"Aku bisa mengantarkanmu dengan pesawat pribadiku. Atau kalau kau mau, aku akan menemanimu di sana," tawar Edgar.
Dia kini di bandara, mengantarkan sang kekasih ke tempat kelahirannya.
Navier yang meminta untuk menyelesaikan masalahnya ternyata bukan isapan jempol belaka. Wanita itu benar-benar pergi.
Ditemani salah satu bawahan sang kakek, Navier pergi. Dan hal itu membuat Edgar geram.
Edgar ingin ikut, sayangnya dia tidak bisa.
"Aku mendapat laporan dari bawahanmu kalau pekerjaanmu masih banyak. Jadi, selesaikan dulu semuanya. Baru kau bisa mengantarku," ucap Navier.
Edgar menatap Navier dengan sendu. "Aku cemburu, jadi jangan dekat-dekat dengannya," ucapnya kemudian.
'Ya Tuhan ...,' batin Navier. "Dia hanya pengawal yang ditugaskan kakek untuk menjagaku," ucap Navier.
Dengan berat hati, Edgar melepaskan Navier.Mau tak mau dia harus membiarkan Navier pergi hanya dengan pengawal yang James tunjuk.
Edgar tahu jika Navie
"Nona, perlukah aku juga membawa bos mereka ke sini?" tanya Martin.Setelah menerima perintah dari Navier, Martin langsung mencari banyak hal tentang transaksi yang dilakukan oleh Yuni.Sejujurnya, Navier penasaran dengan apa yang menimpanya."Tak perlu sampai bos mereka. Aku hanya ingin tahu kebenaran dari mereka sendiri."Navier mengembus napas kasar. Kini dia sedang berada di balkon hotel mewah yang tempati.Setelah bertemu Yuni dan mengetahui keadaan keluarganya,Navier belum memutuskan untuk kembali."Sayangnya, Nona, tunangan Anda itu sudah menghabiskan mereka yang terlibat pada malam itu. Tentu dengan meninggalkan petinggi mereka saja. Saya tidak tahu jelasnya, yang pasti Tuan Edgar sudah turun tangan masalah ini," tutur Edgar.Navier terdiam sejenak. Dia tahu jika malam itu Edgar yang menolongnya. Namun, dia tidak tahu apa saja yang dilakukan oleh pria itu setelahnya."Lalu, apa yang telah kau dapatkan? Tak mungkin ibu tiriku langsung bertemu begitu saja dengan bos besar yang
Di pesta pertunangan mereka, sepertina hanya Edgar saja yang berbahagia. Sedangkan Navier dan Cassandra tidak.Navier bisa melihat bagaimana tatapan tak suka itu ditujukan padanya.'Setelah ini, apa aku bisa memanggilnya ibu?' batin Navier.Navier tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolak apa yang Edgar siapkan. Sang kakek telah menyetujuinya, dan Navier sudah menolak secara baik-baik, tetapi hanya dianggap angin lalu oleh Edgar."Kau bersiaplah, Sayang. Besok kita sudah melakukan pesta pernikahan," bisik Edgar.Wajah Navier memanas, membayangkan jika setelah hari esok, mereka telah terikat pernikahan.Padahal, Edgar masih belum sembuh secara sempurna.Acara mereka berjalan meriah dengan banyak tamu undangan yang datang. Namun, Tidak satu pun dari mereka yang mengenal dan menyapa Navier. Tidak pula dengan kolega James.Ditambah dengan Cassandra yang sama sekali tidak menyapa, Navier merasa kecil."Setelah ini, aku akan pulang ke kediaman kakek, ya," pinta Navier. Merasakan tatapan taja
"Jangan khawatir, Edgar akan selalu melindungimu," ucap James. Dia menggenggam tangan Navier yang belum memakai sarung tangan, dan bergetar. Navier gugup, itu yang terlihat oleh James. "Aku takut," bisik Navier. Dia telah selesai dirias dan tengah menunggu dipanggil. Hanya tinggal memakai sarung tangan, maka semua selesai dengan sempurna. "Kakek ada bersamamu, Cucuku. Jangan nah mengkhawatirkan apa pun." Navier mengangguk. Dia tahu ucapan sang kakek memang benar adanya. Namun, dia tidak bisa tidak memikirkan hal yang menghantuinya sejak semalam. Penolakan dari Cassandra yang begitu terlihat, dan tak sanggup dia ungkapkan kepada sang kakek. "Kalau begitu, kau harus tenang dan aku akan mengantarkanmu." Dengan telaten, James membantu Navier memakai sarung tangannya. Setelah itu, James mendorong kursi roda Navier ke altar yang tersedia. Di dalam acara pemberkatan, Edgar terlihat begitu sempurna di mata Navier. Membua Navier semakin merasa rendah diri dengan keadaanya. Padahal sel
"Ke mana Edgar?" tanya James. Hatinya tak tenang saat melihat James membawa Navier pergi setelah pesta.James merasa kalut. Akhir-akhir ini hidupnya seperti akan mengalami sesuatu yang besar."Dia sudah pergi tadi pagi, Kek," jawab Navier. Sang kakek yang datang tiba-tiba membuatnya kikuk.Navier, sama sekali tak mempersiapkan apa pun untuk menyambutnya."Dia meminta izin untuk membawamu ke sini, dan sekarang dia malah meninggalkanmu!?"James duduk dengn angkuh, berdecih setelah memindai kediaman baru sang cucu."Kakek tak memberitahu kami. Jadi, dia ....""Oh, jadi dia akan ada di rumah kalau aku memberitahu sebelumnya, dan pergi ketika tahu tidak ada yang akan mengunjunginya? Arogan sekali! Kalian masih pengantin baru dan dia sudah meninggalkanmu di hari pertama kalian setelah menikah!"Navier tak bisa berkata-kata lagi. Dia memang tak bisa mencegah kepergian Edgar tadi pagi, tetapi juga tidak bisa menyanggah ucapan kakeknya.
"Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikikan, Pak Tua! Kau tega menyakiti cucumu sendiri!" bentak Edgar.Dia merasa dikhianati olh sosokk yang pernah dihormatinya.Bagaimanapun juga, James adalah sahabat kakeknya. Dan dia juga pernah mendapatkan banyak pelajaran berharga dari James.Akan tetapi, untuk perbuatannya pada Navier, dia tidak bisa mentolerin."Aku tidak pernah berniat menyakitinya sama sekali, Ed! Dia cucuku dan aku tidak sekejam itu!" elak James.Dia memanng terkenal kejam, dan kedatangannya kemrin, sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti Navier."Tapi gara-gara kau, dia kembali frustasi! Aku bahkan harus membawanya ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan intensif!"Kedua pria berbeda generasi itu masih saling memaki, dan saling menyalahkan. Edgar bahkan kehilangan sopan santunya.Dia teramat marah begitu mendapatkan fakta jika yang mengunjungi istrinya, adalah sang kakek sendiri.Apalagi Navier benar-ben
"TIDAK!!!! KUMOHON JANGAN SAKITI KAKEKKU!!!"Navier terus meracau dan berteriak. Di rumah sakit, dia terus menangis dan tenang ketika dokter menyuntiknya dengan obat penenang.Usai kediaman mereka diserang, Navier kembali mengalami trauma.Kurangnya persiapan pengawalan membuat mereka terlambat mengghadang, dan berakhir dengan kekalahan."Kau ini sudah lumpuh, menyusahkan pula!" ucap Cassandra dengan ketus.Wanita itu berniat mengunjungi Navier di ruang rawatnya. Dan, hattinya meradang ketika melihat Navier yang histeris."Untung saja putraku sedang ke lluar negeri!" sambungnya. Dia menghampiri Navier yang masih menangis dan sesekali berteriak."Kau iini selalu menyusahkan!"Navier bukannya tak paham dengan apa yang dikatakan ibu mertuanya. Namun, bayang-bayang malam kelam itu selalu menghantuinya, mengakibatkan dia selalu histeris."Menantu kita sedang membutkan dukungan, bukan makian seperti itu, cassy," tegur Louis.
Jadi, apa yang kau dapatkan?" Edgar menyilangkan kakinya, menatap angkuh pada orang yang datang dengan menundukkan kepala. Sudah beberapa waktu mood-nya memburuk. Dan itu, akibat dari keadaan Navier yang belum juga membaik. Fisiknya mungkin baik-baik saja, tetapi tidak dengan mental. Navier seperti orang gila, itu yang dikatakan ibunya. Ditambang keadaan yang enggan menerima makanan, membuat kondisinya memburuk. "Saya kesulitan melacak siapa otak dari penyerangan malam itu, Tua. Tapi yang pasti, salah satu musuh Tuan James-lah akar masalahnya." "Tidak ada yang lain?" "Tidak ada pergerakan yang mencurigakan." "Aneh." Edgar kemudian menopang dagu dengan tangannya. Berpikir, kalau ada lagi hal ganjil. Mempunyai musuh itu adalah hal wajar untuk seorang seperti James. Namun, siapa dia, itu yang menjadi masalah. Kebanyakan musuh akan menunjukkan diri secara terang-terangan. Berbeda dengan hal ini. "Selain musu
"Aku takut, Edd." Navier menggenggam erat tangan Edgar.Setelah permintaa Luois, Navier menangis keras. Dia yang belum siap harus dihadapkan kenyataan jika pernikahan mereka harus berhasil.Sejujurnya Navier masih takut.Ikatan mereka boleh saja kuat, tetapi untuk menerima Edgar secara penuh, dia sama sekali belum memiliki persiapan apa pun."Mereka tak akan melukaimu, Sayang. Mereka hanya akan memeriksamu. Lagi pula, bukan hanya kau yang akan diperiksa, tapi aku juga. Kita akan baik-baik saja.""Tapi bagaimana jika hasilnya tidak sesuai harapan kita? Apa kau akan meninggalkanku seperti yang lainnya?" Navier menatap wajah Edgar.Menunggu dokter bersiap itu terasa menyakitkan untuk Navier.Sebelum memiliki anak, mereka diharuskan menjalani tes terlebih dahulu. Apakah mereka dalam kondisi yang baik untuk melakukan pembuahan."Apa pun hasilnya, kita akan menerimanya," jawab Edgar mantap.Dia sama sekali tidak meragukan Navi
Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau
"Apa tidak apa-apa jika ibu tahu aku akan datang?" tanya Navier.Setelah mereka berbincang, Navier memutuskan untuk ikut ayahnya pulang ke kediaman mereka yang dulu. Ayahnya takut jika Yuni datang dan tidak mendapati di mana pun. Karena bahan persediaan di rumah mereka telah habis, jadi Navier hanya bisa menurut.Sebenarnya dia bisa saja meminta Edgar atau Henry untuk mengantar bahan makanan itu. Terutama Edgar yang telah mengetahui di mana lokasinya. Sayang, Navier menolak dengan tegas. Dia tidak ingin suaminya turun tangan langsung, atau semuanya akan kacau."Tidak apa-apa, dia pasti sangat senang kau datang. Bukankah sudah lama kalian tidak bertemu?"'Yah ... itu sih kalau Ibu tidak dendam padaku,' batin Navier.Dia meringis saat mengingat masa lalu. Di mana dia yang kabur dan meninggalkan banyak masalah untuk ibunya.Tidak bisa dikatakan dia yang meninggalkan masalah untuk mereka, sebenarnya. Melainkan Yuni sendiri yang telah mengambil r
"Jadi, kini hanya Ayah yang biasa mengerjakan pekerjaan rumah. Rumah itu telah sepi semenjak kau pergi, dan bertambah sepi setelahnya."Navier menggigit bibir bawahnya. Tidak menyangka jika hidup mereka yang dia tinggalkan, begitu menyedihkan.Ayahnya lumpuh sebelah karena kecelakaan kerja. Karena itu, ayahnya dipensiunkan dini. Ibunya mengambil alih mencari nafkah setelah uang tunjangan ayahnya habis, dan kedua adiknya berhenti sekolah karena malu. Kemudian mereka bekerja sebagai buruh kasar di pasar.Dari yang diceritakan ayahnya, Navier mendapat beberapa informasi. Adik pertamanya, Davian, telah menikah dan seorang wanita yang merupakan putri dari pemilik tempatnya bekerja. Setelah istrinya melahirkan di usia pernikahan mereka yang baru enam bulan, satu bulan kemudian mereka bercerai dan membawa anak itu bersamanya.Ayahnya menduga jika wanita itu menikahi Davier hanya untuk menutupi aib karena hamil terlebih dahulu dengan mantan pacarnya yang tidak ma
"A-Ayah!"Navier hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Ayah yang sejak dirinya lahir hingga dijemput Edgar menemaninya, dan tidak pernahlagi mereka bertemu setelah dijual Yuni, ada di hadapanynya.Wajah yang sudah tua termakan usia, dan tidak lagi semuda dulu membuat hati Navier menjadi trenyuh. Ayahnya itu tidak pernah melakukan tindak kekerasan seperti yang Yuni lakukan. Dan hingga hari terakhirnya di kota itu, Navier belum sempat untuk perpamitan.Pun dengan pernikahannya dengan Edgar, sang ayah pastilah tidak pernah tahu akan hal itu. Tidak akan ada kabar yang didengar jika Edgar sudah memutuskan untuk menutup rapat semua yang berpotensi untuk menyebar berita.Kepergiannya kala itu memang terjadi karena terpaksa."Kau putriku, Navier?"Navier mengangguk. Matanya sudah hampir dibanjiri air mata jika tidak dia tahan."Aku merindukan Ayah," lirih Navier. Dia menghambur ke pelukan ayahnya yang kini sudah tidak sempur