya, ibu yang merawat sejak kecil saja tega menjualnya, apalagi hanya orang yang baru ditemui.
Kemudian, Edgar mendudukkan Navier pada kursi rodanya. Menggenggam lembut tangan Navier lalu berucap, "Kata siapa itu hanya kebetulan? Aku memang sengaja menemuimu. Kita sudah ditunangkan sejak kecil, dan aku tunanganmu. Apa aku salah jika memerlakukan tunanganku dengan baik dan menjadikannya belahan jiawaku?"
Deg!
Jantung Navier berdebar semakin kencang.Seingat dia, statusnya masih single. Kenapa...?
"Ma-mana ada," ucap Navier terbata, "aku tidak punya apa pun. A-aku juga hanya gadis biasa yang tidak mempunyai pendidikan tinggi. A-aku hanya ...."
Sebelum Navier menyelesaikan ucapannya, Edgar menempelkan jari telunjuknya ke bibir Navier. "Kata siapa kau tidak memiliki apa pun? Kau punya aku, seluruh hartaku, dan seluruh hartamu. Jadi jangan pernah katakan kau tidak punya apa pun lagi!" tukasnya.
Di mata Edgar, hidup Navier sudah terlalu menyedihkan.
"Omong kosong. Sampai saat ini saja aku bahkan tidak tahu namamu!"
Kini, Edgar yang cengo. Seketika dia merasa kosong dan seolah menyadari sesuatu, kemudian dia menepukkan tangan ke keningnya.
"Kenapa kau tak tanya?"
"A-aku malu untuk bertanya. Bertanya pada pelayan pun, mereka hanya menjawab kau tuan muda. Itu saja."
Edgar berdecak. Jadi selama ini, Navier hanya mengenalnya sebagai orang asing saja?
"Namaku Edgar, kau harus ingat itu. Dan aku adalah orang yang ditunangkan denganmu sejak kecil. Kakek kita yang membuatnya seperti itu!" ujar Edgar.
"Kakek?" beo Navier semakin bingung.
Sejauh yang Navier ingat, dia tidak mempunyai kakek. Apa pria ini gila?
"Iya, kakek kita," balas Edgar cepat. Ia tampak ingin menjelaskan sesuatu, tetapi suara dari salah satu bawahan Edgar memutuskan percakapan keduanya.
"Tuan, kita ada urusan."
Mendengar itu, Edgar mengangguk. Ia lalu menoleh pada Navier. "Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik, dan aku akan segera kembali."
Setelahnya, pria tampan itu meminta salah satu pelayannya untuk membawa Navier masuk. Dan Navier hanya bisa menurut.
Hanya saja, di dalam kamar, Navier tidak bisa memikirkan apa pun selain keadaanya. Dia tahu, Edgar pasti menyembunyikan keadaanya.
Atau, jangan-jangan memang benar dia lumpuh?
'Aku sudah tidak punya apa-apa. Kalau aku lumpuh, bagaimana nasibku?' batin Navier pedih.
"Tinggalkan aku sendiri! Aku butuh ketenangan dan jangan ganggu aku!" ketus Navier. Sejak tadi, dia mengusir semua pelayan yang ditugaskan untuk menjaganya. Dua pelayan yang mengikuti Navier sontak saling pandang. Mereka diperintahkan untuk mengikuti Navier ke mana pun dia pergi. Apa kata Tuan Edgard nantinya? "Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang. Bisakah kalian meninggalkanku sendiri? Lagi pula, aku ingin melatih kakiku juga untuk berpindah sendiri ke ranjang." Dengan sedikit pemaksaan halus, Navier berkata lagi.Cukup lama pelayan-pelayan itu terdiam, sampai akhirnya mereka undur diri.Navier menghela napas lega. 'Aku tak punya apa-apa. Selain itu, aku juga lumpuh dan tidak berpendidikan tinggi. Edgar pantas memiliki wanita yang lebih baik dariku,' batinnya merasa rendah diri dan tak pantas untuk pria sesempurna Edgar. Begitu para pelayan sudah tidak ada, Navier turun dari kursi rodanya. Dengan susah payah, dia menyeret tubuh lemahnya ke kamar mandi, mengisi bathtub sampa
"Aku akan merawat cucuku!" tukas James yang kebetulan berada di kantor Edgar untuk mengambil kembali cucunya. Ia sudah mendengar kabar mengenai Navier yang semakin depresi setelah mengetahui keadaanya.Namun, Edgar sama sekali tidak bergeming. Sepulang dari rumah sakit, Navier menjadi pribadi yang pendiam dan pemurung. Dia lebih banyak mendiamkan Edgar ketimbang membalas ucapannya seperti sebelumnya. Karena itu James ingin membawanya pulang. James ingin mengenalkan sang cucu pada pegawa di rumahnya. Terutama saat mendengar Navier menjadi lebih pendiam lagi. Bagi James, Edgar masih belum bisa menjadi pria yang benar-benar bertanggung jawab. Dan, dia tidak bisa memasrahkan sang cucu pada pria seperti itu. "Tidak bisa! Dia sudah menjadi tunanganku dan harus berada di sini, di dekatku. Tidak bisa kau bawa pulang karena sebentar lagi aku akan menikahinya," balas Edgar tak kalah sengit. Susah-susah membawa Navier, malah orang lain ingin mengambilnya. Jujur saja, Edgar tak terima! T
"Aku menyerah, Kakek," ucap Navier.Setelah memutuskan untuk hidup di tempat kakeknya, Navier dilatih dengan baik untuk menjadi seorang pewaris.Navier satu-satunya keturunan murni keluarga Wyatt, harus menjadi pemimpin yang mumpuni dari segi pengetahuan maupun perilaku.Pertama kali melihat Navier secara langsung, James Wyatt merasakan firasat yang baik tentang Navier. Jadi, dia bersungguh-sungguh untuk membantu Navier.Kelumpuhan Navier bukanlah halangan. Jadi, sebisa mungkin dia tidak akan mengungkit hal itu pada Navier."Baru begitu saja kau sudah menyerah!? Kalau begitu kau menikah saja dengan Edgar, agar aku bisa memberikan semua ini padanya!" tukas James.Navier menunduk, lalu menjawab, "Kadang aku berpikir kalau bukan kakekku. Bagaimana bisa ada orang yang memperlakukan cucunya seperti itu? Aku tidur hanya empat jam semalam, setengah jam di siang hari, dan selebihnya tidak ada yang kulakukan selain belajar dan belajar! Bahkan di meja
"Nav, pengawalku menemukan Mobil Edgar tak jauh dari wilayah kita." Pergerakan Navier yang sedang makan, terhenti. Jantungnya mulai berdebar dengan kencang. Dia takut jika .... "Anak buahku menemukan jika Edgar tidak ada di sana. penuh dengan bercak darah. Dari pMobilnyaenyelidikan mereka, darah itu bukan hanya milik Edgar, tapi banyak orang." Navier masih terdiam, mencoba menebak apa yang selanjutnya dikatakan oleh sang kakek. Akan tetapi, dia tidak memungkiri jika hatinya berkata lain. "Dan sayangnya, Keluarga Edgar juga menghubungiku, mengatakan kalau Edgar tidak ada. Kupikir Edgar sudah dibawa keluarganya, tetapi justru mereka pun terlambat. Pagi tadi, lokasi kejadian sudah bersih. Entah siapa yang membersihkannya, aku tak tahu." Trang!!! Sendok dan garpu yang dipakai Navier, terjatuh. Tangannya bergetar dan tiba-tiba air matanya keluar. "Kalau dia tidak ada di sana,, lalu di mana?" tanya Navier. Jam
Keadaan Navier kembali memburuk. Sudah semingu Edgar menghilang tanpa kabar. Apalagi keluarga Edgar seolah menyalahkan Navier atas kejadian yang menimpa Edgar. Setahu mereka, Edgar menghillang setelah mengunjungi Navier. Mereka menduga jika ada konspirasi di atasnya. "Sudah kubilang cucuku sama sekali tidak tahu apa pun! Kau tidak tahu dia bahkan sampai frustrasi dan kesehatannya kembali terganggu!? Kalau kau kembali datang untuk menyalahkan Navier kembali, maka pergilah! Aku akan mengunjungi Jonathan untuk membatalkan pertunangan mereka!" "Anda tahu bagaimana rasanya kehilangan anak dan penerus satu-satnya, bukan? itulah yang kurasakan. Apalagi Edgar menghilang setelah dari cucu Anda! Akan masuk akal jika dia di balik konsprasi semua ini!" Navier ingin sekali menutup telinga rapat-rapat, saat mendengar perdebatan di luar. Selama ini, Navier masih belum pernah bertemu dengan orang tua Edgar. Namun, mereka sendiri yang menemui Navier ketika Edgar tidak ditemukan. Mereka menuduh Na
"Aku bisa mengantarkanmu dengan pesawat pribadiku. Atau kalau kau mau, aku akan menemanimu di sana," tawar Edgar.Dia kini di bandara, mengantarkan sang kekasih ke tempat kelahirannya.Navier yang meminta untuk menyelesaikan masalahnya ternyata bukan isapan jempol belaka. Wanita itu benar-benar pergi.Ditemani salah satu bawahan sang kakek, Navier pergi. Dan hal itu membuat Edgar geram.Edgar ingin ikut, sayangnya dia tidak bisa."Aku mendapat laporan dari bawahanmu kalau pekerjaanmu masih banyak. Jadi, selesaikan dulu semuanya. Baru kau bisa mengantarku," ucap Navier.Edgar menatap Navier dengan sendu. "Aku cemburu, jadi jangan dekat-dekat dengannya," ucapnya kemudian.'Ya Tuhan ...,' batin Navier. "Dia hanya pengawal yang ditugaskan kakek untuk menjagaku," ucap Navier.Dengan berat hati, Edgar melepaskan Navier.Mau tak mau dia harus membiarkan Navier pergi hanya dengan pengawal yang James tunjuk.Edgar tahu jika Navie
"Nona, perlukah aku juga membawa bos mereka ke sini?" tanya Martin.Setelah menerima perintah dari Navier, Martin langsung mencari banyak hal tentang transaksi yang dilakukan oleh Yuni.Sejujurnya, Navier penasaran dengan apa yang menimpanya."Tak perlu sampai bos mereka. Aku hanya ingin tahu kebenaran dari mereka sendiri."Navier mengembus napas kasar. Kini dia sedang berada di balkon hotel mewah yang tempati.Setelah bertemu Yuni dan mengetahui keadaan keluarganya,Navier belum memutuskan untuk kembali."Sayangnya, Nona, tunangan Anda itu sudah menghabiskan mereka yang terlibat pada malam itu. Tentu dengan meninggalkan petinggi mereka saja. Saya tidak tahu jelasnya, yang pasti Tuan Edgar sudah turun tangan masalah ini," tutur Edgar.Navier terdiam sejenak. Dia tahu jika malam itu Edgar yang menolongnya. Namun, dia tidak tahu apa saja yang dilakukan oleh pria itu setelahnya."Lalu, apa yang telah kau dapatkan? Tak mungkin ibu tiriku langsung bertemu begitu saja dengan bos besar yang
Di pesta pertunangan mereka, sepertina hanya Edgar saja yang berbahagia. Sedangkan Navier dan Cassandra tidak.Navier bisa melihat bagaimana tatapan tak suka itu ditujukan padanya.'Setelah ini, apa aku bisa memanggilnya ibu?' batin Navier.Navier tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolak apa yang Edgar siapkan. Sang kakek telah menyetujuinya, dan Navier sudah menolak secara baik-baik, tetapi hanya dianggap angin lalu oleh Edgar."Kau bersiaplah, Sayang. Besok kita sudah melakukan pesta pernikahan," bisik Edgar.Wajah Navier memanas, membayangkan jika setelah hari esok, mereka telah terikat pernikahan.Padahal, Edgar masih belum sembuh secara sempurna.Acara mereka berjalan meriah dengan banyak tamu undangan yang datang. Namun, Tidak satu pun dari mereka yang mengenal dan menyapa Navier. Tidak pula dengan kolega James.Ditambah dengan Cassandra yang sama sekali tidak menyapa, Navier merasa kecil."Setelah ini, aku akan pulang ke kediaman kakek, ya," pinta Navier. Merasakan tatapan taja
Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau
"Apa tidak apa-apa jika ibu tahu aku akan datang?" tanya Navier.Setelah mereka berbincang, Navier memutuskan untuk ikut ayahnya pulang ke kediaman mereka yang dulu. Ayahnya takut jika Yuni datang dan tidak mendapati di mana pun. Karena bahan persediaan di rumah mereka telah habis, jadi Navier hanya bisa menurut.Sebenarnya dia bisa saja meminta Edgar atau Henry untuk mengantar bahan makanan itu. Terutama Edgar yang telah mengetahui di mana lokasinya. Sayang, Navier menolak dengan tegas. Dia tidak ingin suaminya turun tangan langsung, atau semuanya akan kacau."Tidak apa-apa, dia pasti sangat senang kau datang. Bukankah sudah lama kalian tidak bertemu?"'Yah ... itu sih kalau Ibu tidak dendam padaku,' batin Navier.Dia meringis saat mengingat masa lalu. Di mana dia yang kabur dan meninggalkan banyak masalah untuk ibunya.Tidak bisa dikatakan dia yang meninggalkan masalah untuk mereka, sebenarnya. Melainkan Yuni sendiri yang telah mengambil r
"Jadi, kini hanya Ayah yang biasa mengerjakan pekerjaan rumah. Rumah itu telah sepi semenjak kau pergi, dan bertambah sepi setelahnya."Navier menggigit bibir bawahnya. Tidak menyangka jika hidup mereka yang dia tinggalkan, begitu menyedihkan.Ayahnya lumpuh sebelah karena kecelakaan kerja. Karena itu, ayahnya dipensiunkan dini. Ibunya mengambil alih mencari nafkah setelah uang tunjangan ayahnya habis, dan kedua adiknya berhenti sekolah karena malu. Kemudian mereka bekerja sebagai buruh kasar di pasar.Dari yang diceritakan ayahnya, Navier mendapat beberapa informasi. Adik pertamanya, Davian, telah menikah dan seorang wanita yang merupakan putri dari pemilik tempatnya bekerja. Setelah istrinya melahirkan di usia pernikahan mereka yang baru enam bulan, satu bulan kemudian mereka bercerai dan membawa anak itu bersamanya.Ayahnya menduga jika wanita itu menikahi Davier hanya untuk menutupi aib karena hamil terlebih dahulu dengan mantan pacarnya yang tidak ma
"A-Ayah!"Navier hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Ayah yang sejak dirinya lahir hingga dijemput Edgar menemaninya, dan tidak pernahlagi mereka bertemu setelah dijual Yuni, ada di hadapanynya.Wajah yang sudah tua termakan usia, dan tidak lagi semuda dulu membuat hati Navier menjadi trenyuh. Ayahnya itu tidak pernah melakukan tindak kekerasan seperti yang Yuni lakukan. Dan hingga hari terakhirnya di kota itu, Navier belum sempat untuk perpamitan.Pun dengan pernikahannya dengan Edgar, sang ayah pastilah tidak pernah tahu akan hal itu. Tidak akan ada kabar yang didengar jika Edgar sudah memutuskan untuk menutup rapat semua yang berpotensi untuk menyebar berita.Kepergiannya kala itu memang terjadi karena terpaksa."Kau putriku, Navier?"Navier mengangguk. Matanya sudah hampir dibanjiri air mata jika tidak dia tahan."Aku merindukan Ayah," lirih Navier. Dia menghambur ke pelukan ayahnya yang kini sudah tidak sempur