Part 36POV MAHARANI"Sudah siap?" tanyaku yang menunggu di teras saat Iyan ganti baju. Nindi masih tidur di dalam. "Sudah," jawab Mas Iyan terlihat bahagia. Aku belum pernah melihat Mas Iyan sebahagia itu sebelumnya. Aku bisa melihat cinta yang begitu besar yang Mas Iyan beri untuk Aira. Mungkin saja karena satu ginjal Mas Iyan ada pada Aira. Jadi, dia wajar saja jika Mas Iyan sangat tersambung hatinya melebihi hubungan ayah anak yang lain. Mobilku sudah datang. Aku segera berdiri dan mengecek barang yang dibawakan oleh anak-anak di toko. Ada tiga kardus lagi. Berarti lima kardus dengan yang ada di dalam rumah Mas Iyan. Aku segera meminta sopir memasukkan kardus ke dalam mobil. "Kira-kira berapa jam sampai kota Mas Iyan?" tanya Pak sopir. "Lima enam jam lah, Pak. Kalau kecepata mobil sedang. Lewat tol ya lima jam," jawab Mas Iyan. "Mas, kunci tinggal saja. Biar besok yang mau jualin mie gampang. Gak papa, nanti aku yang mengunci rumahnya," kataku. Pak sopir melihatku sambil t
Part 37Sepanjang perjalanan tadi, Iyan dan sopir acapkali berbincang. Banyak hal, sampai pria yang umurnya sudah hampir lima puluh tahun itu membahas tentang Maharani. "Mau menyendiri terus, Mas?" tanya sopir bernama Diman itu sambil fokus menyetir."Ya menikah, Pak, suatu hari nanti kalau sudah ada yang mau," jawab Iyan. "Sudah ada yang mau juga kalau Mas Iyan tidak membuka diri, ya tidak akan terjadi pernikahan itu," sahut Diman. "Hemh, siapa sih, Pak, yang mau sama aku?" Iyan merendah. "Lhoh kok bilang gitu?" tanya Diman. "Soalnya tuh, aku pernah, Pak, suka sama seorang janda, dia menolak. Padahal secara latar belakang ya sama seperti aku ini. Jadi, ada rasa trauma. Lalu aku memutuskan untuk sendiri. Apalagi kan, Aira sekarang sudah di pondok. Anakku maksudnya, jadi, aku merasa buat menikah? Aku hanya butuh ibu untuk anakku saja.""Lhoh, menikah itu bukan hanya untuk anak. Buat Mas Iyan sendiri juga butuh teman hidup. Teman berbagi dan berkeluh kesah. Jangan cuma anak saja d
Part 38"Bukan pacar kamu, terus apa kok kasih barang begitu banyak?" tanya Hanif. "Dia memang baik hati kok, Pak," jawab Iyan. "Lhah baik hati juga kalau gak ada rasa gak mungkin juga seperti itu, Yan," ujar Hanif. "Ya gak tahu, Pak. Aku udah nolak tapi dia maksa.""Ya jangan lah. Masa pemberian kok ditolak. Sayang sekali lah." Hanif tetap seperti dulu. "Malu lah, Pak, aku. Sudah dikasih tempat jualan. Dipinjemin mobil, dikasih oleh-oleh.""Kamu yang beli bensin?" tanya Hanif. "Enggak. Pak Diman kayaknya sudah dikasih uang sama Mbak Maharani.""Namanya sama dengan istrimu dulu, siapa tahu jodoh," sahut Hanif. "Kapan lagi, Yan, dapat istri orang kaya? Mumpung ada rezeki nomplok. Jangan disia-siakan." Hanif tetaplah Hanif yang matre. Iyan pamit tidur karena lelah. Jam juga sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Ia merebahkan tubuh di kamarnya yang dulu. Saksi berbagai macam peristiwa yang terjadi dan menimpanya dengan Rani. Berbaring sambil mengurai segala kenangan indah yang t
Part 39Iyan memilih meninggalkan dua orang yang sedang asyik berkutat dengan makanan yang dikirim Maharani. Sibuk menghitung berapa tetangga dan saudara yang akan diberi. "Jangan dikasih semua, Bu, Pak. Itu bahan makanan kering bisa buat bekal sehari-hari Ibu dan Bapak. Biar tidak keluar biaya," kata Iyan sebelum pergi ke kuburan. Ia sudah memakai sarung, baju koko dan peci yang lengkap. "Lhah berbagi itu harus, Iyan. Banyak sedekah biar hidup berkah," sahut Hanif. "Tapi Bapak dan Ibu berbaginya mau pamer saja. Bukan karena mau sedekah.""Kata siapa? Kami gak pamer kok. Hanya ingin mereka tahu kalau hidup kamu di sana sudah sukses," ujar Nusri. "Makanya, nemu wanita seperti itu jangan disia-siakan, Iyan! Langsung saja dihalalin. Daripada yang kemarin itu. Pedagang es di depan rumah saja sombongnya minta ampun disukai kamu tidak mau. Milihnya malah sama penjual es keliling. Kalau kamu nikah sama Maharani, nanti keluarganya malu. Lihat saja!" tambah Hanif. "Maya sudah menikah?" ta
Part 40Aira terlihat bahagia sejak menelpon Iyan. "Ayah bilang apa sama kamu?" tanya Aini penasaran. "Ayah mau jenguk aku kesini Mbak Ai. Nanti, Mbak Ai aku kenalin sama Ayah ya?" jawab Aira riang. "Ok." Aini menyatukan ujung jari telunjuk dengan jari jempol membentuk huruf O. Baru saja sampai di kamar mereka. Aira sudah dipanggil lagi melalui pengeras suara. "Mbak Aini," kata Aira takut. Aini paham apa yang dimaksud Aira memanggilnya. "Baik. Kita akan kesana sama-sama. Ayo, kamu tidak usah takut ya? Mbak Aini akan selalu melindungi kamu," kata Aini. Ia kembali ke depan, keluar dari komplek bilik untuk melihat siapakah yang akan menemui Aira. Namun, tidak ada siapapun di sana. Aula kosong.Aini mengajak Aira ke ruang pengurus. "Tadi Aira dipanggil ada apa ya, Ust?" tanya Aini pada ustadzah. "Ada telepon lagi," kata Rahma yang sedang ada di sana. Aira senang sekali. "Pasti Ayah," katanya. "Halo, Assalamu'alaikum, Yah," kata Aira langsung saat Rahma memberikan ponsel. "Halo
Part 41Pengurus segera mengadakan rapat terbatas untuk menangani masalah Han. Ustadzah yang menjadi saksi atas perilaku Ayah Cika dan ucapannya saat berbicara dengan Aira. "Semetara ini jangan dulu ambil keputusan. Kita pantau saja orang itu dan berusaha mengamankan Aira. Kalau ada tindakan yang memang perlu kita tangani, barulah kita keluarkan Cika," kata ketua pengurus pondok putra. "Sambil masalah ini akan saya bicarakan sama Gus. Beliau sedang tidak ada di ndalem soalnya. Sedang keluar kota dia minggu."Sejak saat itu santri yang sudah besar dan ketua kamar diminta untuk hati-hati mengawasi Cika. ***Sepanjang perjalanan menuju pondok, Hanif dan Nusri terus menanyakan sosok Maharani pada Diman. Diman yang memang menjadi anak buahnya dan juga sering mendapatkan kebaikan dari Maharani tentu saja menjawab yang baik-baik. Dasarnya memang Maharani wanita baik.Hanif menelisik tentang harta kekayaan Maharani di sana. Dan Diman menjelaskan apa adanya. "Punya toko kelontong besar, d
Part 42"Ayah, Mbak Ai sering cucikan bajuku lho, kalau aku sedang sakit," kata Aira. Kali ini suasana kembali normal. Aini sudah tidak merasa malu lagi. "Oh ya? Wah, Ayah harus bayar Mbak Aini dong ya?" kata Iyan bercanda. "Iya, harus bayar Mbak Aini banyak," sahut Aira sambil tertawa. "Mbak Aini minta berapa?" tanya Iyan. Aini tersipu malu kembali. "Aku mau bicara penting, tapi aku bingung mau panggil ayahnya Aira siapa," kata Aini. Aira menatap Iyan dan memainkan kedua alisnya, tanda meminta pendapat. "Panggil Mas, gak papa," kata Iyan. Aini yang canggung menggaruk kepalanya. "Baiklah, Mas," katanya ragu. Aira tertawa lagi. "Mbak Aini panggil Mas sama Ayah, Ayah masih muda berarti. Ayah enggak jadi tua," celotehnya riang. "Aira bahagia di sini ya? Kok sekarang tawanya lebar gitu," goda Iyan. "Iya, aku sudah bahagia karena sekarang sudah banyak teman," ucap Aira girang. "Temannya siapa saja?""Banyak, Ayah. Tapi yang paling baik ya Mbak Aini. Tapi Mbak Aini sudah besar
Part 43Aini ingin menceritakan sosok Han, tetapi takut . menjadi sebuah fitnah. Ia urung mengatakan itu pada Iyan. Dan berfikir lebih baik Aira yang memberitahu ayahnya. "Ayah pulang, ya?" kata Iyan sambil memeluk Aira. "Kapan Ayah datang lagi?" tanyanya. Keceriaan yang sempat hadir, kini sirna setelah Iyan hendak pulang. "Aira mau liburan ya?" tanya Iyan. "Iya.""Telepon Ayah, ya? Ayah akan datang kalau Aira libur," kata Iyan lagi. "Ayah akan bawa Aira pulang. Tapi pulang sementara ya? Habis liburan balik ke sini lagi."Aira mengangguk lemah. "Titip dia," kata Iyan pada Aini. Aini mengangguk dan memegang pundak Aira. Memberi kekuatan lagi pada gadis kecil itu untuk tetap tabah. Aini ada di pondok itu seolah sudah ditakdirkan untuk selalu ada buat Aira. Nusri dan Hanif memeluk mereka secara bergantian. Mengucapkan salam perpisahan untuk cucu kesayangan yang tengah menuntut ilmu. Iyan masih menoleh ke belakang memandang Aira yang menangis. Dari jarak beberapa meter, seorang le
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”